"Maaf, aku tidak bisa menjelaskan semuanya secara gamblang. Tapi, yang harus kau ingat adalah ... tetap lah percaya pada suamimu, Na. Apapun yang terjadi, jangan percaya pada orang lain kecuali suamimu sendiri," ucap Diego yang sontak mengundang seringai senyum di ujung bibir Shaynala.Shaynala tertawa sumbang mendengar perkataan Diego, tawa yang sebenarnya menjadi penutup luka kekecewaannya."Mana bisa aku percaya padanya, Kak. Sedangkan dia lah yang sedari awal dengan sengaja mempertahankan kebohongannya." Gadis itu bangkit, menatap ke arah Diego dengan pandangan tajam. "Terima kasih atas waktunya. Aku pamit dulu!" Tanpa menunggu jawaban dari Diego, Shaynala melenggang pergi keluar dari ruangan itu. Berjalan cepat menuju parkiran dan lekas masuk ke dalam mobil.Tangannya mencengkram erat setir bundar itu, kemudian menancap gas dengan kecepatan tinggi menuju rumah Karin. Ia berencana menemui Kakak temannya itu yang seorang pengacara, meminta tolong untuk mengurus berkas perceraian y
Kaindra segera kembali ke kantor dan membahas hal ini bersama Ryon, asisten pribadinya itu tidak kalah terkejutnya dengan Aaraf, bahkan beberapa kali tubuh kekar pria itu menegang."Aku akan segera menghubungi agen detektif, Ndra. Ini tidak bisa dibiarkan dan kita harus segera menemukannya, karena kalau tidak ... perusahaan ini bisa hancur," ucap Ryon dengan suara lirih.Kaindra membuang nafas kasar saat lagi-lagi mendengar hal itu, hal pahit yang juga dikatakan oleh Aaraf tadi."Iya, tolong segera carikan agen detektif terpercaya, Ryon. Saat ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku ... a-aku merasa tidak berguna!" Kaindra menghempaskan tubuhnya ke sofa, menjambak rambut dengan frustasi guna menyalurkan kekalutannya."Kamu jangan berpikir macam-macam, tenang dulu. Kalau kamu berpikir seperti itu, aku juga tidak bisa tenang!" teriak Ryon.Dua pria itu sama-sama diselimuti kebingungan, wajah keduanya menegang bahkan urat-uratnya nampak mencuat keluar. Ryon meraih ponsel dan la
Arsen membuka mata dan mendapati dirinya dalam keadaan naked. Pria itu sontak bangun sambil tangannya menahan selimut agar terus menutupi tubuh bagian atasnya.Kepalanya menoleh, menatap Larissa yang berbaring di sebelahnya dengan tatapan memicing. Menggeram emosi, apalagi mendapati wanita itu juga tanpa busana."Bangun ....!" sentaknya dengan suara yang sangat kencang.Larissa gelagapan, ia menatap Arsen dengan pandangan bingung. Namun, saat melihat wajah pria itu memerah dengan urat-urat lehernya yang menonjol, ia segera bangun dengan susah payah."Ada apa, Sayang?" tanya Larissa dengan kening mengernyit bingung, kesadarannya belum sepenuhnya kembali."Jangan pernah memanggilku dengan panggilan menjijikan itu! Dan ... kenapa kita bisa sama-sama tanpa busana, heh?! Apa yang telah kau lakukan!"Larissa mengerjapkan mata, tetapi sejurus kemudian bibir tebalnya menyunggingkan senyuman. "Ah, kamu ... kayak nggak tahu saja. Aku tadi baru saja melakukan service terbaik, loh, Sayang. Bagaima
Aaraf benar-benar melaksanakan apa yang diucapkannya kemarin sore, pria paruh baya itu mengambil alih kepemimpinan dari putranya. Namun, ia tetap meminta Kaindra untuk terus mengulik masalah ini dengan Ryon.Ada rasa kecewa yang hadir dalam diri Aaraf, ini kedua kalinya Kaindra lalai dengan perusahaan sampai membuat kondisi perusahaan berada di ambang kehancuran.Aaraf menghempaskan tubuh pada sandaran kursi kebesarannya, wajahnya sangat lelah karena baru saja menghadiri meeting penting dengan para investor. Para investor mencabut semua dana dan memutuskan kerjasama secara sepihak."Masalah ini lebih berat daripada sebelumnya, kalau dulu aku masih bisa menahan para investor, tapi sekarang aku benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa," gumam Aaraf.Tok! Tok! Tok! "Masuk!" teriak pria paruh baya itu.Kaindra masuk dengan langkah tegap, ia mendudukkan dirinya di kursi dan lantas menyodorkan sebuah map kepada Aaraf.Menghela napas kasar, kemudian pria tampan itu berkata, "harga saham tur
Hari yang dinantikan pun tiba, siang ini Kaindra datang ke acara ulang tahun Jamal. Ia sengaja berangkat siang hari untuk menghindari keluarga besar Bratayeksa yang lain, selain itu ia harus menghandle perusahaan yang sedang berada dalam masalah."Kamu belum makan siang 'kan? Ayo kita makan dulu," ucap Jamal seraya menggandeng tangan Kaindra menuju meja makan.Pria itu menurut, ia ikut saja kemauan pria senja itu karena dirinya juga sedang membutuhkan bantuan. Keduanya menikmati makan siang dalam hening, tidak ada obrolan apapun sampai piring mereka berdua bersih dari makanan."Ayo kita ngobrol di ruang keluarga saja, Nak. Biar lebih santai.""Iya," sahut Kaindra dan langsung mengikuti langkah Jamal menuju ruang keluarga.Jamal mengawali obrolan dengan berbasa-basi, bertanya kabar dan Kaindra hanya menjawab sekadarnya saja. Sampai akhirnya Jamal bertanya, "berapa nominal yang kamu inginkan?"Kaindra tidak langsung menyahut, ia tampak berpikir apakah keputusannya ini tepat? Sampai ak
Seusai makan Arsen membawa langkah menuju ruang tamu, tidak seberapa lama kemudian Shaynala menyusul dengan membawa secangkir kopi panas dan beberapa camilan. Ia mengulas senyum saat istrinya kembali perhatian, tetapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama ketika mendapati Shaynala hendak memutar tubuh dan kembali ke dalam."Di sini dulu saja, Dek. Kamu tidak kangen sama Mas?" tanya Arsen, mencoba menahan istrinya."Ada beberapa pakaian yang harus aku lipat, Mas. Nanti setelah salat magrib aku temani ngobrol, ya.""Mas maunya sekarang, Dek. Mas kangen sama kamu setelah tiga hari ini nggak ketemu."Wanita itu mendengus pelan, sejurus kemudian ia memilih duduk di sofa berhadapan dengan suaminya. Netranya menatap datar ke arah pria tampan itu, tatapan yang menyimpan rasa sakit yang tidak bisa diutarakan.Ia hanya menjawab singkat setiap kata-kata yang dilontarkan Arsen. Bibit merah mudanya tetap tersenyum manis sambil sesekali menganggukkan kepala. Walaupun sebenarnya ingin sekali bertanya
"Mas, ayo turun. Sudah ditunggu Abi sama Umi."Arsen menoleh, mendapati istrinya berdiri di ujung tangga dengan raut datar. Pria itu semakin mengernyitkan kening, karena tidak biasanya Shaynala bermuka dingin saat berinteraksi dengannya."Iya, Dek." Arsen mengalihkan pandangannya kepada Kaindra. "Aku turun dulu, Ndra. Nanti kita ngobrol lagi," ucapnya."Iya, Kak," sahut Kaindra seraya langsung melenggang pergi tanpa menoleh ke arah Shaynala.Sementara Arsen langsung turun seraya merangkul bahu istrinya, tidak lupa ia melabuhkan kecupannya pada kening hangat gadis itu."Kenapa diam saja? Ada sesuatu?" tanya Arsen dengan lembut."Kamu lama sekali, aku 'kan sudah lapar."Pria tampan dalam balutan kaos oblong dan sarung hitam itu terkekeh. "Aku kira kamu sakit, Dek. Makanya sampai nggak bisa senyum."Shaynala tidak menyahut, ia hanya mengulas seutas senyum tipis di bibir merahnya. Sejujurnya ia sengaja memasang wajah tanpa ekspresi karena tadi ada Kaindra, entah apa alasannya, yang jelas S
Arsen mengehentikan mobilnya di parkiran khusus Perusahaan Starlight, tetapi ia mengurungkan niat untuk turun."Kalau aku bilang sekarang, Abi tidak akan percaya. Aku tidak memegang bukti, dan lagi pula ... Abi tetap membutuhkan dana itu," gumamnya.Tangannya memijat pelipis, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan ide agar bisa membuat Abi mertuanya percaya. Ia menganggap Kaindra sudah berkhianat karena menjalin kesepakatan dengan musuh di belakang Abi nya, tetapi ia tidak bisa langsung menegur.Arsen tetap turun, ia berencana membantu Abi nya mengurus perusahaan dan menangani beberapa berkas. Tidak lama kemudian Kaindra datang dan langsung mengajak Aaraf bicara empat mata, hal itu semakin membuat Arsen curiga.Di sisi lain, Kaindra dan Aaraf sudah berada di ruang meeting privat. Dua pria berbeda usia itu bicara empat mata dengan serius, sesekali Aaraf akan mengulas senyum saat Kaindra mengatakan sudah mendapatkan dananya."Terima kasih sudah menjaga kepercayaan Abi, Le. Kamu segera