Setelah Karin pulang, Shaynala masih duduk sendirian di kamarnya, merenung. Dia mengelus perutnya yang masih buncit dengan lembut, sambil memandang ke depan dengan tatapan kosong.
"Aku hamil?" gumamnya dengan suara pelan.Pikirannya masih kacau dan dia terkejut. Dia telah menghitung jadwal haidnya sejak tadi."Wah, ini terjadi begitu cepat," gumamnya lagi. "Haruskah aku memberitahu Mas Arsen? Atau sebaiknya aku diam saja?"Dia menghela napas dengan keras, lalu menggelengkan kepala."Ah, tidak usah. Aku tidak akan memberitahunya dulu, biar nanti menjadi kejutan. Lagipula, sebentar lagi adalah ulang tahun Mas Arsen," ucapnya sambil tertawa kecil.Shaynala menerima berita ini dengan bahagia, sambil terus memperhatikan perutnya yang masih rata dan mengelusnya dengan lembut."Terima kasih telah datang, Nak. Allah mengirimkanmu ke dalam rahim Mama sebagai penguat hubungan antara Papa dan Mama yang hampir hancur. Semoga, setelah kehadiranmu ... semuanya akan menjadi lebih baik, Nak," bisiknya. "Terima kasih, Ya Allah."Shaynala mengusap air mata yang mengalir di pipinya, air mata kebahagiaan saat dia membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu."Mulai hari ini, selain menjaga pola makan, aku juga harus menjaga pikiranku agar tidak stres. Aku harus percaya bahwa Mas Arsen bisa menyelesaikan semua masalahnya, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir," pikir Shaynala, sambil tersenyum manis.***Ekadanta Company | Ruang Kerja Arsen."Dokter sudah menghubungi kalau hasil tes DNA-nya sudah keluar, Die. Tapi aku tidak bisa ke sana, Shaynala bisa curigai kalau aku ke sana lagi, sementara dua minggu lalu kita baru saja dari sana," ucap Arsen.Beberapa menit lalu ia mendapat telepon dari dokter tentang hasil tes DNA. Arsen senang hasilnya sudah siap, tetapi di sisi lain ia bingung karena tidak mungkin datang ke sana."Apa kamu bisa ke sana, Die?" tanya Arsen.Diego mengangguk. "Bisa, Pak. Setelah makan siang nanti saya akan langsung berangkat. Setelah ini saya akan menyelesaikan beberapa pekerjaan dan menyerahkannya kepada sekretaris saya, jadi nanti tidak akan terbengkalai jika saya pergi."Arsen tersenyum mendengar jawaban Diego, asisten pribadinya itu memang sangat bisa diandalkan."Nanti kamu pakai mobilku saja, aku akan pulang naik taksi. Untuk biaya akomodasi dan lain-lain, aku akan kirim ke rekeningmu," ucap Arsen yang langsung disahut dengan gelengan kepala oleh Diego."Jangan, Pak. Saya bisa—""Tidak ada penolakan, Die. Ini perintah, jadi kamu harus mau menerimanya," potong Arsen dengan cepat."Tapi, Pak—" Ucapan Diego sontak terhenti saat melihat Arsen mengangkat telapak tangan, tanda ia harus berhenti bersuara.Diego akhirnya hanya bisa mengangguk dengan helaan napas pasrah."Ini perintah, Die," ucap Arsen dengan tegas."Baik, Pak."Arsen mengangguk puas. Kemudian dua pria itu berbincang-bincang mengenai perjalanan nanti, baru setelahnya Diego pamit ke ruangannya dan segera menyelesaikan sisa pekerjaan.Meninggalkan Arsen sendirian di ruangan besar itu dengan isi kepala yang masih berkecamuk.'Larissa dan Mama tidak mungkin bisa menyabotase hasilnya, jadi sudah pasti hasil DNA itu adalah sebuah kebenaran. Ya Allah ... semoga bukan aku ayah biologis janin itu,' batin Arsen.Kelopak mata itu masih terpejam, seakan ia benar-benar mengharap keadilan untuk dirinya. Ia tahu Larissa adalah wanita panggilan, tidak mustahil kalau wanita itu juga mengandung benih dari pria lain.•Siang hari.Setelah keberangkatan Diego, Arsen memilih pulang dan menuju kediaman orang tuannya. Nanti malam ada acara ulang tahun sang Mama Adele.Shaynala baru saja mengirim pesan kalau ia sudah tiba di rumah Rafael dan Adele sejak tadi, tetapi ia tidak bisa membantu karena kepalanya pusing. Sehingga Arsen datang untuk menjemput."Kalau pusing, kenapa dipaksakan ke sini, Sayang? Seharusnya kamu istirahat saja di rumah. Atau perlu Mas panggilkan dokter?" tanya Arsen dengan khawatir.Setelah sampai di kediaman mewah ini, ia langsung menuju kamar dan menemui istrinya yang sedang beristirahat. Arsen mengelus lembut garis wajah pucat itu. Jelas sekali kekhawatiran tergambar di sorot mata pria itu."Aku nggak apa-apa, Mas," sahut Shaynala dengan gelengan samar."Tapi kamu pucat, masa nggak mau dipanggilkan dokter?"Shaynala langsung menggeleng. Bukannya tidak mau diobati, ia takut kehamilannya terbongkar kalau dokter memeriksanya nanti."Ya sudah, Mas. Temani aku di sini dulu. Kamu sudah makan?""Sudah, tadi disuapi Mama," jawab Shaynala dengan tawa kecil.Arsen mengerutkan kening bingung. Tidak biasanya Shaynala suka tertawa seperti ini, sedari tadi pun bibirnya terus tersenyum.Padahal wajah cantik itu tengah pucat, sorot matanya juga sayu dan badannya sedikit panas. Namun, kenapa Shaynala terus tertawa? Setahu Arsen selama ini Shaynala hanya bisa diam ketika sakit.'Ah, mungkin moodnya sedang bagus. Baguslah kalau begitu,' batin Arsen, meskipun masih merasa aneh."Eum ... Mas, di depan ada pohon mangga 'kan? Aku pengen, deh," ucap Shaynala."Tapi mangganya belum matang, Dek. Mau Mas belikan saja di supermarket?"Shaynala sontak menggeleng. "Nggak mau, Mas. Aku aku mangga muda di depan rumah ini, mangganya harus kamu petik sendiri. Jangan yang terlalu matang, aku mau yang asam. Asam banget nggak papa, malah enak.""Tidak! Kamu ini lagi sakit malah aneh-aneh mau makan mangga muda, nanti kalau tambah panas bagaimana?"Bibir merah itu mengerucut saat keinginannya tidak dikabulkan, netranya langsung berembun yang membuat Arsen hanya mampu menghela napas kasar."Kamu bisa sakit perut kalau makan mangga muda, lebih baik Mas belikan saja di supermarket, ya."Lagi, gelengan kepala yang ditunjukkan Shaynala membuat Arsen semakin frustasi."Aku maunya mangga muda, kalau kamu nggak mau ambil, ya, nggak papa. Aku akan ambil sendiri," ucapnya dah langsung beranjak bangun."Eh!" Arsen menahan tubuh Shaynala dan kembali membaringkannya di ranjang. "Baiklah, Mas ambilkan. Tapi satu saja, ya," tanyanya yang sontak membuat Shaynala mengangguk antusias.Pria itu menghela napas kasar dan segera bergegas mengambilkan keinginan istrinya.'Aneh sekali Shaynala. Selama menikah baru kali ini sikapnya aneh,' batin Arsen yang masih geleng-geleng kepala memiliki perubahan sikap istrinya tadi.Setelah mendapat mangga muda yang diinginkan Shaynala, Arsen segera memberikannya dan tidak lama setelah mangga itu dimakan, Shaynala bisa tidur dengan nyenyak.Arsen terkekeh gemas, ia melabuhkan kecupan hangat pada kening sang istri."Apapun itu, aku harap tidak terjadi sesuatu yang buruk padamu, Dek," bisik Arsen. ***Keesokkan harinya.Pagi ini Arsen baru pulang dari kediaman orang tuanya setelah semalam menginap di sana. Acara ulang tahun Adele selesai jam sembilan malam dan wanita paruh baya itu meminta putra serta menantunya menginap, tentu saja pasangan itu tidak bisa menolak."Aku mau ke dapur dulu, Mas. Sepertinya Bibi sudah selesai menyiapkan sarapan," ucap Shaynala."Iya, Dek. Jangan capek-capek kalau masih pusing."Wanita cantik itu hanya mengangguk kemudian melanjutkan langkah ke dapur. Sementara Arsen memilih duduk di sofa, hingga beberapa menit kemudian telinganya mendengar suara deru mobil masuk ke pekarangan rumahnya.Arsen bangkit dan beranjak ke depan, kedua ujung bibirnya terangkat mengulas senyum saat melihat mobil Diego terparkir di halaman luas itu."Silakan masuk, Die. Ayo sekalian ikut sarapan bersama," ucap Arsen seraya merangkul Diego untuk masuk ke dalam rumah."Terima kasih, Pak. Saya datang membawa hasil tes DNA-nya," sahut Diego."Kau tidak istirahat? Langsung pulang ke sini?" tanya Arsen, wajah tampan itu tampak terkejut.Diego mengangguk. "Benar, Pak. Menurut saya lebih cepat lebih baik, jadi saya langsung bawa hasilnya ke sini."Arsen menepuk-nepuk bahu Diego seakan bangga dengan kinerja asisten pribadinya tersebut, stamina Diego memang tidak diragukan lagi.Arsen membawa langkah menuju ruang kerja, tidak lupa ia mengunci pintu dan menyalakan alat kedap suara agar tidak ada seorang pun yang tahu obrolan pagi ini."Ini hasil dari rumah sakit, Pak." Diego menyodorkan sebuah amplop bertuliskan logo rumah sakit, dan Arsen langsung mengambilnya.Arsen membukanya dengan cepat karena sudah tidak sabar, detik berikutnya kedua pupil matanya membelalak lebar, dan mulutnya terbuka dengan kaget."Tidak mungkin!" pekiknya sambil menggelengkan kepala.Arsen mencoba untuk tidak percaya dengan hasil yang ada di depannya. Beberapa kali ia mengalihkan pandangannya dari kertas itu ke arah Diego. Namun, asisten pribadinya hanya mampu menunduk.'Ya Tuhan... tidak mungkin janin itu....'***Bab ini sebagai permintaan maaf saya karena sudah libur panjang. maaf yaa teman-teman 🥲Kertas itu menunjukkan kecocokan antara DNA Arsen dengan janin yang dikandung Larissa. Tubuhnya yang kekar langsung lemas, dan ia merasakan getaran yang hebat karena menolak fakta ini."Kau sudah memastikan kalau tidak ada yang menyabotase hasilnya, Die? Tidak ada kebocoran di sini, kan?" tanya Arsen dengan suara lemah.Anggukan dari Diego membuatnya semakin memejamkan mata. Oh Tuhan... apa yang harus ia jelaskan kepada Shaynala nanti?"Saya sudah mengecek CCTV rumah sakit itu beberapa kali, Pak. Dan hasilnya tetap sama, tidak ada yang mencurigakan. Bahkan dokter turut mengklarifikasi kalau tes DNA ini dikawal ketat oleh orang-orang kita," jelas Diego dengan napas berat.Arsen tidak mampu menyahut, ia hanya bisa menggelengkan kepala seakan menolak fakta ini."Kata dokter, Larissa dan Bu Kinara sudah pulang sepuluh hari lalu, Pak. Keadaan Larissa baik dan janinnya selamat, tapi saya tidak mengecek ke rumah mereka." Diego melanjutkan ucapannya.Sesekali, Diego akan mendongakkan kepala da
Arsen dan Diego keluar untuk sarapan setelah menghabiskan banyak waktu di ruang kerja. Arsen terlihat agak diam, sementara Diego turut mengheningkan suara."Kalian baik-baik saja? Kok setelah keluar dari ruang kerja terlihat murung begini?" tanya Shaynala."Ah, kami baik-baik saja, Dek," sahut Arsen. "Ada proyek berat yang cukup menyita pikiran tadi, jadi pembahasannya agak berat. Maaf, ya, kalau kami masih terbawa suasana," jelasnya.Shaynala mengangguk, bertanya-tanya dan mencoba memahami apakah ada kebohongan yang disembunyikan oleh Arsen dan Diego.Namun, akhirnya Shaynala memilih untuk mempercayai mereka meskipun masih ada keraguan di dalam benaknya. Ia tidak ingin memikirkan hal yang berat karena khawatir akan mempengaruhi kandungannya."Aku kira ada apa, Mas," sahut Shaynala dengan senyum tipis.Arsen juga tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Dek. Jangan khawatirkan apapun, ya."Pria itu merasa lega melihat istrinya mengangguk, meskipun ia merasa menyesal tidak bisa jujur dengan Shay
Kaindra segera beranjak ke kamar Melati dan mencari berkas rahasia itu. Lemari, laci nakas, bawah ranjang, semuanya ia buka. Namun, belum juga menemukan berkas rahasia itu.Degup jantungnya naik beberapa kali lipat saat jarum jam terus bergulir. Ia takut Bibi dan Melati sadar sebelum ia mendapatkan berkasnya."Di mana ini?!" pekiknya dengan suara tertahan.Kedua tangannya mencengkram pinggang, mata elangnya terus mencari hingga akhirnya pandangannya tertuju pada meja belajar yang terletak di dekat jendela."Apa mungkin Melati menaruh berkasnya di laci meja itu?" Kaindra melangkah ke dekat meja putih segi panjang itu, tangannya segera mencoba membuka lacinya.Namun, terkunci. Pria itu mengerutkan kening, sekarang bagaimana cara membukanya? Sedangkan ia tidak membawa apa-apa yang bisa digunakan sebagai kunci."Ada saja masalahnya," gerutu Kaindra, tetapi ia tetap berusaha mencari kunci laci itu.Tangannya mengubek-ubek meja belajar itu, sampai akhirnya ia menemukan kotak kecil berisi al
Perusahaan Starlight | Ruang kerja Aaraf.Pagi ini Ryon menghadap dengan membawa berkas rahasia perusahaan yang kemarin diberikan oleh Kaindra, pria itu juga menunjukkan rekaman CCTV yang telah ia salin dari kediaman Jamal."Kaindra tidak bersalah, Pak. Dia hanya korban fitnah," ucap Ryon saat rekaman CCTV itu berakhir.Ia tahu seberapa berat pengorbanan Kaindra selama ini, menyakinkan Aaraf bukankah hal yang mudah. Apalagi Aaraf sudah terlanjur sakit hati dan menolak bertemu Kaindra.Sehingga Ryon memutuskan untuk menengahi, ia berharap Aaraf luluh. Jadi saat Kaindra datang nanti, sahabatnya itu tidak terlalu kesusahan."Dan saat ini Kaindra sedang menghukum orang-orang itu, Pak. Melati, Jamal, dan satu pria itu sudah masuk ke dalam rencana jebakan yang dibuat oleh Kaindra. Kaindra sudah mencoba bertanggung jawab, Pak," jelas Ryon.Hening! Aaraf masih terus diam.Netranya menatap bergantian ke arah berkas yang ada di dalam map itu dan tablet yang kini sudah mati, meskipun begitu reka
Jamal langsung dilarikan ke UGD, Melati langsung menghubungi anggota keluarga yang lain termasuk juga Kaindra. Hal itu jelas saja membuat Bruno tidak terima."Kenapa kamu menghubungi Kaindra?""Memangnya kenapa? Dia cucunya Kakek, jadi dia berhak tahu kondisi Kakek," sahut Melati sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.Pria itu terkekeh. "Kaindra berhak tahu, atau memang kamu saja yang ingin bertemu pria itu?""Apa, sih, Bruno. Kamu nggak jelas banget!"Bukannya tersinggung, Bruno malah terkekeh melihat Melati marah."Aku tahu kemarin Kaindra mengantar kamu pulang, dan dia baru pulang hampir adzan maghrib. Itu lama sekali, Mel. Memangnya kalian ngomongin apa?"Gadis itu tertegun, cukup terkejut karena Bruno tahu semuanya."Kau mengikutiku?" tanya Melati."Iya, aku mengikutimu. Aku hanya ingin memastikan wanitaku tidak dekat-dekat pria lain, tapi sepertinya kemarin kau nyaman dengan pria selain aku, Mel. Apa kau lupa dengan yang sudah kita lakukan di hotel—""Diam, Bruno!" potong
Arsen dan Shaynala sampai di pesantren saat jam makan siang, mereka langsung masuk dan disambut oleh Aaraf dan Kayshilla untuk diajak ke ruang makan."Abi dengar dari Ryon, katanya kemarin Jamal Bratayeksa masuk rumah sakit," ucap Aaraf saat keempat orang itu baru menyelesaikan makannya."Sakit apa, Bi?" tanya Arsen."Serangan jantung katanya." Aaraf bangkit dan mengajak putri serta menantunya ke ruang keluarga, mereka berbinar ditemani teh hangat dan makanan ringan. "Ryon juga bilang Kaindra kemarin ada perjalanan bisnis ke Jember, salah satunya bertemu papa kamu, Sen."Arsen mengerutkan kening saat mertuanya membahas tentang Kaindra. Tidak biasanya seperti ini, apa ada sesuatu? Pikir Arsen."Tapi Ryon bilang Kaindra akan segera pulang, dan Abi akan menemui Kaindra nanti kalau dia sudah sampai Kediri," lanjut Aaraf yang semakin membuat Arsen mengernyit bingung.Tidak hanya Arsen saja, tetapi juga Shaynala yang sepertinya menangkap perubahan sang Abi."Kalau boleh tahu, ada urusan apa
Kelopak mata Jamal bergetar lirih, Kaindra sedikit memundurkan kursinya ke belakang. Sepersekian detik kemudian mata keriput itu terbuka, mengedar ke sekeliling dan akhirnya menyadari sang cucu kesayangan berada di sampingnya."Ndra ..," ujar Jamal dengan suara lirih.Kaindra tidak menyahut, pria itu segera memencet tombol yang ada di sisi ranjang guna memanggil dokter. Jamal terus menatap ke arah Kaindra, sedangkan yang ditatap hanya diam saja, hingga akhirnya dokter dan perawat masuk untuk memeriksa Jamal.Pria tua itu terus melayangkan tatapan sendu ke arah sang cucu, bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun, suaranya terasa seperti tertelan ke tenggorokan."Kondisi pasien sudah lebih baik dari sebelumnya, Pak. Tapi kami tetap akan mengontrol sampai beberapa jam ke depan, kalau semakin baik maka pasien tidak jadi di rujuk ke rumah sakit besar," kata Dokter."Baik, Dok. Terima kasih banyak," sahut Kaindra.Pria dalam balutan jas putih itu mengangguk. "Jangan di
Pemakaman Jamal diiringi isak tangis dari semua anak dan cucunya, tentunya terkecuali Kaindra. Pria itu masih terus mempertahankan raut datarnya di prosesi pemakaman malam ini.Netra elangnya memperhatikan semua anggota keluarga dan anak buah Jamal yang hadir di bumi pemakaman ini, hingga pandangannya terkunci pada satu pria yang tengah menatapnya dengan nyalang.'Bukankah dia yang digosipkan pacarnya Melati dulu?' batin Kaindra dan langsung membuang pandangan ke arah lain.Sementara Bruno terus memperhatikan Kaindra, rahang kokoh itu mengetat saat kemarin gagal menyingkirkan Kaindra. Apalagi beberapa kali ia melihat Melati menangis di pundak Kaindra, hal itu semakin membuatnya geram.'Dia akan segera lenyap di tanganku!' batin Bruno.Acara pemakaman selesai, Kaindra melangkah lebih dulu meninggalkan sepetak tanah basah itu, sementara Melati turut mengekor di belakangnya."Aku ikut mobil kamu, ya, Kak," ucap Melati yang tanpa sadar menarik perhatian Bruno yang berjalan tidak jauh dari