Share

Bab 182 (Gratis)

Setelah Karin pulang, Shaynala masih duduk sendirian di kamarnya, merenung. Dia mengelus perutnya yang masih buncit dengan lembut, sambil memandang ke depan dengan tatapan kosong.

"Aku hamil?" gumamnya dengan suara pelan.

Pikirannya masih kacau dan dia terkejut. Dia telah menghitung jadwal haidnya sejak tadi.

"Wah, ini terjadi begitu cepat," gumamnya lagi. "Haruskah aku memberitahu Mas Arsen? Atau sebaiknya aku diam saja?"

Dia menghela napas dengan keras, lalu menggelengkan kepala.

"Ah, tidak usah. Aku tidak akan memberitahunya dulu, biar nanti menjadi kejutan. Lagipula, sebentar lagi adalah ulang tahun Mas Arsen," ucapnya sambil tertawa kecil.

Shaynala menerima berita ini dengan bahagia, sambil terus memperhatikan perutnya yang masih rata dan mengelusnya dengan lembut.

"Terima kasih telah datang, Nak. Allah mengirimkanmu ke dalam rahim Mama sebagai penguat hubungan antara Papa dan Mama yang hampir hancur. Semoga, setelah kehadiranmu ... semuanya akan menjadi lebih baik, Nak," bisiknya. "Terima kasih, Ya Allah."

Shaynala mengusap air mata yang mengalir di pipinya, air mata kebahagiaan saat dia membayangkan bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu.

"Mulai hari ini, selain menjaga pola makan, aku juga harus menjaga pikiranku agar tidak stres. Aku harus percaya bahwa Mas Arsen bisa menyelesaikan semua masalahnya, jadi aku tidak perlu terlalu khawatir," pikir Shaynala, sambil tersenyum manis.

***

Ekadanta Company | Ruang Kerja Arsen.

"Dokter sudah menghubungi kalau hasil tes DNA-nya sudah keluar, Die. Tapi aku tidak bisa ke sana, Shaynala bisa curigai kalau aku ke sana lagi, sementara dua minggu lalu kita baru saja dari sana," ucap Arsen.

Beberapa menit lalu ia mendapat telepon dari dokter tentang hasil tes DNA. Arsen senang hasilnya sudah siap, tetapi di sisi lain ia bingung karena tidak mungkin datang ke sana.

"Apa kamu bisa ke sana, Die?" tanya Arsen.

Diego mengangguk. "Bisa, Pak. Setelah makan siang nanti saya akan langsung berangkat. Setelah ini saya akan menyelesaikan beberapa pekerjaan dan menyerahkannya kepada sekretaris saya, jadi nanti tidak akan terbengkalai jika saya pergi."

Arsen tersenyum mendengar jawaban Diego, asisten pribadinya itu memang sangat bisa diandalkan.

"Nanti kamu pakai mobilku saja, aku akan pulang naik taksi. Untuk biaya akomodasi dan lain-lain, aku akan kirim ke rekeningmu," ucap Arsen yang langsung disahut dengan gelengan kepala oleh Diego.

"Jangan, Pak. Saya bisa—"

"Tidak ada penolakan, Die. Ini perintah, jadi kamu harus mau menerimanya," potong Arsen dengan cepat.

"Tapi, Pak—" Ucapan Diego sontak terhenti saat melihat Arsen mengangkat telapak tangan, tanda ia harus berhenti bersuara.

Diego akhirnya hanya bisa mengangguk dengan helaan napas pasrah.

"Ini perintah, Die," ucap Arsen dengan tegas.

"Baik, Pak."

Arsen mengangguk puas. Kemudian dua pria itu berbincang-bincang mengenai perjalanan nanti, baru setelahnya Diego pamit ke ruangannya dan segera menyelesaikan sisa pekerjaan.

Meninggalkan Arsen sendirian di ruangan besar itu dengan isi kepala yang masih berkecamuk.

'Larissa dan Mama tidak mungkin bisa menyabotase hasilnya, jadi sudah pasti hasil DNA itu adalah sebuah kebenaran. Ya Allah ... semoga bukan aku ayah biologis janin itu,' batin Arsen.

Kelopak mata itu masih terpejam, seakan ia benar-benar mengharap keadilan untuk dirinya. Ia tahu Larissa adalah wanita panggilan, tidak mustahil kalau wanita itu juga mengandung benih dari pria lain.

Siang hari.

Setelah keberangkatan Diego, Arsen memilih pulang dan menuju kediaman orang tuannya. Nanti malam ada acara ulang tahun sang Mama Adele.

Shaynala baru saja mengirim pesan kalau ia sudah tiba di rumah Rafael dan Adele sejak tadi, tetapi ia tidak bisa membantu karena kepalanya pusing. Sehingga Arsen datang untuk menjemput.

"Kalau pusing, kenapa dipaksakan ke sini, Sayang? Seharusnya kamu istirahat saja di rumah. Atau perlu Mas panggilkan dokter?" tanya Arsen dengan khawatir.

Setelah sampai di kediaman mewah ini, ia langsung menuju kamar dan menemui istrinya yang sedang beristirahat. Arsen mengelus lembut garis wajah pucat itu. Jelas sekali kekhawatiran tergambar di sorot mata pria itu.

"Aku nggak apa-apa, Mas," sahut Shaynala dengan gelengan samar.

"Tapi kamu pucat, masa nggak mau dipanggilkan dokter?"

Shaynala langsung menggeleng. Bukannya tidak mau diobati, ia takut kehamilannya terbongkar kalau dokter memeriksanya nanti.

"Ya sudah, Mas. Temani aku di sini dulu. Kamu sudah makan?"

"Sudah, tadi disuapi Mama," jawab Shaynala dengan tawa kecil.

Arsen mengerutkan kening bingung. Tidak biasanya Shaynala suka tertawa seperti ini, sedari tadi pun bibirnya terus tersenyum.

Padahal wajah cantik itu tengah pucat, sorot matanya juga sayu dan badannya sedikit panas. Namun, kenapa Shaynala terus tertawa? Setahu Arsen selama ini Shaynala hanya bisa diam ketika sakit.

'Ah, mungkin moodnya sedang bagus. Baguslah kalau begitu,' batin Arsen, meskipun masih merasa aneh.

"Eum ... Mas, di depan ada pohon mangga 'kan? Aku pengen, deh," ucap Shaynala.

"Tapi mangganya belum matang, Dek. Mau Mas belikan saja di supermarket?"

Shaynala sontak menggeleng. "Nggak mau, Mas. Aku aku mangga muda di depan rumah ini, mangganya harus kamu petik sendiri. Jangan yang terlalu matang, aku mau yang asam. Asam banget nggak papa, malah enak."

"Tidak! Kamu ini lagi sakit malah aneh-aneh mau makan mangga muda, nanti kalau tambah panas bagaimana?"

Bibir merah itu mengerucut saat keinginannya tidak dikabulkan, netranya langsung berembun yang membuat Arsen hanya mampu menghela napas kasar.

"Kamu bisa sakit perut kalau makan mangga muda, lebih baik Mas belikan saja di supermarket, ya."

Lagi, gelengan kepala yang ditunjukkan Shaynala membuat Arsen semakin frustasi.

"Aku maunya mangga muda, kalau kamu nggak mau ambil, ya, nggak papa. Aku akan ambil sendiri," ucapnya dah langsung beranjak bangun.

"Eh!" Arsen menahan tubuh Shaynala dan kembali membaringkannya di ranjang. "Baiklah, Mas ambilkan. Tapi satu saja, ya," tanyanya yang sontak membuat Shaynala mengangguk antusias.

Pria itu menghela napas kasar dan segera bergegas mengambilkan keinginan istrinya.

'Aneh sekali Shaynala. Selama menikah baru kali ini sikapnya aneh,' batin Arsen yang masih geleng-geleng kepala memiliki perubahan sikap istrinya tadi.

Setelah mendapat mangga muda yang diinginkan Shaynala, Arsen segera memberikannya dan tidak lama setelah mangga itu dimakan, Shaynala bisa tidur dengan nyenyak.

Arsen terkekeh gemas, ia melabuhkan kecupan hangat pada kening sang istri.

"Apapun itu, aku harap tidak terjadi sesuatu yang buruk padamu, Dek," bisik Arsen.

***

Keesokkan harinya.

Pagi ini Arsen baru pulang dari kediaman orang tuanya setelah semalam menginap di sana. Acara ulang tahun Adele selesai jam sembilan malam dan wanita paruh baya itu meminta putra serta menantunya menginap, tentu saja pasangan itu tidak bisa menolak.

"Aku mau ke dapur dulu, Mas. Sepertinya Bibi sudah selesai menyiapkan sarapan," ucap Shaynala.

"Iya, Dek. Jangan capek-capek kalau masih pusing."

Wanita cantik itu hanya mengangguk kemudian melanjutkan langkah ke dapur. Sementara Arsen memilih duduk di sofa, hingga beberapa menit kemudian telinganya mendengar suara deru mobil masuk ke pekarangan rumahnya.

Arsen bangkit dan beranjak ke depan, kedua ujung bibirnya terangkat mengulas senyum saat melihat mobil Diego terparkir di halaman luas itu.

"Silakan masuk, Die. Ayo sekalian ikut sarapan bersama," ucap Arsen seraya merangkul Diego untuk masuk ke dalam rumah.

"Terima kasih, Pak. Saya datang membawa hasil tes DNA-nya," sahut Diego.

"Kau tidak istirahat? Langsung pulang ke sini?" tanya Arsen, wajah tampan itu tampak terkejut.

Diego mengangguk. "Benar, Pak. Menurut saya lebih cepat lebih baik, jadi saya langsung bawa hasilnya ke sini."

Arsen menepuk-nepuk bahu Diego seakan bangga dengan kinerja asisten pribadinya tersebut, stamina Diego memang tidak diragukan lagi.

Arsen membawa langkah menuju ruang kerja, tidak lupa ia mengunci pintu dan menyalakan alat kedap suara agar tidak ada seorang pun yang tahu obrolan pagi ini.

"Ini hasil dari rumah sakit, Pak." Diego menyodorkan sebuah amplop bertuliskan logo rumah sakit, dan Arsen langsung mengambilnya.

Arsen membukanya dengan cepat karena sudah tidak sabar, detik berikutnya kedua pupil matanya membelalak lebar, dan mulutnya terbuka dengan kaget.

"Tidak mungkin!" pekiknya sambil menggelengkan kepala.

Arsen mencoba untuk tidak percaya dengan hasil yang ada di depannya. Beberapa kali ia mengalihkan pandangannya dari kertas itu ke arah Diego. Namun, asisten pribadinya hanya mampu menunduk.

'Ya Tuhan... tidak mungkin janin itu....'

***

Bab ini sebagai permintaan maaf saya karena sudah libur panjang. maaf yaa teman-teman 🥲

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status