Kertas itu menunjukkan kecocokan antara DNA Arsen dengan janin yang dikandung Larissa. Tubuhnya yang kekar langsung lemas, dan ia merasakan getaran yang hebat karena menolak fakta ini.
"Kau sudah memastikan kalau tidak ada yang menyabotase hasilnya, Die? Tidak ada kebocoran di sini, kan?" tanya Arsen dengan suara lemah.Anggukan dari Diego membuatnya semakin memejamkan mata. Oh Tuhan... apa yang harus ia jelaskan kepada Shaynala nanti?"Saya sudah mengecek CCTV rumah sakit itu beberapa kali, Pak. Dan hasilnya tetap sama, tidak ada yang mencurigakan. Bahkan dokter turut mengklarifikasi kalau tes DNA ini dikawal ketat oleh orang-orang kita," jelas Diego dengan napas berat.Arsen tidak mampu menyahut, ia hanya bisa menggelengkan kepala seakan menolak fakta ini."Kata dokter, Larissa dan Bu Kinara sudah pulang sepuluh hari lalu, Pak. Keadaan Larissa baik dan janinnya selamat, tapi saya tidak mengecek ke rumah mereka." Diego melanjutkan ucapannya.Sesekali, Diego akan mendongakkan kepala dan menatap Arsen dengan penuh iba. Bosnya terlihat sangat frustasi.Sungguh, Diego tidak tega. Rumah tangga bosnya dipertaruhkan di sini. Mungkin Arsen bisa tega untuk membunuh Larissa jika wanita itu kembali menyebabkan kekacauan, tetapi apakah Arsen tega untuk melukai darah dagingnya sendiri?Meskipun darah daging itu datang tanpa sepengetahuannya, Diego yakin Arsen tidak akan sekejam itu terhadap anaknya sendiri.Arsen melipat kertas tersebut dan kembali memasukkannya ke dalam amplop. Air mata menggenang di pelupuk mata, Diego yang peka langsung menyodorkan tisu."Bapak, menangis saja tidak apa-apa. Menangis tidak membuat seorang laki-laki menjadi lemah," ujar Diego.Tidak ada sahutan, hanya anggukan singkat, dan lagi-lagi Arsen memejamkan kelopak matanya. Hal itu jelas saja membuat Diego khawatir, takut terjadi apa-apa terhadap bosnya."Masa depanku benar-benar dihancurkan, Die. Aku sudah tidak punya kekuatan apa-apa lagi," bisik Arsen."Bapak masih punya saya dan Bu Shyanala," sahut Diego.Arsen menggeleng. "Apa yang akan kukatakan pada Shyanala tentang anak itu? Kalau hanya menyertakan hasil lab saat aku berada dalam pengaruh obat perangsang, itu akan tetap membuatnya sakit hati."Diego tidak mampu menyahut, ia hanya bisa menatap Arsen yang terlihat sangat hancur."Aku tidak mau kehilangan Shyanala," bisik Arsen dengan kepala yang masih menunduk."Bu Shyanala tidak akan meninggalkan Bapak."Helaan napas kasar terdengar begitu menyayat. Siapa yang bisa menjamin Shyanala tidak akan meninggalkannya? Pikir Arsen."Kenapa Mama tega sekali padaku? Bukankah aku anaknya? Kenapa Mama malah menghancurkanku?" Air mata tumpah dari mata Arsen, tetapi Arsen langsung menghapusnya menggunakan telapak tangan.Sosok yang dikenal tegas di hadapan para staf, yang dikenal garang di hadapan para anak buahnya. Kini terlihat sangat terpuruk dan tidak berdaya.Kalau Kinara bukan mama kandungnya, mungkin Arsen tidak akan sehancur ini. Kalau Kinara adalah orang lain, mungkin Arsen bisa langsung bertanya dan menuntut pertanggungjawaban.Namun, Arsen tidak bisa melakukan itu. Bukan hanya rasa pedih di hatinya saat harus melawan sang mama, tetapi juga karena wanita paruh baya itu tidak mau menemuinya."Apa aku bukan anak yang diharapkan? Sehingga mama harus membenciku?" gumam Arsen.Diego tidak dapat menjawab semua pertanyaan itu, ia hanya bisa terus mengawasi Arsen agar bosnya itu tidak kehilangan kendali."Aku tidak pernah mendapatkan jawaban dari papa, meskipun pertanyaan itu terus ada, Die.""Pasti ada alasan, Pak. Tidak mungkin Pak Rafael menyembunyikan begitu saja," sahut Diego.Arsen mengangguk, ia juga menduga seperti itu, tetapi papanya tidak pernah jujur. Bagaimana ia bisa tahu?"Kalaupun Pak Rafael menyembunyikannya, berarti juga ada alasannya. Yang pasti... itu demi kebaikan Bapak. Karena saya sama-sama mengenal baik Bapak dan Pak Rafael, tidak mungkin Pak Rafael menjerumuskan Bapak," jelas Diego.Hening! Arsen masih tidak bergeming.Namun, pikirannya turut menyetujui ucapan Diego. Pasti ada sesuatu yang dijaga oleh sang papa, dan ia tidak boleh tahu itu."Tenangkan diri dulu, Pak. Semua ini pasti membuat Bapak terpukul, tapi setiap kejadian selalu ada hikmahnya. Meskipun... untuk saat ini kita belum tahu apa, yang jelas hikmah itu selalu ada." Diego mencoba menenangkan Arsen, berharap bisa sedikit mereda kegundahan di hati bosnya itu.Arsen kembali mengangguk, ia kembali melihat ke arah amplop yang tergeletak di meja kaca itu. Pria itu menghela napas kasar, mencoba menerima takdir yang menurutnya sangat menyakitkan."Aku harus menjelaskan apa kepada Shyanala? Aku sudah berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Tapi kenapa sekarang masalahnya semakin bertambah?" batin Arsen, kalut. ***Di tempat lain, Kinara baru saja selesai menyuapi Larissa sarapan. Kedua wanita itu tampak tenang meskipun tahu kemarin Diego sudah mengambilkan hasil tes DNA.Leher wanita itu masih diberi penyangga, sehingga ia belum bisa bebas bergerak. Beruntung Kinara mau mengurusnya, karena wanita paruh baya itu pun juga mengharapkan kelahiran janin yang dikandung Larissa."Kira-kira bagaimana reaksi Arsen sekarang, ya, Tante?" tanya Larissa."Yang pasti dia syok," sahut Kinara. "Dia tidak percaya kalau janin itu benar-benar benihnya, dan malah menuduhmu. Tidak tahu saja kalau kau memang khusus disiapkan untuk Arsen."Larissa terkekeh. "Benar, Tante. Meskipun aku bukan perawan, tapi rahimku hanya boleh diisi oleh benih dari Arsen."Kinara tersenyum puas, dalam hatinya wanita itu tertawa membayangkan hancurnya Rafael dan Adele saat mengetahui putra mereka mempunyai anak dari wanita selain istrinya."Tante punya rencana bagus, Sa," ucap Kinara yang sontak membuat Larissa membelalakkan mata."Apa?""Kita akan pindah ke Jember. Jadi kau bisa melahirkan dan dengan mudah membawa bayimu ke hadapan Shaynala. Kalau di sini sepertinya tidak bisa, karena Arsen sudah mengganti pengawalnya. Pengawal yang menjadi komplotan kita saat itu sudah dipecat," jelas Kinara."Tapi... bagaimana caranya keluar dari sini? Pengawal itu pasti akan lapor kepada Arsen, belum lagi rekaman CCTV yang selalu dipantau, Tante," sahut Larissa, bingung.Bukannya langsung menjawab, Kinara malah terkekeh. "Kalau itu kamu serahkan saja sama Tante, pokoknya kamu terima beres."Larissa manggut-manggut mendengar penjelasan Kinara, ia langsung diam dan percaya saja dengan rencana wanita paruh baya itu."Kita akan lebih mudah menghancurkan kalau ada di kota yang sama dengan mereka. Yeah... meskipun butuh waktu lama untuk pindah ke Jember karena Tante harus membereskan pengawal-pengawal keparat itu. Tapi tidak masalah, yang penting kamu bisa melahirkan di Jember," terang wanita paruh baya itu yang sontak membuat Larissa berbinar."Iya, Tante. Tante benar! Aku akan membantu kalau Tante perintahkan nanti."Kinara hanya menimpali dengan anggukan, dengan sudut bibirnya menyunggingkan senyum.'Selain untuk menghancurkan Arsen dan Shyanala, aku juga akan membalas dendam kepada Rafael dan Adele,' batin Kinara dengan sorot mata tajam.*********Halo teman-teman, bagaimana nih kabarnya? Semoga sehat selalu yaa.InsyaAllah mulai hari ini mulai rutin update ya, teman-teman. Mohon maaf sekali atas ketidaknyamanannya kemarin.Happy reading.Salam sayang.Arsen dan Diego keluar untuk sarapan setelah menghabiskan banyak waktu di ruang kerja. Arsen terlihat agak diam, sementara Diego turut mengheningkan suara."Kalian baik-baik saja? Kok setelah keluar dari ruang kerja terlihat murung begini?" tanya Shaynala."Ah, kami baik-baik saja, Dek," sahut Arsen. "Ada proyek berat yang cukup menyita pikiran tadi, jadi pembahasannya agak berat. Maaf, ya, kalau kami masih terbawa suasana," jelasnya.Shaynala mengangguk, bertanya-tanya dan mencoba memahami apakah ada kebohongan yang disembunyikan oleh Arsen dan Diego.Namun, akhirnya Shaynala memilih untuk mempercayai mereka meskipun masih ada keraguan di dalam benaknya. Ia tidak ingin memikirkan hal yang berat karena khawatir akan mempengaruhi kandungannya."Aku kira ada apa, Mas," sahut Shaynala dengan senyum tipis.Arsen juga tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Dek. Jangan khawatirkan apapun, ya."Pria itu merasa lega melihat istrinya mengangguk, meskipun ia merasa menyesal tidak bisa jujur dengan Shay
Kaindra segera beranjak ke kamar Melati dan mencari berkas rahasia itu. Lemari, laci nakas, bawah ranjang, semuanya ia buka. Namun, belum juga menemukan berkas rahasia itu.Degup jantungnya naik beberapa kali lipat saat jarum jam terus bergulir. Ia takut Bibi dan Melati sadar sebelum ia mendapatkan berkasnya."Di mana ini?!" pekiknya dengan suara tertahan.Kedua tangannya mencengkram pinggang, mata elangnya terus mencari hingga akhirnya pandangannya tertuju pada meja belajar yang terletak di dekat jendela."Apa mungkin Melati menaruh berkasnya di laci meja itu?" Kaindra melangkah ke dekat meja putih segi panjang itu, tangannya segera mencoba membuka lacinya.Namun, terkunci. Pria itu mengerutkan kening, sekarang bagaimana cara membukanya? Sedangkan ia tidak membawa apa-apa yang bisa digunakan sebagai kunci."Ada saja masalahnya," gerutu Kaindra, tetapi ia tetap berusaha mencari kunci laci itu.Tangannya mengubek-ubek meja belajar itu, sampai akhirnya ia menemukan kotak kecil berisi al
Perusahaan Starlight | Ruang kerja Aaraf.Pagi ini Ryon menghadap dengan membawa berkas rahasia perusahaan yang kemarin diberikan oleh Kaindra, pria itu juga menunjukkan rekaman CCTV yang telah ia salin dari kediaman Jamal."Kaindra tidak bersalah, Pak. Dia hanya korban fitnah," ucap Ryon saat rekaman CCTV itu berakhir.Ia tahu seberapa berat pengorbanan Kaindra selama ini, menyakinkan Aaraf bukankah hal yang mudah. Apalagi Aaraf sudah terlanjur sakit hati dan menolak bertemu Kaindra.Sehingga Ryon memutuskan untuk menengahi, ia berharap Aaraf luluh. Jadi saat Kaindra datang nanti, sahabatnya itu tidak terlalu kesusahan."Dan saat ini Kaindra sedang menghukum orang-orang itu, Pak. Melati, Jamal, dan satu pria itu sudah masuk ke dalam rencana jebakan yang dibuat oleh Kaindra. Kaindra sudah mencoba bertanggung jawab, Pak," jelas Ryon.Hening! Aaraf masih terus diam.Netranya menatap bergantian ke arah berkas yang ada di dalam map itu dan tablet yang kini sudah mati, meskipun begitu reka
Jamal langsung dilarikan ke UGD, Melati langsung menghubungi anggota keluarga yang lain termasuk juga Kaindra. Hal itu jelas saja membuat Bruno tidak terima."Kenapa kamu menghubungi Kaindra?""Memangnya kenapa? Dia cucunya Kakek, jadi dia berhak tahu kondisi Kakek," sahut Melati sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.Pria itu terkekeh. "Kaindra berhak tahu, atau memang kamu saja yang ingin bertemu pria itu?""Apa, sih, Bruno. Kamu nggak jelas banget!"Bukannya tersinggung, Bruno malah terkekeh melihat Melati marah."Aku tahu kemarin Kaindra mengantar kamu pulang, dan dia baru pulang hampir adzan maghrib. Itu lama sekali, Mel. Memangnya kalian ngomongin apa?"Gadis itu tertegun, cukup terkejut karena Bruno tahu semuanya."Kau mengikutiku?" tanya Melati."Iya, aku mengikutimu. Aku hanya ingin memastikan wanitaku tidak dekat-dekat pria lain, tapi sepertinya kemarin kau nyaman dengan pria selain aku, Mel. Apa kau lupa dengan yang sudah kita lakukan di hotel—""Diam, Bruno!" potong
Arsen dan Shaynala sampai di pesantren saat jam makan siang, mereka langsung masuk dan disambut oleh Aaraf dan Kayshilla untuk diajak ke ruang makan."Abi dengar dari Ryon, katanya kemarin Jamal Bratayeksa masuk rumah sakit," ucap Aaraf saat keempat orang itu baru menyelesaikan makannya."Sakit apa, Bi?" tanya Arsen."Serangan jantung katanya." Aaraf bangkit dan mengajak putri serta menantunya ke ruang keluarga, mereka berbinar ditemani teh hangat dan makanan ringan. "Ryon juga bilang Kaindra kemarin ada perjalanan bisnis ke Jember, salah satunya bertemu papa kamu, Sen."Arsen mengerutkan kening saat mertuanya membahas tentang Kaindra. Tidak biasanya seperti ini, apa ada sesuatu? Pikir Arsen."Tapi Ryon bilang Kaindra akan segera pulang, dan Abi akan menemui Kaindra nanti kalau dia sudah sampai Kediri," lanjut Aaraf yang semakin membuat Arsen mengernyit bingung.Tidak hanya Arsen saja, tetapi juga Shaynala yang sepertinya menangkap perubahan sang Abi."Kalau boleh tahu, ada urusan apa
Kelopak mata Jamal bergetar lirih, Kaindra sedikit memundurkan kursinya ke belakang. Sepersekian detik kemudian mata keriput itu terbuka, mengedar ke sekeliling dan akhirnya menyadari sang cucu kesayangan berada di sampingnya."Ndra ..," ujar Jamal dengan suara lirih.Kaindra tidak menyahut, pria itu segera memencet tombol yang ada di sisi ranjang guna memanggil dokter. Jamal terus menatap ke arah Kaindra, sedangkan yang ditatap hanya diam saja, hingga akhirnya dokter dan perawat masuk untuk memeriksa Jamal.Pria tua itu terus melayangkan tatapan sendu ke arah sang cucu, bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun, suaranya terasa seperti tertelan ke tenggorokan."Kondisi pasien sudah lebih baik dari sebelumnya, Pak. Tapi kami tetap akan mengontrol sampai beberapa jam ke depan, kalau semakin baik maka pasien tidak jadi di rujuk ke rumah sakit besar," kata Dokter."Baik, Dok. Terima kasih banyak," sahut Kaindra.Pria dalam balutan jas putih itu mengangguk. "Jangan di
Pemakaman Jamal diiringi isak tangis dari semua anak dan cucunya, tentunya terkecuali Kaindra. Pria itu masih terus mempertahankan raut datarnya di prosesi pemakaman malam ini.Netra elangnya memperhatikan semua anggota keluarga dan anak buah Jamal yang hadir di bumi pemakaman ini, hingga pandangannya terkunci pada satu pria yang tengah menatapnya dengan nyalang.'Bukankah dia yang digosipkan pacarnya Melati dulu?' batin Kaindra dan langsung membuang pandangan ke arah lain.Sementara Bruno terus memperhatikan Kaindra, rahang kokoh itu mengetat saat kemarin gagal menyingkirkan Kaindra. Apalagi beberapa kali ia melihat Melati menangis di pundak Kaindra, hal itu semakin membuatnya geram.'Dia akan segera lenyap di tanganku!' batin Bruno.Acara pemakaman selesai, Kaindra melangkah lebih dulu meninggalkan sepetak tanah basah itu, sementara Melati turut mengekor di belakangnya."Aku ikut mobil kamu, ya, Kak," ucap Melati yang tanpa sadar menarik perhatian Bruno yang berjalan tidak jauh dari
Hari-hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa kini sudah tujuh hari pasca meninggalnya Jamal dan baru malam ini pula Kaindra datang ke rumah duka.Melati sangat bahagia saat Kaindra mau datang, terlebih lagi ia sudah lama tidak berjumpa dengan pria pujaannya itu.Namun, senyum kebahagiaan yang terukir di bibir Melati langsung sirna begitu melihat Kaindra membawa undangan pernikahannya dengan Rashita. Tanpa sadar gadis itu meremas undangan yang dibawa Kaindra, wajah mungilnya memerah karena menahan amarah."Sudah kubilang Kaindra tidak pernah melihatmu, Mel. Kau saja yang terlalu percaya diri. Selama ini ia tidak datang bukan hanya sibuk dengan pertemuan bisnis di luar kota, tapi juga sibuk mengurus pernikahannya," kata Bruno.Gadis itu terdiam, ia kembali melihat undangan pernikahan yang ada di tangan kanannya. Hatinya kini terasa di remas-remas dan sakit sekali."Mau kau lihat sampai seribu kali pun, nama di undangan itu tetap Rashita dan tidak akan berubah menjadi Melati!" tukas Brun