Dua jam lebih Rafael mengendarai mobil, akhirnya ia sudah membelokkan mobilnya memasuki gerbang rumah sakit. Mereka semua turun dan lantas masuk menuju meja resepsionis, menanyakan ruangan Aaraf dan lantas menuju lift dengan seorang perawat yang mengantarkan.Sepanjang langkahnya Kayshilla terus merasakan jantungnya berdebar kencang, membayangkan apakah suaminya nanti akan marah karena kemarin dirinya sempat kabur."Kamu baik-baik saja, Kay?" tanya Adele yang melihat tubuh sahabatnya menggigil."A-Aku grogi, Del. Nanti Mas Aaraf marah nggak, ya? Aku kemarin 'kan sempat kabur dan pasti bikin semua orang panik," sahut Kayshilla.Adele tidak langsung menyahut, ia menarik pandangannya ke sembarang arah dengan helaan napas yang terdengar lirih.'Maaf, Kay. Aku nggak berani bilang kalau Kak Aaraf koma, takutnya kamu semakin khawatir,' batin Adele.Sementara Kayshilla semakin menunduk saat melihat respon Adele, ia mengira Adele juga berpikiran sama sepertinya. Namun, apapun yang terjadi pada
Kayshilla keluar dari ruangan Aaraf dengan langkah lunglai, wanita itu mendudukkan dirinya di kursi tunggu, mengambil Shaynala dari gendongan Adele dan mendekapnya erat. Ia melabuhkan banyak kecupan sayang pada pipi gembul putrinya, seakan menjadikan Shaynala sebagai penguatnya saat ini."Kamu baik-baik saja, Kay?" Adele menepuk lembut bahu Kayshilla yang langsung membuat wanita itu menoleh.Kayshilla menggelengkan kepala, menatap Adele dengan pandangan sayu. "Tidak, Del. Aku tidak baik-baik saja," sahutnya.Adele memeluk tubuh Kayshilla dari samping. "Sabar. Tuhan memberikan ujian ini karena kamu kuat, Kay. Kamu harus yakin kalau kamu bisa melewati ini.'"Ini ujian atau karma, Del? Aku takut ini karma karena pertengkaran kemarin, dan sikap kita tidak ada yang dewasa.""Hust!" Adele menarik kepala sahabatnya untuk bersandar di bahunya. "Kalian orang baik, tidak ada karma kecuali itu juga karma baik," ucapnya lagi.Kayshilla tidak menyahut, ia masih larut dalam tangisnya. Hanya ada dir
Keesokan paginya.Di sisi lain, Rayhan baru saja tertangkap tepat pada pukul delapan pagi. Dua peluru bersarang di betisnya karena ia sempat berusaha kabur, sehingga menyebabkan langkahnya pincang."Argh! Pelan-pelan!" teriak Rayhan saat beberapa polisi dengan kasar menarik tubuhnya.Ia dibawa ke klinik di seberang kantor polisi untuk mengeluarkan peluru, sementara Danang yang sedari tadi mengekor di belakang membelokkan mobilnya menuju kantor polisi.Keluar dari mobil dan lantas masuk, ia disambut oleh beberapa petugas yang berjaga di sana. Kakinya melangkah semakin masuk hingga tiba di depan sel tahanan Devano, tampak pria itu masih memejamkan matanya meringkuk di pojok sel.Ada meja dan kursi panjang di depan sel tahanan, di sana ia melihat Bu Ratna menelungkupkan kepala di atas meja. Danang berjalan mendekat, ia mendapati Bu Ratna memejamkan mata dengan dengkuran halus yang terdengar teratur. 'Sepertinya beliau kelelahan mengurus kasus Devano sendirian semalaman,' batin Danang da
Dokter baru saja memeriksa kondisi Aaraf setelah beberapa saat lalu pria itu mengalami kejang-kejang. Abah dan Umik sudah yakin kalau itu sebagai pertanda putranya akan segera bangun, seperti yang dialami Kayshilla dulu.Namun, saat Dokter mengatakan kalau penyebab Aaraf kejang-kejang adalah alergi suatu obat, hal itu tak ayal membuat senyum semua orang sirna, bahkan rasa was-was semakin menyelimuti hati.Abah hendak melayangkan protes pada tenaga medis yang dinilai ceroboh, tetapi pria paruh baya itu merasakan kekuatannya hilang. Ia memilih duduk pasrah, sembari menunggu hasil lab putranya keluar."Minum dulu, Bah." Kayshilla mengangsurkan segelas wedang ronde yang langsung diterima oleh Abah."Terima kasih, Nduk," sahutnya.Kayshilla mengangguk. "Sama-sama, Bah. Pagi-pagi juga cocok untuk minum wedang ronde, bisa menghangatkan tubuh.""Abah terlalu khawatir dengan Aaraf, Nduk.""Kami semua juga khawatir dengan Mas Aaraf, Bah. Tapi kita harus tetap sehat dan kuat, jangan sampai nanti
Kayshilla dan Adele sampai di Kediri tempat pada pukul delapan malam, mereka sempat beristirahat ke masjid dan mampir rumah makan. Kayshilla turun lebih dulu, membawa langkah cepat masuk ke kantor polisi, ternyata Bu Ratna sudah menunggunya di tengah pintu masuk.Mengulas senyum lebar, tangannya mengulur sebagai isyarat meminta jabat tangan."Lancar perjalanannya, Bu?" tanya Bu Ratna seraya menjabat tangan kliennya, senyuman ramah terukir di bibir tipis berwarna nude itu."Alhamdulillah, lancar," sahut Kayshilla dengan senyuman yang tak kalah ramah."Syukurlah kalau begitu. Mari, kita langsung masuk saja."Kayshilla mengangguk, mengikuti langkah Bu Ratna yang sudah masuk lebih dulu menuju sebuah ruang interogasi di sana."Sudah hampir tiga jam, tapi interogasinya belum selesai," ucap Bu Ratna yang tak ayal membuat Kayshilla mengernyit bingung."Kenapa lama sekali?""Entah lah, Bu. Mungkin wanita itu berkelit sehingga menyusahkan petugas mengorek informasi."Menarik napas dalam, kemudi
Mobil sport itu berbelok memasuki gerbang rumah sakit dan berhenti di parkiran, Kayshilla keluar lebih dulu dan lantas berlari kencang masuk ke dalam bangunan itu, meninggalkan Adele yang masih berada di dalam mobil.Kaki jenjangnya berlari kencang menyusuri koridor, beruntung di jam ini rumah sakit sepi dari lalu lalang orang-orang. Kayshilla tiba di depan ruang ICU, di sana Umik tengah menangis dalam pelukan Abah. Ulu hatinya terasa nyeri, pikirannya sudah membayangkan sesuatu buruk menimpa suaminya. Langkah kakinya menjadi semakin berat, menahan air mata yang sebentar lagi meledak sebagai tanda sesak di dadanya."Abah, Umik," ucap Kayshilla dengan suara lirih.Dua paruh baya itu mengangkat kepala mereka, menatap nanar pada Kayshilla yang juga tampak kebingungan. Umik langsung bangkit, menarik tubuh menantunya masuk ke dalam pelukannya. Wanita paruh baya itu masih tergugu pilu, yang mana hal itu membuat debaran jantung Kayshilla semakin tidak karuan."Ada apa, Mik?" bisik Kayshill
Adele baru saja selesai menyuapi Kayshilla, wanita itu kembali meletakkan piring di atas nakas dan lantas membantu sahabatnya itu kembali berbaring."Mau tidur lagi?" tanya Adele yang lantas disahuti gelengan kepala oleh Kayshilla."Tidak, Del. Aku pengen ke kamarnya Mas Aaraf. Bagaimana, ya, keadaannya sekarang?" Adele tidak langsung menyahut, ia tahu kalau beberapa saat lalu Aaraf dinyatakan kembali kritis. Tidak mungkin ia akan jujur kepada Kayshilla, sementara Dokter saja memintanya untuk menjaga pikiran Kayshilla agar tidak stres."Del? Kira-kira aku boleh nggak ke ruangan Mas Aaraf sekarang? Aku kangen dan pengen lihat keadaannya," ucap Kayshilla lagi saat melihat Adele hanya diam."Sekarang sudah malam, Kay. Lebih baik besok saja, siapa tahu besok kondisi kamu sudah membaik. Aku sekarang juga mau istirahat," sahut Adele."Oh, iya. Ya Allah aku lupa kalau kamu belum istirahat, Del. Maaf, ya."Adele mengangguk dengan senyuman hangatnya. "Nggak papa. Lebih baik kamu sekarang tidu
Kayshilla menempelkan keningnya pada kening Aaraf, senyuman manis masih terukir jelas pada bibir tipis itu, menandakan ia masih bahagia atas kabar yang di dengarnya barusan.Namun, tiba-tiba suara berdenging mengusik gendang telinganya. Kayshilla menegakkan tubuh, menolah pada deretan alat medis serta layar monitor yang ada di sebelah ranjang suaminya. Saat itu juga bola matanya sontak membelalak lebar saat mendapati gambar garis tidak beraturan pada layar monitor itu.Ia kembali menoleh ke arah suaminya berbaring, manik bening itu hampir keluar saat melihat tubuh Aaraf bergetar hebat."Astaghfirullah!" pekiknya dengan telapak tangan kanan yang reflek menutup mulut.Kakinya melangkah lencang keluar ruangan, sekuat mungkin ia memanggil Dokter dengan suara yang menggelegar, hingga tidak lama kemudian Dokter dan para perawat datang. "Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak? Ibu bisa memencet tombol yang ada di samping ranjang kalau membutuhkan kami," ucap Dokter laki-laki itu dengan suara lem
Semua orang mengucap syukur dokter menyatakan kondisi Shaynala sudah baik-baik saja, meskipun wanita itu tetap harus rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil.Arsen terus menggenggam tangan sang istri, bibirnya terus meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat Shaynala seperti ini."Tidak apa-apa, Mas. Saat itu aku juga sedang kalut, jadi tidak berpikir dulu kalau mau bertindak," ujar Shaynala dengan suara lirih."Aku akan menebus semua kesalahanku, Dek. Dengan apapun caranya, aku akan membuatmu bahagia."Shaynala mengangguk, entah sudah yang ke berapa kalinya Arsen mengatakan hal seperti itu.Ia melihat penyesalan besar di mata suaminya, bahkan kedua mata elang itu masih memerah karena terlalu banyak menangis."Sekarang kamu harus fokus untuk kesembuhanmu, Dek. Nanti kita akan memulainya dari awal, aku berjanji akan selalu jujur dan terbuka dan berusaha hal seperti ini tidak akan terulang lagi," jelas Arsen yang membuat Shaynala langsung mengangguk."Mama sudah dibunuh D
Tujuh hari berlalu dan Aaraf baru kembali ke rumah sakit untuk melihat putrinya. Selama tujuh hari sebelumnya, ia menyiapkan acara doa untuk kematian Kaindra. Namun, setiap hari pria paruh baya itu tetap berinteraksi melalui video call agar tahu kondisi putrinya.Namun, baru saja menginjakkan kakinya di depan ruang rawat Shaynala, Aaraf dikejutkan dengan tangis semua orang yang ada di sana."Ada apa ini?" Aaraf langsung memeluk tubuh Kayshilla. "Ada apa, Kay? Kenapa semuanya menangisi?""Dokter tadi mengatakan tubuh Shaynala menunjukkan reaksi yang menolak jantung barunya, Bi. Shaynala kejang-kejang, Ummi takut melihatnya. Ummi takut ..," jelas Kayshilla yang sontak membuat Aaraf melongo."Bukankah kata dokter, sejak kemarin aman?" tanya Aaraf dengan suara lirih."Iya. Tapi pagi tadi saat Ummi mau menyeka tubuhnya, Shaynala kejang-kejang." Kayshilla menangis tertuju pilu di dalam pelukan Aaraf, hal itu tak ayal juga membuat Aaraf turut menitikkan air mata.Sementara Arsen terus berdir
Kondisi Kaindra semakin memburuk, bahkan pria itu sempat kejang-kejang. Kayshilla baru saja tiba bersama keluarga Danang, wanita paruh baya itu sampai pingsan beberapa kali memikirkan kondisi Shyanala dan Kaindra."Ndra, kamu dengar Abi?" bisik Aaraf, saat ini ia berada di dalam ruangan Kaindra karena dokter menyuruhnya masuk beberapa saat lalu.Kaindra terus memanggil-manggil Abinya, matanya terbelalak ke atas dengan napas yang seperti orang tengah mengorok."Laa ilaha illallah," bisik Aaraf tepat di telinga Kaindra.Pria itu mengikuti dengan napas tersengal, bibirnya bergerak hebat dengan keringat basah yang mulai membasahi pelipis.Aaraf menggenggam punggung tangan Kaindra, sebelah tangannya lagi mengelus lembut kening yang terasa panas. Sambil bibirnya terus membisikkan kalimat tauhid."Syahadat, Ndra. Di dalam hati tidak apa-apa," bisik Aaraf yang langsung diangguki oleh Kaindra.Kaindra tampak mengambil napas dalam, terdengar serak dan seperti sangat kesakitan.Aaraf menguatkan
Aaraf tidak kuasa menahan beban tubuhnya saat mendengar penjelasan panjang tentang kejadian yang menimpa putrinya tadi, kedua matanya semakin deras mengalirkan cairan bening, dengan seluruh hatinya yang hancur berkeping-keping.Bibirnya terus memanggil-manggil nama Shaynala, membuat siapapun tidak tega melihatnya."Kenapa putriku harus mengalami seperti ini?" gumam Aaraf. "Dia tidak salah apa-apa, dia tidak tahu apa-apa. Tapi malah menjadi korban."Arsen menundukkan tubuh yang masih bersimpuh di bawah Aaraf, ia seperti tidak punya keberanian untuk mengangkat kepala.Hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya, meskipun tidak mendapat sahutan dari Aaraf."Shaynala ..," bisik Aaraf.Pria paruh baya itu memejamkan kedua kelopak mata, detik berikutnya ia membuka lagi mata yang terpejam dan menatap ke arah Arsen."Bangunlah, Nak. Ini bukan salahmu, Abi paham kamu dijebak," ucap Aaraf sambil membantu menantunya untuk berdiri.Arsen semakin tergugu saat Aaraf dengan enteng merangkul tubuhnya, p
PLAKK!Wajah Arsen terhantam ke samping saat Rafael menamparnya dengan kencang, tanpa rasa iba Rafael mengangkat kasar dagu putranya dan kembali melayangkan bogeman mentah hingga membuat darah segar mengucur deras dari hidung."Papa kecewa sama kamu!" desis Rafael.Beberapa saat lalu Rafael memang mencari Arsen karena Adele yang mengatakan bahwa Kayshilla mencari putrinya. Kata Kayshilla, Shyanala pergi tidak lama setelah Arsen meninggalkan rumah dan sampai malam belum ada kabar.Tanpa pikir panjang Rafael langsung melacak keberadaan Arsen dan menyusul ke rumah yang digunakan sebagai tempat pertemuan Arsen dengan Kinara. Beruntung Rafael masih sempat bertemu Diego di gang masuk rumah itu, sehingga pria paruh baya itu langsung menyetop mobil Diego dan menginterogasinya."Apa yang akan kamu jelaskan pada mertuamu sekarang, hah?! Bagaimana bisa kamu tidak sadar kalau istrimu sedang mengikuti? Sekarang... papa tidak bisa lagi melindungi kamu, Sen," ucap Rafael.Arsen tidak menyahut, waja
Hujan turun tanpa diduga, Shaynala tetap nekat menerobos hujan tanpa peduli bajunya basah."Dek!" Arsen tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang, membuatnya sontak berteriak."Aaargh ... lepaskan aku, Mas! Jangan sentuh!" Shaynala berusaha melepaskan tubuhnya, tetapi pelukan Arsen sangat erat.Wanita itu meneteskan air mata, bersatu dengan lebatnya air hujan yang rasa dinginnya semakin menusuk kulit. Udara malam menjadi saksi betapa panasnya hati pasangan tersebut, kedua insan itu sama-sama terluka dengan keadaan yang terus memicu masalah."Lepaskan aku, Mas, lepaskan aku ...," bisik Shaynala di sela-sela isak tangisnya. "Aku nggak bisa seperti ini terus, aku terluka saat tahu kamu akan punya anak dari perempuan lain. Mamamu juga meminta kita bercerai, Mas."Arsen tersentak dan tanpa sadar pelukannya sedikit melonggar, membuat Shaynala dengan mudah melepaskan diri.Shaynala berjalan cepat, tanpa peduli tanah basah yang mengotori sepatunya."Aku mencintaimu, Dek! Aku tidak akan mencerai
David berlari menuju ruang UGD, ia segera menemui Dokter yang ada di sana dan menanyakan bagaimanakah kondisi Kaindra."Benturan yang dialami pasien menyebabkan adanya pendarahan serius di dalam otak, Pak. Pasien juga mengalami patah tulang di beberapa bagian, dan terdapat banyak luka lecet. Kami baru saja memberikan transfusi darah karena pasien kehilangan banyak darah saat dibawa ke sini," jelas dokter.David mengangguk dengan lesu, ia duduk di sana dengan tatapan kosong yang terarah ke depan.Ia sudah menganggap Kaindra seperti seorang kakak, Kaindra sering membantunya bahkan memberikan banyak bonus di luar bonus perusahaan.Mendengar kondisi orang yang ia sayangi yang sedang kritis di dalam sana, membuat David merasa tidak berdaya. Meskipun ia terkenal tegas, tetapi ketika menyangkut keselamatan Kaindra, ia juga bisa menjadi rapuh."Mungkin nanti akan ada operasi kecil, Pak. Mohon Bapak menghubungi anggota keluarga lain untuk mengurus persetujuan operasi tersebut," kata Dokter.Se
Mobil milik Arsen baru saja berhenti di halaman luas Pesantren Al-Mubarok. Sesuai janjinya, dua minggu sekali ia akan datang ke sini untuk mengunjungi istrinya.Ia langsung duduk di sofa ruang tamu, menemani Abi mertuanya yang duduk sendirian di sana. Pria paruh baya itu terlihat tidak bersemangat, padahal Arsen tahu perusahaannya sudah berjalan stabil."Abi kemarin bertemu dengan Kaindra, Sen. Abi tidak bisa tenang," ucap Aaraf dengan suara lirih.Hening! Arsen tidak menyahut."Kaindra sibuk terus dan belum bisa ditemui, malah hari ini rencananya dia pergi ke luar kota lagi untuk pertemuan bisnis." Pria paruh baya itu menghela napas kasar. "Abi juga tidak enak mengganggu waktunya. Segan, Sen. Abi 'kan pernah mengecewakan dia," lanjutnya."Satu bulan lagi hari pernikahannya, pasti Kaindra akan mengundang Abi. Mungkin itu bisa jadi waktu yang tepat untuk Abi berbincang dengan Kaindra," sahut Arsen.Aaraf tampak berpikir. "Apakah Kaindra akan mengundang Abi? Sedangkan kemarin Abi bilang
"Kita akan menginap di sini, Tante?" tanya Larissa."Iya, rumahnya Arsen juga tidak jauh dari hotel ini. Jadi cocok sekali kalau kita menginap di sini untuk sementara waktu," sahut Kinara.Larissa mengangguk setuju. Di usia kandungannya yang sudah memasuki sembilan bulan, Larissa tidak bisa banyak protes dan hanya bisa menurut saja. Yang terpenting nanti kebutuhannya dan anaknya terjamin."Wanita itu masih di luar kota, Tante?"Kinara menoleh ke arah Larissa dengan kening mengernyit. "Maksud kamu Shaynala?""Iya, Tante. Dia," sahut Larissa yang sontak membuat Kinara tergelak."Sampai sebegitunya kamu nggak mau menyebut namanya, La." Kinara menjeda ucapannya barang sejenak. "Iya, dia masih di luar kota. Dan ini menjadi kesepakatan bagus untuk kita mengawasi Arsen."Wanita paruh baya itu memang menempatkan beberapa anak buah di sekitar kediaman Arsen untuk mengawasi Arsen dan mendapatkan banyak informasi."Tapi kalau kita langsung muncul, apa Arsen tidak akan marah? Dia 'kan membenciku,"