"Apa aku tidak salah dengar. Raysa mantan istri kamu."Reza mengangguk sementara Nadia menggeleng tak percaya. “Bukankah mantan suami Raysa itu seorang tukang kebun yang miskin?” tanya Nadia lagi. Reza membuang napas kasar. “Kujelaskan nanti,” katanya. Saat ini dia lebih tertarik untuk mengetahui kelanjutan dari pertengkaran antara Raysa dan Via. Siapa tahu ada fakta lain yang dia tidak tahu dan terbuka. Raysa yang merasa tidak terima dengan segala ucapan Via, hampir melayangkan sebuah tinju andai pihak toko perhiasan di mana mereka kini berada tidak segera turun tangan. Keributan antara Via dan Raysa sudah mengganggu kenyamanan, oleh karena itu pihak toko memutuskan untuk ikut campur. Melerai agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, dan bahkan beberapa pengunjung pun sedang mengamati mereka.“Dengarkan aku, dia ini orang miskin yang tidak akan mampu membeli barang di sini. Jadi, sebaiknya kalian usir dia,” ucap Raysa pada
Reza menggeser satu demi satu foto yang tersimpan di galeri ponsel miliknya dan berhenti tepat di foto gelang yang dia tinggalkan di rumah Raysa. Semakin dilihat, semakin tampak kemiripan gelang tersebut dengan sebuah kalung yang selama ini dia simpan. Untuk memastikan, Reza mencari kalung tersebut kemudian membandingkannya. Beberapa saat menatap kedua hal tersebut, akhirnya Reza menemukan sesuatu. Liontin di kedua benda itu, benar-benar sama. Untuk beberapa saat, Reza sempat terpaku dengan segela pemikiran yang kini memenuhi kepalanya. “Jika dugaanku benar, itu artinya gadis kecil yang aku cari bukanlah Raysa. Dan kalung ini ada dua.” Reza menggigit bibir, kening mengkerut karena masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Akan tetapi, semakin dipikir Reza malah semakin yakin jika dugaannya kali ini benar. Gadis kecil yang dahulu menyelamatkan hidupnya adalah Via. Bukan Raysa. “Aishhh, sial!” umpatnya seraya mengacak rambut. Kenyataan ini benar-benar membuatnya merasa terti
Reza bergegas mencari Via untuk mengembalikan gelang. Tempat yang pertama di datangi adalah kosan. Namun, Reza tidak menemukan Via di sana, bahkan saat ditelepon pun, Via tidak menjawab. Sempat memikirkan beberapa tempat yang mungkin dikunjungi Via, Reza akhirnya memutuskan untuk mencari sambil berjalan. Siapa tahu bisa menemukan Via tanpa sengaja di sekitar tempat tinggalnya. Akan tetapi, begitu hendak masuk mobil, seorang wanita tua menghampiri Reza dan bertanya, “Sedang cari siapa?” Reza menoleh, tersenyum sesaat kemudian menjawab, “Saya mencari Via, Nek.” “Oh, dia sedang berkunjung ke Panti Werdha Kasih Putih untuk menemui ibunya.” “Panti Werdha Kasih Putih?” Wanita tua itu mengangguk dan mengatakan jika Via memang sering datang ke sana untuk menemui ibunya.“Baiklah. Terima kasih, Nek. Saya akan menyusul ke sana,” ucap Reza seraya mengangguk sopan sebelum akhirnya benar-benar masuk ke mobil. Sesampainya di panti, tanpa diduga Reza melihat Eyang Wiryo yang tengah memberi b
Via menyiapkan beberapa berkas laporan yang diminta oleh Candra untuk diantarkan segera ke ruangannya. Setelah semua siap dia bergegas karena tak mau membuang waktu. Meski sempat bertanya-tanya kenapa dia yang disuruh? Padahal biasanya kepala tim pemasaran yang selalu merangkum laporan dan menyerahkannya pada Candra. Tok! Tok! Tok! “Masuk!” Candra menyahuti ketukan pintu yang dibuat oleh Via. Karena sudah mendapat izin, Via membuka pintu ruang kerja Candra dan masuk. “Selamat siang, Pak. Ini laporan yang tadi diminta,” ucap Via seraya meletakkan sebuah berkas yang dibawanya. “Baik. Terima kasih,” sahut Candra. Via mengangguk, kemudian pamit karena tugasnya sudah selesai. Namun, tiba-tiba Candra bangkit dari tempat duduknya dan menahan Via dengan cara memegang pergelangan gadis itu. Membuat Via terhenyak dan seketika menoleh. “A-ada apa, Pak?” tanya Via dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab, Candra malah tersenyum lebar. Sebuah senyuman yang
Reza menggenggam erat berkas berisi bukti korupsi Candra, sembari menatap gedung kantor beberapa saat, kemudian bergegas ke ruangan di mana Candra berada. Tanpa basa-basi, dia langsung memukul wajah sepupunya tersebut tepat di bagian kanan, begitu sampai di hadapannya. Darah segar terlihat di sudut bibir Candra akibat robekan yang terjadi di sekitar area tersebut sebagai akibat dari pukulan Reza yang dilakukan dengan keras. Sempat terhuyung beberapa saat karena diserang rasa pusing, akhirnya Candra bisa melirik Reza. “Apa-apaan ini?” tanyanya dengan nada tinggi dan tatapan tajam penuh tanya. Namun, Reza tidak menjawab. Dia hanya balas menatap seraya menggenggam lebih erat berkas di tangannya. Sementara itu, Candra yang tidak terima dipukul oleh Reza berusaha membalas. Akan tetapi, dihalangi oleh Dani. “Lepaskan aku, sial!” Candra mengumpat sambil melepaskan tubuhnya dari pegangan Dani. “Ada apa sebenarnya dengan kalian?” tanyanya kemudian diiringi embusan napas kesal. “Turun dari
Santi tersenyum puas melihat Via yang tidak bisa berkutik. Posisi Via dan Reza yang benar-benar menguntungkan. “Seret saja mereka, memalukan,” ucapnya mulai menjadi kompor. Beberapa warga yang berada di sana menyahut dan menyetujui. “Benar itu, kita bawa saja ke rumah Pak Rt dan rundingkan di sana,” Seorang wanita bertubuh gempal menyahuti. Karena dianggap merusak nama baik kosan dengan melakukan hal tidak senonoh, Via dan Reza akhirnya digiring menuju rumah Rt setempat sebagai pengadilan tingkat satu. Sorakan berisi caci maki dan tuduhan benar-benar menyiksa pendengaran keduanya. Akan tetapi, tak bisa berbuat banyak karena posisi mereka yang tidak menguntungkan. Sampai di rumah Rt, ibu kos selalu perwakilan semua warga yang terlibat dalam penggerebekan dan juga pemilik bangunan. Berkata bahwa dia sangat dirugikan dan menuntut sebuah hukuman yang sesuai. Karena ini mengacu pada perzinahan, maka hukuman yang diusulkan adalah sebuah pernikahan. "Tadi kami tidak menutup pintu kamar,
Via menggigit bibir bawah ketika pihak kelurahan bertanya tentang keluarga nya. Dia menunduk menyembunyikan mata yang memanas, sebelum akhirnya menceritakan perihal dia dan orang tuanya yang terpisah. Sementara Reza hanya terdiam sembari memutar otak agar semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik. "Bahaya nih jika Via menemui papanya, pasti dia akan tahu kalau aku mantan suami Raysa!" batin Reza. "Begini saja, Pak. Tadi saat warga membuka pintu saya dan Via hanya berpelukan saja, bahkan kami tidak melakukan apa-apa. Bagaimana jika kita selesaikan secara kekeluargaan. Atau mungkin bapak butuh sesuatu sebagai gantinya," ucap Reza seraya ibu jari dan telunjuk memberi isyarat bahwa dia akan menggantinya dengan uang. Awalnya pak Lurah mulai tersenyum dan mengangguk pelan. Namun, Santi ternyata mengetahui transaksi yang dilakukan oleh Reza dan Pak Lurah. "Gawat nih! Pak Lurah harus adil, jangan sampai main belakang. Ini masalah harga diri teman-teman saya di kos. Jika mereka tidak di
Via masih terus memohon kepada papanya agar mau menikahkan dirinya dengan Reza. Jika tidak maka Via akan masuk jeruji besi. "Papa gak bisa Via, Papa gak mungkin menikahkan kamu dengan laki-laki pengangguran seperti Reza. Dulu saja dia benar-benar membuat papa pusing," tolak Pak Abas dengan tegas.Via memegang tangan papanya, menatap dengan sorot memohon. Mungkin pernikahannya dengan Reza hanya sebuah tragedi, tetapi dia butuh ayahnya sebagai wali yang sah untuk menikahkannya."Apa gak ada laki-laki lain Via, kamu bisa memilih siapa pun asalkan jangan Reza!""Bagaimana bisa memilih, mereka 'kan udah tidur bareng, sampai digerebek warga lagi," celetuk Raysa yang sontak membuat Pak Abas melirik Via.Kalimat Raysa juga membuat mata Via terbelalak, kenapa bisa Raysa tahu dengan semua ini. Ucapan Raysa akan memperkeruh keadaan dan benar saja, begitu Via melirik papanya, Pak Abas sudah menatapnya dengan tajam. Emosi Pak Abas kembali tersulut dengan ucapan Raysa.Belum sempat Via membela dir
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men
Tanpa berlama-lama, Reza menuruti keinginan Via. Satu botol air mineral berukuran sedang, yang tutupnya sudah dibuka, dengan segera dia berikan pada sang istri. Setelahnya barulah Reza bergegas keluar untuk memanggil perawat. Tak perlu waktu lama, Reza sudah kembali bersama dua orang perawat. Mereka menyapa Via dengan ramah, kemudian memeriksa keadaannya. “Untuk trimester awal, memang normal terjadi seperti ini. Untuk kedepannya, mungkin bisa lebih diperhatikan soal makanan apa saja yang memang tidak bisa masuk, kemudian bisa diganti dengan makanan lain,” jelas salah satu perawat. “Tapi, ini tidak berbahaya bukan?” Dua perawat itu tersenyum, “Tidak, ini normal dan biasanya berhenti sendiri ketika usia kandungan memasuki trimester dua. Untuk membantu asupan nutrisi, Ibu mungkin bisa mulai mengkonsumsi susu khusus untuk ibu hamil.” “Baik. Terima kasih, sus,” ucap Reza. Kedua perawat itu mengangguk, kemudian pamit karena Via sudah baik-baik saja sekarang. Mualnya juga sudah hilang.
Randi melepaskan tubuhnya dari pegangan dua orang karyawan yang tadi menahannya. “Ngapain masih di sini, Kerja!” bentaknya dengan tatapan tajam, menyiratkan ketidaksukaan. Beberapa karyawan yang semula berkerumun untuk membantu atau hanya sekadar ingin tahu, otomatis membubarkan diri. Memilih untuk tahu diri, daripada kehilangan pekerjaan. Pura-pura untuk tidak tahu dan tak membahas kejadian sebelumnya. Setidaknya, tidak di hadapan Randi. Setelah memberikan perintah, Randi bergegas ke ruang kerjanya. Di sana, dia mengaktifkan kamera ponsel untuk memeriksa keadaan wajah. Ada lebam yang cukup kentara di pipi kiri, sudut bibir juga sobek sehingga memperlihatkan cairan berwarna merah yang sedikit menggumpal di sana. Randi menyeka bagian itu dengan kasar. Kemudian, dia berteriak seraya menggenggam ponselnya. Beruntung tidak sampai hancur. Keadaannya benar-benar kacau sekarang. Bukan hanya penampilan, tetapi juga pikiran. Dia mulai merasa takut dan gelisah tentang respon Via. Apalagi se
“Sebenarnya apa saja yang kamu yang kerjakan?” Raysa langsung membentak Randi begitu panggilan teleponnya terjawab. “Pekerjaan apa?” Randi yang tidak tahu menahu soal kekesalan Raysa tentu saja merasa bingung dan terkejut. Raysa mengambil napas dalam, karena sebenarnya Randi tak tahu menahu tentang apa yang dia bicarakan dengan Reza semalam. Gengsi terlalu kuat, Raysa belum mau mengakui kekalahan. Setidaknya untuk sekarang. “Kamu sudah mengirim fotoku dengan Reza semalam? Sudah membuat Via cemburu?” Randi sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya me jawab pertanyaan Raysa. “Aku sudah melakukannya. Namun, belum ada balasan dari Via. Pesannya juga baru dilihat pagi ini dan dia belum datang. Ada apa, kenapa kamu terdengar sangat kesal?” Helaan napas kasar terdengar di telinga Randi. Pertanda bahwa lawan bicaranya memang sedang dalam kondisi yang tidak baik. “Rencanaku soal Reza tidak berjalan mulus. Bahkan dia mulai curiga kalau kecelakaan itu hanya sebuah sandiwara. Bagian dari renca