Rama kembali memberinya usapan di kepala, betul-betul sama seperti usapan tangan Bapak. Hangat dan menenangkan. Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa. Belaian tangannya yang terasa kasar membuat Nayna memejamkan mata dengan tenang. Itu lebih baik ketimbang kata-kata penghiburan yang akan membuat Nayna tersenyum miris, sebab perempuan yang sejak tadi ia bicarakan adalah istri yang sangat Rama cintai.“Kita ke klinik aja kalau begitu.” Bisikan itu membuai telinga Nayna, sarat akan kekhawatiran dan kepedulian yang tulus.Nayna mengangguk, keningnya berkerut ketika ia merasa belum ingin menjauh dari dada Rama. Rasanya begitu nyaman, kendati ia tahu bahwa ini tidaklah benar.Rama juga tidak menyuruhnya mengangkat kepala. Momen itu berlangsung cukup lama sampai Nayna akhirnya menarik napas dan menjauhkan kepalanya dari dada Rama.“Ayo kita pergi.” Ditatapnya Rama sendu, lalu dia temukan kilat yang berbeda dari mata pria itu, kilat yang sama saat Rama menatap Lisa.Lelaki itu kembali memeluk
Nayna menelusup masuk ke kamar Rama dan Lisa selagi mereka belum pulang. Ia tak perlu mencari obat-obat itu, karena sudah terletak begitu saja di atas nakas.Ia tak membuang waktu untuk sekedar mengulum senyum puas. Segera Nayna ganti obat-obat Lisa yang masih belum termakan satu butir pun dengan obat yang sudah dia siapkan.Nayna merapikan bungkusan obat itu kembali lalu keluar dari kamar. Memastikan Bibik tidak akan melihatnya dan sang pemilik kamar belum pulang. Bagus. Ia tinggal menunggu efek dari obat itu.***Lisa pulang lebih dulu daripada Rama. Ia langsung masuk kamar, tak ingin memperburuk mood-nya jika sampai dia berpapasan dengan Nayna.Tasnya ia lemparkan ke ranjang. Hari ini ia ditemani oleh Bagus sampai malam, cukup untuk membuat bahunya ringan kembali. Secara tak sengaja matanya menyapu kantong obat yang tadi dibeli Rama.Lisa menghela napas panjang. Ia ambil kantong itu dan ia buang ke tempat sampah di samping pintu kamar mandi. Dia tak perlu minum obat. Tak ada yang
Nayna berhenti mengunyah. Rama sudah menyendok nasi goreng yang baru datang itu lalu mengulurkannya ke depan mulut Nayna. Ia terdiam ragu, bolak-balik memandangi sendok dan juga Rama.Banyak alasan yang bisa Nayna gunakan untuk menolak, salah satunya ia ingin memakan nasi goreng itu setelah bakso dan mie ayamnya habis, atau dia sudah kenyang dan nasi goreng sosis yang masih mengepul itu biar Rama saja yang makan.Namun, ia malah membuka mulut dan membiarkan Rama menyuapinya. Kendati kelezatan nasi goreng itu meleleh di mulutnya, ia tidak bisa memungkiri kalau perhatian Rama adalah yang terpenting saat ini.Tidak. Misinya bukan itu. Ia melakukan semua ini untuk membalas dendam, bukan yang lain. Tujuannya tidak boleh melenceng. Ini hanya sekadar godaan. “Mau lagi?” Nayna mengangguk pilon, mendadak ia tidak bisa mengontrol pergerakan tubuhnya. Suapan kedua itu meluncur diikuti dengan pandangan intens Rama yang bisa Nayna sadari.“Kamu lapar banget ya?” Lelaki itu tertawa ringan, terlih
Rama membuka pintu kamar. Lampu utama sudah dimatikan dan pencahayaan menjadi remang-remang. Ia menemukan Lisa sudah tertidur di atas ranjang. Ia melirik kantung martabaknya, adahal ia ingin memberikannya kepada Lisa.Karena mengingatkan Ayna untuk meminum obat, Rama juga mengingat obat yang sudah dia belikan untuk Lisa. Apa Lisa sudah meminumnya?Namun, obat yang dia letakkan di atas nakas tidak ada. Rama membuka satu per satu laci nakas untuk mencari obat itu, tapi tidak ada. Di mana Lisa menyimpannya?Ia juga mencari di lemari pakaian, lalu matanya tertuju pada tempat sampah. Kantung putih itu teronggok di sana. Dengan cepat Rama mengambilnya. Memeriksa isinya dan mengerutkan kening ketika semua jenis obat itu masih utuh. Tak ada satu pun yang berkurang, bungkusnya pun belum dibuka.Kenapa Lisa sampai membuang obat-obatnya?Rama naik ke kasur, menyentuh bahu Lisa dengan lembut dan membangunkan wanita itu. “Lisa? Bangun, Sayang.” Rama terus menepuk-nepuk pundak wanita itu sampai akh
Saat Bik Sumi masuk ke dapur untuk membuat sarapan, ia terkejut hebat ketika mendapati kondisi dapur yang berantakan seolah habis diserang orang utan.Isi kulkas terhambur dan rusak begitu pun dengan badan kulkas yang penyok di beberapa bagian. Bik Sumi tak mampu menutup mulut saking kagetnya. Jangan-jangan ada maling semalam?Dengan cepat ia keluar dapur lalu mengetuk pintu kamar sang majikan. Untunglah Rama yang membukakan pintu jadi dia tidak perlu disemprot oleh Lisa.“Iya, Bik. Kenapa?” Seperti biasa, nada suara Rama selalu sopan dan lembut saat berbicara dengannya.“Anu … itu di dapur.” Mata Bibik berlarian ragu.“Di dapur kenapa?”“Kayaknya semalam ada maling, Pak. Dapur berantakan banget. Isi kulkas berceceran semua.”Alis Rama bertautan. “Maling?”“Iya, coba Bapak lihat. Dapur seperti kena badai.”Rama mengikuti Bik Sumi untuk melihat kondisi dapur dan benar saja. Situasi ruangan itu sama seperti yang Biik gambarkan.“Sejak kapan begini?”“Bibik baru lihat barusan pas masuk b
“Lisa, bisa bicara sebentar?” Lisa baru saja melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi ketika Rama datang dengan wajah seriusnya. Ia mengerutkan kening seraya menghentikan gerakannya mengeringkan rambut dengan handuk. Lelaki itu mendekat dan mengangkat seuntai gelang yang selalu dia pakai setiap saat. “Ini punya kamu, 'kan?” Lisa segera mengambil gelang itu dari tangan Rama. “Loh, kok bisa sama kamu?” Rama juga merasa heran, mengapa gelang ini bisa ada di bawah kulkas? “Semalam kamu ke dapur? Kamu nggak melihat hal yang aneh-aneh? Ada maling yang masuk?” Kening Lisa berkerut bingung mencerna semua pertanyaan Rama. “Aku ke dapur buat ngambil minum. Memangnya kenapa, sih?” “Jam berapa?” Lisa mengangkat bahu tidak peduli. “Mana aku tahu, aku cuma bangun dan ngambil minum.” “Kamu nggak menemukan sesuatu yang aneh?” “Aneh apa, sih?” “Dapur berantakan pagi ini, seperti habis diamuk. Aku pikir rumah kita kemasukan maling.” Lisa mendongak untuk mengingat-ingat apa saja yang dia lak
Suasana di meja makan mendadak dipenuhi dengan keheningan. Saat perhatian Rama tertuju padanya, Lisa melirik Nayna dan wanita itu memberinya seringai yang sama seperti semalam. Lisa melotot. Nayna pasti berbohong! Itu sudah jelas. Nayna ingin membuat Lisa menjadi pihak yang paling disalahkan. “Kamu bilang kamu menghajar Ayna. Kamu hajar di bagian mana?” Ah, Rama benar. Bukti fisik tidak bisa disembunyikan. Dia sangat ingat luka-luka yang ia timbulkan di wajah Nayna semalam, tapi kenapa sekarang malah tidak ada? “Saya nggak merasakan sakit sama sekali. Mungkin kamu cuma bermimpi, Lisa.” Rama mengangguk menyetujui dugaan Nayna dan Lisa sangat tidak menyukainya. “Buat apa aku menceritakan ini ke kalian kalau aku cuma mimpi? Kamu bilang dapur berantakan, 'kan? Aku yang yang buat semuanya berantakan!” Spontan Lisa berdiri dengan wajah memerah emosi. “Aku yang mengacaukan dapur, kenapa? Aku perlu kasih pelajaran ke perempuan ini!” Dia tuding Nayna dengan dada yang naik turun dan emb
Itu pertanda buruk. Nayna bisa merasakan ketertarikan Rama padanya. Saat mata Rama memandangnya penuh rasa terima kasih dan ketika lelaki itu tak kunjung mengalihkan pandangan seolah menemukan sesuatu pada diri Nayna. Sesuatu yang dia inginkan, sesuatu yang dia impikan sejak dulu. Nayna memahami perasaan itu, karena dia juga merasakan hal yang sama. Ada banyak hal yang ada pada diri Rama yang dia impikan dimiliki oleh Bagus. Tapi, Nayna tersadar. Bagus adalah Bagus dan Rama tetaplah Rama. Keduanya sudah dirancang dengan sifat yang berbeda. Barulah setelah Lisa menandaskan air di gelasnya, Rama akhirnya mengalihkan mata dan berdiri dari duduknya. “Aku ambilkan obat kamu, ya.” Lisa hanya cuek dan tidak peduli. Mendadak hati Nayna diliputi kekesalan. Rama keluar dari dapur, sementara waktu yang kosong itu digunakan Lisa untuk mendominasi keadaan. “Gimana caranya kamu sembunyiin semua luka kamu?” Mata itu memicing tajam pada Nayna, menilai wajah dan tubuh Nayna yang bersih dari lu