Buk! Teriakanku nampaknya mengacau konsentrasi Jasen. Celah itu dimanfaatkan Jupri untuk memukul wajah Jasen dan menggulingkannya ke samping. Jasen masih bisa berdiri hingga membuat Jupri memgulas senyum tipis."Ayo, kita selesaikan sekarang!" pekik Jupri.Laki-laki itu berdiri lalu menepuk-nepuk bagian bawah gamisnya yang kotor. Setelahnya, ia memasang kuda-kuda dengan dua tangan mengepal di depan dada. Jupri mulai mengatur napas menyiapkan tenaga dalamnya, perlahan tapi pasti lelaki itu sudah terlihat siap menghadapi segala serangan."Nama _katrok_ gitu kok banyak gaya," ucap Jasen sambil berusaha berdiri. Satu tangannya terlihat mengusap ujung bibir. Jupri berhasil membuat lawannya terluka. _"Katrok_ juga bukan urusan kamu. Yang penting punya sopan santun, bisa memanusiakan manusia, dan satu lagi terpenting tidak suka melukai hati wanita!" teriak Jupri sambil bersiap dengan kuda-kudanya."Banyak gaya kau ya!" Aku hanya bisa terpaku di depan pintu toko. Jupri dan Jasen di depan s
Melihat luka-luka di tubuh dan wajah Jupri, apalagi ujung bibir dan hidungnya masih mengucurkan cairan merah, air mataku jelas tidak bisa berhenti mengalir. Tubuhku gemetar. Aku terus sesenggukan sambil menuntun Jupri ke ruang serbaguna yang ada di tokoku. "Tunggu di sini, aku ambilkan air es dulu untuk kompres luka kamu!" ucapku lirih.Lalu aku meninggalkan Jurpi seorang diri dalam gudang tersebut. Meski hanya gudang aku rasa ruangan ini masih cukup bersih. Sebenarnya ruang ini adalah gudang untuk barang-barang. Meskipun namanya gudang, tempat ini selalu dibersihkan oleh para karyawan karena digunakan untuk bahan baku bersih. Beberapa bahan roti juga aku tempatkan di sini. Tempatnya cukup luas, jadi aku rasa Jupri tidak akan kesempitan. Akhirnya aku kembali setelah mendapatkan satu baskom es batu juga kain handuk putih untuk mengompres bekas luka pukul Jasen. Perlahan aku bungkus beberapa es batu lalu kucoba tempelkan pada luka Jupri."Tahan dulu ya," ucapku sambil menarik kursi la
Yakin hanya karena itu?""Tentu saja," jawabku senewen. "Bukan karena benar-benar khawatir padaku? Takut aku kenapa-kenapa, terlepas dari aku bisa membantumu atau tidak?""Ya, tidak. Bukan. Aku khawatir. Tentu saja aku khawatir, Jup. Tapi bukan khawatir yang seperti itu.""Terus yang seperti apa?""Arrgh!"Jupri terbahak-bahak. Dari dulu, ia memang paling suka menggangguku seperti ini. Anehnya, aku hanya kesal. Tidak pernah terlintas rasa marah ataupun dendam pada Jupri. "Iya, maaf sudah membuatmu khawatir.""Iya, Jup, tapi ... terima kasih ya.""Karena aku berhasil mengusirnya?"Aku mengangguk. Aku sebenarnya kasihan melihat Jasen dipukuli, tapi di sisi lain aku senang ada yang memasang badan untukku. Kalau tidak ada Jupri, mungkin aku hanya bisa menangis mendengar hinaan Jasen. "Ini tidak gratis," ucap Jupri cepat. "Kok gitu sih.""Iya, tidak gratis. Lain kali traktir soto lagi ya." Jupri terkekeh lalu kembali meringis kesakitan. "Dih."Aku mengerucutkan bibir lalu mulai member
Pagi yang cerah kulangkahkan kakiku menuju toko kue, aku sengaja datang lebih awal jarena ada pesanan yang belum sempat di bungkus oleh para karyawanku. Pandanganku seketika menajam saat kulihat sosok yang aku kenal sedang berdiri dengan baju gamis telur asin.Jupri, iya lelaki itu sudah berdiri sambil bersidekap tangan di dada. Terlihat penampilan yang rapi dan tampan. Sungguh berbeda dengan Jupri beberapa tahun yang lalu. "Hai!" sapaku."Assalamualaikum, Ann!" balasnya.Aku pun seketika merasa kikuk, lalu membalas ucapan salamnya tersebut. Senyum manis terukir di bibir tipisnya membuat dadaku berdebar sedikit lebih kencang. Oh, Tuhan. Batinku menjerit."Waalaikumsalam, Jup," jawabku."Ada yang ingin aku katakan padamu mengenai Amel," ucap Jupri."Katakan saja, aku akan berusaha untuk menjadi pendengar yang setia," kataku.Jupri menarik napas kasar. Kemudian kulihat dia mengambil ponselnya jarinya terlihat memencet beberapa nomer. Kudengar nada sambung dari seberang."Siapa yang kam
"Jafar, gimana Amel? Kamu beneran udah nemuin dia?' ujar bang Jupri."Iya, Bang, aku udah nemuin Amel. Sekarang dia udah tidur, nih." "Bagaimana keadaan Amel yang sebenarnya, Jafar?" tanya Jupri yang aku dengar.Aku masih terus mendengar pembecaraan antara Jafar dan Jupri. Hingga akhirnya panggilan teralihkan dengan mode vidio call. Aku pun ikut melongok agar bisa melihat kondisi Amel."Ini lho, Bang. Amel keadaannya seperti ini, tadi pagi aku menemukan dia dalam keadaan diam terpekur duduk sambil bersedekap kedua lututnya. Dan apakah Abang tahu suhu tubuhnya?" ucap Jafar.Air mataku tanpa sengaja jatuh, bulir-bulir bening terus mengalir tiada henti saat kulihat tubuh Amel yang sudah terpasang infus dengan tubuh yang terlihat kurus kering. "Amel," lirihku sendu."Memangnya bagaimana keadaan Amel saat itu, Jafar?" tanya Jupri.Lelaki itu begitu perhatian terhadap putriku, aku sungguh terharu dengan semua perlakuan Jupri yang lembut. Aku hanya mendengar semua pembicaraan kedua lelaki
Aku duduk disisi brankar Amel. Memegang tangan mungilnya. Beberapa kali Jupri memberikan nasi kotak yang dibeli karena tahu aku belum makan sejak pagi, tetapi kutolak. Beberapa kali Jupri menawariku makan, beberapa kali itu pula ku tolak. Rasanya hilang selera makanku karena menunggu Amel yang tak kunjung sadarkan diri. Bahkan, ini sudah lewat tengah hari, dokter pun sudah mengecek kondisi terbarunya."Kondisi Amel baik-baik saja, Bu. Namun, kita masih harus menungguinya sampai tersadar," ujar dokter.Aku kembali termenung. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku, bagaimana bisa Amelku sepeerti ini. Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Apakah ini semua akibat sikap keras Rowena? Aku sudah lelah berpikir buruk mengenai wanita rubah tersebut. "Makan dulu, Ann," ucap Jupri kembali menawarkan makanan padaku."Nantilah, Jup, aku masih nungguin Amel. Aku khawatir. Takut terjadi apa-apa," ujarku."Kan dokter tadi bilang enggak apa-apa, Ann. Amel baik-baik aja, kita tinggal nunggu dia sadar
Malam yang menjelang, aku bahagia karena Amel sudah sadar dan sudah mulai ceria. Ia berceloteh khas anak kecil. Aku, Jupri, dan Jafar hanya tersenyum dan terkekeh dengan celotehnya. Walaupun ia masih tak mau makan, tetapi setidaknya aku senang karena dia ada di hadapanku saat ini."Amel mau buah enggak?" tanya Jafar ramah."Buah apa, Om?" tanyanya polos."Mau Amel apa? Apel? Jeruk? Atau anggur?"Amel terdiam seolah sedang berpikir, "Amel mau anggur aja deh," ujarnya kemudian.Ia lalu memakan beberapa butir buah anggur dengan senang. Sampai akhirnya ia tiba-tiba menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa waktu lalu."Bunda, tau enggak kenapa Amel bisa ada di jalan sepi itu?" ucapnya, aku terdiam bingung, lalu melirik ke arah Jafar."Oh, di jalan alas Saradan, Bu," jawab Jafar yang mengerti jika aku bertanya maksud Amel."Oh, iya? Memang ada apa, Sayang?"Amel terdiam beberapa saat, tatapan matanya seperti menyimpan ketakutan yang terpendam. Aku menatap matanya yang tiba-tiba beremb
"Saat itu aku merasa ingin buang air kecil bunda. Terminal itu sangat ramai karena hari sabtu hari di mana banyaknya pemudik untuk pulang menjumpai keluarganya," jelas Amel.Aku yang gemas mendengar cara putriku bercerita pun menoel hidung mancungnya. Sekilas wajah putriku itu mirip dengan Frans dan Jasen. Mereka bertiga bagai pinang dibelah tiga, aku hanya tersenyum."Lalu, saat Amel kembali dari toilet bis itu jalan dan meninggalkan kamu, begitukah Sayang?" tanyaku."Benar, Bund. Kemudian aku mulai berjalan keluar dari terminal itu sesuai arah jalannya bis," sahut Amel dengan pandangan jengah."Mengapa tidak naik bis yang lain, Sayang?" tanyaku labih detail."Bagaimana aku bisa naik bis lagi, Bund, jika semua barang dan uang saku dari asisten itu yang mengaku orang kepercayaan Bunda ikut terbawa bis itu?" ungkap Amel.Aku langsung membekap mulutku, tidak bisa kubayangkan anak sekecil Amel yang masih berusia delapan tahun sendiri dalaam kerumunan orang asing. Aku mendekap kembali tub
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud