Rama membuka pintu kamar. Lampu utama sudah dimatikan dan pencahayaan menjadi remang-remang. Ia menemukan Lisa sudah tertidur di atas ranjang. Ia melirik kantung martabaknya, adahal ia ingin memberikannya kepada Lisa.Karena mengingatkan Ayna untuk meminum obat, Rama juga mengingat obat yang sudah dia belikan untuk Lisa. Apa Lisa sudah meminumnya?Namun, obat yang dia letakkan di atas nakas tidak ada. Rama membuka satu per satu laci nakas untuk mencari obat itu, tapi tidak ada. Di mana Lisa menyimpannya?Ia juga mencari di lemari pakaian, lalu matanya tertuju pada tempat sampah. Kantung putih itu teronggok di sana. Dengan cepat Rama mengambilnya. Memeriksa isinya dan mengerutkan kening ketika semua jenis obat itu masih utuh. Tak ada satu pun yang berkurang, bungkusnya pun belum dibuka.Kenapa Lisa sampai membuang obat-obatnya?Rama naik ke kasur, menyentuh bahu Lisa dengan lembut dan membangunkan wanita itu. “Lisa? Bangun, Sayang.” Rama terus menepuk-nepuk pundak wanita itu sampai akh
Saat Bik Sumi masuk ke dapur untuk membuat sarapan, ia terkejut hebat ketika mendapati kondisi dapur yang berantakan seolah habis diserang orang utan.Isi kulkas terhambur dan rusak begitu pun dengan badan kulkas yang penyok di beberapa bagian. Bik Sumi tak mampu menutup mulut saking kagetnya. Jangan-jangan ada maling semalam?Dengan cepat ia keluar dapur lalu mengetuk pintu kamar sang majikan. Untunglah Rama yang membukakan pintu jadi dia tidak perlu disemprot oleh Lisa.“Iya, Bik. Kenapa?” Seperti biasa, nada suara Rama selalu sopan dan lembut saat berbicara dengannya.“Anu … itu di dapur.” Mata Bibik berlarian ragu.“Di dapur kenapa?”“Kayaknya semalam ada maling, Pak. Dapur berantakan banget. Isi kulkas berceceran semua.”Alis Rama bertautan. “Maling?”“Iya, coba Bapak lihat. Dapur seperti kena badai.”Rama mengikuti Bik Sumi untuk melihat kondisi dapur dan benar saja. Situasi ruangan itu sama seperti yang Biik gambarkan.“Sejak kapan begini?”“Bibik baru lihat barusan pas masuk b
“Lisa, bisa bicara sebentar?” Lisa baru saja melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi ketika Rama datang dengan wajah seriusnya. Ia mengerutkan kening seraya menghentikan gerakannya mengeringkan rambut dengan handuk. Lelaki itu mendekat dan mengangkat seuntai gelang yang selalu dia pakai setiap saat. “Ini punya kamu, 'kan?” Lisa segera mengambil gelang itu dari tangan Rama. “Loh, kok bisa sama kamu?” Rama juga merasa heran, mengapa gelang ini bisa ada di bawah kulkas? “Semalam kamu ke dapur? Kamu nggak melihat hal yang aneh-aneh? Ada maling yang masuk?” Kening Lisa berkerut bingung mencerna semua pertanyaan Rama. “Aku ke dapur buat ngambil minum. Memangnya kenapa, sih?” “Jam berapa?” Lisa mengangkat bahu tidak peduli. “Mana aku tahu, aku cuma bangun dan ngambil minum.” “Kamu nggak menemukan sesuatu yang aneh?” “Aneh apa, sih?” “Dapur berantakan pagi ini, seperti habis diamuk. Aku pikir rumah kita kemasukan maling.” Lisa mendongak untuk mengingat-ingat apa saja yang dia lak
Suasana di meja makan mendadak dipenuhi dengan keheningan. Saat perhatian Rama tertuju padanya, Lisa melirik Nayna dan wanita itu memberinya seringai yang sama seperti semalam. Lisa melotot. Nayna pasti berbohong! Itu sudah jelas. Nayna ingin membuat Lisa menjadi pihak yang paling disalahkan. “Kamu bilang kamu menghajar Ayna. Kamu hajar di bagian mana?” Ah, Rama benar. Bukti fisik tidak bisa disembunyikan. Dia sangat ingat luka-luka yang ia timbulkan di wajah Nayna semalam, tapi kenapa sekarang malah tidak ada? “Saya nggak merasakan sakit sama sekali. Mungkin kamu cuma bermimpi, Lisa.” Rama mengangguk menyetujui dugaan Nayna dan Lisa sangat tidak menyukainya. “Buat apa aku menceritakan ini ke kalian kalau aku cuma mimpi? Kamu bilang dapur berantakan, 'kan? Aku yang yang buat semuanya berantakan!” Spontan Lisa berdiri dengan wajah memerah emosi. “Aku yang mengacaukan dapur, kenapa? Aku perlu kasih pelajaran ke perempuan ini!” Dia tuding Nayna dengan dada yang naik turun dan emb
Itu pertanda buruk. Nayna bisa merasakan ketertarikan Rama padanya. Saat mata Rama memandangnya penuh rasa terima kasih dan ketika lelaki itu tak kunjung mengalihkan pandangan seolah menemukan sesuatu pada diri Nayna. Sesuatu yang dia inginkan, sesuatu yang dia impikan sejak dulu. Nayna memahami perasaan itu, karena dia juga merasakan hal yang sama. Ada banyak hal yang ada pada diri Rama yang dia impikan dimiliki oleh Bagus. Tapi, Nayna tersadar. Bagus adalah Bagus dan Rama tetaplah Rama. Keduanya sudah dirancang dengan sifat yang berbeda. Barulah setelah Lisa menandaskan air di gelasnya, Rama akhirnya mengalihkan mata dan berdiri dari duduknya. “Aku ambilkan obat kamu, ya.” Lisa hanya cuek dan tidak peduli. Mendadak hati Nayna diliputi kekesalan. Rama keluar dari dapur, sementara waktu yang kosong itu digunakan Lisa untuk mendominasi keadaan. “Gimana caranya kamu sembunyiin semua luka kamu?” Mata itu memicing tajam pada Nayna, menilai wajah dan tubuh Nayna yang bersih dari lu
Lisa menunggu Rama memanaskan mobil di garasi, sementara dirinya berdiri di ambang pagar. Mulai hari ini dia akan membuat Rama mengantarnya setiap hari, agar tidak ada kesempatan bagi Rama untuk berpaling ke perempuan lain. “Eh, Bu Lisa. Ngapain di luar?” Wanita berumur awal 40-an yang Lisa kenal sebagai Bu Sari diam-diam melirik ke dalam rumah, pada pintu yang terbuka. Kalung emasnya mencolok dan membuat mata Lisa silau. Norak sekali. “Nunggu suami saya.” Lisa tidak repot-repot bersikap ramah. “Ohhhh suami.” Sari masih melongok ke dalam. Muka julid itu ingin rasanya Lisa tampol. “Omong-omong di rumah Bu Lisa ada perempuan muda, ya? Kerabat atau keluarga, nih?” Lisa mendecak. Dalam hati kesal setengah mati karena Rama begitu lama memanaskan mobil. “Keluarga, ya? Pantesan dekat banget sama Pak Rama.” Sari mengangguk-angguk, meski dalam hati masih kepo setengah mati. “Apa maksudnya? Sejak kapan perempuan murahan itu dekat dengan suami saya?” Kedua alis tebal Sari spontan terangk
Rama masih berdiam diri di tempatnya. Ia pejamkan mata rapat-rapat. Napasnya ia atur sedemikian rupa agar amarah itu tidak berhasil menguasai dirinya.Lisa sedang sakit, dan Lisa tidak sedang salah paham. Rama memang keluar bersama Ayna semalam dan melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan bersama perempuan lain.Rama khilaf, terbawa perasaan dan ia mengakui itu. Ia menarik napas panjang. Berusaha untuk mengenyahkan segala godaan yang merayunya untuk berpikir negatif. Di saat seperti ini dialah yang harus berpikir secara rasional.Rama memutuskan ke restoran saja, membiarkan Lisa menenangkan diri dulu. Ia masuk terlebih dahulu untuk memanggil Bik Sumi. Bik Sumi datang dari arah dapur, dan serta merta kaget melihat keadaan wajah Rama. “Loh, itu muka sama lehernya kenapa, Pak? Siapa yang cakar?”Lagi-lagi Rama hanya menghela napas. “Bukan siapa-siapa, Bik. Lisa ada di rumah Bu Sari. Kalau dia pulang, kabari saya ya.” Bik Sumi mengangguk dengan ekspresi bingung. “Iya, Pak, tapi
Kali ini Nayna datang bukan untuk melancarkan rencananya. Ia naik ke lantai dua restoran Rama dan mengetuk ruang kerja lelaki itu. Kendati para pegawai Rama melihatnya aneh karena ia langsung menyelonong begitu saja.Pintu itu terbuka dengan tiga kali ketukan. Wajah Rama yang terkejut menyambut Nayna. Lelaki itu terdiam kaku dan tetap berdiri di depan pintu.“Saya boleh masuk?” Rama tidak menjawab. Kedua bola mata itu bergetar dan tidak tahu harus melakukan apa. “Boleh?” Nayna tidak memaksa Rama. Jika lelaki itu tidak ingin melihatnya di sini, maka Nayna akan pergi.Tapi, Rama malah menggeser tubuh sebagai tanda mengizinkan Nayna masuk. Nayna melangkah masuk dan duduk di depan meja kerja Rama alih-alih di sofa.Rama menghampiri mejanya dengan langkah ragu. Nayna tahu betul apa yang membuat lelaki itu menjadi seperti ini. Padahal rencananya tidak seperti ini. Ia hanya ingin membuat Lisa merasa dikhianati lalu mengungkap segalanya, bukan membuat Rama semakin tersakiti.“Saya datang un