Pagi yang begitu sempurna untuk mengawali hari. Namun tidak untuk Retha dan Jasmine. Masing-masing mereka di repotkan pada yang berkaitan dengan anak. Dimana Retha harus repot dengan perubahan hormon yang terjadi di dirinya. Siapa yang menduga jika tri semester pertamanya, selalu berakhir harus di rawat di rumah sakit, setiap wanita itu memuntahkan seluruh isi perutnya.Sementara Jasmine, di repotkan pada dua bocah, yang entah kenapa suka bertingkah dengan polah yang tak biasa. Semenjak Retha hamil. kedua bocah ini lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, bahkan lebih banyak menginap di rumah ini ketimbang pulang ke rumah Daddy-nya yang besar dan nyaman.Seperti pagi ini, Kedua bocah itu menahan tubuhnya, dan memintanya tidur kembali ketimbang bangun, mandi dan berangkat ke sekolah seperti biasanya. Padahal setiap malam, setelah Jasmine menidurkan mereka berdua di kamar mereka. Wanita itu selalu kembali ke kamarnya sendiri untuk melanjutkan tugas skripsinya kembali.Namun, entah ba
Justin hanya bisa tersenyum miring seraya menatap kecewa ketika di tinggal begitu saja oleh Jasmine. Namun hanya bisa pasrah, dan beranjak pergi dari sana. Kembali ke kantor dalam mood yang amburadul. Penolakan demi penolakan selalu saja terjadi setiap ada kesempatan untuk lebih dekat pada istrinya itu."Apa sesulit itu untuk mendekati istri sendiri?" keluhnya resah.Sementara Jasmine masih menepuk pelan dadanya yang masih berdebar karena kejadian tadi. Ia tak ingin larut dalam hal-hal semu. Ia cukup tau diri. Apalagi Justin adalah Iparnya. Biarpun sudah duda. Yah, tetap saja ia harus menjaga jarak dan hati. Karena ia sudah tak memiliki kepercayaan diri lagi pasca kejadian di malam itu."Apakah masih ada pria yang mau menerima dirinya yang sekarang ini?" pikirnya.Pikirannya terhenti saat seorang dosen memanggilnya. Jasmine masuk ke ruangan dosen pembimbingnya, dan melakukan diskusi di sana.Tak banyak yang di kritik apalagi di coret oleh dosping tersebut. Jasmine merasa lega. Itu art
Jasmine memekik pelan saat ada seseorang yang menariknya masuk ke dalam lift, dan itu adalah Justin. Ia berdecak sebal."Iss, pak. Jangan beginilah," protesnya.Akan tetapi, Justin tak perduli. Satu jarinya menekan tombol, sedangkan satu tangan kirinya menggenggam tangan Jasmine. Sementara Jasmine yang merasa risih ingin melepaskan tangannya dari genggaman itu.Namun di tahan oleh Justin seraya berkata,"Nanti, kalau udah sampai atas. Kalau saya lepasin sekarang, ntar kamu pingsan lagi, kayak yang udah-udah. Kamu pikir enak gendong-gendongin kamu. Berat tau,".Seketika itu juga pemilik netra hitam itu melebarkan kelopak matanya mendengar ucapan Justin barusan. Jasmine menunduk seraya mengigit bibir bawahnya. Pipinya bersemu merah menahan malu."Aku di gendong pak Justin. Duh, bikin malu aja lah," desahnya di hati.Justin menarik tangan Jasmine keluar dari lift, dan membawanya masuk ke ruangan pribadinya. Lalu mengambil sebuah kotak makanan, dan meletakkannya di atas setumpuk map di a
Candaan dan cibiran terlontar dari mulut kedua pria yang menjadi sahabatnya Justin itu. Terkadang mereka tertawa lepas dan bebas tanpa merasa segan pada sahabat yang menjadi atasan mereka. Cukup lama mereka mengobral obrolan yang ujung-ujungnya mengarah ke Justin seorang.Yang akhirnya membuat Jasmine terjaga. Suara gelak tawa yang terdengar samar di telinganya membuat Jasmine segera bangun dari ranjang yang di tidurinya. Ia merasa terkejut saat mendapati dirinya ada di kamar pribadinya Justin."Mati aku, kok bisa tidur di sini, sih," rutuknya sembari mengingat-ingat bagaimana ia bisa berakhir di sini."Apa pak Justin yang gendong aku lagi ke sini,". pikirannya pun menerka-nerka.Jasmine segera membereskan ranjang agar tidak ketahuan jika dirinya telah lancang tidur di kamar ini. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan keadaan di luar. Hening. itu yang ia rasakan."Apakah mereka sudah pergi?"gumamnya sambil mengintip. Ia membuka lebar pintu kamar itu dan benar saja, suara riuh yang ta
"Bunda, Ayok masuk. Kok berdiri di situ aja, sih," ajak Keyra.Jasmine memberanikan diri masuk ke ruangan pribadi iparnya itu. Pikirannya mulai di rasuki rasa heran saat teringat aktivitas yang ia habiskan tadi siang di kantornya Justin."Kenapa lah dari kemaren, aku-nya masuk ke kamar pribadinya pak Justin aja, ya?".Ia melangkah pelan sambil menelisik ruangan yang terlihat Wah di matanya. "ini kamar apa istana raja, sih. Kenapa bisa sebesar dan semewah ini, ya,". Perempuan itu tak henti- hentinya berdecak kagum.Lalu matanya kembali memperhatikan bocah cilik yang masih mencari-cari peralatan sekolahnya, dan bertanya, "udah ketemu, Key?""Belum ketemu,Bunda. Bunda bantuin dong," rengek Keyra."Iya, bunda bantuin. Tapi coba di ingat-ingat dulu, Keyra letakinnya di mana. Mungkin pun ada yang mindahin, ga?" ujar Jasmine.Bocah kecil itu tampak berfikir sambil memegang pipinya dengan jemari telunjuk mungilnya. Melihat tingkah bocil sok bergaya dewasa itu. Membuat ia terkekeh kecil semba
Dering ponsel Justin berbunyi. Ia langsung menerima panggilan tersebut yang berasal dari mertuanya. Sapaan salam yang ramah terdengar ramah dari seberang telpon. Justin membalasnya."Iya, Bun, ada apa?"tanyanya kemudian.Lalu Ia mendengar dengan seksama penjelasan dari mertuanya mengenai Keyra, putrinya. Yang katanya peralatan sekolahnya tertinggal di rumah. Sampai akhirnya mertuanya menanyakan perihal tentang password kamarnya, yang telah baru saja ia rubah, menjadi tanggal pernikahannya dengan Jasmine. Justin tersenyum kecil saat tau jika yang menemani Keyra adalah Jasmine sendiri. Ia pun bergegas pulang demi melihat istrinya yang ada di rumah.Walaupun ia tau keberadaan Jasmine di sana hanya sebentar. Melihat pintu rumah terbuka. Pria itu segera menyusul mereka yang ada di lantai dua. Ia tersenyum melihat Keyra yang berjalan keluar dari kamar dengan girang sambil memegang peralatan sekolahnya.Netranya berbinar ketika melihat Daddynya yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Gadis ke
Satu bulan terlewati dengan banyak cerita yang Jasmine hadapi. Baik di kampus atau pun di kantor ini. Dari menghadapi soal tugas kantor atau tentang Ipar sekaligus bossnya. Hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini, setelah ia berhasil mengumpulkan datanya sendiri untuk skripsi nya.Jasmine merasa senang dikarenakan tak akan lagi menghadapi segala macam urusan perkantoran yang membuatnya pusing kepala.Hari ini adalah penentuan dirinya gagal atau tidaknya menjadi seorang sarjana. Pagi ini, Jason sendiri yang mengantarkan Jasmine ke kampus untuk sidang. Meskipun tadinya ia mendapat penolakan oleh putrinya. Namun dikarenakan keinginannya yang kuat untuk memberikan semangat untuk putrinya itu. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan itu.Setelah berpamitan pada Bunda Astrid. Ayah dan anak itu berangkat pagi-pagi sekali demi mencegah kemacetan lalu lintas."Semangat, ya. Moga lancar sidangnya," ucap Jason."Makasih,Pa. Aku turun dulu,". Jasmine turun setelah mencium tangan orang tua itu.
Tak ada hal yang lebih membahagiakan yang dirasakan oleh Jasmine, ketika ia sudah berhasil mewujudkan keinginan mamanya, yaitu menjadikan dirinya seorang sarjana. Walaupun Almarhumah tak sempat melihat dirinya di wisuda."Ma, hari ini. Jasmine di wisuda. Mama pasti senang, kan?" gumamnya di depan kaca setelah ia selesai memasangkan atributnya.Jason dan Astrid tersenyum saat melihat wanita itu keluar dari kamar. kedua orang tua itu menatap haru sekaligus bangga pada wanita yang terlalu banyak mengalami cobaan itu."Cantik," gumam Astrid saat melihat Jasmine selesai di dandani oleh Mua yang sengaja di datangkan untuknya hari ini."Terima kasih, Bunda. Hari ini Bunda juga cantik," balas Jasmine dengan senyumnya yang manis."Makasih, sayang," balasnya kembali.Sedangkan Jason hanya bisa termangu menatap kagum pada dua wanita yang memberikan semangat hidup di usianya yang tak lagi muda. Setelah kehilangan dua putrinya. Alasan Jason untuk bertahan hidup adalah istrinya, lalu hadirlah Jasmi
Sebuah maskapai mendarat dengan selamat di kota Jakarta. Baik Justin dan Jason segera turun dan menyegerakan diri kembali ke rumah. Mereka membayangkan jika Jasmine sudah berada di kediamannya Ardiansyah saat ini.Namun kenyataannya, jauh seperti yang mereka bayangkan. Ternyata, Jasmine tak pernah kembali. Jasmine tak pernah muncul di hadapan mereka."Serius, Ma?"tanya Justin saat melihat Mama dan Papanya yang masih berada di Bandara."Mm, Iya. Udah tiga jam Mama nunggu di sini, tapi istri kamu ga nongol-nongol juga. Mama pikir Jasmine pulangnya sama kamu," sahut Mona rada kesal.Justin terdiam seraya memikirkan keberadaan Jasmine yang sebenarnya. Lalu seketika ia teringat akan apartemen rahasia milik Midea."Apakah dia ke situ?"pikirnya. Lalu ia mendekati Arfan dan meminta kunci mobil dari pria itu"Pa, pinjem mobil,". Arfan tanpa bertanya apapun, langsung saja memberikan kunci tersebut ke putranya itu.Justin menerimanya dan berniat segera pergi dari situ. Namun di cegah Mona yang b
Matahari menyeruak masuk melalui celah gorden jendela kamar hotel. Cahaya hangat itu menerpa wajah manis dari seorang wanita yang di panggil Jasmine. Pemilik netra hitam pekat itu membuka matanya secara perlahan demi mendapatkan rasa nyaman, saat cahaya itu langsung menerobos mengenai pupil netranya.Netranya menelisik ke segala ruangan, dan tersadar jika Justin telah membawanya ke sini. Apalagi sebuah tangan kekar melingkari perutnya. Ia menyadari jika Justin tengah memeluknya dari belakang. Ia membiarkan sejenak pelukan itu, sebelum rasa amarah membuatnya meradang kembali. Wanita itu memutuskan untuk meninggalkan Justin, lantaran rasa benci menyelimuti hatinya. Jasmine yang kini mengingat dirinya nya juga sebagai Midea. Ingatannya perlahan kembali. Ia mengingat semua hal yang berkaitan dengan Justin.Dadanya terasa sesak. Mengingat rasa sakit yang diberikan oleh suaminya itu. Jalan satu- satunya adalah pergi. Ia muak melihat wajah pria itu. Berbekal pakaian yang telah di siap kan
"Jasmine," pekiknya saat melihat kondisi istri nya yang begitu memprihatinkan. Betapa murkanya ia, saat melihat tubuh Jasmine hanya di tutupi oleh sehelai selimut saja. Ia menetap pria yang tak lain adalah koleganya sendiri."Mr, Aqio," desisnya geram. Ia mengepal tangannya dan mulai meninju wajah pria itu."Brengsek!" makinya."Kau, Sialan! Berani-beraninya kau merusak kesenanganku dan menyerangku!" hardik pria yang hampir seusia Jason.Keduanya saling beradu ketangkasan fisik. Baik Justin dan Mr. Aqio tak mau mengalah, dan merasa benar atas apa yang mereka lakukan. Mempertahankan yang menjadi miliknya.Justin yang masih memiliki stamina bagus berhasil mendorong dan mengunci pria itu di sudut dinding kamar."She is Mine! That is my wife! Kenapa kau menculiknya, Mister!"teriak Justin di depan wajah Aqio.Aqio tersenyum miring lalu tertawa remeh, dan berkata ketus," Dia milikku, jauh sebelum kamu, Justin!""Kau yang merenggutnya dariku, brengsek!" umpat Aqio, lalu dengan amarah yang me
Di keheningan malam, Justin terus melajukan mobilnya sembari menatap layar ponselnya, demi memperhatikan posisi mobil yang sedang dibawa Jasmine.Alisnya bertaut memperhatikan mobil yang dibawa Jasmine, tak bergerak sama sekali. Untungnya Jaraknya semakin dekat dengan dengannya. Justin menepikan mobilnya saat melihat Alan, sang asisten, yang tengah memeriksa kondisi mobil sang istri. Segera ia keluar untuk mencari tau mengenai apa yang terjadi."Alan, mana istri saya?"tanyanya saat tak melihat sosok istrinya."Sepertinya ibu di culik, pak," sahut Alan seraya menunjukkan hasil pencariannya melalui daschcam yang terdapat di mobilnya Jasmine.Seketika itu juga ia terhenyak kaget, dan berteriak panik, "Apa!"Tanpa menunggu, ia pun segera mengambil tindakan,"Kerahkan anak buah kamu, Alan!"."Baik, pak," sahut pria itu mantap.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi seraya memberitahukan pada Arfan tentang keadaan Jasmine yang sebenarnya."Bagaimana bisa, Justin?" tanya Arfan dari seber
Seminggu Sebelumnya...Seorang pria tengah memperhatikan wajah seseorang yang selama ini dicarinya. Ia tersenyum samar saat mengetahui jika wanita yang ia cari-cari selama ini ada di hadapannya."Mm, jadi kamu ada di sini sekarang," gumam pria itu seraya menatap ke arah wanita yang berada di koridor kantor salah satu koleganya."Dia sedang bermain peran wanita Sholehah ternyata. Baiklah, Sayang. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Aku membiarkanmu. Silahkan nikmati kebebasanmu untuk sekarang, tapi setelah itu, ku pastikan kau kembali kepadaku untuk selamanya," ucap pria itu pelan. Lalu menyesap rokoknya kembali.Ia membiarkan wanitanya pergi. Namun ia tak lupa menyuruh orang-orangnya agar terus memperhatikan dan mengikuti kemana wanita itu pergi.Hingga akhirnya, Ia berhasil mengikuti kemana wanitanya melajukan mobilnya di kegelapan malam. Ia memang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil miliknya yang kabur karena ulah agency yang di percayainya selama ini.Dengan cekatan anak buahnya
Sakit hati, itu yang dirasakan oleh wanita yang kini mulai mengingat dirinya sebagai Midea. Meskipun tak semua memorinya kembali. Namun serpihan memori akan kekerasan dan kekejaman dari seorang Justin mulai tampak jelas di benaknya.Ia memperhatikan kamar yang berantakan karena ulahnya, tapi ia tak perduli. Jika bisa ia hancurkan dengan menggunakan bom, pasti akan ia lakukan sekarang juga.Namun nyatanya, Ia hanya bisa duduk meringkuk di sudut ranjang. Memperhatikan kamar yang seperti habis perang. Memang pun ia sedang berperang. Perang perasaan. Perasaan yang tak mampu ia ungkapkan lewat kata. Ia hanya bisa melampiaskan dengan barang.Ia tertawa dalam kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Lelah sudah pasti. Dadanya sakit. Nafasnya terasa Bahkan tangisnya tak lagi bersuara. Matanya terasa berat. Lalu tertidur dengan tubuh meringkuk di sudut ranjang."Apakah ia benar-benar tertidur?". Tentu saja tidak. Jasmine tak benar-benar terlelap dalam pejaman matanya. Pikirannya masih bermain den
"I-iya, Sebenarnya di malam itu Aku lah yang telah...," Justin tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Berat rasanya mengakui dosanya yang satu ini.Karena dirinya lah Jasmine, Midea menderita, tapi karena keegoisannya saat itu membuat ia tak merasa bahwa dirinyalah iblis yang sebenarnya.Ia menatap Jasmine yang berusaha tenang dan tegar, meskipun didalamnya hancur dan remuk. Ia kembali menundukkan pandangannya. Merasa malu dan bersalah pastinya."Iya, kamu pria itu?benar, kan?" tanya Jasmine memastikan.Justin mengangguk pelan. Tak mampu berucap. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata jujur. Keduanya saling diam. Jasmine menatap Justin dengan tatapan yang menahan amarah. Ia tak tau harus bagaimana meluapkannya."Aku minta maaf, Jasmine. Aku pernah cari kamu. Tapi ga pernah ketemu," ucap pria itu tiba-tiba."Aku menyesalinya. Setiap hari aku berdoa dan berusaha agar kita dipertemukan kembali," ungkap pria itu jujur.Sedangkan Jasmine terdiam menatap Justin dengan ujung matanya. Ia belum
Kepalanya kini begitu sesak di penuhi dengan segala pertanyaan yang berhubungan dengan malam itu. "Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Bagaimana bisa? Apa kaitannya Justin dengan ini?".Dadanya bergemuruh saat pikirannya mulai berspekulasi pada apa yang di bayangkannya.Suara dengungan terdengar keras di telinga hingga memenuhi ruang kepalanya. Sakit. Itu yang dirasakannya sekarang. Dengungan itu melengking kuat di telinganya bersamaan petir dan guruh yang datang menyambar apa yang di suka.Kepalanya mulai berdenyut nyeri. Satu persatu memori yang tersembunyi muncul di permukaan secara acak. Berputar. Ia berteriak saat tak kuasa menahan hantaman hebat di otaknya. Namun sayangnya, teriakan itu tak cukup terdengar di telinga orang-orang yang berada di rumah itu.Hanya Jasmine seorang. Ia berusaha kuat menahan sakit di kepalanya dengan memeluk kepalanya sendiri."Aaaaaaaaakh,". Kali ini teriakannya lebih kuat melebihi dari yang sebelumnya. Sehingga cukup terdengar di telinga seseorang
Hujan semakin deras seiring petir yang akan menyambar apa saja yang lewat. Mungkin sebagian orang merasa panik dan takut pada cuaca yang tiba-tiba ekstrim tersebut.Namun tidak bagi wanita itu. yang berada di ruangan yang sebagian dindingnya di pasang kedap suara. Sesekali netranya mengarah ke jendela dan mengetahui jika hujan dan petir telah datang bersamaan. Akan tetapi, ia tak perduli. Pikirannya hanya berfokus pada tulisan tangannya Midea. Entah kenapa, Ia merasa seolah-olah dirinya lah yang menulis semua keluh kesah itu.Jasmine termangu pada kalimat terakhir.*Midea adalah sebuah nama yang entah milik siapa di sandangkan pada ku. Yang semenjak aku menyandangnya seluruh hidupku merasa hampa lalu menderita. Benarkah nama ku Midea?? Dan benarkah aku seorang Midea Hasxander?*."karena di saat aku merenung sendiri. Aku merasa aku bukan lah aku"Serr...darah Jasmine berdesir kuat, saat membaca kalimat akhir dari tulisan tangan seorang Midea Hasxander, mantan istrinya Justin."Aku mer