“Sah!”
Para saksi pernikahan kami mengucapkan kata-kata itu selepas suamiku mengucapkan ijab-qabul. Para hadirin bertepuk tangan karena suamiku mengucapkannya dengan lancar tanpa hambatan.Ada pemandangan aneh di palang pintu gedung sebelah kiri, sekumpulan orang yang begitu banyak layaknya rombongan piknik, berkumpul di satu titik pintu tersebut."Bang! Itu yang di palang pintu masuk sebelah kiri siapa ya? Kok banyakan?" tanyaku menepuk tangan Bagaskara pelan. "Abang juga gak tahu, Yang!" jawab Bagaskara memantau sekumpulan orang itu.Rombongan pengantar pengantin pria yang tengah duduk di dalam gedung, beranjak pada acara ramah-tamah, berbaris mengantre hidangan parasmanan yang telah disediakan, diikuti oleh sekumpulan orang yang berkumpul di palang pintu tadi."Loh! Mereka rombongan pengantar rupanya, Bang?!" ujarku menoleh pada Bagaskara.Bagaskara menunduk diam, lalu meminta maaf padaku karena ia pun tidak tahu akan hal itu. Mama dan Papa saling memandang aneh, karena masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Mereka banyak sekali, tidak salah, Nak Bagas?" tanya Papa."Bagas juga gak tahu, Pa! Ibu bilang sih yang ikut hanya 25 orang saja. Ibu sudah sepakat dengan Mama dan Papa, bukan?" tanya Bang Bagas."Betul, tapi kamu lihat sendiri, anak-cucu-cicit ikut semua tuh kayaknya." Kekeh Papa mencandai Bagaskara."Semoga saja hidangannya tidak kurang ya, Pa!" harap Bagaskara tersenyum simpul."Itu yang Papa harapkan, Nak!" jawab Papa mengusap punggung Bagaskara-suamiku.Usai masalah list pengantar yang tidak sesuai janji, datang lagi masalah lainnya yang membuat kepala penat.Di sebelah kanan tempat photoshoot, Kak Hana sibuk mengatur fotografer untuk keluarga Bang Bagas berfoto bergiliran tanpa menghiraukan siapa pemilik acara sesungguhnya.Kak Alana melirikku, seolah tidak terima, dengan sikap tak santun kak Hana. Tangan Kak Lana mengepal gemas ingin protes pada Kakak iparku itu."Bang! Lihat Kakakmu di sudut sana! Sibuk sekali di tempat photoshoot, aku jadi gak enak sama Mama dan Papa." Bisikku tepat di rungu suamiku."Duh, Kak Hana ini! Bisanya malu-maluin aku aja!" kesal Bang Bagas.Bang Bagas merogoh ponsel di tas kecilnya, lalu menghubungi wanita yang ditakdirkan menjadi Kakak kandungnya."Kak! Sudah dong! Jangan foto-foto melulu! kan bukan kakak yang bayar, aku malu!""Ya gak apa-apa juga kali, ini kan acara pernikahan kamu, sah-sah aja, kan!""Sah itu kalau kakak yang bayar, terus Ibu sumbang uang belanja yang cukup untuk pernikahanku pada Mamanya Kanaya." "Sombong kamu, Gas! Baru punya mertua gitu aja berani menjelekkan Ibu kamu sendiri.""Sudah lah! Susah memang bicara sama kakak!"Ketika yang lain tengah duduk manis menikmati hidangan, nampak Ibu mertuaku yang juga ikut makan bersama mereka, begitu juga Kak Hana dan suaminya."Makanannya gini-gini aja ya, gak berkelas, katanya orang terpandang, tapi kok begini kasih makanan untuk tamunya." Celetuk Kak Hana pada suaminya."Ssst, nanti kedengeran, kamu ini suka ceplas-ceplos!" bentak suami Kak Hana.Kak Lana yang tak sengaja mendengar perkataan Kak Hana, langsung menghampiri dengan geram, netranya memerah menahan emosi."Maaf, Jeng Hana! Kalau anda tidak puas dengan hidangan dan menu yang kami sediakan, silakan makan saja di restoran pilihan anda!" tegas Kak Lana berdiri di depan Kak Hana memandang wajahnya tanpa takut."Rupanya Kakaknya Kanaya begini ya, sukanya nge-gas!""Masih bagus kami bisa melangsungkan acara di aula hotel, dengan varian menu yang banyak. Padahal adik anda tidak memberi mas kawin yang besar, loh!" marah Kak Lana."Sombong benar, siapa anda berani menghina keluarga saya? Siapa suruh mau sama adik saya Bagas?" ketus Kak Hana membalas."Siapa suruh banyak janji! Bahkan Ibu anda menjanjikan uang pekah 10 juta kenyataannya nol besar, tiga juta pun tidak! Mohon maaf jika anda tersinggung!" kesal Kak Lana menatap fokus netra Kak Hana.Perkataan Kak Lana benar. Pada akhirnya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai uang pekah hasilnya nihil, untungnya orang tuaku sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk dana pernikahanku, bagaimana jadinya jika kami tetap menunggu janji mereka yang kosong, bisa jadi acara pernikahanku tak dapat berjalan.Kak Hana mendelik layaknya pemeran antagonis dalam film usai mendengar ucapan Kak Lana, lalu pergi meninggalkan aula tanpa basa-basi sembari melempar semangkuk empal gentong yang dipegangnya.Anehnya, kedua mertuaku malah ikut pulang bersama Kak Hana dan rombongan pengantar. Dimana perasaan mereka?"Kenapa Ibu dan Bapak malah pulang, Bang? Gak dampingin kamu dulu? Kalau saudara-saudaramu sih gak masalah. Masalahnya ini orang tua kamu, Bang!" keluhku sedih.Betapa malangnya suamiku, ditinggalkan orang tuanya, tidak didampingi menyalami para tamu undangan.Bang Bagas nampak sedih, kecewa, marah, juga malu. Akibat mertuaku tidak nampak mendampingi di pelaminan, maka timbulah desas-desus bahwa pernikahan kami tidak mendapat restu mertua. Saat seharusnya aku berbahagia tanpa memikirkan apa pun, aku tak menyangka, akhirnya akan dipermalukan seperti ini. Bersyukur Mama dan Papa tidak mendendam. Mereka justru memberiku semangat. Aku tak dapat menahan tangisku, sesak sekali rasanya dadaku ini. Acara resepsi telah usai, kami semua tiba di rumah dengan kelelahan kami dan setumpuk penyesalan juga emosi yang terpendam."Sabar ya, Nay! Mama tahu kamu pasti mangkel, malu dan sakit hati. Tuhan pasti akan kasih kamu upah dibalik musibah ini, syaratnya sabar dan ikhlas." Tutur Mama lembut dan menentramkan hati.Aku tumpahkan semua kesedihanku di atas hamparan sajadah, padaNya aku memohon ketenangan. Air mataku berlinang, menangis tanpa henti hingga sepasang netraku sembab."Naya, Sayang. Maafkan Abang ya, kamu menyesal menikah dengan abang?" tanya Bang Bagas memelukku yang masih lengkap dengan kain penutup aurat wanita muslim berwarna putih yang digunakan saat salat itu."Abang ngerti, gak ada yang harus kamu jelaskan, menangislah! Abang siap menerima konsekuensinya." Peluknya mengusap punggungku."Kenapa semua ini terjadi? Saat pernikahan kita yang seharusnya bahagia?" keluhku menumpahkan bulir air mata yang membasahi kais oblongnya."Kamu tahu? Sebenarnya Abang sudah tidak punya muka dihadapan keluarga kamu, Abang merasa sangat bersalah." Lirih Bang Bagas penuh penyesalan."Ini semua bukan salah kamu, Bang! Dan kamu tidak perlu malu dengan keluargaku, kami tidak sepicik itu memandang orang lain." Jawabku menghibur kesedihannya."Jika kamu ingin menebus kesalahanmu, cukup menjadi suami yang baik dan setia, sayangi orang tuaku seperti aku menyayangi mereka. Karena mereka adalah harta yang sangat bernilai bagiku," pesanku penuh harap."Baik, Abang akan berusaha menjadi suami dan menantu yang baik," jawabnya.Bang Bagas, masih memelukku dengan hangat, rasanya nafas ini sedikit lega. Karena, walaupun keluarga suamiku tak dapat diharapkan, setidaknya aku masih memiliki suami yang baik dan perhatian padaku.Bang Bagas lelaki yang baik, aku jatuh hati padanya tidak semata-mata karena wajahnya yang tampan saja, namun karena dia lelaki yang lembut, romantis, mengerti aku, dan selalu mengalah.Lepas puas menangis, aku segera membuatkan kopi untuk suamiku. Kami bersantai dan menonton televisi, sejenak melupakan masalah keluarga kami yang rumit. Tiba-tiba, terbersit olehku perihal kado dan hantaran yang dibawa keluarga Bang Bagas. Iseng-iseng, kubuka hantaran lebih dulu, dan betapa mengejutkannya aku melihat isi dari hantaran tersebut."Loh! Bang? Kok beginian semua? Gimana bisa jadi kayak gini?""Kenapa, Sayang?" tanya suamiku menatap wajahku dan barang hantaran itu.Aku melanjutkan membuka satu per satu hantaran itu, sambil merasa heran, aku tak habis pikir mengapa bisa begini?"Lihat deh, Bang! Hantaran yang keluargamu bawa beda dengan yang kita pilih sebelumnya. Katanya udah fix, kok jadinya begini?" heranku memperlihatkan satu hantaran utama pada suamiku."Abang gak tahu, Nay! Apa mungkin ada yang nuker? Tapi siapa?” jawab suamiku mencoba menenangkanku."Terus kalau gak ada yang nuker, ketuker gitu? Ketuker sama siapa, Bang? Suka aneh-aneh aja kamu. Ini lagi baju tidurnya kok jadi yang tipis banget kayak gini!" marahku melempar piyama tipis menerawang."Abang kan cuma mengira-ngira aja, Abang juga nggak tau jawabannya. Abang telepon Ibu aja, gimana?" tanya Bagaskara mengambil ponselnya di atas nakas.Aku buru-buru mencegahnya, karena tidak mau urusannya menjadi semakin rumit. Bagiku sama saja seperti menyulut api."Gak perlu, Bang! Pelakunya pasti keluarga kamu, siapa lag
"Ibu apa, Bu!" marah Bagaskara.Bu Aini-mertuaku, tertunduk di hadapan putranya, ia seolah enggan mengungkap kebenaran tentang putrinya yang tak lain adalah kakak dari suamiku. Namun, Bapak memberi isyarat pada Ibu untuk mengatakannya dengan jujur. Tanpa menunggu lama, bapak lekas menepuk tangan Ibu yang tengah mengetuk-ngetukkan jarinya tidak karuan. Lantas Bapak menegur, "Ayo! Bilang sama Bagas, Bu! Jangan tutupi terus kesalahan Hana, kalau memang benar dia yang melakukannya, Ibu gak usah takut Hana marah sama Ibu!"Ibu menganggukkan kepalanya walau nampak ragu, sambil menoleh pada Bapak, seolah meminta perlindungan."Itu semua … Hana yang menukarnya. Katanya gak perlu yang mewah kalau sekadar untuk hantaran, tabungan kamu lebih baik dipakai keperluan lain.” Ibu mengatur napasnya usai kalimatnya yang panjang. “Ibu pikir kenapa enggak, itu kan menghemat budget?!" ungkap Ibu gugup sembari memantau setiap sudut ruangan. Mungkin beliau khawatir aku mendengar pengakuannya."Duh Ibu! Kak
"Enggak tahu, Bang! Jangan tahu lah, kalau mereka tahu nanti mereka ikut-ikutan mikirin," jawabku merenung."Berdoa saja lah, semoga rezeki kita lancar, dan bisa terus membantu," jawab Bagaskara menghiburku.Keesokan harinya, saat mentari menghangatkan tubuhku yang tengah berjemur di halaman, Bagaskara berjalan menghampiriku."Yang! Kita ke rumah Ibu yuk! Udah lama kita belum nengok," katanya."Boleh, sekalian aja kita manpir dulu ke toko kue yang di jalan Ir.H Djuanda itu, kita belikan brownies kukus coklat kesukaan Ibu dan Bapak, Bang!" ajakku semangat. "Boleh lah, sudah lama juga kita gak kasih oleh-oleh, ya?" kata Bang Bagas. Aku pun mengangguk, lalu pergi ke kamar untuk bersiap. Rupanya Bang Bagas sudah lebih dulu siap, dengan kemeja flanel berwarna biru dongker, celana joger chinos dan sepatu sport bermerk Niki.Bang Bagas nampak tampan, duduk di kursi rotan menunggu di teras rumah.Kami pun segera berangkat dengan skuter matic asal Italia itu. Bang Bagas melaju dengan kecepat
"Sudahlah Sayang, mulai saat ini kita berkunjung ke rumah Ibu cukup sebulan sekali aja, gak usah setiap seminggu sekali, bisa panas telingaku." Begitu ucap Bagaskara setelah kami meninggalkan rumah mertuaku. Aku langsung mengangguk, tak menutupi rasa panas akibat mulut pedas Kak Hana tadi. "Iya, Bang! Begitu jauh lebih baik! Keluargamu julid banget sama aku, Bang!" sahutku setuju sambil menatap wajah sedih suamiku."Iya. Dan lagi-lagi Abang dibuat malu dengan keluarga sendiri," kata Bang Bagas dengan lesu.“Tapi, mereka begitu karena cemburu padamu, Nay.” Aku menelengkan kepala. “Ngapain cemburu sama aku?" "Iya, karena keluarga kamu orang terpandang, kamu juga berpendidikan, apalah artinya mereka jika dibandingkan dengan kamu, Nay?" sahut Bang Bagas merendahkan diri. Aku mengibas-kibaskan tangan. "Jangan terlalu melebih-lebihkan, Bang! Aku tidak sebaik itu!" jawabku. "Kamu menyesal nikah sama Abang, Nay?"Dahiku kembali merengut mendengar pertanyaannya. “Kenapa sih, itu terus y
"Bang! Kok Ibu sama Bapak gak kelihatan? Mereka kemana? Kamu udah kasih tahu mereka kan, kalau Mama meninggal?" tanyaku. "Sudah Abang kasih tahu, Kok! Malah Bapak bilang agak sore mau kesini katanya." Sahut Bagaskara. Tak lama setelah itu, nampak Bapak di depan teras menyalami saudara-saudaraku. Rupanya Bapak hanya sendirian tidak ditemani Ibu. "Assalamualaikum." Salam Bapak. "Waalaikumussallam," jawab Papa dan Bang Bagas. "Maaf Pak Rendra, saya baru datang." Bapak duduk di samping Papa. "Kenapa sendirian? Bu Aini gak ikut? Saudaranya Bagas?" tanya Papa menoleh pada besannya. "Maaf istri dan anak-anak saya sepertinya gak bisa datang, karena ada keperluan lain." Tutur Bapak merasa tidak enak. "Oh ya sudah, tidak apa-apa Pak Alan, itu hak mereka." Sindir Papa melirikku. "Naya! Buatkan Bapakmu minum!" titah Papa. "Iya, Pa!" sahutku. Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, seraya memanggil Bang Bagas yang sedang menyelesaikan pekerjaannya di laptop. "Bang! Sudah dulu kerjanya
"Mungkin Ibu, biasanya ibu suka bawel kalo Bapak belum pulang, apalagi selarut ini." Sahut Bagaskara sembari menggulung karpet yang berada di ruang tamu.Aku menggelengkan kepala lalu menoleh pada bapak. Kemudian Bapak mengambil benda pipih itu sembari memantau siapa nama yang tertera di layar monitor ponselnya dengan malas, beliau tekan tombol berwarna hijau dengan mode loudspeaker."Ada apa telepon terus! Gak usah telepon!" "Kamu dimana ini! Malah ceramahin aku! Lekas pulang! Sudah malam, Pak!" "Ini di rumah Naya, mau apa memangnya! Aku gak akan pulang, mau bermalam disini temani Bagas!""Bagaskara itu sudah dewasa, Pak! Lelaki yang sudah menikah, kenapa minta ditemani! Macam anak-anak saja!" "Dia enggak minta ditemani, akunya saja yang gak mau pulang, kasihan Kanaya, baru saja kehilangan Ibunya." "Terserah kamu, Pak! Cuma dia mantumu, ya!"Tak banyak bicara lagi, Bapak segera menutup panggilan dari Ibu sebelum ibu selesai dengan kalimatnya, bapak merasa tidak enak karena belia
"Lihat rekening Abang, sudah masuk belum gaji kamu bulan ini? Kita kan mesti kasih uang sekolah adik-adik kamu, Bang!""Oya! Kok Abang bisa lupa? Makasih sudah ingetin Abang, Sayang!""Iya, sama-sama, Bang! Kita mesti gerak cepet sebelum ibu ngomelin kamu. Aku belum bisa gajian, Bang! Kan belum dapat sebulan aku disini." Ungkapku khawatir."Aduh! Gimana ya, belum masuk gajinya, kayaknya pending deh, soalnya kemarin menejer Abang bilang kalau Abang harus cari lagi nasabah dua orang, biar gajinya turun." Keluhnya memperlihatkan bukti saldo di aplikasi bank digitalnya."Tenang, pasti bakal ada jalan, Bang! Aku cek juga saldo punyaku, siapa tahu masih punya tabungan sisa gaji dari SPG kemarin." Kataku menenangkannya.Selepas pulang dari restoran, kami merebahkan diri di atas ranjang, Bagaskara merenung nampak tak tenang."Bang, gak usah cemas, masih ada waktu lima hari lagi. Kita berdoa aja ya.""Gak usah terbebani, kalau gak ada gak apa-apa, kita bilang aja sama ibu. Kamu gak usah ikut-i
"Kamu mana denger, ibu kalau ngomong begituan gak pernah ada kamu, Bang! Nanti juga pasti kamu tahu!" ketusku meyakinkan suamiku."Ya udah, jangan sedih terus. Kamu jangan bosan memaklumi ibu ya, ibu memang begitu, Abang minta maaf!" jawab Bang Bagas."Gak perlu minta maaf, bukan salah kamu!" kesalku membanting pintu kamar mandi."Kamu suka gitu sih Yang kalau aku bilangin. Maafin Abang dong, jangan ngambek lagi ya!" teriaknya di depan pintu kamar mandi yang kututup."Iya, deh iya! Aku juga minta maaf, kalau bawaannya ketus melulu, habis aku kesel! Udah digibahin sama tetangga, ibu juga sama aja, nah kamu malah gak ngerti! Mereka semua gibahin aku belum punya anak melulu!" Kesalku memasang wajah masam keluar dari kamar mandi."Gak usah kamu pikirkan kata-kata mereka dong, Sayang! Mereka tugasnya cuma ngeramein hidup kita aja, gak usah dianggep, ya!" bujuk Bang Bagas."Iya deh!" sahutku singkat.Sebenarnya banyak ketidak cocokkan antara aku dan suamiku, karakterku adalah kebalikannya.
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,