Mentari pagi mulai bersinar, dan hariku mulai sibuk kembali. Rutinitas toko dan lainnya sudaj antri. Namun, tidak untuk hari ini. Ternyata hari ini aku semakin sibuk, dengan adanya tamu yang luar biasa membuatku harus berpikir ulang."Bi, aku kepasar dulu ya!" pamitku pada Bi Ijah."Bukankah ada Non Iren? Jika dia bertanya bagaimana?" jawab Bi Ijah."Bilang saja aku ke pasar," balasku sambil berjalan menuju luar.Baru beberapa langkah terdengar suara berat khas orang bangun tidur. Aku sangat hapal suara ini. Perlahan aku pun berbalik badan untuk memastikan dan ternyata benar. Yoga memanggilku."Hai Sayangnya bunda, kok sudah bangun?" sapaku."Bunda hendak kemana?" tanya Yoga."Mau ke pasar, Le," balasku.Kulihat pria kecilku melangkah tergesa mengikis jarak antara kami. Bibirnya melengkung melukiskan segala rasa, kemudian dia memeluk lenganku."Yoga ikut!" ucapnya."Ini masih pagi, Le. Apakah kamu tidak ngantuk?" tanyaku."Aku ingin membantu Bunda, boleh?" tanya Yoga lembut Aku menga
"Jadi kita tinggal terpisah lagi, Bund?" tanya Yoga.Aku tersenyum lalu melangkah mendekat pada putraku, kurengkuh tubuhnya yang memiliki tinggi hampir sama denganku. Kuusap pelan lengan kekarnya. Kulihat dia sedikit merenggangkan pelukanku, mungkin dia merasa tidak nyaman. Aku pun mengurai pelukan lalu menatap lekat pada manik mata Yoga."Iya Sayang, bukankah Yoga tahu seberapa rumah bunda? Toh jarak rumah ini dengan rumah bunda hanya satu pagar tanpa melewati rumah orang," ungkapku.Yoga perlahan mulai mengerti setelah mendengar perkataanku, kemudian dia berjalan melihat setiap kamar. Rumah Bu Ramlah lebih besar dari rumah yang aku kontrak, sehingga rumah itu memiliki empat kamar. Yoga terlihat memilih kamar mana yang cocok dengan angannya."Yoga mau pakai kamar ini, Om Frans!" pinta Yoga dengan datar."Iya, pakai saja. Om sama Tante kamar mana saja boleh, yang penting Yoga nyaman," balas Frans.Terlihat sekali jika Frans sangat memperhatikan keperluan putraku, andai sifat ini juga
Matahari mulai condong ke arah barat. Udara perlahan menjadi hangat. Di jalan depan rumah, anak-anak sibuk bermain. Ada yang bermain sepeda, berkejaran atau sekedar duduk-duduk sambil bercerita. Aku melihat Amel dan Dahlia asik bermain masak-masakan dengan anak-anak lain. Amel terlihat memetik rumput lalu menghaluskannya dengan batu. Mereka ceria sekali. Sesekali Amel tertawa lepas. Senang rasanya melihat Amel punya teman-teman baru seperti sekarang. Setidaknya itu bisa menjadi penambal lubang yang mungkin ada di hati Amel terkait perpisahan kami, kedua orang tuanya."Maafin Bunda, Nak." Aku menghela napas berat. Di antara keriangan anak-anak itu, aku melihat Irene dan Frans berjalan bersisian. Saat melihatku, Irene pun langsung melambaikan tangannya. "Ann!"Aku menyambut sepasang sejoli itu dengan senang. Tidak lupa, aku segera mengajak mereka masuk. Tetapi kulihat tidak ada Yoga yang berjalan di belakang mereka, aku sedikit kecewa."Kalian tidak istirahat dulu saja di kontrakan?"
Aku pun mengulum senyum. "Wah, kalau gitu, jangan sampai kamu sia-siakan Irene ya, Frans. Jangan buat hatinya sakit. Lihat, dia susah didapatkan dan penuh pertimbangan. Kalau kamu sakiti, dia bisa pergi sejauh-jauhnya. Jangan sampai kejadian. Nanti kamu bisa menyesal, Frans," ungkapku akan diri Irene.Kulihat Frans tersenyum lalu mengangguk. "Paham, Mbak. Aku bakal jaga Irene. Dia sudah memberiku kesempatan untuk membuktikan diri, Mbak. Aku jelas tidak akan menyia-nyiakannya."Aku pun memandang bergantian dua sejoli yang sedang curi-curi pandang itu. Perasaan bahagia ini. Suasana ini. Seperti membawaku kembali pada momen saat pertama aku jatuh hati dengan Jasen. Momen itu, seolah baru saja terjadi kemarin. Aku pun menatap langit-langit lalu menghela napas pelan. "Lihat yang terjadi padaku dan Jasen sekarang," gumamku dalam hati. "Ann," panggil Irene pelan. "Ya?""Soal kamu dan Jasen--"Aku tersenyum simpul sambil menggeleng. "Jangan dibahas, Ren. Itu merusak suasana."Kulihat Irene
Aku masih menatap penuh tanya pada sulungku, pria kecilku masih bungkam. Dia seakan enggan untuk memulai sebuah ungkapan yang selama ini ingin dia utarakan secara langsung. Aku menganggukkan kepala tanda sedang menunggu sebuah kata yang meluncur dari bibir mungilnya.Yoga terlihat sedang menata hati, hal itu terbukti dari cara dia mengambil napas. Aku kembali tersenyum manis agar pria kecilku merasa nyaman sehingga semua yang ada dalam benaknya bisa keluar tanpa beban."Bicaralah, Le! Bunda akan mendengarkan semua, jika memang itu suatu hal yang baik akan bunda coba jalani dengan iklas," paparku."Iya, benar apa yang Bunda kamu katakan, Yoga. Ungkapkan saja, jika memang itu terbaik untuk semua kita akan pikirkan jalan keluarnya," ucap Frans mencoba berbicara pada putraku dengan nada rendah.Yoga kembali menarik napas panjang, lalu bibirnya mulai membuka. Dengan lirih suaranya keluar satu demi satu."Jika Bunda melakukan gugatan cerai berarti kalian berdua sudah tidak bisa bersatu, bol
Aku pun berjalan mendekat pada Bi Ijah yang sedang sibuk menyiapkan makan malam. Kuhampiri wanita tua itu untuk berpamitan. Bi Ijah menatapku seaat lalu tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Setelah melihat anggukan kepala Bi Ijah, aku berjalan menuju ruang tamu dimana para orang terkasihku ada dan berkumpul di sana."Irene, Frans dan Yoga, maaf sepertinya aku tidak bisa makan malam bersama kalian. Malam ini aku harus lembur membantu Andin yang sedang menerima job pelanggan dalam partai besar," paparku."Apakah kami boleh ikut?" tanya Irene."Lebih baik kalian istirahat saja dulu, persiapkan tenaga kalian buat perjalanan besok ke Surabaya!" titahku dengan nada rendah."Kamu harus istirahat juga, Ann!" kilah Frans.Aku tersenyum, meskipun sudah memiliki istri lelaki itu tidak pernah lupa memberiku perhatian kecil dan dia tidak peduli jika ada Irene. Sedangkan Irene begitu percaya pada Frans bahwa hatinya hanya untuk Irene."Tenang saja aku sudah biasa seperti ini." Aku pun berjalan menu
Sungguh hari yang melelahkan bagiku dan Andin. Kami berdua mengerjakan pesanan untuk besok hingga larut. Semua karyawan yang lainnya sudah aku suruh pulang lebih dulu di jam delapan malam. Saat itu semua kue hanya tinggal menunggu proses matang. Selanjutnya hanya aku dan Andin saja yang menyelesaikan hingga proses akhir. Kulihat wajah Andin kucel dan lelah, hal itu membuatku merasa bersalah. Kedekati Andin dan mengusap punggungnya perlahan."Maafkan mbak ya, Ndin!" ucapku lirih."Tidak apa, Mbak. Semoga dengan hasil ini proses yang akan Mbak Ann jalani lancar!" doa tulus keluar dari Andin.Aku terharu sekali dengan ucapan gadis itu, dia yang dulu begitu polos kini telah tumbuh menjadi wanita yang tangguh. Kini Andin sedang mengangkat kue yang mulai matang satu per satu. Aku membantunya menaruk sebagian kue yang sudah keluar dari loyang."Sudah, Mbak. Semua matang sempurna, tinggal tunggu dingin lalu proses bungkus," papar Andin sambil meregangkan tangannya."Capek ya, Ndin. Duduklah
"Assalamualaikum!" Sayup-sayup kudengar suara perempuan mengucap salam dan mengetuk pintu utama rumahku. Aku pun bergegas berdiri dari duduk jongkokku. Amel menggeleng, gadis kecil itu seakan tidak rela jika aku yang akan menemui suara itu. Namun, aku menganggukkan kepala, meminta persetujuanku. Lama Amel menjawab isyaratku, akhirnya dia tersenyum dan berdiri. Tidak lupa meraih jemariku."Mari Bund, kita temui bersama!" ajak Amel.Aku pun mengangguk setuju dengan ajakannya itu. Tetapi baru saja aku membuka pintu kamar, Bi Ijah sudah membukakan pintu utama tersebut dan muncullah wajah Irene dengan senyumnya."Maaf aku datang di pagi buta seperti ini, Bi, Ann!" ucapnya.Aku tersenyum sambil menggeleng kepala. Ternyata kebiasaan Irene belum berubah terhadapku. Perhatiannya dan kasih sayangnya selayaknya saudara masih sama. Aku sungguh bahagia."Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikirku selalu tertuju padamu, Ann. Kamu pulang jam berapa semalam?" tanya Irene."Jam sepuluh malam," jaw