"Kita bicara di telepon saja.""Aku nggak suka bicara di telepon.""Ya sudah, nggak usah bicara." Eleanor hendak mengakhiri panggilan.Bella segera menghentikan. "Sebentar, aku bukan ingin menyulitkanmu kali ini ataupun mendesakmu cerai. Tolong datang sebentar. Aku lagi sakit. Aku nggak mungkin bisa mencelakaimu, 'kan? Aku tunggu di rumah sakit."Bella langsung mengakhiri panggilan. Eleanor hanya bisa mengernyit. Pada akhirnya, dia tetap pergi ke rumah sakit.Di dalam bangsal, kepala Bella diperban. Hanya ada dia di sini. Suasana sunyi senyap.Ketika melihat Eleanor, Bella menunjuk kursi. "Duduklah."Eleanor pun duduk. "Kenapa kamu sendiri saja? Jeremy nggak datang?"Bella mendengus. Dia merasa kesal setiap kali mengungkit putranya. "Semua gara-gara anakmu. Anakku jadi nggak mau mengakuiku."Jelas sekali, sekarang Bella bukan hanya mengeluhkan sikap Eleanor, tetapi juga sikap Jeremy."Maksudmu?"Bella memijat keningnya. "Dia menyuruhku minta maaf pada putramu. Kalau nggak, aku bakal me
Jika Eleanor tidak kembali untuk menyelamatkannya, Bella mungkin sudah menjadi abu sekarang.Ternyata sifat manusia memang tidak bisa berubah. Ketika Jeremy mengalami kecelakaan dan kritis, Yoana langsung membatalkan pernikahan dan pergi ke luar negeri.Saat itu, Bella sangat marah dengan keputusan Keluarga Pratama. Namun, Simon memberitahunya bahwa Yoana punya kesulitan tersendiri. Itu sebabnya, Bella tidak membencinya lagi.Namun, dilihat dari situasi sekarang, sepertinya yang dikatakan Simon tidak benar. Yoana memang wanita egois."Aku nggak marah. Aku selamat dari musibah. Mana mungkin marah?" timpal Bella tanpa melirik Yoana sedetik pun.Sudut bibir Yoana berkedut. Dia tahu apa yang membuat Bella marah. Dia buru-buru menjelaskan, "Bibi, aku tahu kamu marah padaku. Aku terlalu takut saat itu, makanya nggak sempat menolongmu. Aku memang salah. Kalau bisa, aku lebih memilih aku yang terluka."Siapa juga yang bisa memercayai perkataan seperti ini? Bella masih tidak menghiraukan Yoana.
Kedua orang itu menuruni mobil dengan santai. Mereka menatap Eleanor dengan sorot mata mencela. Tiara berkata, "Kak, maaf. Aku nggak sengaja. Kamu nggak terluka, 'kan?""Nggak sengaja?" Eleanor menatap mereka dengan wajah datar. Jalanan begitu luas. Kenapa mobil malah menyerbu ke arahnya? Jelas sekali, kedua wanita ini berniat jahat padanya. Jika terlambat sedetik saja, Eleanor mungkin sudah tertabrak."Jadi, yang sengaja itu gimana? Yang langsung menabrakku sampai mati?" sindir Eleanor.Karena tidak ada siapa pun di sini, kedua wanita itu pun tidak berpura-pura lagi. Tiara mendengus. "Kenapa memangnya kalau kamu tertabrak dan mati? Paling-paling aku bayar kompensasi. Cuma sekitar 4 miliar kok. Lagian, kamu nggak berhak berkomentar karena nggak tertabrak. Kamu mau memeras kami ya? Kamu semiskin itu?""Sebenarnya bisa saja kalau kamu mau memeras uang kami. Berbaring saja di tanah, lalu berguling-guling. Mungkin saja, kami bakal kasihan melihatmu seperti itu."Tiara terkekeh-kekeh, lalu
Bam! Eleanor menghantamkan kepala Yoana ke mobil mewah mereka yang seharga puluhan miliar. "Ya, kamu benar. Kenapa kamu nggak melakukan seperti itu? Karena aku masih hidup, sudah seharusnya kamu menerima konsekuensinya. Yoana, Eleanor yang dulu sudah mati. Sekarang giliran kalian yang mati."Kepala Yoana terasa pusing. Sekujur tubuhnya terasa sangat tidak nyaman sekarang. Dia mengira semua sudah berakhir, tetapi kakinya tiba-tiba terasa sakit. Yoana sontak berteriak kesakitan, "Ah!"Eleanor sedang menginjak kaki Yoana yang terluka. Dia menatapnya dengan dingin sambil berkata, "Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk jangan menggangguku? Aku akan membalas setiap perbuatan yang kamu lakukan kepadaku. Kenapa kamu bandel sekali?"Sambil berbicara, Elvina bisa melihat ada sebuah sosok yang menerjang ke arahnya. Dia sontak menghindar.Tiara yang mengangkat batu dan hendak menghantamkannya ke kepala Eleanor pun tidak sempat berhenti. Seketika, batu seukuran kepalan tangan itu terjauh dan me
Tiba-tiba, sebuah tangan besar menyodorkan sebungkus tisu kepada Eleanor. Sopir memakai topi dan tidak mengatakan apa pun, hanya menyodorkan tisu.Eleanor menerimanya. "Terima kasih." Dia jarang sekali menampakkan sisi lemahnya di hadapan orang luar. Jadi, dia buru-buru menyekanya air matanya.Mobil segera berhenti. Eleanor turun. Pria itu memandang sosok belakangnya lekat-lekat dan melepaskan topinya. Terlihat wajah tampan Charlie. Saat ini, ekspresinya terlihat datar dan tatapannya terlihat suram.Setibanya di rumah, Eleanor melihat hanya ada Tarimi. Harry tentu berada di rumah Jeremy. Tarimi menghampiri saat melihat rona wajah Eleanor yang kurang baik. "Nona, ada apa? Kenapa pucat sekali? Kamu sakit ya?"Eleanor menggeleng. "Nggak kok.""Kamu sudah makan belum?""Belum.""Kalau begitu, aku masak ....""Nggak usah repot-repot. Harry pergi beberapa hari ini. Kamu biasanya sangat lelah, jadi pakai saja beberapa hari ini untuk istirahat. Nggak usah mencemaskanku.""Mana bisa begitu, seb
Vivi mengangguk. Eleanor baru melepaskan tangannya. Vivi menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Kamu ini buat aku kaget saja. Aku kira kamu kenapa."Vivi tidak sengaja melihat foto di atas meja. Dia bertanya, "Ini ibumu, 'kan?""Kamu sedih karena teringat ibumu?"Eleanor duduk kembali di kursinya. "Ya."Vivi tahu tentang masalah ibu Eleanor. Ibunya tidak berkabar selama bertahun-tahun. Entah masih hidup atau sudah meninggal. Hal ini tentu sangat menyiksa Eleanor.Vivi berjongkok di samping Eleanor, lalu berucap dengan lembut, "Jangan cemas, ibumu sangat pintar. Dia pasti baik-baik saja. Suatu hari pasti ketemu."Eleanor juga berpikir demikian. Dia mengangguk dengan kuat, lalu memaksakan senyuman. Sambil mengamati penampilan Vivi, dia bertanya, "Kamu dari bar ya?""Ya. Demi kamu, aku mencampakkan teman-temanku itu. Aku sangat menyayangimu, 'kan?"Tatapan Eleanor menjadi agak lembut. "Kamu mau balik saja nggak?""Tentu saja ... nggak." Vivi memutuskan untuk menemani Eleanor. Dia tid
Harry melihat kunci mobil di tangan Jeremy dan berkedip sejenak sebelum diajak masuk ke dalam mobil. 'Hmm, sepertinya Jeremy akhirnya mengalah,' pikirnya.Di dalam mobil, Jeremy menelepon Eleanor.Vivi yang melihat ponsel Eleanor berdering di dalam tasnya sementara Eleanor belum kembali, mengambil inisiatif untuk menjawabnya. "Halo?"Jeremy langsung tahu itu bukan suara Eleanor. "Siapa kamu?"Mendengar suara Jeremy, Vivi langsung ketakutan hingga hampir menjatuhkan ponselnya. Dia buru-buru memegangnya dengan kedua tangan. "Halo? A ... aku Vivi.""Kenapa ponsel Eleanor ada padamu?""Eleanor minum sedikit alkohol dan mungkin agak mabuk. Dia baru saja keluar untuk menghirup udara segar dan belum kembali. Ada perlu apa?"Mendengar keramaian di latar belakang, Jeremy bertanya, "Kalian di mana?""Di bar.""Alamatnya?""Ka ... kamu mau ke sini?" Vivi langsung gelisah dan berdiri spontan."Ada masalah?"Melalui telepon saja Vivi bisa merasakan aura mengintimidasi yang menakutkan. Kalau dia bi
Saat itu, seseorang kebetulan keluar dari toilet. Jeremy ragu sejenak, lalu maju dan bertanya, "Di dalam masih ada berapa orang?"Gadis itu terpaku sesaat. Matanya berbinar menatap wajah Jeremy. Dengan terbata-bata, dia menjawab, "Sepertinya ... masih ada dua orang. Salah satunya tadi jatuh ...."Tanpa banyak bicara, Jeremy melangkah masuk.Di dalam toilet, hanya ada Eleanor dan seorang gadis lain yang sedang membantunya berdiri. Jeremy berjalan mendekat, meraih lengan Eleanor dan mengangkatnya. Gadis yang tadi membantu Eleanor kaget melihat pria tiba-tiba masuk.Eleanor yang saat itu mabuk berat mengangkat kepalanya. Rambutnya yang berantakan menutupi sebagian wajahnya, sementara wajah cantiknya tampak memerah.Dia membuka matanya yang tampak mabuk dan menatap Jeremy dengan samar-samar, seolah-olah tidak mengenalinya. Mungkin juga karena dia tidak percaya Jeremy akan muncul di kamar mandi wanita. Eleanor langsung waspada dan mendorongnya menjauh."Kamu siapa? Jangan sentuh aku ...."M
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in