Eleanor merasa semakin putus asa. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa agar mereka percaya bahwa anak itu memang anak Jeremy.Bella menunjuk pintu dengan marah. "Sekarang juga keluar dari sini! Jangan coba-coba buat onar di rumah ini lagi! Nggak ada yang percaya omong kosongmu."Eleanor mengepalkan tangannya, menatap Jeremy lekat-lekat. "Jeremy, setiap kata yang kuucapkan sekarang adalah kebenaran. Daniel dan Harry, mereka adalah anakmu. Mereka adalah darah dagingmu, anak-anak Keluarga Adrian."Eleanor mengulurkan tangan dan menarik keras lengan baju Jeremy. "Kalau terjadi sesuatu pada Daniel hari ini, kamu akan menyesal seumur hidup. Aku mohon padamu, dia ada di rumah ini. Tolong cari dia, cari lagi."Jeremy menunduk menatap lengan bajunya. Kemudian, pandangannya perlahan-lahan naik dan tertuju pada wajah Eleanor.Begitu tatapan mereka bertemu, Jeremy merasakan getaran dingin di hatinya. Saat ini, perasaannya mulai kacau.Tangan itu terus menarik lengan bajunya, seolah-olah ingin men
Keduanya saling bertukar senyum. Mata mereka memancarkan kilauan yang penuh kebencian."Tunggu apa lagi, aku harus pergi ke sana untuk melihat situasi sekarang. Kamu tetap di sini," kata Yoana sambil mengambil tasnya dan berjalan keluar.Saat ini, seluruh Keluarga Adrian telah mengerahkan semua orang untuk mencari Daniel.Harry yang baru kembali dari luar, melihat Eleanor ada di sana. Dia langsung berlari kegirangan, "Mama, kalian lagi apa?"Eleanor merasa sangat senang, tetapi segera menyadari situasinya. "Harry?""Ya, Mama, ada apa? Apa yang kalian cari?"Eleanor menatap Harry dengan mata memerah. Dia menyahut dengan lembut, "Nggak apa-apa, nggak ada masalah."Kata-kata itu entah ditujukan untuk anaknya atau untuk dirinya sendiri."Harry, kamu pergi ke tempat yang lebih aman dulu ya?"Harry melihat semua orang sangat sibuk, seolah-olah ada masalah besar yang terjadi. Dia tidak bisa membantu karena hanya akan mengganggu. Jadi, dia pergi ke ruang tamu dan duduk.Bella melihat semua ora
Bella tersenyum tipis. Suasana hatinya jauh lebih baik. "Kamu benar, memang kamu yang paling baik. Bantu aku duduk di kursi roda, dorong aku ke lantai atas.""Baik, Bibi." Yoana tertawa dingin dalam hati. Mereka tidak akan bisa menemukan anak itu dalam waktu dekat. Kalaupun ketemu, mungkin anak itu sudah tak bernyawa lagi.Anak Eleanor akan meninggal di rumah Keluarga Adrian. Meskipun bisa berpikir rasional dan tahu Jeremy tidak ada hubungannya dengan itu, tetap saja ada luka yang tidak bisa disembuhkan dalam hatinya.Di antara Eleanor dan Jeremy, akan selalu ada jarak yang memisahkan. Mereka tidak mungkin bisa bersama lagi.....Semua orang kembali mencari dengan cermat. Andy mendekati Jeremy dengan ekspresi putus asa. "Bos, nggak ada tanda-tanda Tuan Daniel."Jeremy mengangkat tangannya untuk memijat dahinya. "Apa setiap sudut sudah diperiksa?"Eleanor mengatakan anak itu ada di sini, jadi Jeremy menyuruh orang memblokir setiap pintu keluar di rumah Keluarga Adrian. Tidak akan ada ya
Eleanor berusaha keras menahan Jeremy agar tidak menarik dirinya pergi. "Aku benaran nggak apa-apa.""Kamu terluka."Eleanor mengerutkan alis. "Cuma luka kecil.""Bohong."Jeremy menatapnya dengan tatapan suram yang penuh amarah. Tatapannya terkunci pada wajah yang memucat karena rasa sakit itu.Eleanor menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. "Yang penting adalah menemukan Daniel, aku nggak apa-apa.""Jangan keras kepala! Anak itu lebih penting dari dirimu?""Ya, anak itu lebih penting dari diriku. Kamu nggak menganggap mereka sebagai anak kandungmu, jadi kamu nggak akan mengerti. Daniel sudah mengalami begitu banyak penderitaan sejak kecil dan sekarang dia masih harus menderita. Bagiku, hal ini sama saja dengan membunuhku."Jeremy menatapnya beberapa saat. Ada kemarahan yang semakin memuncak di matanya. Namun, pada akhirnya dia melepaskan tangannya. "Ya sudah, terserah kamu!"Terserah jika wanita ini ingin mati. Jeremy sudah tidak peduli.Eleanor menaha
Yoana bertanya dengan lantang kepada Eleanor, pura-pura membela Bella. Namun, yang sebenarnya adalah dia takut orang di dalam belum mati. Dia sedang mencoba menunda waktu.Eleanor menarik napas dalam-dalam dan memohon, "Bibi Bella, aku ... minta tolong padamu. Anakku mungkin ada di dalam. Biarkan kami masuk dan melihat ...."Segera setelah ucapan itu dilontarkan, terdengar suara yang samar seperti ketukan lantai dari dalam kamar."Mama," panggil Harry dengan cemas.Hati Eleanor langsung bergetar. Tanpa peduli pada Bella yang menariknya, dia melangkah maju dan menempelkan telinganya ke pintu. Setelah mendengarkan dengan saksama, matanya berbinar-binar. "Jeremy, ada suara, memang ada suara di dalam."Jeremy mengepalkan tangannya. "Buka pintunya.""Nggak boleh!" teriak Bella.Suasana langsung menjadi menegangkan.Andy dan para pelayan terdiam, tidak ada yang berani bersuara. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.Jeremy menatap Bella dengan tatapan dingin. Bella gemetaran saking murkanya. "
Darah seolah-olah mengalir berlawanan arah. Di dalam pikiran Eleanor, seperti ada sesuatu yang meledak dengan keras. Segala sesuatu di depan tiba-tiba menjadi gelap gulita. Rasa sakit yang hebat menjalar dari dada ke seluruh tubuh. Setiap tarikan napas seperti ditusuk oleh pisau.Eleanor sontak menerjang ke depan. Dia tidak berani berkedip sedetik pun. Kedua tangannya bergetar hebat saat meraih tubuh kecil yang tergeletak tak berdaya itu.Eleanor berusaha membuka mulutnya untuk menarik napas dalam-dalam. Pada akhirnya, dia meletakkan tangannya di atas pergelangan tangan Daniel.Satu detik, dua detik .... Eleanor berdoa dalam hatinya agar dirinya bisa tetap tenang sambil merasakan denyut nadi anaknya yang lemah itu. Kemudian, dia memeriksa cedera Daniel dan mencari kain untuk menekan lukanya yang mengeluarkan darah."Daniel ... jangan takut. Mama sudah datang ...."Sepasang tangan besar tiba-tiba membawa anak itu dari pelukan Eleanor. Kemudian, Jeremy langsung melangkah keluar.Bella me
Saat pintu ruang operasi ditutup, Eleanor langsung lemas dan jatuh ke lantai. Wajahnya pucat pasi.Darah anaknya berceceran di tangannya, terlihat sangat menyilaukan mata. Seluruh tubuhnya dingin. Dia merasakan ketakutan yang tak terkendali.Jelas-jelas luka di punggungnya juga sakit, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.Jeremy mengepalkan tangannya dengan erat. Wajah tampannya sedingin es. Hatinya juga hancur melihat situasi ini.Kini, suasana sungguh mencekam. Jeremy menatap wanita yang terduduk di lantai. Dia ingin meraihnya, tetapi tangannya membeku di udara."Remy ...." Yoana mendorong kursi roda Bella sambil bergegas menghampiri.Begitu mendengar suara Yoana, mata Eleanor berkilat dingin.Bella menatap Eleanor dengan cemas, lalu beralih menatap Jeremy. Setelah ragu-ragu, dia bertanya, "Gimana ... kondisi anak itu?"Jeremy menunduk dan diam. Jantung Bella sontak berdetak kencang. Ekspresinya sungguh rumit. Meskipun tidak menyukai anak Eleanor, dia ti
Saat melihat situasi itu, tebersit keterkejutan pada ekspresi dingin Jeremy. Dia bergegas maju, lalu menahan tubuh Eleanor yang tegang untuk menariknya. "Eleanor! Tenangkan dirimu sedikit!"Yoana akhirnya dilepaskan. Tubuhnya menempel di dinding dan meluncur dengan lemas. Dia menarik napas dalam-dalam. Tercium bau amis darah dari lehernya. Saat ini, lehernya berlumuran darah karena tangan Eleanor."Uhuk, uhuk ... Uhuk, uhuk ...." Yoana terus terbatuk. Tadi Eleanor benar-benar berniat membunuhnya.Bella hanya bisa mematung di tempat sambil menutup mulutnya. Meskipun Eleanor telah ditahan oleh Jeremy, tatapannya yang penuh kebencian masih terfokus pada Yoana, seolah-olah ingin membakar Yoana menjadi abu.Beberapa saat kemudian, Yoana akhirnya tenang kembali. Dia bersandar di pojok dan menutup mulutnya sambil menangis. "Eleanor, kamu sudah gila ya? Aku saja nggak tahu kamu punya anak. Apa hubungannya masalah ini denganku? Kamu nggak punya bukti. Atas dasar apa menuduhku?""Dasar wanita gi
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in