Kugelengkan kepalaku dan kujawab aku tidak tahu pasti, dan Frans bisa langsung menanyakannya pada Amel saat mereka berdua nanti bertemu, karena saat ini Amel masih tidur dan belum bangun. Frans mengangguk, dia pun menanyakan kenapa toko rotiku tutup dan kenapa kami membagi- bagikan roti dan kue yang biasa kami jual.Kujelaskan padanya bahwa ada yang telah dengan sengaja mengacak- acak toko rotiku, sehingga hampir seperempat barang daganganku rusak, menyebabkan kami tidak bisa lanjut membuka toko karena dua kaca display yang ada di toko pecah sehingga tidak bisa dipakai.Fans terperanjat mendengar ceritaku dan bertanya siapa yang telah begitu tega menghancurkan usahaku. Aku yang tidak mempunyai jawabannya hanya mampu mengedikkan bahu saja."Hh, bersabarlah, Ann. Tuhan pasti akan memberikan balasan kepada orang- orang yang telah merusak dan menghancurkan toko rotimu. Benar- benar manusia tidak punya hati!" umpat Frans, kentara sekali nada kesal di dalam nada suaranya."Silakan, Nyonya,
Aku tercenung mendengar perkataan Frans. Di dalam hati, aku membenarkan penjelasan Frans padaku barusan. "Ya, Frans. Aku tidak akan membatasi pertemanan antara Amel dan Dahlia, lagipula Andin dan Dahlia sudah kuanggap sebagai keluargaku, seperti aku memperlakukan Bi Ijah, Damar, Jupri, Jafar dan yang lainnya," kataku pada Frans.Frans mengangguk setuju kemudian pria yang berusia lebih muda dua tahun dariku itu mengajakku untuk membicarakan masalah kesehatan Amel. Mendengar hal itu, aku pun mengajaknya masuk ke ruangan kerjaku dimana aku mengawasi mengerjakan laporan keuangan toko."Jadi, bagaimana kesimpulanmu setelah mendengar cerita Amel saat dia terpisah dan berusaha mengejar bus yang tidak sengaja meninggalkannya seorang diri, Frans?" tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu."Hmm, ya, dia memang sempat kelaparan dan dehidrasi waktu itu, Ann. Akan tetapi, beruntung sekali Jafar menemukannya di waktu yang tepat dan segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan, sebab t
"Llah, bukannya Om sudah mau pulang, Ya!" kata Amel sambil melirik ke arahku."Amel!" ucap Dahlia sedikit bernada tinggi.Amel pun segera membungkam mulutnya sambil menatap jengah pada Frans. Lalu tangannya menangkup didepan dada sebagai permintaan maafnya. Kulihat Frans hanya tersenyum manis lalu mengacak ujung rambut Amel."Iih, Om Frans rambut Amel 'kan baru saja dikeramasi Bunda. Ntar berantakan lho!" keluhnya sambil menatapku manja.Aku melihat polah Amel semakin gemas, Frans pun memberiku kode. Aku mengangguk mensetujui apa yang dia simpulkan tadi. Memang benar bahwa dukungan dan kasih sayang akan menyembuhkan luka Amel, itu sudah kulihat sejak siang ini.Andin tampak berjalan mendekat ke arahku, senyumnya mengembang. Lalu dia pamit akan ke toko kue lebih dulu, karena sebentar lagi waktu istirahatnya selesai bergilir karyawan lain."Hati-hati, Ndin. Mungkin aku agak sore ya datangnya. Nunggu anak-anak bangun tidur!" kataku pada Andin."Siap! Dahlia jangan lupa segera cuci tangan
Sinar mentari menerobos jendela kamarku, aku pun menggeliat melemaskan ototku. Kuraba tepian ranjang sisi kanan, kosong? Seketika mataku terbuka lebar, kusapu seluruh ruang kamarku mencari keberadaan putriku. Pandanganku terhenti pada sosok mungil yang sedang menjalankan ibadahnya, oh sungguh pemandangan yang indah. Lalu kualihkan pandanganku pada jam dinding, ya Robb ternyata sudah jam lima pagi.Gegas aku masuk kemar mandi, membersihkan diri sekaligus mengambil air wudlu. Setelah sepuluh menitan akupun keluar, kulihat gadis kecilku sedang melipat mukenanya."Kok bunda tidak dibangunkan, Dik?" tanyaku pada Amel."Hehe, maaf Bunda! Amel melihat wajah Bunda begitu lelah jadi Amel biarkan dulu hingga selesai salat baru nanti akan Amel bangunkan, Bunda," jawab putriku polos.Aku tersenyum, lalu segera kutunaikan kewajibanku terhadap Robb ku. Setelah selesai kulipat lagi mukena dan sajadah lalu kuletakkan ditempatnya semula. Amel kulihat melamun di tepian ranjang, pandangannya menerawang
Tak terasa, sudah satu bulan lamanya gadis cilikku bersekolah. Selama masa itu, tidak sedikit pun aku mendengar cerita macam- macam dari guru maupun diri dia sendiri. Malah dia selalu mengatakan bahwa dia sangat suka bersekolah di tempat dia belajar saat ini.Sejak putriku bersekolah, kesibukkanku di pagi hari pun bertambah, tetapi tidak sedikit pun aku menyesali hal itu, malah aku merasa sangat menyukainya. Bagiku kesibukkan mengurus dan mengantar kedua putri kecilku bersekolah adalah momen paling menyenangkan. Meskipun setiap hari aku terbantukan sejak adanya Bi Ijah.Hari ini, seperti biasa aku tengah mempersiapkan meja makan untuk acara makan pagi yang memang aku wajibkan setiap hari di rumah ini. Aku baru saja bersiap memanggil Amel dan yang lain untuk sarapan, saat aku mendengar telepon genggamku berteriak memanggil. Dengan sedikit tergesa, aku berjalan menghampiri lemari buku di ruang santai yang berada tidak jauh dari ruang makan"Halo, Assalamualaikum," sapaku saat panggilan v
"Tidak, Bunda. Yoga sedang berada di sekolah ketika peristiwa itu terjadi, Yoga baru saja sampai di sekolah, Bun. Saat melihat Yoga, ibu wali kelas Yoga langsung memanggil ke ruang guru. Waktu di ruang guru, Yoga melihat ada dua bapak polisi. Dari bapak- bapak itu Yoga tahu kalau ayah mengalami kecelakaan." Yoga menjelaskan padaku dengan suara sedikit terputus- putus.Mencelos rasanya saat mendengar berita dari Yoga, karena dengan adanya polisi itu berarti kecelakaan yang dialami oleh Jasen bisa dikategorikan lumayan berat. Perasaanku berkecamuk tidak karuan. Namun, di satu sisi aku merasa sangat beruntung karena Yoga tidak ikut menjadi korban dalam peristwa tersebut."Yoga diantar ayah ke sekolah?" tanyaku pada Yoga ingin memastikan waktu terjadinya kecelakaan.Terlihat wajah sedih Yoga mengangguk perlahan, seketika itu juga jantungku terasa luruh ke tanah. Aku benar- benar merasa bersyukur karena Allah telah menyelamatkan buah hatiku dari musibah kecelakaan."Kapan peristiwa itu ter
Akhirnya aku pun mengantarkan kedua gadis kecilku, tanpa terasa akhirnya perjalananku sampai di depan sekolah mereka berdua. Setelah berpamitan denganku keduanya masuk ke dalam sekolah penuh dengan senyum bahagia. Aku menatap mereka berdua hingga tidak lagi kulihat punggungnya. "Semoga hari kalian selalu indah, Sayang!" doaku untuk kedua putri kecil itu.Hari terus berlalu, akhirnya sore kembali bersua. Dengan langkah gontai akupun masuk dalam rumah. Kulihat Amel sudah bermain dengan Dahlia. Keduanya terlihat asyik bermain hingga tidak menyadari kedatanganku. Bibi yang melihatku segera menyambutku dengan senyum."Capek sekali ya, Nak Ann?" tanya bibi dengan nada lembut."Lumayan, Bi. Apakah Andin sudah pulang juga?" tanyaku."Nah itu, Nak Andin baru nongol!" ucap Bibi saat melihat Andin membuka pagar rumah.Aku pun berbalik badan melihat arah jari bibi yang menunjuk kedatangan Andin. Gadis itu terlihat lelah tetapi senyumnya mengembang kala melihatku sedang menunggunya di teras ruma
Aku menunggu dua putri kecilku pulang dari mushola di teras rumah. Kulihat beberapa orang sudah keluar dari mushola, dari jauh tampak dua anak perempuan berjalan bergandengan tangan sambil mendekap mukena. Senyum dan saling canda menghias setiap langkah keduanya."Assalamualaikum, Bund!" sapa keduanya."Waalaikumsalam, Sayangnya Bunda," balasku.Lalu kuraih bahu kedua putri kecilku agar segera masuk ke dalam rumah. Setelah mengembalikan mukenanya mereka segera berjalan menuju meja makan. Aku dan yang lainnya sudah menunggu di meja. Amel segera duduk pada tempatnya begitu juga dengan Dahlia."Wah menunya sangat menggugah selera," ucap Amel."Amel suka?" tanya Andin."Suka, aku suka banget bila cha kangkung dengan lauk bakwan seperti ini, Mbak," balas Amel dengan binar bahagia.Aku segera mengambilkan menu yang disukai oleh Amel, setelah mengambilkan makanan untuk Amel ganti makanan untuk Dahlian. Andin hanya melihatku sedikit iri karena hanya kedua gadis kecil itu yang aku layani maka