Melihat luka-luka di tubuh dan wajah Jupri, apalagi ujung bibir dan hidungnya masih mengucurkan cairan merah, air mataku jelas tidak bisa berhenti mengalir. Tubuhku gemetar. Aku terus sesenggukan sambil menuntun Jupri ke ruang serbaguna yang ada di tokoku. "Tunggu di sini, aku ambilkan air es dulu untuk kompres luka kamu!" ucapku lirih.Lalu aku meninggalkan Jurpi seorang diri dalam gudang tersebut. Meski hanya gudang aku rasa ruangan ini masih cukup bersih. Sebenarnya ruang ini adalah gudang untuk barang-barang. Meskipun namanya gudang, tempat ini selalu dibersihkan oleh para karyawan karena digunakan untuk bahan baku bersih. Beberapa bahan roti juga aku tempatkan di sini. Tempatnya cukup luas, jadi aku rasa Jupri tidak akan kesempitan. Akhirnya aku kembali setelah mendapatkan satu baskom es batu juga kain handuk putih untuk mengompres bekas luka pukul Jasen. Perlahan aku bungkus beberapa es batu lalu kucoba tempelkan pada luka Jupri."Tahan dulu ya," ucapku sambil menarik kursi la
Yakin hanya karena itu?""Tentu saja," jawabku senewen. "Bukan karena benar-benar khawatir padaku? Takut aku kenapa-kenapa, terlepas dari aku bisa membantumu atau tidak?""Ya, tidak. Bukan. Aku khawatir. Tentu saja aku khawatir, Jup. Tapi bukan khawatir yang seperti itu.""Terus yang seperti apa?""Arrgh!"Jupri terbahak-bahak. Dari dulu, ia memang paling suka menggangguku seperti ini. Anehnya, aku hanya kesal. Tidak pernah terlintas rasa marah ataupun dendam pada Jupri. "Iya, maaf sudah membuatmu khawatir.""Iya, Jup, tapi ... terima kasih ya.""Karena aku berhasil mengusirnya?"Aku mengangguk. Aku sebenarnya kasihan melihat Jasen dipukuli, tapi di sisi lain aku senang ada yang memasang badan untukku. Kalau tidak ada Jupri, mungkin aku hanya bisa menangis mendengar hinaan Jasen. "Ini tidak gratis," ucap Jupri cepat. "Kok gitu sih.""Iya, tidak gratis. Lain kali traktir soto lagi ya." Jupri terkekeh lalu kembali meringis kesakitan. "Dih."Aku mengerucutkan bibir lalu mulai member
Pagi yang cerah kulangkahkan kakiku menuju toko kue, aku sengaja datang lebih awal jarena ada pesanan yang belum sempat di bungkus oleh para karyawanku. Pandanganku seketika menajam saat kulihat sosok yang aku kenal sedang berdiri dengan baju gamis telur asin.Jupri, iya lelaki itu sudah berdiri sambil bersidekap tangan di dada. Terlihat penampilan yang rapi dan tampan. Sungguh berbeda dengan Jupri beberapa tahun yang lalu. "Hai!" sapaku."Assalamualaikum, Ann!" balasnya.Aku pun seketika merasa kikuk, lalu membalas ucapan salamnya tersebut. Senyum manis terukir di bibir tipisnya membuat dadaku berdebar sedikit lebih kencang. Oh, Tuhan. Batinku menjerit."Waalaikumsalam, Jup," jawabku."Ada yang ingin aku katakan padamu mengenai Amel," ucap Jupri."Katakan saja, aku akan berusaha untuk menjadi pendengar yang setia," kataku.Jupri menarik napas kasar. Kemudian kulihat dia mengambil ponselnya jarinya terlihat memencet beberapa nomer. Kudengar nada sambung dari seberang."Siapa yang kam
"Jafar, gimana Amel? Kamu beneran udah nemuin dia?' ujar bang Jupri."Iya, Bang, aku udah nemuin Amel. Sekarang dia udah tidur, nih." "Bagaimana keadaan Amel yang sebenarnya, Jafar?" tanya Jupri yang aku dengar.Aku masih terus mendengar pembecaraan antara Jafar dan Jupri. Hingga akhirnya panggilan teralihkan dengan mode vidio call. Aku pun ikut melongok agar bisa melihat kondisi Amel."Ini lho, Bang. Amel keadaannya seperti ini, tadi pagi aku menemukan dia dalam keadaan diam terpekur duduk sambil bersedekap kedua lututnya. Dan apakah Abang tahu suhu tubuhnya?" ucap Jafar.Air mataku tanpa sengaja jatuh, bulir-bulir bening terus mengalir tiada henti saat kulihat tubuh Amel yang sudah terpasang infus dengan tubuh yang terlihat kurus kering. "Amel," lirihku sendu."Memangnya bagaimana keadaan Amel saat itu, Jafar?" tanya Jupri.Lelaki itu begitu perhatian terhadap putriku, aku sungguh terharu dengan semua perlakuan Jupri yang lembut. Aku hanya mendengar semua pembicaraan kedua lelaki
Aku duduk disisi brankar Amel. Memegang tangan mungilnya. Beberapa kali Jupri memberikan nasi kotak yang dibeli karena tahu aku belum makan sejak pagi, tetapi kutolak. Beberapa kali Jupri menawariku makan, beberapa kali itu pula ku tolak. Rasanya hilang selera makanku karena menunggu Amel yang tak kunjung sadarkan diri. Bahkan, ini sudah lewat tengah hari, dokter pun sudah mengecek kondisi terbarunya."Kondisi Amel baik-baik saja, Bu. Namun, kita masih harus menungguinya sampai tersadar," ujar dokter.Aku kembali termenung. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku, bagaimana bisa Amelku sepeerti ini. Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apakah ini semua akibat sikap keras Rowena? Aku sudah lelah berpikir buruk mengenai wanita rubah tersebut. "Makan dulu, Ann," ucap Jupri kembali menawarkan makanan padaku."Nantilah, Jup, aku masih nungguin Amel. Aku khawatir. Takut terjadi apa-apa," ujarku."Kan dokter tadi bilang enggak apa-apa, Ann. Amel baik-baik aja, kita tinggal nunggu dia sadar
Malam yang menjelang, aku bahagia karena Amel sudah sadar dan sudah mulai ceria. Ia berceloteh khas anak kecil. Aku, Jupri, dan Jafar hanya tersenyum dan terkekeh dengan celotehnya. Walaupun ia masih tak mau makan, tetapi setidaknya aku senang karena dia ada di hadapanku saat ini."Amel mau buah enggak?" tanya Jafar ramah."Buah apa, Om?" tanyanya polos."Mau Amel apa? Apel? Jeruk? Atau anggur?"Amel terdiam seolah sedang berpikir, "Amel mau anggur aja deh," ujarnya kemudian.Ia lalu memakan beberapa butir buah anggur dengan senang. Sampai akhirnya ia tiba-tiba menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa waktu lalu."Bunda, tau enggak kenapa Amel bisa ada di jalan sepi itu?" ucapnya, aku terdiam bingung, lalu melirik ke arah Jafar."Oh, di jalan alas Saradan, Bu," jawab Jafar yang mengerti jika aku bertanya maksud Amel."Oh, iya? Memang ada apa, Sayang?"Amel terdiam beberapa saat, tatapan matanya seperti menyimpan ketakutan yang terpendam. Aku menatap matanya yang tiba-tiba beremb
"Saat itu aku merasa ingin buang air kecil bunda. Terminal itu sangat ramai karena hari sabtu hari di mana banyaknya pemudik untuk pulang menjumpai keluarganya," jelas Amel.Aku yang gemas mendengar cara putriku bercerita pun menoel hidung mancungnya. Sekilas wajah putriku itu mirip dengan Frans dan Jasen. Mereka bertiga bagai pinang dibelah tiga, aku hanya tersenyum."Lalu, saat Amel kembali dari toilet bis itu jalan dan meninggalkan kamu, begitukah Sayang?" tanyaku."Benar, Bund. Kemudian aku mulai berjalan keluar dari terminal itu sesuai arah jalannya bis," sahut Amel dengan pandangan jengah."Mengapa tidak naik bis yang lain, Sayang?" tanyaku labih detail."Bagaimana aku bisa naik bis lagi, Bund, jika semua barang dan uang saku dari asisten itu yang mengaku orang kepercayaan Bunda ikut terbawa bis itu?" ungkap Amel.Aku langsung membekap mulutku, tidak bisa kubayangkan anak sekecil Amel yang masih berusia delapan tahun sendiri dalaam kerumunan orang asing. Aku mendekap kembali tub
Rasanya hatiku begitu geram mendengar semua penuturan dari Amel. Ku pikir, Rowena benar-benar bisa menjaga dan menyayangi anakku dengan tulus, nyatanya tidak. Wanita itu hanya manis di mulut. Dia hanya wanita rubah yang pandai berbohong untuk kepentingan sendiri."Tapi, Bunda ...." ucapan Amel terhenti."Ada apa, Nak? Bicara aja sama Bunda," desakku dengan nada rendah.Dia nampak ragu, "Saat itu, ada yang mau bantuin Amel, paman muda yang ketemu sama Amel di jalan sepi itu.""Oh ya?" Aku mengernyitkan dahi, lalu bergantian melirik ke arah Jafar dan Jupri, mereka sama-sama menggelengkan kepala."Paman siapa, Sayang?" tanyaku."Paman itu bilang katanya mau bantu Amel untuk pulang ke rumah Bunda, tetapi paman itu enggak kembali lagi setelah pamit mau beliin Amel makanan." Aku terdiam lagi mendengar penjelasan puteriku ini. Paman? Siapa gerangan?"Mungkin itu hanya orang yang kebetulan lewat aja, Sayang. Enggak apa-apa, kalau paman itu tahu kalau Amel udah enggak ada, pasti paman itu akan