"Enggak tahu, Bang! Jangan tahu lah, kalau mereka tahu nanti mereka ikut-ikutan mikirin," jawabku merenung.
"Berdoa saja lah, semoga rezeki kita lancar, dan bisa terus membantu," jawab Bagaskara menghiburku.Keesokan harinya, saat mentari menghangatkan tubuhku yang tengah berjemur di halaman, Bagaskara berjalan menghampiriku."Yang! Kita ke rumah Ibu yuk! Udah lama kita belum nengok," katanya."Boleh, sekalian aja kita manpir dulu ke toko kue yang di jalan Ir.H Djuanda itu, kita belikan brownies kukus coklat kesukaan Ibu dan Bapak, Bang!" ajakku semangat. "Boleh lah, sudah lama juga kita gak kasih oleh-oleh, ya?" kata Bang Bagas. Aku pun mengangguk, lalu pergi ke kamar untuk bersiap. Rupanya Bang Bagas sudah lebih dulu siap, dengan kemeja flanel berwarna biru dongker, celana joger chinos dan sepatu sport bermerk Niki.Bang Bagas nampak tampan, duduk di kursi rotan menunggu di teras rumah.Kami pun segera berangkat dengan skuter matic asal Italia itu. Bang Bagas melaju dengan kecepatan sedang, sambil menghirup udara sekitaran jalan Ir.H. Djuanda yang menyejukkan ini. Aku berdoa dalam hati, semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpaku hari ini. Setibanya di rumah mertuaku, aku dan suamiku segera meraih punggung tangan kedua mertuaku yang sedang duduk santai di teras rumah sambil berbincang. "Tuh, di dalam ada Kak Hana, temui dulu sana!" titah Ibu mertuaku. "Baik, Bu!" jawabku dan Bang Bagas. Begitu masuk aku melihat Kak Hana di ruang tengah sedang menonton televisi sambil menyetrika pakaian. "Kak, sedang apa? Gimana kabar kakak?" tanya Bang Bagas. "Baik, kamu gimana?" tanya Kak Hana. "Baik juga, Kak! Oya, kue Kak," tawar Bang Bagas menyodorkan kue yang dibawanya. "Kue apa? Ibu dikasih gak?" tanyanya."Dikasihlah!" jawab suamiku."Oh, brownies doang?! Yang begini aku juga suka beli, Gas! Untuk ukuran kamu standarnya agak tinggian dikit dong, beli yang lain kek!" ujar Kak Hana meledek. "Padahal di jalan itu banyak toko kue loh, yang kuenya kayak es krim, ada di jalan itu juga, kok! Sudah terkenal kan? Kamu juga pasti tahu!" ujar Kak Hana mendelik melihat jinjingan berisi brownies itu dengan sudut netranya. Aku menatap wajah Bang Bagas, ketika Kak Hana yang suka ceplas-ceplos itu mengatakan kalimat menyakitkan seperti tadi. Mendengarnya saja sudah tidak enak, apalagi Bang Bagas yang menghadapinya secara langsung.5 bulan berkenalan karena kami ada di satu bidang pekerjaan membuatku belum lama mengenal keluarga suamiku. Namun, di antara yang lain, hanya Bapak yang cukup pengertian. Dengan Bapak, aku tak sungkan berbincang santai, membicarakan bagaimana aku dan Bagas berkenalan, dan lain sebagainya. Obrolan santai kami saat itu terputus saat adik Bang Bagas yang bernama Lya datang dengan muka masam. "Kenapa sih, Pak! Bapak selalu larang aku ketemu sama Diki? Dia kan baik Pak! Hanya masih pengangguran aja, dia juga bakal cari kerja kok!" bentaknya.Bapak mengembuskan napasnya panjang. Lya meminta dinikahkan dengan lelaki pilihannya, akan tetapi Bapak tidak setuju."Bapak cuma sayang aja, kamu kan baru aja lulus SMA masa iya langsung nikah? Makanya kalau masih sekolah jangan terlalu dekat sama laki-laki jadi begini kan akhirnya?" Gadis itu tak mau kalah. Lya terus menyahuti ucapan Bapak dengan intonasi tingginya. "Tapi dia tanggung jawab kok, Bapak gak usah menghakimi aku sama dia terus!" "Lya! Yang sopan sama Bapak! Bicara santai aja gak usah bentak-bentak!" teriak Bang Bagas. Mata Lya memutar, menatap Bang Bagas yang baru saja memperingatkannya. "Yah, ikut campur deh, ngapain sih, Kak! Mending urus istrimu yang sarjana dan sok kaya itu!" jawabnya ketus.Mataku memelotot mendengar kalimat kasar yang ditujukan Lya untukku. Begini rupanya penampakan keluarga ini, nampaknya terbentuk karakter dan pribadinya yang suka ceplas-ceplos, mulut mereka seperti cabai. Tidak Ibu tidak juga anaknya, Bang Bagas dan Bapak hanya pengecualian. Bang Bagas naik pitam. "Jaga mulut kamu! Memangnya selama aku nganggur, siapa yang bayar SPP kamu! Bela-belain kerja jadi SPG kaos kaki, yang sama sekali gak sesuai dengan ijazahnya!" Dadanya turun naik karena emosi yang tinggi. “Istriku yang bayarin sekolah kamu selama ini!”Lya lalu diam, begitu juga Ibu, tidak ikut melerai seperti biasanya. Kak Hana cuek dan hanya melirik sinis.Bapak ikut berdiri, beliau melebarkan bola matanya, dan melirikku sekilas. Ada gurat kemarahan, juga kekecewaan di wajah tua rentanya. "Bu! Kenapa sih, Ibu gak pernah kasih tahu kalau yang bayarin sekolah Lya, Harits dan Arkan itu Bagas dan Kanaya? Kasihan Bu, Bagas selalu dipojokkan oleh adik-adiknya, Lya juga sudah lancang ngatain Kanaya, biar begitu dia juga kakak iparnya. Kamu bisanya diam saja!" Setelah itu, Bapak berlalu dari hadapan Ibu dengan kemarahan. Ibu hanya diam dengan wajah cemberut, seolah merasa disalahkan. "Bang! Ayo pulang! Kita harus tengok temanku yang lahiran," kataku beralasan. "Iya, ayo! Gak usah datang ke sini lagi kalau cuma jadi rebut," ungkap Bang Bagas melirik Ibu juga adik-kakaknya."Lagian, datang ke sini ngapain? Mentang-mentang udah mampu bayar SPP adik, kamu jadi belain istrimu! Lihat Bapak jadi marah sama Ibu!" Bang Bagas tidak meladeninya karena dia tahu akan seperti apa dunia ini, jika Bang Bagas membalasnya. Kak Hana tidak pernah memedulikan perasaan orang lain, akan sakit hati atau tidak mendengar perkataannya. Rasanya dada ini sudah sesak dan ingin menangis, tapi aku tahan. Aku segera ambil tindakan untuk pergi dari rumah ini. "Bu, ini ada sedikit rezeki buat Ibu, maaf belum bisa kasih banyak," tuturku menyodorkan amplop berwarna coklat dan brownies kukus kesukaannya. "Aduh! Nak Naya baik sekali. Terima kasih Ya," sahut Ibu memelukku. ‘Giliran aku kasih amplop aja, bilang aku baik, giliran gak kasih apa-apa, wajahnya ditekuk, kecut seperti asam.’ batinku. "Naya! Tunggu! Jangan dulu pulang! Ini ada telur dan susu, bawa untuk di rumah!" panggil Ibu menyodorkan kantung plastik berisi sekilo telur dan beberapa kaleng susu kental manis. Terdengar suara Kak Hana yang sedang merutuk pada Ibu kemudian. "Ibu gimana sih! Dia aja dikasih telur sama susu, aku gak Ibu kasih, padahal dia cuma mantu! Gak usah dimanjakan terus menantu kayak gitu, Bu!" ketusnya. "Ibu cuma kasih dia telur sama susu untuk persediaan saja, untuk sebulan juga gak bakal sampe, Han!" kata Ibu. Aku semakin tak tahan mendengarnya, aku ingin segera pulang ke rumah. Nampaknya Bagaskara juga mengerti dan faham melihat tatapan mataku yang mengisyaratkan padanya untuk segera pulang. "Ayo kita pulang, Sayang!""Sudahlah Sayang, mulai saat ini kita berkunjung ke rumah Ibu cukup sebulan sekali aja, gak usah setiap seminggu sekali, bisa panas telingaku." Begitu ucap Bagaskara setelah kami meninggalkan rumah mertuaku. Aku langsung mengangguk, tak menutupi rasa panas akibat mulut pedas Kak Hana tadi. "Iya, Bang! Begitu jauh lebih baik! Keluargamu julid banget sama aku, Bang!" sahutku setuju sambil menatap wajah sedih suamiku."Iya. Dan lagi-lagi Abang dibuat malu dengan keluarga sendiri," kata Bang Bagas dengan lesu.“Tapi, mereka begitu karena cemburu padamu, Nay.” Aku menelengkan kepala. “Ngapain cemburu sama aku?" "Iya, karena keluarga kamu orang terpandang, kamu juga berpendidikan, apalah artinya mereka jika dibandingkan dengan kamu, Nay?" sahut Bang Bagas merendahkan diri. Aku mengibas-kibaskan tangan. "Jangan terlalu melebih-lebihkan, Bang! Aku tidak sebaik itu!" jawabku. "Kamu menyesal nikah sama Abang, Nay?"Dahiku kembali merengut mendengar pertanyaannya. “Kenapa sih, itu terus y
"Bang! Kok Ibu sama Bapak gak kelihatan? Mereka kemana? Kamu udah kasih tahu mereka kan, kalau Mama meninggal?" tanyaku. "Sudah Abang kasih tahu, Kok! Malah Bapak bilang agak sore mau kesini katanya." Sahut Bagaskara. Tak lama setelah itu, nampak Bapak di depan teras menyalami saudara-saudaraku. Rupanya Bapak hanya sendirian tidak ditemani Ibu. "Assalamualaikum." Salam Bapak. "Waalaikumussallam," jawab Papa dan Bang Bagas. "Maaf Pak Rendra, saya baru datang." Bapak duduk di samping Papa. "Kenapa sendirian? Bu Aini gak ikut? Saudaranya Bagas?" tanya Papa menoleh pada besannya. "Maaf istri dan anak-anak saya sepertinya gak bisa datang, karena ada keperluan lain." Tutur Bapak merasa tidak enak. "Oh ya sudah, tidak apa-apa Pak Alan, itu hak mereka." Sindir Papa melirikku. "Naya! Buatkan Bapakmu minum!" titah Papa. "Iya, Pa!" sahutku. Aku melangkahkan kakiku menuju dapur, seraya memanggil Bang Bagas yang sedang menyelesaikan pekerjaannya di laptop. "Bang! Sudah dulu kerjanya
"Mungkin Ibu, biasanya ibu suka bawel kalo Bapak belum pulang, apalagi selarut ini." Sahut Bagaskara sembari menggulung karpet yang berada di ruang tamu.Aku menggelengkan kepala lalu menoleh pada bapak. Kemudian Bapak mengambil benda pipih itu sembari memantau siapa nama yang tertera di layar monitor ponselnya dengan malas, beliau tekan tombol berwarna hijau dengan mode loudspeaker."Ada apa telepon terus! Gak usah telepon!" "Kamu dimana ini! Malah ceramahin aku! Lekas pulang! Sudah malam, Pak!" "Ini di rumah Naya, mau apa memangnya! Aku gak akan pulang, mau bermalam disini temani Bagas!""Bagaskara itu sudah dewasa, Pak! Lelaki yang sudah menikah, kenapa minta ditemani! Macam anak-anak saja!" "Dia enggak minta ditemani, akunya saja yang gak mau pulang, kasihan Kanaya, baru saja kehilangan Ibunya." "Terserah kamu, Pak! Cuma dia mantumu, ya!"Tak banyak bicara lagi, Bapak segera menutup panggilan dari Ibu sebelum ibu selesai dengan kalimatnya, bapak merasa tidak enak karena belia
"Lihat rekening Abang, sudah masuk belum gaji kamu bulan ini? Kita kan mesti kasih uang sekolah adik-adik kamu, Bang!""Oya! Kok Abang bisa lupa? Makasih sudah ingetin Abang, Sayang!""Iya, sama-sama, Bang! Kita mesti gerak cepet sebelum ibu ngomelin kamu. Aku belum bisa gajian, Bang! Kan belum dapat sebulan aku disini." Ungkapku khawatir."Aduh! Gimana ya, belum masuk gajinya, kayaknya pending deh, soalnya kemarin menejer Abang bilang kalau Abang harus cari lagi nasabah dua orang, biar gajinya turun." Keluhnya memperlihatkan bukti saldo di aplikasi bank digitalnya."Tenang, pasti bakal ada jalan, Bang! Aku cek juga saldo punyaku, siapa tahu masih punya tabungan sisa gaji dari SPG kemarin." Kataku menenangkannya.Selepas pulang dari restoran, kami merebahkan diri di atas ranjang, Bagaskara merenung nampak tak tenang."Bang, gak usah cemas, masih ada waktu lima hari lagi. Kita berdoa aja ya.""Gak usah terbebani, kalau gak ada gak apa-apa, kita bilang aja sama ibu. Kamu gak usah ikut-i
"Kamu mana denger, ibu kalau ngomong begituan gak pernah ada kamu, Bang! Nanti juga pasti kamu tahu!" ketusku meyakinkan suamiku."Ya udah, jangan sedih terus. Kamu jangan bosan memaklumi ibu ya, ibu memang begitu, Abang minta maaf!" jawab Bang Bagas."Gak perlu minta maaf, bukan salah kamu!" kesalku membanting pintu kamar mandi."Kamu suka gitu sih Yang kalau aku bilangin. Maafin Abang dong, jangan ngambek lagi ya!" teriaknya di depan pintu kamar mandi yang kututup."Iya, deh iya! Aku juga minta maaf, kalau bawaannya ketus melulu, habis aku kesel! Udah digibahin sama tetangga, ibu juga sama aja, nah kamu malah gak ngerti! Mereka semua gibahin aku belum punya anak melulu!" Kesalku memasang wajah masam keluar dari kamar mandi."Gak usah kamu pikirkan kata-kata mereka dong, Sayang! Mereka tugasnya cuma ngeramein hidup kita aja, gak usah dianggep, ya!" bujuk Bang Bagas."Iya deh!" sahutku singkat.Sebenarnya banyak ketidak cocokkan antara aku dan suamiku, karakterku adalah kebalikannya.
"Gak ada yang kasih tahu kami pakai seragaman. Justru Bagas mau tanya sama Kakak, kenapa seolah kalian sengaja bikin kami malu, sudah gak aneh kalian begini sama Bagas!" Bang Bagas berbicara dengan nada tinggi. Kak Hana mendengus kesal tanpa menghiraukan suamiku, lalu pergi meninggalkan kami membawa saudara Bagaskara lainnya untuk mengikutinya. Kemudian Bang Bagas menghampiri Bapak yang kebetulan sedang berada di ruang tengah, tempat kami berkumpul. "Pak! Kok ibu gak bilang kalau bajunya seragaman? Apa kalian sengaja gak kasih tahu Bagas?" tanya suamiku. "Masa sih, Gas?" tanya Bapak heran, seolah tak percaya. "Kalau Bagas memang nerima atau dikasih informasi jauh-jauh hari, untuk apa Bagas tanya Bapak?" bantah Bang Bagas. "Setahu Bapak, Ibu dan Hana belanja keperluan tunangan Lya minggu lalu. Bapak kira kamu sudah aman!" sahut Bapak. "Aman apanya, Pak! Malahan Ibu kasih tahu Lya tunangan juga, baru malem tadi! Kesannya kayak ngedadak!" keluh Bagaskara melirikku. "Ada-ada aja
"Sudah, sayang! Daripada kamu ngerasa gak enak kita mendingan pulang aja ya!" bujuk suamiku mengusap pipiku."Gas! Mau kemana? Kok buru-buru aja, belum makan udah pulang!" panggil Harits-adik bungsunya tersenyum menyeringai."Yang sopan sama kakakmu, Har! Dia 15 tahun lebih tua dari kamu! Kok kayaknya gak enak sekali dengar kamu panggil dia dengan namanya langsung!" tegurku dalam keheningan saat itu.Semua pasang mata tertuju padaku. Mereka terkejut karena aku tidak pernah banyak bicara selama ini, akan tetapi apa yang baru saja kukatakan membuat mereka heran.Hey! Miss Kanaya, kamu bukannya gak pernah komplen ya, sekalinya bicara kok marah?" sindir Kak Hana membela Harits."Memangnya kenapa kalau dia komplen, Kak?! Dia membela suaminya, adikku ini memang gak pernah belajar etika." Marah Bang Bagas."Harits adiknya Bagas, kamu gak berhak menegur dia, Jeng Naya yang baik dan pintar!" sinis Kak Hana membela adik bungsu Bagaskara lagi."Dia istriku tentu dia berhak, dia juga ikut andil b
"Bukan masalah boleh gak boleh, sayang! Hubungan darah itu gak bisa diingkari, menurut Abang, untuk sementara ini kita gak usah menemui mereka kalau bukan karena sesuatu darurat. Bukan ingin memutus persaudaraan, tapi karena ingin menjaga hati dari rasa sakit yang timbul karena mereka." "Iya, Bang! Aku ngerti." Tiba-tiba Bagaskara terdiam, ia mengingat masa lalu kelamnya, ia merenung menatap langit-langit kamar. "Yang! Dulu, Bapak kesel sama Harits dan Arkan sampai hampir menampar mereka, tapi Abang cegah." "Kenapa Abang cegah? Bukannya itu malah bikin mereka jadi gak sadar kesalahan mereka?!" "Itu karena Abang gak mau mereka ngalamin apa yang Abang alamin. Kasihan, Abang juga ngerasain gimana rasanya disiksa Bapak sendiri. "Tapi mereka gak tahu diri banget, Bang! Abang sudah urus mereka tapi mereka kurang ajar sama Abang!" "Yaah, begitulah mereka, kamu jangan heran." Adik-adiknya itu sama sekali tak tahu diri, disayangi malah mencibir. Mereka bilang kalau Bagas itu Kakak yang
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,