Yoana bertanya dengan lantang kepada Eleanor, pura-pura membela Bella. Namun, yang sebenarnya adalah dia takut orang di dalam belum mati. Dia sedang mencoba menunda waktu.Eleanor menarik napas dalam-dalam dan memohon, "Bibi Bella, aku ... minta tolong padamu. Anakku mungkin ada di dalam. Biarkan kami masuk dan melihat ...."Segera setelah ucapan itu dilontarkan, terdengar suara yang samar seperti ketukan lantai dari dalam kamar."Mama," panggil Harry dengan cemas.Hati Eleanor langsung bergetar. Tanpa peduli pada Bella yang menariknya, dia melangkah maju dan menempelkan telinganya ke pintu. Setelah mendengarkan dengan saksama, matanya berbinar-binar. "Jeremy, ada suara, memang ada suara di dalam."Jeremy mengepalkan tangannya. "Buka pintunya.""Nggak boleh!" teriak Bella.Suasana langsung menjadi menegangkan.Andy dan para pelayan terdiam, tidak ada yang berani bersuara. Mereka tidak tahu harus berbuat apa.Jeremy menatap Bella dengan tatapan dingin. Bella gemetaran saking murkanya. "
Darah seolah-olah mengalir berlawanan arah. Di dalam pikiran Eleanor, seperti ada sesuatu yang meledak dengan keras. Segala sesuatu di depan tiba-tiba menjadi gelap gulita. Rasa sakit yang hebat menjalar dari dada ke seluruh tubuh. Setiap tarikan napas seperti ditusuk oleh pisau.Eleanor sontak menerjang ke depan. Dia tidak berani berkedip sedetik pun. Kedua tangannya bergetar hebat saat meraih tubuh kecil yang tergeletak tak berdaya itu.Eleanor berusaha membuka mulutnya untuk menarik napas dalam-dalam. Pada akhirnya, dia meletakkan tangannya di atas pergelangan tangan Daniel.Satu detik, dua detik .... Eleanor berdoa dalam hatinya agar dirinya bisa tetap tenang sambil merasakan denyut nadi anaknya yang lemah itu. Kemudian, dia memeriksa cedera Daniel dan mencari kain untuk menekan lukanya yang mengeluarkan darah."Daniel ... jangan takut. Mama sudah datang ...."Sepasang tangan besar tiba-tiba membawa anak itu dari pelukan Eleanor. Kemudian, Jeremy langsung melangkah keluar.Bella me
Saat pintu ruang operasi ditutup, Eleanor langsung lemas dan jatuh ke lantai. Wajahnya pucat pasi.Darah anaknya berceceran di tangannya, terlihat sangat menyilaukan mata. Seluruh tubuhnya dingin. Dia merasakan ketakutan yang tak terkendali.Jelas-jelas luka di punggungnya juga sakit, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.Jeremy mengepalkan tangannya dengan erat. Wajah tampannya sedingin es. Hatinya juga hancur melihat situasi ini.Kini, suasana sungguh mencekam. Jeremy menatap wanita yang terduduk di lantai. Dia ingin meraihnya, tetapi tangannya membeku di udara."Remy ...." Yoana mendorong kursi roda Bella sambil bergegas menghampiri.Begitu mendengar suara Yoana, mata Eleanor berkilat dingin.Bella menatap Eleanor dengan cemas, lalu beralih menatap Jeremy. Setelah ragu-ragu, dia bertanya, "Gimana ... kondisi anak itu?"Jeremy menunduk dan diam. Jantung Bella sontak berdetak kencang. Ekspresinya sungguh rumit. Meskipun tidak menyukai anak Eleanor, dia ti
Saat melihat situasi itu, tebersit keterkejutan pada ekspresi dingin Jeremy. Dia bergegas maju, lalu menahan tubuh Eleanor yang tegang untuk menariknya. "Eleanor! Tenangkan dirimu sedikit!"Yoana akhirnya dilepaskan. Tubuhnya menempel di dinding dan meluncur dengan lemas. Dia menarik napas dalam-dalam. Tercium bau amis darah dari lehernya. Saat ini, lehernya berlumuran darah karena tangan Eleanor."Uhuk, uhuk ... Uhuk, uhuk ...." Yoana terus terbatuk. Tadi Eleanor benar-benar berniat membunuhnya.Bella hanya bisa mematung di tempat sambil menutup mulutnya. Meskipun Eleanor telah ditahan oleh Jeremy, tatapannya yang penuh kebencian masih terfokus pada Yoana, seolah-olah ingin membakar Yoana menjadi abu.Beberapa saat kemudian, Yoana akhirnya tenang kembali. Dia bersandar di pojok dan menutup mulutnya sambil menangis. "Eleanor, kamu sudah gila ya? Aku saja nggak tahu kamu punya anak. Apa hubungannya masalah ini denganku? Kamu nggak punya bukti. Atas dasar apa menuduhku?""Dasar wanita gi
Eleanor menarik napas dalam-dalam sebanyak dua kali. Namun, dia masih merasa sesak.Dia membungkuk, mencengkeram dadanya dengan erat. Dia merasakan sakit seperti ada sesuatu yang merobek hatinya dan menembus jantungnya.Eleanor menggigit bibirnya dengan kuat. Dia terisak-isak, tetapi tidak bisa melontarkan sepatah kata pun.Mata Jeremy tampak bergetar. Dia menjulurkan lengannya untuk memeluk wanita yang gemetaran itu. Meskipun terhalang pakaian, dia bisa merasakan setiap getaran tubuh Eleanor. Secara naluriah, dia mempererat pelukannya.Sekarang baru musim gugur, tetapi udara terasa sangat dingin seperti musim dingin. Eleanor menggigil sambil memberontak sedikit. "Lepaskan aku! Aku mau temani Daniel! Daniel ...."Air mata berderai dan tidak bisa ditahan lagi. Daniel adalah anaknya. Daniel tidak boleh kenapa-napa.Jeremy terus memeluk Eleanor yang meronta-ronta. Dia menggigit bibirnya, merasakan sakit di hatinya, seperti ada bagian yang akan hilang."Eleanor, tenang sedikit. Pasti ada c
Jeremy mengernyit dengan kuat, lalu melirik wanita yang bergerak sedikit dan perlahan berbalik badan.Eleanor berbalik. Tatapannya yang dingin jatuh pada Jeremy. Suaranya lemah, tetapi tegas saat berkata, "Itu ulah Yoana.""Kamu nggak punya bukti."Yang dikatakan Eleanor hanya spekulasi."Bukti? Ya, aku memang nggak punya bukti. Tapi, cuma ada dua orang yang mungkin melakukan hal seperti ini. Kalau bukan Yoana, berarti Tiara. Masalah ini nggak menguntungkan Tiara. Kalau ingin balas dendam padaku, dia nggak perlu menyusun rencana serumit ini. Jadi, cuma bisa Yoana."Jeremy menggosok keningnya dengan lelah. "Kita akan selidiki nanti." Kemudian, dia melangkah maju dan menggenggam lengan Eleanor. "Ayo.""Mau ke mana?""Menangani lukamu.""Nggak mau." Eleanor menoleh dan berjalan kembali ke depan jendela. Dia melihat anak yang harus dijaga 24 jam oleh dokter dan tubuhnya penuh dengan selang. Hatinya mencelos.Tatapan Jeremy tampak suram. Dia ingin langsung membawa wanita ini pergi, tetapi s
Saat pandangannya kembali jatuh ke punggung wanita itu, Jeremy melihat luka yang tidak begitu jelas di bagian pinggang belakang Eleanor.Jeremy menyipitkan matanya, menatap beberapa detik sebelum akhirnya mengalihkan pandangan.Setelah luka selesai diobati, satu jam lebih sudah berlalu. Dokter itu juga tampak kelelahan karena keringat bercucuran di dahinya.Jeremy menyuruh Andy untuk membawa pakaian bersih dan longgar. Kemudian, dia membantu Eleanor mengenakannya.Jeremy menunduk sambil mengancingkan baju Eleanor. Dengan nada datar, dia bertanya, "Kenapa ada luka di pinggang belakangmu?"Tatapan Eleanor terlihat agak kaget. Setelah ragu sejenak, terdengar suaranya yang lemah. "Sudah lama, aku nggak sengaja terluka waktu itu."Dokter yang sedang mengambil obat pun menoleh dan tampak ragu. Sebagai seorang dokter, dia tentu tahu bahwa itu adalah bekas operasi. Namun, karena pasien sendiri sudah memberi alasan, dokter itu tidak berkata lebih lanjut.Jeremy mengaturkan bangsal untuk Eleanor
Yoana menatap Jeremy. "Remy, kalian mau ke mana? Apa butuh bantuanku?"Tatapan Jeremy yang suram tertuju pada wajah munafik Yoana. Dia memicingkan matanya, lalu menyahut dengan nada datar, "Nggak perlu."Yoana menggigit bibirnya dan mengangguk. "Ya sudah, aku pulang dulu. Bibi sangat syok, besok aku temani Bibi lagi.""Hm." Jeremy jelas tidak berniat berbicara lebih lama dengan Yoana. Dia langsung berbalik dan pergi.Eleanor menatap wajah Yoana dengan dingin. Yoana mengernyit sedikit, tetapi tetap menyunggingkan senyuman memprovokasi. "Bu Eleanor, jangan lupa jaga kesehatanmu."Eleanor mengepalkan tangannya dengan erat. Bibirnya bergetar. "Kamu kira aku nggak bisa melakukan apa-apa karena nggak punya bukti?"Eleanor tahu Yoana adalah biang keroknya. Meskipun tidak punya bukti, dia tidak akan mengampuninya begitu saja. Penderitaan yang dialami anaknya harus dirasakan oleh Yoana ribuan kali lipat.Yoana masih berpura-pura lugu. "Aku benaran nggak tahu apa maksudmu. Aku nggak akan bersika
Kehangatan tubuh dan aroma yang familier ....Ekspresi Eleanor pun berubah. Saat bersandar di dada Jeremy dan mendengar detak jantung Jeremy yang kuat, jantungnya juga tanpa sadar makin berdebar."Eleanor, aku akhirnya menemukanmu," kata Jeremy sambil menghela napas. Lengannya yang kuat juga memeluk Eleanor dengan makin erat dan lembut. Berbagai emosi yang sudah lama dipendamnya pun meledak dan membuatnya memeluk Eleanor dengan makin erat lagi, seolah-olah tidak ingin melepaskan Eleanor lagi.Eleanor mengepal tangannya yang disembunyikan di saku mantelnya karena merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Melihat keduanya berpelukan dengan erat, suasana hati Vivi menjadi rumit. Jeremy memang sudah banyak berubah dibandingkan dahulu, tetapi apakah luka yang pernah diberikan Jeremy pada Eleanor bisa dimaafkan begitu saja? Dia hanya bisa menghela napas karena dia tidak tahu dan tidak berhak memutuskan hal ini. Dia mengajak Daniel dan Harry untuk keluar dari ruangan dan menutup pintun
"Remy, kamu mau pergi ke mana lagi?" tanya Bella dengan segera."Menjemput anak-anak," kata Jeremy, lalu langsung pergi.Melihat Jeremy yang pergi dengan terburu-buru, Bella hanya menggelengkan kepala dengan tak berdaya. Ekspresi Jeremy sama sekali bukan seperti orang yang pergi menjemput anak-anak.Pada saat itu, Simon juga perlahan-lahan turun dari lantai atas. Melihat Jeremy yang baru saja kembali kini sudah pergi lagi, dia hanya bisa mendengus. "Nggak ada aturan. Dia mau pergi ke mana lagi?"Bella hanya berkata, "Dia pergi menjemput anak-anak. Ayah, kita makan saja dulu, nggak perlu menunggu mereka."Simon pun tidak mengatakan apa-apa lagi.Jeremy menyuruh sopir untuk segera mengemudikan mobilnya menuju restoran sambil menggenggam ponselnya dengan erat karena dia tiba-tiba merasa ada yang aneh. Dia berpikir apakah mungkin Eleanor sudah kembali? Begitu pemikiran itu muncul, harapannya makin membesar dan jantungnya makin berdebar. Dia sangat penasaran apakah semua yang dipikirkannya
Sasha terkejut melihat ekspresi Jeremy, tetapi tubuhnya secara refleks mendekat saat melihat wajah Jeremy yang tampan dan menawan. "Pak Jeremy, ada apa denganmu? Apa kamu nggak enak badan? Apa kamu perlu bantuanku ....""Menjauh dariku," kata Jeremy dengan nada yang muram serta dingin dan tatapannya tajam seolah-olah hendak membunuh seseorang.Tatapan Jeremy membuat Sasha menghentikan langkahnya dan berdiri di tempat dengan ekspresi bingung. Saat Jeremy mengambil pakaian dan langsung pergi, dia sempat mengejar Jeremy beberapa langkah. Namun, melihat Jeremy yang begitu marah, dia kembali berhenti dan tidak berani mendekat lagi. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang telah dilakukannya sampai Jeremy begitu marah.Jeremy segera pergi dari sana.Melihat Jeremy yang keluar dengan begitu cepat, pemilik klub melihat jam tangannya. Menyadari Sasha masuk hanya puluhan menit saja, dia berpikir Jeremy tidak begitu hebat dan agak lemah. Namun, dia tentu saja hanya berani berpikir begitu dalam hat
Setelah Eleanor keluar, pemilik kelab yang mengetahui kedatangan Jeremy pun datang dan menyiapkan beberapa botol anggur terbaik. Bahkan, dia memilihkan wanita tercantik untuk menemani Jeremy.Wanita itu bernama Sasha. Di depan pintu, pemilik kelab berpesan kepada Sasha untuk melayani Jeremy sebaik mungkin. Kemudian, dia membawanya masuk.Begitu masuk, Sasha langsung terpana melihat pria yang duduk di sofa. Pandangannya tidak bisa dialihkan lagi.Pria ini sangat tampan. Apalagi, dia adalah Jeremy, pewaris Keluarga Adrian, keluarga paling berpengaruh di ibu kota. Dia adalah sosok yang luar biasa.Dengan penuh percaya diri, Sasha melangkah mendekat, menonjolkan tubuhnya yang selama ini selalu dibanggakan. Tanpa ragu, dia bersandar pada Jeremy dan mengeluarkan suara manja, "Pak Jeremy ...."Kepala Jeremy berdenyut sakit. Saat aroma parfum yang menyengat mendekat, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit.Sasha hanya menatap wajah mabuk itu, sama sekali tidak menyadari betapa terg
Eleanor menemukan ruang VIP tempat Jeremy berada. Dia sempat ragu sejenak di luar sebelum akhirnya mendorong pintu dan masuk.Ruangan itu sunyi dan rapi, tidak seperti yang dia bayangkan. Tidak ada kebisingan atau kekacauan. Matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada sosok pria yang terbaring di sofa.Jeremy bersandar di sofa dengan mata terpejam rapat. Di meja depan, tampak botol-botol kosong berserakan. Bisa dilihat pria ini minum sangat banyak.Jantung Eleanor berdetak semakin cepat saat dia melangkah mendekat. Kakinya tanpa sengaja menendang salah satu botol kosong di lantai, menimbulkan suara kecil yang membuat hatinya menegang. Namun, pria itu tetap tidak bereaksi.Eleanor memperlambat langkahnya, lalu berdiri di samping Jeremy. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya dengan lembut, lalu memanggil dengan pelan, "Jeremy?"Tiba-tiba, pria yang memejamkan mata itu langsung mengangkat tangannya dan mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.Matanya yang dingin
"Masuklah." Vivi membuka pintu kursi belakang, memberi isyarat kepada kedua anak kecil untuk masuk.Tiba-tiba, kedua anak itu langsung membeku. Mata besar mereka menatap orang di dalam mobil dengan tidak percaya. Mereka terpaku di tempat, tidak bisa bergerak sedikit pun.Ketika melihat kedua anak itu menatapnya dengan penuh keterkejutan, mata Eleanor langsung memerah. Tanpa ragu, dia turun dari mobil dan langsung memeluk mereka berdua."Anak-anakku, Mama sudah kembali."Kedua anak itu tetap tidak bergerak. Sampai suara lembut Eleanor terdengar di telinga mereka, hingga kehangatan pelukannya menyelimuti mereka, barulah mereka sadar ....Dalam sekejap, mata mereka yang basah. Air mata mulai berlinang di wajah mereka."Mama?" panggil Harry dengan ragu."Mama di sini. Maafkan Mama, Daniel, Harry. Kalian sampai menunggu begitu lama. Mama sudah kembali." Suara Eleanor bergetar saat dia memeluk mereka erat-erat.Akhirnya, kedua anak itu menyadari bahwa ini bukan mimpi. Ibu mereka benar-benar
Keesokan harinya, di bandara.Eleanor tetap memutuskan untuk kembali. Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan kedua anaknya begitu saja.Begitu turun dari pesawat, Eleanor sekali lagi menginjakkan kaki di tempat ini. Perasaannya agak sedih.Pada akhirnya, dia tetap kembali.Sebuah Audi putih berhenti di depan Eleanor. Seorang wanita bergegas turun, menatapnya dengan mata membelalak. Seketika, matanya dipenuhi air mata."Eleanor ...." Vivi menatap Eleanor yang berdiri hidup-hidup di depannya, tidak tahu dirinya harus menangis atau tertawa. "Eleanor, ini ... benaran kamu?"Eleanor tersenyum lembut. "Ini aku."Air mata Vivi langsung mengalir deras. Dia berlari dan langsung memeluk Eleanor erat-erat."Eleanor! Kamu ... kamu benaran masih hidup .... Huhu ... kemarin saat kamu meneleponku, kupikir aku sedang mimpi .... Kamu menghilang begitu lama, aku ketakutan setengah mati ...."Vivi menangis dengan emosinal, tubuhnya bahkan gemetar saat memeluk Eleanor. Eleanor membiarkan dirinya dipeluk.
Jeremy pasti akan menemukan Eleanor dan membawanya kembali, sementara Simon juga tidak akan membiarkan keturunan Keluarga Adrian dibawa pergi. Kecuali meninggal, Simon tidak akan berhenti memburu Eleanor.Jelas, ini bukan kehidupan yang Eleanor inginkan. Namun, dia juga tidak mungkin meninggalkan anak-anaknya dan tetap tinggal di sini. Satu-satunya pilihan adalah kembali dengan identitasnya sebagai Eleanor, agar bisa tetap melihat anak-anaknya.Charlie memahami ini dan Eleanor tentu lebih memahaminya.Eleanor mengatupkan bibir, tenggelam dalam pikirannya. Setelah berpikir lama, dia menunduk dan tersenyum pahit. Keluarga Adrian tidak mau melepaskannya, dia juga tidak bisa melepaskan anak-anaknya. Jadi, dia tidak akan bisa memutus hubungan dengan Keluarga Adrian untuk selamanya.Charlie mendongak, tatapan yang dalam menyapu Eleanor. Anak-anak selalu menjadi kecemasan Eleanor, juga menjadi ikatan yang tidak bisa dihapuskan di antara dia dan Jeremy. Sejujurnya, jika Charlie cukup kejam, di
Eleanor berpikir sejenak, lalu mengangguk. Jika dia sudah koma selama lebih dari dua bulan, itu artinya kondisinya pasti sangat buruk di awal. Masuk akal jika Charlie mengirim kedua anaknya ke Keluarga Adrian."Minum obat ini." Arnav datang dengan membawa semangkuk obat.Eleanor mencoba duduk dan Charlie segera membantunya. Dia menerima mangkuk itu. Aroma khas obat herbal langsung menyeruak. Eleanor mengendus perlahan dan segera mengenali komposisinya. Dia agak terkejut. "Ini ramuan penawar racun?""Ya, dua bulan yang lalu kamu diracuni. Obat ini bisa membantu membersihkan sisa racunnya," jelas Arnav."Kamu bilang aku diracuni?""Racunnya sangat bahaya. Tapi, untungnya Charlie ...." Arnav tiba-tiba berhenti bicara karena dia bisa merasakan tatapan Charlie yang langsung mengarah padanya. Dia segera berdeham dan mengganti ucapannya, "Untung saja ilmu medisku luar biasa, jadi aku berhasil menyelamatkanmu."Dengan cerdik, Arnav membanggakan dirinya sendiri dan menelan kata-kata yang hampir