Rasanya hatiku begitu geram mendengar semua penuturan dari Amel. Ku pikir, Rowena benar-benar bisa menjaga dan menyayangi anakku dengan tulus, nyatanya tidak. Wanita itu hanya manis di mulut. Dia hanya wanita rubah yang pandai berbohong untuk kepentingan sendiri."Tapi, Bunda ...." ucapan Amel terhenti."Ada apa, Nak? Bicara aja sama Bunda," desakku dengan nada rendah.Dia nampak ragu, "Saat itu, ada yang mau bantuin Amel, paman muda yang ketemu sama Amel di jalan sepi itu.""Oh ya?" Aku mengernyitkan dahi, lalu bergantian melirik ke arah Jafar dan Jupri, mereka sama-sama menggelengkan kepala."Paman siapa, Sayang?" tanyaku."Paman itu bilang katanya mau bantu Amel untuk pulang ke rumah Bunda, tetapi paman itu enggak kembali lagi setelah pamit mau beliin Amel makanan." Aku terdiam lagi mendengar penjelasan puteriku ini. Paman? Siapa gerangan?"Mungkin itu hanya orang yang kebetulan lewat aja, Sayang. Enggak apa-apa, kalau paman itu tahu kalau Amel udah enggak ada, pasti paman itu akan
Hari sudah berganti. Sudah tiga hari Amel dirawat di rumah sakit ini. Kondisinya pun sudah mulai membaik dan pulih, dokter sudah memperbolehkan Amel untuk pulang hari ini juga. Aku sudah mengurus administrasi sedangkan Jupri sedang bersiap membantu Amel. Jafar sudah pulang dan pergi lebih dulu meninggalkan kami.Niatku, aku akan membawa Amel ke toko milikku lebih dahulu. Aku akan kembali ke sana bersama dengan Amel dan Jupri. Beberapa barang sudah kami siapkan. Amel pun sudah tak sabar untuk segera keluar dari sini."Amel sudah siap?" tanyaku."Sudah, Bunda!" jawabnya antusias.Lalu kami pun pergi meninggalkan rumah sakit Soedono. Perjalanan yang saat itu terasa sangat lama, kini terasa sangat cepat karena Amel sudah ada di depan mata dan tak pernah mau lepas dari pelukanku. Aku memeluknya erat-erat, seolah aku tak mau kehilangannya lagi. Tentu saja tidak, aku akan selalu melindunginya walaupun itu ayahnya sendiri yang mengambilnya. Aku tak akan membiarkan pria itu menyentuh puteriku
"Aku akan pulang sebentar menyiapkan sebuah kamar untuk Amel," balasku."Bukankah semalam Mbak sempat berkirim pesan denganku akan membawa Yoga juga. Nah, sekarang mana Yoganya?" tanya Andin sambil melihat ke dalam mobil.Aku hanya tersenyum lalu melihat pada Amel yang sudah masuk lebih dulu bersama Dahlia. Aku akhirnya kembali memandang Andin untuk menjawab pertanyaannya."Yoga tidak mau ikut, Ndin. Karena dia sudah kelas lima, akan sulit jika pindah sekolah," paparku.Andin mengangguk paham. Kemudian dia pun berbalik badan menuju ke dalam toko. Sedangkan aku kembali ke bagasi mobil untuk memberesi semua barang Amel selama ada di rumah sakit. Dengan dibantu oleh Jupri semua barang sudah aku pindahkan ke dalam rumah."Sekali lagi terima kasih ya, Jup. Tanpa bantuan kamu pasti akan susah aku temukan putriku itu," ungkapku sendu."Sama-sama, Ann. Jika suatu saat kamu perlu bantuanku lagi hubungi saja, aku selalu ada untukmu!" ucap Jupri terlihat tulus.Aku hanya tersenyum, lelaki ini en
Akhirnya Bi Ijah mau kembali bekerja padaku, sejujurnya Bi Ijah bagiku seperti ibu kandung. Karena beliau sudah lama ikut bekerja dengan ibuku dan kebetulan semua anaknya telah mapan. Hanya selama hidup Bi Ijah tidak mau merepotkan kedua anaknya yang sudah duduk di bawah meja pemerintahan.Setiap aku tanya, Bi Ijah selalu berkata biarlah mereka berkembang dengan sendirinya, Non. Nanti ada masanya mereka akan mencari saya. Selalu seperti itu jawabnya. Aku sangat kasian dengan nasibnya. Hanya karena harta dan tahta mereka melupakan ibu yang telah membanting tulang demi pendidikan mereka. Kini setelah sukses ibu itu tidak diakui oleh keduanya. Sungguh miris nasih Bi Ijah.Setelah aku memastikan bahwa Bi Ijah akan pulang kembali ke Madiun esok hari, aku segera menata ruang tamu agar bisa ditempati oleh Bi Ijah sementara waktu. Aku harus segera mencari rumah yang cukup besar agar semua anggota keluarga bisa berkumpul menjadi satu. Mungkin nanti akan aku bicarakan berdua dengan Andin."Ah,
Benar saja, ketika kami sudah hampir selesai membereskan toko, sebuah mobil yang sangat aku kenali datang ke toko rotiku. Aku langsung keluar diikuti oleh Andin, Jupri, dan Damar. Ku tantang pasangan suami istri yang sudah menghancurkan kehidupanku ini. Aku tidak takut pada mereka. Mereka ibaratnya debu yang menempel di sepatuku."Ada apa kalian datang ke mari?" tanyaku dengan suara menantang.Jasen nampak ciut ketika melihat Jupri ada di belakangku. Namun, Rowena maju dengan percaya dirinya dan seolah dia wanita yang paling benar sedunia. Aku menatap tingkah mereka yang sok-sok an ini."Apa kalian ada perlu denganku?" tanyaku lagi dengan tangan bersedekap di dada."Aku hanya ingin mengambil Amel darimu, Ann," ucap Jasen tanpa malu.Aku melengos, tersenyum sinis ke arah mereka berdua yang sudah ku anggap musuhku, "Cih! Atas hak apa kau ingin mengambil Amel dari tangan ibu kandungnya?" ujarku masih dengan nada sinis."Ann, aku ayahnya!" Hemtak Jasen."Aku tahu! Aku tahu kau ayahnya! Ta
Aku terdiam mendengar perkataan Jupri, apa maksudnya? Tanggung jawab? Ah, mungkin saja ia mengatakan itu hanya untuk mengelabui Jasen agar tak menggangguku dan Amel lagi.Ku lihat wajah Jasen nampak merah padam menahan emosi. Ia melihat ke arahku dan Amel yang menenggelamkan wajahnya di pelukan karena takut. Aku memeluknya terus dengan erat. Tak akan ku biarkan orang-orang ini menyentuhnya, sehelai rambut pun tak akan.Rowena kali ini yang maju, dia menarik lengan Jasen, "Ayo kita pergi saja, percuma, dia tidak akan mengijinkan kita untuk membawa Amel."Rowena terus menarik lengan Jasen agar cepat pergi dari halaman toko rotiku. Akhirnya Jasen pun kembali ke mobilnya bersama Rowena, tetapi sebelum masuk ke dalam mobil, Jasen sempat mengatakan, "Aku akan kembali untuk mengambil anakku, Ann!"Aku hanya terdiam dengan memalingkan wajahku tanpa menjawab ucapan dari Jasen. Mobil itu pun pergi melaju dengan kencang. Setidaknya kini aku bisa bernapas lega karena pasangan itu sudah pergi.Ak
"Apa yang ingin Mbak bicarakan denganku?" tanya Andin."Mbak ingin memanggil Bi Ijah asisten rumah tangga ibuku dulu, apakah kamu ingat?" tanyaku pada Andin.Andin terdiam sesaat, kemudian senyumnya mengembang. Mungkin gadis itu mulai ingat akan Bi Ijah. Sementara kulihat Amel berlari menuju ke arahku."Bunda! Benarkah Bi Ijah akan diundang kemari? Itu tandanya setiap hari aku akan berjumpa dengan bibi dong, Bunda!" tanya Amel."Iya, Sayang," balasku.Amel melompat kegirangan mendengar semua informasiku, lalu dia pun memelukku penuh hangat. Kemudian kubawa dia dalam pelukanku. Lalu Andin berdiri dari duduknya dan pamit undur diri untuk istirahat."Mbak, besok jika Bi Ijah akan sampai di terminal Madiun segera chat aku ya, agar aku bisa jemput beliau," ucap Andin."Baik, nanti akan mbak kabari lagi pastinya. Sebaiknya kita istirahat, hari sudah menjelang malam!" ucapku.Akhirnya aku dan Amel pun masuk ke kamar untuk mengistirahatkan badan. Malam ini adalah malam pertama aku tidur bersa
"Iya, benar apa yang dikatakan oleh Mbak Ann itu, Bi Ijah. Maka mulai hari ini kami akan memanggil dengan sebutan Emak saja atau Bibi. Bagaimana, Mbak?" balas Andin."Nah iya benar!" jawabku."Tetapi ini tidak baik lho, Nyonya!" kekeh Bi Ijah.Aku dan Andin sepakat menggelengkan kepala, kemudian tiba-tiba Andin menjerit. Gadis itu ingat bila Dahlian harus masuk lebih pagi karena dia ada tugas piket kelas. Gegas Andin berlari masuk kamarnya guna membangunkan Dahlia. Tetapi yang akan dibangunkan justru dengan santainya sudah keluar dari kamar dengan pakaian sekolah lengkap.Andin tersenyum puas melihat kecekatan sang adiknya, tetapi Andin masih bimbang. Dia seperti ingin mengutarakan sesuatu. Aku berusaha membuatnya nyaman. Lalu kudekati dia."Ada apa, Ndin?" tanyaku."Mbak, sudahkah menghubungi Mas Frans? Dia berpesan pada HP toko agar segera memberitahukan informasi terkini mengenai Amel. Maafkan aku, Mbak!" ungkap Andin."Ah, kamu benar, Ndin," kataku.Segera kuraih pinselku yang mas
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud