Bab 80Kalau itu benar, alangkah sungguh memalukan!Tapi di mana laki-laki itu? Kenapa tidak ada di kamar ini? Kalau aku mengigau dan berjalan sendiri, pasti aku tengah tidur bersama pria itu. Terakhir yang aku ketahui, pria itu tidur di kamarnya.Aku memijat pelipisku, lalu kembali memindai seisi ruangan. Ruangan ini tampak sepi, hanya ada aku sendirian.Aku turun dari tempat tidur dan memindai penampilanku sendiri. Ternyata pakaianku masih lengkap, bahkan hijab masih melekat sempurna menutup kepalaku. Semuanya masih lengkap, tak kurang suatu apapun. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.00 subuh Ah, ternyata aku tidur begitu nyenyak, sampai lupa dengan dua bayiku.Aku bergegas melangkah keluar dari kamar ini. Ketika kakiku melangkah menuju kamar yang ditempati oleh anak-anak dan baby sisternya, aku sempat melongok ke ruang tamu. Sesosok tubuh nampak tertidur pulas di atas karpet, yang tadi malam aku gunakan untuk alas tidur.Lah... kok Atta tidur di ruang tamu sih? Langsung saja a
Bab 81Atta keluar dari mobil dan langsung disambut oleh seorang pria berseragam petugas yang melihat kondisi Atta saat ini. Pria itu dibaringkan di ranjang beroda, lalu didorong masuk ke ruang IGD."Saya bukan orang sakit, hanya luka sedikit. Tidak usah berlebihan," ujar Atta. Pria itu bergerak, berusaha bangkit, namun dicegah oleh seorang pria muda yang barusan mendorong brankar itu."Jangan banyak bergerak dulu, Mas. Mas harus diobati dulu. Luka dan lebamnya lumayan.""Oke." Atta menurut, dia tidak jadi bangkit dan membiarkan dirinya tetap berbaring. Seorang wanita berpakaian putih datang diiringi dengan dua orang pria yang berseragam sama dengan wanita itu.Melihat sekilas kondisi Atta saat ini saja, wanita itu langsung bisa menebak apa yang sudah terjadi."Habis berantem, Mas?" Perempuan itu tersenyum, lalu dengan isyarat ia meminta dua orang perawat untuk membersihkan luka dan lebam yang ada di beberapa bagian tubuh pria itu."Iya, namanya juga laki-laki....""Kalau nggak bisa b
Bab 82"Kita akan tinggal di apartemen ini selama seminggu. Setelah itu, tunggu keputusan dari kami, apakah akan tinggal di rumah yang baru atau di rumah pribadi dokter Aariz. Aku belum bisa memutuskannya sekarang.""Serius, Mbak?" Naira mengedip-ngedipkan matanya lucu. Senyum tergambar di bibirnya.Suasana kamar tidak lagi seramai tadi. Mas Aariz dan Gibran bermain di ruang tamu, sementara Maya tengah berusaha menidurkan Anindita. Mereka berdua berbaring di salah satu kasur dengan satu botol dot yang tengah asyik dihisap oleh bayi itu. "Mbak Alifa beneran mau nikah sama dokter Aariz?""Habis mau gimana lagi? Sejauh mana pun kita melangkah, tetap saja Gibran itu secara hukum adalah putranya dokter Aariz. Bisa-bisa aku dikira menculik anak orang. Tadi malam aku nggak sempat memikirkan hal itu karena sedang benar-benar marah....""Iya juga sih, Mbak. Meskipun dokter Aariz tidak mau mengakui Gibran, tetap saja secara hukum itu adalah anaknya. Mereka bisa menuntut kita kalau mau. Padahal
Bab 83"Mas, jangan samakan aku dengan Winda!" Aku menutup kotak perhiasan itu, memasukkannya dalam beberapa paper bag, dan menyerahkan kepada mas Aariz. "Simpan saja itu, Mas. Ingat, Mas melamar janda, bukan perawan. Tidak perlulah mahar sampai se-fantastis itu." "Aku nggak menyamakan kamu dengan Winda. Lagi pula saat aku menikahi Winda, dia pun juga sudah bukan perawan. Kalian orang yang berbeda, tapi aku harus bersikap adil. Dulu aku melamar Winda dengan satu set perhiasan seharga satu miliar. Aku merasa, aku harus bersikap adil sama kamu, jadi kamu pun harus mendapatkan hal yang serupa, atau mungkin kamu ingin mahar yang lain? Tapi ingat, yang rentang harganya 1 miliar ya."Ya Allah.... Aku beristighfar berkali-kali, sembari mengusap dadaku. Mas Aariz begitu enteng menyebut angka 1 miliar. Ini baru mahar. Belum termasuk dengan biaya penyelenggaraan acara akad nikah dan keperluan yang lain. "Aku tidak pernah meminta mahar yang mahal, Mas. Wanita yang baik itu adalah wanita yang
Bab 84"Mengapa tidak?! Aku bukan perempuan kayak kamu yang nggak cukup hanya dengan satu pria. Aku akan setia sama mas Keenan sampai akhir hayatku," ujar Aina dengan penuh percaya diri."Meski dia bangkrut sekalipun?!" Lagi-lagi aku berusaha memancingnya, karena aku masih teringat bagaimana kerasnya usaha Aina untuk mendapatkan mas Keenan tempo hari. Mas Keenan memang idolanya Aina, apalagi waktu itu semua keluarga besar kami tahu jika mas Keenan adalah seorang pengusaha. Waktu itu usia Aina baru 17 tahun, tetapi lagaknya seperti wanita dewasa saja yang kegatelan ingin dinikahi.Entah siapa yang mengajarinya, karena setahuku bibi Santi orang baik. Selama aku masih tinggal bersama paman Ardi dan bibi Santi, tidak pernah sekalipun dia mengajarkan hal yang aneh-aneh padaku dan anak-anaknya yang lain. Apa itu efek dari pergaulannya Aina di luaran sana?"Dia tidak mungkin bangkrut. Kalaupun usahanya mundur, dia pasti akan tahu bagaimana caranya untuk bangkit," ujar Aina lantang. Dia menat
Bab 85Aina memang ajaib dari dulu, dan sekarang setelah fitnah itu mengenaiku, makin bertambahlah keajaiban gadis itu. Dia memanfaatkan kejatuhanku sebagai peluang untuk menaikkan dirinya sendiri."Yang diperlukan laki-laki itu bukan cuma wanita yang cantik secara fisik, tetapi juga cantik kepribadian. Laki-laki yang dewasa dan mapan secara personal juga butuh perempuan yang cerdas, yang punya visi dan misi untuk membangun keluarga yang baik. Kalau cuman sekedar ngangkang di tempat tidur sih, pelacur juga bisa....""Mas, apaan sih? Omonganmu ya kok nggak disaring dulu?!" Wajahku seketika merona."Tapi omonganku benar, kan? Kalau cuman buat melayani kebutuhan biologis doang, pelacur juga bisa. Tapi... kita cari istri, pendamping yang akan menemani kita seumur hidup, jadi mestinya harus punya visi dan misi yang sama, nggak cukup cinta, Sayang.""Iya Sayang." Aku balas meledek. Gemes juga akhirnya, karena pria yang dingin ini memanggilku Sayang. Terbayang di otakku bagaimana mas Aariz m
Bab 86"Mas...."Bugh bugh bugh.... Keenan merengsek maju, menjatuhkan pukulan bertubi-tubi kepada pria itu. Hatinya panas ketika melihat penampilan Donita. Sebagai pria dewasa, dia tentu paham apa yang semalam mereka lakukan saat ia tengah menengok putrinya di rumah sakit."Siapa kamu?! Berani-beraninya masuk ke apartemen ini?!" bentak Keenan."Siapa aku?!" Pria itu malah menyeringai. "Aku pikir kamu bisa mengenaliku karena pernah menyuruh anak buahmu untuk meminta sampel kuku dan rambutku."Hah?!"Jadi kamu?!" Keenan menyeret tubuh telanjang Roger dan membawanya ke ruang tamu, tanpa peduli dengan Donita yang berteriak histeris.Pasti Donita merasa ngeri dengan perlakuan Keenan pada Roger, namun pria itu sengaja mengabaikan. Segala macam pertanyaan memenuhi otaknya. Kalau memang pria ini adalah selingkuhan Eliana kenapa berani memasuki apartemennya dan bercinta dengan Donita?"Untuk apa kamu kemari? Aku hanya meminta sampel kuku dan rambutmu untuk tes DNA agar aku tahu putriku itu
Bab 87Hari-hari berlalu begitu saja Keenan dan Donita masih berhubungan baik, mereka bekerja bersama dan tinggal bersama. Hanya saja wanita itu menjadi berubah. Dia tidak lagi menggunakan pakaian sopan seperti yang biasa ia kenakan saat tinggal bersama dengan Keenan. Donita kembali ke mode asalnya. Hal ini membuat Keenan seringkali menelan salivanya.Tak munafik, Donita sangat cantik dengan tubuh indah. Kulit putih bersih seputih pualam. Dengan rambut yang tergerai panjang, dia tampak seperti bidadari. Hal yang baru disadari oleh Keenan, jika ternyata Donita terlalu mempesona. Mungkin pesonanya itu juga yang membuat ia akhirnya menjadi santapan empuk bagi para pria yang hanya menginginkan menikmati tubuhnya sesaat."Kamu kenapa sih? Kenapa setiap hari berpakaian seperti ini? Jangan mencoba memancingku, Donita. Karena bila sudah terpancing, aku tidak akan pernah bisa berhenti." Pria itu mengambil cardigan dan mengenakannya kepada Donita untuk menutupi bagian atas tubuh perempuan itu
Bab 99"Jadi Alifa benar-benar menikah dengan anaknya Bu Wardah?" "Iya, Ma. Mereka sudah menikah kurang lebih sebulan yang lalu, tapi resepsinya baru sekarang digelar," sahut Keenan."Masa sih? Jangan-jangan bukan Alifa yang mantan istri kamu itu, karena di dunia ini kan banyak yang punya nama Alifa." Rosa yang tak percaya merebut undangan itu. Namun seketika ia terbelalak saat melihat foto Alifa dan Aariz di undangan."Benar-benar Alifa," gumam Rosa. Tentu saja dia shock. Kenapa setelah mereka mengusir Alifa dari rumah ini, Alifa justru mendapatkan pria lain yang jauh lebih mapan daripada adiknya?Tidak main-main. Itu adalah Aariz El Fata, pewaris pertama El Fata Group yang terkenal itu."Mbak Rosa masih bisa lihat, kan? Lah itu foto siapa??" tukas Keenan sinis. Dia segera mengambil kembali undangan mewah itu, lalu menyimpan di dalam tas kerjanya."Jadi, ini hanya bersifat pemberitahuan. Kalau kalian mau hadir ya, silahkan. Tapi tolong, jangan mengacau di acara hajatan orang. Jangan
Bab 98"Sama-sama, Mas. Aku kan juga pernah bilang, jangan menyamakan aku dengan istri yang saat Mas nikahi masih seorang gadis. Ada dua orang anak yang harus aku jaga dan aku perhatikan. Kamu ini menikahi janda, Mas....""Tapi kata orang, janda selalu di depan." Tawa pria itu terdengar merdu dan ia membungkukkan badan, mengecup kepala istrinya berkali-kali. "Bagaimana dengan anak-anak hari ini? Maaf, seharian ini Mas stay di rumah sakit terus.""Mereka baik-baik saja." gumam perempuan itu. Alifa terlihat termenung.Aariz yang menyadari situasi langsung merengkuh bahu istrinya. "Kenapa, Sayang? Ada yang mengganggu pikiranmu?"Perempuan itu menggeleng. Dia bahkan membuang mukanya ke arah jendela kamar mereka. Aariz tak berani memaksa. Dia cukup tahu watak Alifa. Perempuan itu jarang sekali mengungkapkan isi hati, mungkin dia masih merasa sungkan. Mereka baru saja menikah dan Alifa masih perlu beradaptasi untuk menerima kehadiran dirinya."Ya udah, kalau nggak mau cerita. Tapi sekaran
Bab 97Seketika Keenan membeku. Dia tak menyangka akan bertemu dengan pria ini di sini. Dia sudah mencoba menghindari dokter Aariz dengan tidak membawa Donita ke RSIA Hermina. Namun dia melupakan jika dokter Aariz juga praktek di rumah sakit lain. Seharusnya ia tahu jika ini adalah rumah sakit milik pemerintah daerah, yang di mana dokter Aariz masih merupakan dokter yang paling banyak dicari calon pasien, terutama calon pasien yang tidak mungkin masuk ke RSIA Hermina, karena rumah sakit itu tidak bekerjasama dengan pihak BPJS."Selamat malam, Pak Keenan, Ibu Donita. Silahkan duduk. Apakah ada yang bisa saya bantu?" Pria itu menyambut dengan sikapnya yang sangat profesional. Tutur kata dan senyum yang ramah dan hangat, khas seorang dokter."Selamat malam juga, Dok. Saya ingin memeriksakan kehamilan," ujar Donita."Baiklah, Bu. Silahkan berbaring. Kita USG dulu ya," ujarnya sembari bangkit dan berjalan menuju alat USG yang tepat berada di samping tempat tidur pasien.Donita menurut. Dia
Bab 96Hari terus berganti.Meski Donita terus menolak tawarannya, tetapi Keenan tetap memperlihatkan perhatian pada wanita itu. Membuatkan susu ibu hamil, mengingatkannya untuk mengonsumsi vitamin, bahkan membelikannya setelan kerja untuk ibu hamil.Perut Donita memang masih rata. Tapi beberapa bulan kemudian, pasti akan terlihat dan Keenan sudah memperhitungkan resiko itu. Dia tidak akan memecat Donita. Namun demi menjaga nama baik perempuan itu, dia merencanakan cuti panjang untuk Donita, sehingga dia bisa menjalani kehamilannya dengan baik dan tanpa beban. Sebab bukan tidak mungkin jika dipaksakan untuk terus bekerja saat perutnya membuncit, akan muncul gosip miring yang dialamatkan kepada Donita dan mengguncang mental perempuan itu. Sebenarnya bukan cuti, karena Donita akan tetap bekerja. Donita akan bekerja dari apartemen mereka. Keenan pun akan membatasi wanita itu untuk keluar dari apartemen jika perut Donita mulai membesar.Dengan bekerja dari apartemen, setidaknya Donita ti
Bab 95Perempuan itu hanya tersenyum tipis. Pantas saja dulu Keenan lebih memilih Alifa ketimbang Aina. Ternyata attitude Aina jelek, padahal sebagai istri pemimpin perusahaan, seharusnya memiliki attitude yang baik. Di samping cantik, dia juga harus cerdas, memiliki public speaking yang bagus, dan bisa menempatkan diri sebagai istri dari pimpinan sebuah perusahaan."Perkenalkan, namaku Donita. Aku sekretarisnya Keenan dan sekaligus sebagai kekasihnya sekarang." Donita menyodorkan tangan yang ditepis oleh Aina. Namun, alih-alih tersinggung, Donita justru tersenyum semakin lebar.Rasanya menyenangkan juga melihat gadis itu yang terlihat kepanasan."Aku tak butuh perkenalan dari kamu. Namun posisi kamu sebagai sekretaris itu rawan. Jangan mengaku kekasih deh. Kamu pikir aku akan percaya, hmmm...? Bukankah seorang sekretaris lebih sering menjadi wanita pemuas bosnya. Aku bukan wanita kampung yang tak tahu apa-apa soal itu.""Terserah apa katamu, Aina. Tapi yang jelas, begitulah keadaanny
Bab 94Suara bel di depan membuat aktivitas Donita yang tengah memotong-motong setengah ekor ayam berhenti. Dia mencuci tangannya di wastafel, kemudian segera membalikkan tubuhnya."Biar aku saja," cegah Keenan. Pria yang sebelumnya tengah asyik menghadapi laptopnya itu segera beranjak dari kursi dan bergegas menuju pintu depan.Donita menggeleng, tapi ia kembali fokus dengan kegiatannya. Meskipun indera penciumannya sangat sensitif terhadap bumbu dan masakan, tetapi Donita memaksakan diri untuk tetap memasak. Dia tidak mungkin bermanja pada Keenan yang jelas-jelas bukan ayah dari anak yang tengah dikandungnya. Bahkan dia menolak untuk dinikahi oleh pria itu, karena tidak mau membuatnya repot.Entah kenapa hari ini dia sangat ingin makan ayam masak kecap, tapi ayamnya harus dipotong kecil-kecil. Donita menggunakan setengah ekor ayam yang ditumis dengan bumbu-bumbu yang sudah ia buat sebelumnya. Supaya lebih praktis, wanita menggunakan cooper untuk menghaluskan bumbu. Di samping itu, b
Bab 93"Kamu kenapa, Don?" Pria itu segera bergegas menyusul ke kamar mandi. Wajah Donita nampak pucat, karena dia sudah memuntahkan seluruh isi perutnya."Aku baik-baik saja, Mas, hanya sedikit mual dan pusing." Wanita itu meringis, lalu membasuh wajahnya dan sisa muntahannya yang memenuhi wastafel."Kita ke dokter saja ya. Belakangan ini aku lihat kamu lesu dan nggak ada semangat. Apakah kamu kecapean?""Kemungkinan iya, Mas. Tapi nggak usah ke dokter juga kali. Dibawa istirahat saja pasti akan enakan kok," tolaknya."Nggak ada bantahan, Donita. Kamu harus ke dokter sekarang. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Kalau ke dokter kan nanti ketahuan penyakitnya. Kamu itu sakit maag atau apa? Bukan cuma kali ini kan kamu muntah? Bahkan sudah beberapa hari ini begitu-begitu saja." Pria itu memapah Donita, lalu membawanya duduk di tepi tempat tidur. Dia sendiri yang mengambilkan dress untuk pakaian ganti sekretarisnya ini, lalu membantunya mengenakan pakaian. Lantaran seringnya melih
Bab 92"Kamu mau bulan madu ke mana?" Pria itu bertanya setelah meletakkan bekas makanku di atas lemari nakas.Spontan aku menggeleng. "Tidak ada urusan bulan madu di benakku. Aku nggak kepikiran apa-apa, Mas. Nggak bulan madu juga nggak apa-apa, lagian pekerjaan Mas kan banyak. Anak-anak juga susah kalau ditinggalkan, walaupun ada baby sisternya. Aku kan sudah bilang, kalau aku nggak janji akan melayanimu seperti layaknya seorang istri yang masih gadis. Aku janda, dan anaknya banyak.""Cuma dua, Sayang. Nggak banyak itu.""Tiga, Mas. Zaid, Gibran, dan Anindita," ralatku. "Bagaimana bisa suamiku melupakan fakta jika aku memiliki anak bernama Zaid? Walaupun dia sudah tiada, tetapi dia tetap anakku!""Maaf, Sayang." Mas Aariz mengusap-usap bahuku dengan lembut."Iya, kita memang punya tiga anak. Tapi kalau kita nanti pergi berbulan madu, pasti akan bersama dengan anak-anak, Naira dan Maya. Kalau nggak gitu, nanti anak-anak repot mencarimu." Pria itu mengelap bibirku dengan tisu. Bibirk
Bab 91"Kan bisa dikeringkan dengan hairdryer," ucap Atta sekenanya. Dia tak lagi melihat ponsel, malah antusias melihat kakaknya yang menata roti di atas piring, lalu membuatkan segelas susu."Cei cei... yang habis malam pertama, sarapannya di bawain ke kamar." Lagi-lagi pria itu menggodanya."Makanya nikah, Atta. Nanti kamu pasti akan merasakan kayak yang Mas lakukan, bahkan mungkin lebih daripada ini," ujar Aariz datar. Dia bergegas membawa nampan itu pergi menuju kamarnya.Atta hanya menggeleng, lalu kembali memusatkan perhatian pada ponsel. Ada beberapa email yang harus ia buka. Namun baru juga lima menit, ibunya datang ke ruangan ini."Sarapan yang benar, jangan kerja melulu."Pria itu berdehem. "Iya, Ma."Wardah duduk sembari menatap putra bungsunya dalam-dalam. "Apakah kamu tidak berpikir untuk menikah juga?""Memangnya mau menikah sama siapa, Ma?" Pria itu merotasi bola matanya malas."Siapapun perempuan yang kamu inginkan, Mama pasti merestui kok, asal jangan ada hubungannya