Senyum penuh kemenangan tampak jelas di wajah pria yang menutup wajahnya dengan masker, dia memberi isyarat pada semua preman suruhannya untuk membawa Reza pergi dari sana. Dia tak mau kalau ada saksi mata yang akan membuat namanya tercoreng di media masa.Reza diseret menuju mobil yang sudah disiapkan tak jauh dari sana, mereka tak sadar kalau tubuh Reza meninggalkan jejak di pasir pantai itu. Reza diangkat dan dilempar dengan kasar. Mobil hitam itu melaju meninggalkan area pantai dan berhenti di sebuah bangunan tua.Kepala Reza terasa pening, kesadarannya sudah kembali walau matanya masih belum bisa menatap sekitar dengan baik. Reza hanya menemukan ada beberapa orang laki-laki bertubuh tinggi besar mengelilinginya. Mereka menggunakan masker hitam dan topi, membuat Reza tak bisa mengenali mereka satu per satu.Reza kembali diseret ke kursi, dia didudukkan dengan paksa."Tanda tangani surat cerai ini atau kamu akan dihabisi!" ucap salah satunya.Saat mendengar ucapan itu, Reza baru sa
Semua nelayan berpencar mencari Reza, setelah beberapa menit pencarian, salah satunya melihat jejak mobil yang membuat mereka langsung mengarah ke beberapa tempat terdekat di sana. "Pak, kita cari ke arah sana. Siapa tahu ada bangunan kosong atau apa yang bisa dijadikan tempat kejahatan. Kita cek satu per satu, sekalian tanya sama orang sekitar siapa tahu melihat mobil mencurigakan!"Baru saja mereka akan pergi, tiba-tiba mereka melihat mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu keluar dari arah hutan, membuat para nelayan segera berlari."Kita cek di rumah kosong itu!"Semua berlarian dan begitu masuk, mereka menemukan Reza berlumuran darah."Pak Darma, ada Nak Reza di sini!""Cepat bawa mobil, kita bawa dia ke rumah sakit!" teriak Pak Darma.Reza pun langsung digotong ke luar dan dinaikan ke dalam pick up. Pak Darma dan beberapa nelayan membawanya ke rumah sakit. Kondisi Reza tidak cukup parah, tusukan itu tak sampai mengenai organ tubuhnya. Jadi, dia bisa langsung p
Pusat perbelanjaan memiliki atap yang dihuni oleh para elit global yang memiliki kartu akses VIP. Di mana tempat itu juga terhubung ke sebuah hunian apartemen bintang 5."Di atas sana ada apa, ya?" tanya Reza.Saat dia naik ke lantai atas, seketika mata Reza beradu dengan sepasang mata yang cukup dikenalinya. Sosok misterius yang pernah memintanya untuk ikut pergi, orang yang mengklaim kalau dirinya adalah sang pewaris.Sosok itu melirik Reza, tetapi kemudian matanya kembali teralihkan pada seorang perempuan yang berjalan di depannya. Reza memicingkan mata, takut kalau orang itu berbuat kejahatan. Namun, terlihat kalau dia seperti tengah mengawalnya."Siapa perempuan yang dikawalnya?" tanya Reza.Reza yang penasaran terus melangkah dengan mata yang tak lepas dari targetnya. Sampai akhirnya di sampai di depan toko pemesan. "Mas, bisa tolong ini atur dulu. Saya ada keperluan sebentar!""Oh boleh, kamu mau ke mana?""Za, ini tempat baru bagi kamu. Jangan jauh-jauh ya, nanti saya susah ca
"Tuan, silakan!" pinta seorang pengawal meminta Reza mengikutinya. Reza dibawa ke ruangan yang terlihat seperti ruang rapat. Meja besar dan panjang dengan banyak kursi yang mengitarinya. Reza dipersilakan untuk duduk, diikuti oleh wanita paruh baya yang kini duduk di kursi paling utama. Dia tersenyum pada Reza, membuatnya hanya bisa membalas senyuman itu dengan hampa. Bingung juga harus bersikap seperti apa, Reza tidak mengenalinya sama sekali. "Tuan Muda, ini Nyonya Wiryo. Beliau adalah Eyang Anda." Sontak kalimat bodyguard itu membuat Reza melirik wanita di depan sana, yang masih terlihat tersenyum. "Panggil saja Eyang Wiryo. Apa kabar kamu, El?" tanyanya lagi dan Reza hanya mengangguk saja. Reza masih tampak kaku, tetapi Eyang Wiryo memintanya untuk menceritakan semua hal yang terjadi dalam hidup Reza. Eyang ingin tahu semuanya. Tentang kehidupan remajanya, dewasanya, dan bahkan percintaannya. Eyang juga menanyakan status Reza saat ini. Sebenarnya masih ragu, tetapi Eya
Tak ada bunyi alarm atau teriakan Raysa, kini Reza benar-benar tidur dengan nyenyak di tempat barunya. Hanya cahaya sang raja dari ufuk timur yang membangunkannya, membuat Reza langsung terperanjat dari tidurnya.Reza berniat untuk bergegas bangun, tetapi dia ingat kalau saat ini dia tengah ada di rumah Eyang Wiryo. "Sudah bangun, Tuan Muda?" tanya seseorang.Reza langsung melirik ke sumber suara, yang ternyata di sana ada Dani yang sudah siaga dengan pakaian khas pengawal. Reza tersenyum hampa sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal."Oh iya, kami tunggu di bawah karena Anda harus ikut Eyang Wiryo ke perusahaan utama!" ucap Dani lagi yang membuat Reza sedikit menaikkan alisnya.Reza kini berdiri di depan cermin, menatap tubuhnya yang dibalut kemeja dan celana hitam, dan juga sepatu yang mengkilap. Dia seperti orang baru, terlihat sangat tampan dan mempesona. Reza memuji dirinya sendiri. "Ternyata kalau berdandan seperti ini aku juga sangat tampan," ucapnya.Reza juga mengenakan ja
"Ini apalagi, Bu?""Ibu ingin membahas soal warisan Elreza dan kamu akan menjadi saksinya!" jawab Eyang yang membuat Paman Bima membulatkan matanya.Dia tentu saja tidak terima karena selama ini hanya namanya yang tertera dalam surat warisan itu. Tak boleh ada yang mengusik posisinya. Jabatannya sudah terancam dan Bima tak ingin kalau jatah warisannya pun akan terganggu karena kehadiran ElReza."Bu, apa ibu sudah memastikan kalau dia putra Rania? Jangan-jangan dia hanya penipu yang mengaku sebagai cucu Ibu, bisa jadi 'kan?" ucap Paman Bima."Semua tergantung Elreza, kamu jangan banyak protes. Dia lebih berhak dari kamu, Bima!" "Bu, gak bisa gitu doang. Kenapa semuanya harus jatuh ke tangan Elreza, sementara aku juga anaknya Papa. Aku dirawat Papa Wiryo sejak masih kecil dan aku sudah menganggapnya sebagai papa kandungku sendiri," ungkap Paman Bima lagi.Eyang Wiryo tidak menjawab, dia hanya menunjuk pengacara untuk membacakan surat wasiat dari suaminya yang mana isinya soal warisan.
Bima hanya mampu menatap El dengan sinis, keponakan yang dia anggap sudah mati itu kini kembali lagi. Tak tanggung-tanggung, bahkan kini El menjadi ancaman besar baginya. Mungkin sekarang Eyang Wiryo masih bisa dia tangani, tetapi esok atau lusa Bima tak tahu apa yang mungkin akan terjadi. Terlebih lagi soal El, Bima belum bisa menebak bagaimana karakter keponakannya ini. Walau dia anak dari adik tirinya, tetap saja Bima tidak bisa menganggapnya remeh. "Oke, aku bisa saja membantunya, tapi Ibu jangan protes soal pekerjaan apa yang Bima kasih sama El. Itu untuk progres dia ke depannya. Bima mau dia bisa mengambil semua proyek dan mengatasinya dengan baik. Kalau dia berhasil, dia pantas menjadi penggantiku, tapi jika tugas ini dia tidak bisa membereskannya, maka jabatan ini tidak pantas untuknya," ucap Bima. Bima masih tidak setuju saat Eyang Wiryo meminta Elreza menjadi direktur. Baginya posisi itu tak pantas, secara Reza tak memiliki pemahaman tentang dunia kerja, apalagi dunia
Via merenung di mobil, dalam perjalanan menuju lokasi bazar, kali ini dia berharap penuh bisa menjual produk skincare agar bonus tutup tahun bisa keluar. “Wah, tempat ini benar-benar indah,” ucap teman wanita Via begitu sampai di tempat bazar. Gadis itu tak bisa berhenti menyapukan pandangan ke sekitar karena memang tempatnya sebagus itu. Airnya yang biru membias sempurna begitu cahaya matahari menyapa. Ombak yang tidak begitu besar, membuat kesan segar itu terasa nyata. Sebuah pulau kecil yang terletak di tengah-tengah juga menjadi salah satu daya tarik yang tak bisa diabaikan begitu saja. Jangan lupakan pohon kelapa yang tumbuh di pinggir pantai, selain memberi kesejukan lewat sapuan nyiurnya yang melambai, dia juga menjadi ciri khas yang tak bisa dipisahkan. Untuk yang satu ini, Via sangat setuju dengan temannya tersebut. Tempat ini memang indah dan memenangkan. Andai dia tak datang untuk bekerja, maka tak akan ragu dirinya guna mendatangi air laut dan bermanja di sana. Melepas
Eyang Wiryo terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan oksigen di hidungnya membuat semua orang yang hadir semakin khawatir. Suasana ruang perawatan terasa begitu tegang.Di sekelilingnya, berkumpul seluruh anggota keluarga yang selama ini terlibat dalam konflik warisan. Ada Reza, Via, Randi, Johan, Chandra, dan Bima, sang dalang dari semua kekacauan ini.Dengan suara bergetar, Eyang Wiryo berbicara, memecah kesunyian, "Aku tidak pernah membayangkan keluargaku akan berantakan seperti ini... Apa yang kalian semua cari? Harta? Kekuasaan? Apa semua itu lebih berharga dari keluarga kita?"Tak ada yang menjawab. Mereka hanya menunduk, entah karena merasa bersalah atau masih menyimpan amarah masing-masing.Eyang Wiryo menghela napas panjang. "Aku akan mengatakan sesuatu yang harus kalian dengar baik-baik. Reza adalah pemilik sah dari perusahaan keluarga kita. Semua harta yang kalian perebutkan berasal dari suamiku yang pertama, dan Bima... kamu bukan anak dari suami pertama
Chandra melangkah dengan cepat menuju kediaman ayahnya, Bima. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang berputar tanpa henti. Fakta bahwa Randi adalah saudara tirinya, dan Johan juga bagian dari skema besar ayahnya, membuatnya tidak bisa diam saja.Saat ia memasuki ruang kerja Bima, pria itu tampak tenang, duduk di balik meja besar dengan segelas teh di tangannya. Seakan tidak ada yang terjadi."Chandra," sapa Bima tanpa ekspresi. "Kau datang dengan wajah penuh amarah. Apa yang kau inginkan?"Chandra mengepalkan tangannya. "Aku ingin jawaban. Aku ingin tahu kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa Randi adalah saudaraku! Kenapa kau memalsukan hasil DNA-nya?!"Bima meletakkan gelasnya dengan tenang, lalu menatap Chandra dalam-dalam. "Karena aku tidak pernah berniat mengakui Randi sebagai bagian dari keluarga ini."Chandra terhenyak. "Apa maksudmu?! Dia anakmu!"Bima mendengus kecil. "Dan itu adalah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi."Chandra semakin geram. "Bagaimana dengan Joh
Setelah Johan berhasil ditangkap, Reza bersama Randi dan Via kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, meski Johan kini berada di tangan pihak berwenang, Reza masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Di tengah malam yang sunyi, Reza duduk di ruang kerja kecilnya, membaca kembali dokumen-dokumen yang mereka sita dari Johan. Namun, semakin ia membaca, semakin ia menyadari bahwa ada sosok lain yang lebih besar di balik ini semua. Nama Bima, pamannya sendiri, terus muncul dalam berbagai transaksi dan laporan rahasia. Reza menggertakkan giginya, tangannya mengepal. "Jadi selama ini… Paman Bima yang mengatur semuanya?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Randi masuk dengan wajah penuh kebingungan. "Ada apa, Reza? Kau terlihat tegang," tanya Randi. Reza mengangkat salah satu dokumen dan melemparkannya ke meja. "Lihat ini. Nama Paman Bima ada di setiap transaksi ilegal Johan. Dia bukan hanya mengetahui semua ini, dia adalah dalangnya!" Randi membaca do
Pagi itu, Reza menerima pesan dari Bayu. Isinya singkat, tetapi cukup membuat adrenalin Reza meningkat."Johan mulai bergerak. Dia tahu tentang dokumen itu. Hati-hati."Reza duduk di kursi, menatap papan penuh strategi di depannya. Ia tahu bahwa Johan tidak akan tinggal diam setelah mengetahui dokumen itu ada di tangan yang aman. Kini, semua yang telah ia persiapkan harus berjalan sempurna, atau semuanya akan sia-sia.Via muncul dari dapur, membawa secangkir teh untuk Reza. Ia menatap wajah Reza yang terlihat semakin lelah namun tetap penuh keyakinan.“Kamu yakin bisa mengatasi ini, Reza?” tanya Via pelan, duduk di depannya.Reza menatap Via dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku harus yakin, Via. Kalau aku nggak bergerak sekarang, Johan akan terus menghancurkan segalanya. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Via terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Reza. “Kalau kamu butuh bantuan, aku di sini. Jangan terlalu memaksakan diri, Reza.”Reza tersenyum kecil. Sentuhan Via mem
Malam itu, Reza duduk di ruang tamu yang remang. Di depannya terdapat tumpukan dokumen penting yang baru saja ia dapatkan dari salah satu informannya. Wajahnya serius, penuh konsentrasi, membaca setiap detail yang bisa menjadi kelemahan Johan.“Reza, apa ini cukup untuk melawan dia?” tanya Randi sambil mendekati meja, pandangannya menyapu dokumen tersebut.“Ini lebih dari cukup,” jawab Reza, menutup map dengan tegas. “Dokumen ini adalah bukti nyata bahwa Johan terlibat dalam penyelundupan besar. Kalau kita bisa menyerahkannya ke pihak yang tepat, itu akan menghancurkan dia.”Via yang duduk di sofa terlihat gelisah. “Tapi Johan nggak akan tinggal diam. Dia pasti sudah tahu bahwa kita sedang bergerak melawannya.”Reza menatap Via dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu itu, Via. Tapi aku nggak akan biarkan dia menang. Ini tentang keadilan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang sudah dia rugikan.”Pagi harinya, Reza mengumpulkan Randi dan Via di sebuah kafe kecil yang jau
Keesokan paginya, Reza kembali ke apartemen dengan penampilan yang terlihat lelah, namun tatapannya masih penuh keyakinan. Via yang tengah duduk di ruang tamu langsung berdiri begitu melihat Reza masuk.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Via, mendekat dengan nada penuh kekhawatiran.“Aku baik,” jawab Reza singkat. “Dokumen itu sudah aman. Sekarang kita hanya perlu menunggu langkah Johan berikutnya.”Randi, yang sejak tadi mengamati dengan cemas, akhirnya bersuara. “Reza, aku nggak ngerti kenapa kamu nggak membiarkan aku ikut tadi malam. Kalau mereka menyerang kamu di tengah jalan, gimana?”Reza menatap Randi dengan serius. “Karena aku butuh kamu di sini. Tugasmu menjaga Via, memastikan dia aman. Kalau aku gagal, setidaknya masih ada kamu di sini untuk melindungi dia.”Via yang mendengar ucapan itu merasa hatinya bergetar. Meskipun Reza tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, tindakan dan ucapannya selalu menunjukkan betapa ia peduli.Sore itu, ketika suasana sedikit tenang, p
Reza dan Via mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mengikuti lokasi yang dikirimkan Randi. Jalanan malam yang sepi memberikan suasana mencekam. Via terus memperhatikan ponsel, memastikan mereka tidak kehilangan jejak.“Dia ada di jalan dekat gudang tua di pelabuhan,” ujar Via sambil menunjuk layar ponselnya.Reza mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Jika Johan sudah mempersiapkan jebakan, tempat seperti itu ideal untuk menyergap.”Ketika mereka hampir sampai, Reza memperlambat mobilnya. Dari kejauhan, ia melihat sosok Randi berlari sambil membawa map dokumen. Dua pria mengejarnya dengan senjata di tangan.“Pegang erat,” ujar Reza singkat pada Via.Tanpa ragu, Reza menginjak pedal gas dan meluncur ke arah para pengejar. Kedua pria itu terkejut dan melompat menghindar saat mobil Reza mendekat.Randi segera naik ke dalam mobil, napasnya tersengal. “Mereka nggak akan berhenti. Mereka tahu dokumen ini terlalu penting untuk dilepaskan.”Reza hanya mengangguk. Ia berbalik, menatap Via
Reza mengintip dari jendela dan melihat dua mobil hitam berhenti di depan rumah. Beberapa pria keluar dengan ekspresi serius."Johan," gumam Reza, menyadari siapa yang mengirim mereka.Randi mulai panik. "Apa yang harus kita lakukan? Mereka pasti sudah tahu kita di sini."Reza menatap Randi dengan tajam. "Kita tidak akan lari. Kali ini, kita lawan."Pria-pria itu mulai mendekati pintu, mengetuknya keras. "Buka pintunya, Reza! Kami tahu kamu ada di dalam!"Reza mengambil napas dalam-dalam. "Randi, siapkan dokumen-dokumen itu. Kalau aku gagal, kamu harus pergi dari sini dan serahkan semuanya ke Pak Hendra.""Reza, kamu serius? Kamu mau melawan mereka sendirian?""Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang sudah kita perjuangkan," kata Reza dengan mantap.Ia membuka pintu perlahan, berdiri di hadapan para pria itu dengan tatapan dingin."Kalian mencari aku?" tanya Reza sambil tersenyum tipis.Tanpa basa-basi, salah satu pria mencoba menyerang Reza. Namun, Reza dengan sigap mengh
Di apartemennya, Randi termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Fakta bahwa Johan adalah kakaknya tidak mudah ia cerna. Ia duduk di kursi, memandangi meja yang penuh dengan dokumen yang diberikan Johan sebelumnya, termasuk hasil tes DNA palsu."Kalau aku percaya Johan, apa yang akan terjadi dengan Via? Dengan Reza?" gumam Randi, suaranya berat.Namun, di tengah kebimbangannya, ponselnya berdering. Nama Johan muncul di layar. Dengan enggan, Randi mengangkat panggilan itu."Randi," suara Johan terdengar tajam, "aku butuh jawabanmu sekarang. Kamu di pihakku atau tidak?"Randi terdiam. "Johan, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu harus membuat semua ini rumit?""Karena aku tidak akan diam sementara Reza mengambil semua yang seharusnya milik kita!" bentak Johan. "Dia hanya pura-pura baik, Randi. Dia memanfaatkan kamu dan Via!""Via nggak ada hubungannya dengan ini!" balas Randi, mulai kehilangan kesabaran."Oh, tentu saja ada," Johan tertawa sinis. "Kamu pikir dia benar-benar peduli pad