Perusahaan Starlight | Ruang kerja Aaraf.Pagi ini Ryon menghadap dengan membawa berkas rahasia perusahaan yang kemarin diberikan oleh Kaindra, pria itu juga menunjukkan rekaman CCTV yang telah ia salin dari kediaman Jamal."Kaindra tidak bersalah, Pak. Dia hanya korban fitnah," ucap Ryon saat rekaman CCTV itu berakhir.Ia tahu seberapa berat pengorbanan Kaindra selama ini, menyakinkan Aaraf bukankah hal yang mudah. Apalagi Aaraf sudah terlanjur sakit hati dan menolak bertemu Kaindra.Sehingga Ryon memutuskan untuk menengahi, ia berharap Aaraf luluh. Jadi saat Kaindra datang nanti, sahabatnya itu tidak terlalu kesusahan."Dan saat ini Kaindra sedang menghukum orang-orang itu, Pak. Melati, Jamal, dan satu pria itu sudah masuk ke dalam rencana jebakan yang dibuat oleh Kaindra. Kaindra sudah mencoba bertanggung jawab, Pak," jelas Ryon.Hening! Aaraf masih terus diam.Netranya menatap bergantian ke arah berkas yang ada di dalam map itu dan tablet yang kini sudah mati, meskipun begitu reka
Jamal langsung dilarikan ke UGD, Melati langsung menghubungi anggota keluarga yang lain termasuk juga Kaindra. Hal itu jelas saja membuat Bruno tidak terima."Kenapa kamu menghubungi Kaindra?""Memangnya kenapa? Dia cucunya Kakek, jadi dia berhak tahu kondisi Kakek," sahut Melati sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.Pria itu terkekeh. "Kaindra berhak tahu, atau memang kamu saja yang ingin bertemu pria itu?""Apa, sih, Bruno. Kamu nggak jelas banget!"Bukannya tersinggung, Bruno malah terkekeh melihat Melati marah."Aku tahu kemarin Kaindra mengantar kamu pulang, dan dia baru pulang hampir adzan maghrib. Itu lama sekali, Mel. Memangnya kalian ngomongin apa?"Gadis itu tertegun, cukup terkejut karena Bruno tahu semuanya."Kau mengikutiku?" tanya Melati."Iya, aku mengikutimu. Aku hanya ingin memastikan wanitaku tidak dekat-dekat pria lain, tapi sepertinya kemarin kau nyaman dengan pria selain aku, Mel. Apa kau lupa dengan yang sudah kita lakukan di hotel—""Diam, Bruno!" potong
Arsen dan Shaynala sampai di pesantren saat jam makan siang, mereka langsung masuk dan disambut oleh Aaraf dan Kayshilla untuk diajak ke ruang makan."Abi dengar dari Ryon, katanya kemarin Jamal Bratayeksa masuk rumah sakit," ucap Aaraf saat keempat orang itu baru menyelesaikan makannya."Sakit apa, Bi?" tanya Arsen."Serangan jantung katanya." Aaraf bangkit dan mengajak putri serta menantunya ke ruang keluarga, mereka berbinar ditemani teh hangat dan makanan ringan. "Ryon juga bilang Kaindra kemarin ada perjalanan bisnis ke Jember, salah satunya bertemu papa kamu, Sen."Arsen mengerutkan kening saat mertuanya membahas tentang Kaindra. Tidak biasanya seperti ini, apa ada sesuatu? Pikir Arsen."Tapi Ryon bilang Kaindra akan segera pulang, dan Abi akan menemui Kaindra nanti kalau dia sudah sampai Kediri," lanjut Aaraf yang semakin membuat Arsen mengernyit bingung.Tidak hanya Arsen saja, tetapi juga Shaynala yang sepertinya menangkap perubahan sang Abi."Kalau boleh tahu, ada urusan apa
Kelopak mata Jamal bergetar lirih, Kaindra sedikit memundurkan kursinya ke belakang. Sepersekian detik kemudian mata keriput itu terbuka, mengedar ke sekeliling dan akhirnya menyadari sang cucu kesayangan berada di sampingnya."Ndra ..," ujar Jamal dengan suara lirih.Kaindra tidak menyahut, pria itu segera memencet tombol yang ada di sisi ranjang guna memanggil dokter. Jamal terus menatap ke arah Kaindra, sedangkan yang ditatap hanya diam saja, hingga akhirnya dokter dan perawat masuk untuk memeriksa Jamal.Pria tua itu terus melayangkan tatapan sendu ke arah sang cucu, bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun, suaranya terasa seperti tertelan ke tenggorokan."Kondisi pasien sudah lebih baik dari sebelumnya, Pak. Tapi kami tetap akan mengontrol sampai beberapa jam ke depan, kalau semakin baik maka pasien tidak jadi di rujuk ke rumah sakit besar," kata Dokter."Baik, Dok. Terima kasih banyak," sahut Kaindra.Pria dalam balutan jas putih itu mengangguk. "Jangan di
Pemakaman Jamal diiringi isak tangis dari semua anak dan cucunya, tentunya terkecuali Kaindra. Pria itu masih terus mempertahankan raut datarnya di prosesi pemakaman malam ini.Netra elangnya memperhatikan semua anggota keluarga dan anak buah Jamal yang hadir di bumi pemakaman ini, hingga pandangannya terkunci pada satu pria yang tengah menatapnya dengan nyalang.'Bukankah dia yang digosipkan pacarnya Melati dulu?' batin Kaindra dan langsung membuang pandangan ke arah lain.Sementara Bruno terus memperhatikan Kaindra, rahang kokoh itu mengetat saat kemarin gagal menyingkirkan Kaindra. Apalagi beberapa kali ia melihat Melati menangis di pundak Kaindra, hal itu semakin membuatnya geram.'Dia akan segera lenyap di tanganku!' batin Bruno.Acara pemakaman selesai, Kaindra melangkah lebih dulu meninggalkan sepetak tanah basah itu, sementara Melati turut mengekor di belakangnya."Aku ikut mobil kamu, ya, Kak," ucap Melati yang tanpa sadar menarik perhatian Bruno yang berjalan tidak jauh dari
Hari-hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa kini sudah tujuh hari pasca meninggalnya Jamal dan baru malam ini pula Kaindra datang ke rumah duka.Melati sangat bahagia saat Kaindra mau datang, terlebih lagi ia sudah lama tidak berjumpa dengan pria pujaannya itu.Namun, senyum kebahagiaan yang terukir di bibir Melati langsung sirna begitu melihat Kaindra membawa undangan pernikahannya dengan Rashita. Tanpa sadar gadis itu meremas undangan yang dibawa Kaindra, wajah mungilnya memerah karena menahan amarah."Sudah kubilang Kaindra tidak pernah melihatmu, Mel. Kau saja yang terlalu percaya diri. Selama ini ia tidak datang bukan hanya sibuk dengan pertemuan bisnis di luar kota, tapi juga sibuk mengurus pernikahannya," kata Bruno.Gadis itu terdiam, ia kembali melihat undangan pernikahan yang ada di tangan kanannya. Hatinya kini terasa di remas-remas dan sakit sekali."Mau kau lihat sampai seribu kali pun, nama di undangan itu tetap Rashita dan tidak akan berubah menjadi Melati!" tukas Brun
"Kita akan menginap di sini, Tante?" tanya Larissa."Iya, rumahnya Arsen juga tidak jauh dari hotel ini. Jadi cocok sekali kalau kita menginap di sini untuk sementara waktu," sahut Kinara.Larissa mengangguk setuju. Di usia kandungannya yang sudah memasuki sembilan bulan, Larissa tidak bisa banyak protes dan hanya bisa menurut saja. Yang terpenting nanti kebutuhannya dan anaknya terjamin."Wanita itu masih di luar kota, Tante?"Kinara menoleh ke arah Larissa dengan kening mengernyit. "Maksud kamu Shaynala?""Iya, Tante. Dia," sahut Larissa yang sontak membuat Kinara tergelak."Sampai sebegitunya kamu nggak mau menyebut namanya, La." Kinara menjeda ucapannya barang sejenak. "Iya, dia masih di luar kota. Dan ini menjadi kesepakatan bagus untuk kita mengawasi Arsen."Wanita paruh baya itu memang menempatkan beberapa anak buah di sekitar kediaman Arsen untuk mengawasi Arsen dan mendapatkan banyak informasi."Tapi kalau kita langsung muncul, apa Arsen tidak akan marah? Dia 'kan membenciku,"
Mobil milik Arsen baru saja berhenti di halaman luas Pesantren Al-Mubarok. Sesuai janjinya, dua minggu sekali ia akan datang ke sini untuk mengunjungi istrinya.Ia langsung duduk di sofa ruang tamu, menemani Abi mertuanya yang duduk sendirian di sana. Pria paruh baya itu terlihat tidak bersemangat, padahal Arsen tahu perusahaannya sudah berjalan stabil."Abi kemarin bertemu dengan Kaindra, Sen. Abi tidak bisa tenang," ucap Aaraf dengan suara lirih.Hening! Arsen tidak menyahut."Kaindra sibuk terus dan belum bisa ditemui, malah hari ini rencananya dia pergi ke luar kota lagi untuk pertemuan bisnis." Pria paruh baya itu menghela napas kasar. "Abi juga tidak enak mengganggu waktunya. Segan, Sen. Abi 'kan pernah mengecewakan dia," lanjutnya."Satu bulan lagi hari pernikahannya, pasti Kaindra akan mengundang Abi. Mungkin itu bisa jadi waktu yang tepat untuk Abi berbincang dengan Kaindra," sahut Arsen.Aaraf tampak berpikir. "Apakah Kaindra akan mengundang Abi? Sedangkan kemarin Abi bilang