Kayshilla keluar dari ruangan Aaraf dengan langkah lunglai, wanita itu mendudukkan dirinya di kursi tunggu, mengambil Shaynala dari gendongan Adele dan mendekapnya erat. Ia melabuhkan banyak kecupan sayang pada pipi gembul putrinya, seakan menjadikan Shaynala sebagai penguatnya saat ini."Kamu baik-baik saja, Kay?" Adele menepuk lembut bahu Kayshilla yang langsung membuat wanita itu menoleh.Kayshilla menggelengkan kepala, menatap Adele dengan pandangan sayu. "Tidak, Del. Aku tidak baik-baik saja," sahutnya.Adele memeluk tubuh Kayshilla dari samping. "Sabar. Tuhan memberikan ujian ini karena kamu kuat, Kay. Kamu harus yakin kalau kamu bisa melewati ini.'"Ini ujian atau karma, Del? Aku takut ini karma karena pertengkaran kemarin, dan sikap kita tidak ada yang dewasa.""Hust!" Adele menarik kepala sahabatnya untuk bersandar di bahunya. "Kalian orang baik, tidak ada karma kecuali itu juga karma baik," ucapnya lagi.Kayshilla tidak menyahut, ia masih larut dalam tangisnya. Hanya ada dir
Keesokan paginya.Di sisi lain, Rayhan baru saja tertangkap tepat pada pukul delapan pagi. Dua peluru bersarang di betisnya karena ia sempat berusaha kabur, sehingga menyebabkan langkahnya pincang."Argh! Pelan-pelan!" teriak Rayhan saat beberapa polisi dengan kasar menarik tubuhnya.Ia dibawa ke klinik di seberang kantor polisi untuk mengeluarkan peluru, sementara Danang yang sedari tadi mengekor di belakang membelokkan mobilnya menuju kantor polisi.Keluar dari mobil dan lantas masuk, ia disambut oleh beberapa petugas yang berjaga di sana. Kakinya melangkah semakin masuk hingga tiba di depan sel tahanan Devano, tampak pria itu masih memejamkan matanya meringkuk di pojok sel.Ada meja dan kursi panjang di depan sel tahanan, di sana ia melihat Bu Ratna menelungkupkan kepala di atas meja. Danang berjalan mendekat, ia mendapati Bu Ratna memejamkan mata dengan dengkuran halus yang terdengar teratur. 'Sepertinya beliau kelelahan mengurus kasus Devano sendirian semalaman,' batin Danang da
Dokter baru saja memeriksa kondisi Aaraf setelah beberapa saat lalu pria itu mengalami kejang-kejang. Abah dan Umik sudah yakin kalau itu sebagai pertanda putranya akan segera bangun, seperti yang dialami Kayshilla dulu.Namun, saat Dokter mengatakan kalau penyebab Aaraf kejang-kejang adalah alergi suatu obat, hal itu tak ayal membuat senyum semua orang sirna, bahkan rasa was-was semakin menyelimuti hati.Abah hendak melayangkan protes pada tenaga medis yang dinilai ceroboh, tetapi pria paruh baya itu merasakan kekuatannya hilang. Ia memilih duduk pasrah, sembari menunggu hasil lab putranya keluar."Minum dulu, Bah." Kayshilla mengangsurkan segelas wedang ronde yang langsung diterima oleh Abah."Terima kasih, Nduk," sahutnya.Kayshilla mengangguk. "Sama-sama, Bah. Pagi-pagi juga cocok untuk minum wedang ronde, bisa menghangatkan tubuh.""Abah terlalu khawatir dengan Aaraf, Nduk.""Kami semua juga khawatir dengan Mas Aaraf, Bah. Tapi kita harus tetap sehat dan kuat, jangan sampai nanti
Kayshilla dan Adele sampai di Kediri tempat pada pukul delapan malam, mereka sempat beristirahat ke masjid dan mampir rumah makan. Kayshilla turun lebih dulu, membawa langkah cepat masuk ke kantor polisi, ternyata Bu Ratna sudah menunggunya di tengah pintu masuk.Mengulas senyum lebar, tangannya mengulur sebagai isyarat meminta jabat tangan."Lancar perjalanannya, Bu?" tanya Bu Ratna seraya menjabat tangan kliennya, senyuman ramah terukir di bibir tipis berwarna nude itu."Alhamdulillah, lancar," sahut Kayshilla dengan senyuman yang tak kalah ramah."Syukurlah kalau begitu. Mari, kita langsung masuk saja."Kayshilla mengangguk, mengikuti langkah Bu Ratna yang sudah masuk lebih dulu menuju sebuah ruang interogasi di sana."Sudah hampir tiga jam, tapi interogasinya belum selesai," ucap Bu Ratna yang tak ayal membuat Kayshilla mengernyit bingung."Kenapa lama sekali?""Entah lah, Bu. Mungkin wanita itu berkelit sehingga menyusahkan petugas mengorek informasi."Menarik napas dalam, kemudi
Mobil sport itu berbelok memasuki gerbang rumah sakit dan berhenti di parkiran, Kayshilla keluar lebih dulu dan lantas berlari kencang masuk ke dalam bangunan itu, meninggalkan Adele yang masih berada di dalam mobil.Kaki jenjangnya berlari kencang menyusuri koridor, beruntung di jam ini rumah sakit sepi dari lalu lalang orang-orang. Kayshilla tiba di depan ruang ICU, di sana Umik tengah menangis dalam pelukan Abah. Ulu hatinya terasa nyeri, pikirannya sudah membayangkan sesuatu buruk menimpa suaminya. Langkah kakinya menjadi semakin berat, menahan air mata yang sebentar lagi meledak sebagai tanda sesak di dadanya."Abah, Umik," ucap Kayshilla dengan suara lirih.Dua paruh baya itu mengangkat kepala mereka, menatap nanar pada Kayshilla yang juga tampak kebingungan. Umik langsung bangkit, menarik tubuh menantunya masuk ke dalam pelukannya. Wanita paruh baya itu masih tergugu pilu, yang mana hal itu membuat debaran jantung Kayshilla semakin tidak karuan."Ada apa, Mik?" bisik Kayshill
Adele baru saja selesai menyuapi Kayshilla, wanita itu kembali meletakkan piring di atas nakas dan lantas membantu sahabatnya itu kembali berbaring."Mau tidur lagi?" tanya Adele yang lantas disahuti gelengan kepala oleh Kayshilla."Tidak, Del. Aku pengen ke kamarnya Mas Aaraf. Bagaimana, ya, keadaannya sekarang?" Adele tidak langsung menyahut, ia tahu kalau beberapa saat lalu Aaraf dinyatakan kembali kritis. Tidak mungkin ia akan jujur kepada Kayshilla, sementara Dokter saja memintanya untuk menjaga pikiran Kayshilla agar tidak stres."Del? Kira-kira aku boleh nggak ke ruangan Mas Aaraf sekarang? Aku kangen dan pengen lihat keadaannya," ucap Kayshilla lagi saat melihat Adele hanya diam."Sekarang sudah malam, Kay. Lebih baik besok saja, siapa tahu besok kondisi kamu sudah membaik. Aku sekarang juga mau istirahat," sahut Adele."Oh, iya. Ya Allah aku lupa kalau kamu belum istirahat, Del. Maaf, ya."Adele mengangguk dengan senyuman hangatnya. "Nggak papa. Lebih baik kamu sekarang tidu
Kayshilla menempelkan keningnya pada kening Aaraf, senyuman manis masih terukir jelas pada bibir tipis itu, menandakan ia masih bahagia atas kabar yang di dengarnya barusan.Namun, tiba-tiba suara berdenging mengusik gendang telinganya. Kayshilla menegakkan tubuh, menolah pada deretan alat medis serta layar monitor yang ada di sebelah ranjang suaminya. Saat itu juga bola matanya sontak membelalak lebar saat mendapati gambar garis tidak beraturan pada layar monitor itu.Ia kembali menoleh ke arah suaminya berbaring, manik bening itu hampir keluar saat melihat tubuh Aaraf bergetar hebat."Astaghfirullah!" pekiknya dengan telapak tangan kanan yang reflek menutup mulut.Kakinya melangkah lencang keluar ruangan, sekuat mungkin ia memanggil Dokter dengan suara yang menggelegar, hingga tidak lama kemudian Dokter dan para perawat datang. "Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak? Ibu bisa memencet tombol yang ada di samping ranjang kalau membutuhkan kami," ucap Dokter laki-laki itu dengan suara lem
Dua minggu berlalu dan Aaraf sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, setiap harinya Kayshilla tiada henti membisikkan kalimat-kalimat positif, bahkan wanita cantik itu juga lebih bersemangat dari pada biasanya. Namun, tetap saja Aaraf tidak mau merespon, ia masih betah tertidur dalam ketidaksadarannya."Nggak kerasa sudah jam tujuh malam," gumamnya seraya melihat pada jam yang bertengger di dinding. Ia kembali melihat ke arah suaminya, memgulas senyum manis dan kemudian berkata, "aku mau salat dulu, Mas. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi, ya."Wanita itu bangkit dan beranjak menuju kamar mandi mandi dan mengambil wudhu, kemudian ia melaksanakan kewajiban empat rakaatnya di dalam ruangan itu. Ia khusuk dalam setiap gerakannya, menyambung wirid setelahnya dan kemudian memanjatkan doa. "Alhamdulillah," gumamnya seraya bangkit hendak kembali ke dekat ranjang suaminya.Namun, baru saja tubuhnya berbalik, wanita yang masih dalam balutan mukena itu sontak membelalakkan mata saat melihat peman