“Aku baru saja mengobati lukaku,” ucap Damian sambil menatap Selena dengan yakin.
Damian berusaha keras menyembunyikan kebohongannya pada Selena. Kebohongannya kali ini sebenarnya tak akan mudah ditebak jika saja situasi darurat seperti ini terjadi dan membuat dirinya tak berada di tempat yang seharusnya dia berada. Seharusnya dia berada di sini dari tadi.“Kenapa ponselmu mati?” tanya Selena.“Aku tidak sempat mengangkat panggilanmu yang pertama karena aku kesulitan meraih ponselku di saku, dan kemudian saat kau menelepon lagi, aku menolaknya karena ahli medis akan segera mengobatiku. Dari tadi aku sedang diobati, tidak di sini. Aku mengunjungi temanku di rumah sakit lain,” ucap Damian, terdengar sangat meyakinkan.Selena tampaknya mempercayai ucapan Damian. Dia tak bisa mencurigai Damian terus, karena Damian juga sedang terluka. Selena menghela nafasnya, wajahnya terlihat sangat lesu.Melihat Selena tak lagi mencurigainya dan berusTiba di mansion Hendry, Selena menatap kosong ke arah langit malam di balkon kamar. Damian sendiri tengah diobati Grace di bawah. Damian hanya beralasan kalau perbannya basah lagi dan darahnya keluar lagi, makanya dia harus mengganti perban. Padahal dia memang belum mendapatkan perawatan yang tepat, dan Grace memberikannya di mansion Hendry. “Jadi, Tuan berada di mana bersama Luca saat seharusnya berada di rumah sakit untuk menangani luka Tuan?” tanya Grace sambil menutup ulang luka Damian yang terbuka. “Kami di suatu tempat,” jawab Luca seadanya, dia tidak ingin memberitahu secara pasti. “Di mana? Katakan dengan jelas. Selena bilang jelas-jelas kalian bilang langsung ke rumah sakit. Tapi aku tidak menemukan nama Tuan Damian sebagai pasien malam ini. Perban sebelumnya juga dilakukan oleh orang yang punya sedikit pengalaman, tidak terlihat seperti seorang dokter sungguhan,” ucap Grace, terdengar penuh curiga dan selidik. Damian terkekeh karena
Selena menaruh tangannya di atas dada telanjang Damian, dia menemukan detak jantung pria itu dengan mudah. Jantung Damian saat ini berdetak lebih cepat dari biasanya, membuat Selena mengangkat dagunya untuk menatap ke arah pria itu. Damian memegangi pergelangan tangannya. “Apa yang kau temukan di bawah sana?” tanyanya sambil terkekeh. “Detak jantungmu cepat, ya?” gumam Selena. “Ya, itu karena sentuhanmu. Tidakkah kau tahu jika sentuhan wanita itu sangat mudah mempengaruhi pria?” Damian melepaskan tangan Selena untuk menyisipkan rambutnya. “Aku tahu itu,” balas Selena dengan acuh tak acuh. “Lantas, apa maksudnya ini? Kau menyentuhku seperti berusaha menggodaku, padahal kau tahu kau sedang tidak bisa meladeniku,” selidik Damian penuh curiga. “Aku hanya sedang ingin lebih dekat denganmu. Setelah ini, apa tidak apa-apa jika aku tidak bersamamu sementara waktu? Aku ingin mengenang ibuku sebelum benar-benar melupakannya.”
“Ya? Dengan saya sendiri.” Selena bangkit dari duduknya saat pria itu menghampirinya. Damian menatapi pria itu tanpa memberikan reaksi lebih. Kelihatannya ada sesuatu yang harus dibahas oleh pria itu, dan Damian bisa membacanya dari tas hitam yang dia bawa. Pria itu menaruh tasnya di depan Selena dan Damian dan membuka tasnya, mengeluarkan beberapa dokumen penting. Damian mengernyitkan dahinya penasaran dengan apa yang akan didapatkan Selena di hati kematian ibunya. Karena dia tahu, akan ada beberapa pengalihan kuasa. “Kami bersama ibumu mendirikan sebuah perusahaan bersama puluhan tahun yang lalu. Mungkin kau pernah mendengar XXX yang iklannya tayang di televisi. Sabrina pernah berpesan untuk melanjutkan kepemilikan perusahaannya kepada putrinya, dengan nama Selena Raguano.” “Apa artinya itu?” Selena menatapnya dengan tatapan bingung. “Itu berarti kekayaan ibumu yang ada di dalam perusahaan itu tidak akan dihentikan dan terus berlan
“H-hey, Damian!” bisik Selena seraya membungkuk, berusaha menjauhkan wajah Damian dari kakinya. Damian menengadah menatapnya dan tersenyum nakal melihat reaksi Selena. Itu membuat Selena mengerutkan dahinya dengan perasaan malu. Kemerahan timbul di sekitar pipinya. Selena merona karenanya, namun dia berusaha menahan panas di wajahnya. “Hentikan... Jangan di sini!” ujar Selena seraya berusaha menarik bahu Damian agar bangkit. Damian menghela nafasnya dan bangkit dari berlutut. Dia menatap Selena, pria itu menjulang tinggi di depannya, menatap ke bawah ke arah Selena yang tampak lebih pendek. “Kau tidak akan bisa memberikannya juga untuk saat ini,” keluh Damian dengan kesal. “Untuk itulah. Bukankah kau akan segera pulang sekarang?” Selena menatapnya. “Iya. Jaga dirimu baik-baik, dengar?” Damian mengulurkan tangan kirinya ke wajah Selena. Begitu tangan kiri Damian berada di pipinya, Selena bersandar ke telapak tangan
Selena memasuki kamar mendiang ibunya tersebut. Melihat sebuah kamar dengan nuansa classic menggunakan warna monokrom abu-abu. Agak berbeda dengan rumah ideal Sabrina yang warnanya kecokelatan yang hangat seperti kayu. Kelihatannya ini memang selera orang tua Sabrina saja. “Baju-baju ibumu yang ada di walk-in closet semuanya adalah bajunya semasa muda. Lemari yang ada di sini berisikan pakaiannya yang baru-baru ini. Kau bisa menggunakan apa pun yang kau suka selama di sini. Tapi jika Nenek lihat, kelihatannya style kalian berbeda. Kau sangat feminin.” “Ah, jika Nenek menyebutkan bagaimana penampilanku di rumah itu waktu itu, itu karena aku menggunakan pakaian yang disediakan oleh ibu. Ibu kelihatannya menyukai gadis yang feminin dan berharap aku menjadi apa yang dia bayangkan saat itu,” jelas Selena. Selena tersenyum tipis dan memasuki ruang pribadi ibunya di masa muda tersebut. Dia masih tak menyangka dia bisa memasuki ruangan seperti ini, dengan orang
Axel menatap Selena. Selena bahkan mengingat kalimat yang dia berikan dulu, yang disampaikan kembali oleh Axel. Kalimat itu berasal dari Sabrina. Yang sekarang membuat mata Selena berkaca-kaca. Semua yang Axel dengar dari Sabrina, telah disampaikan pada Selena. “Betapa beruntungnya kau, pernah ada bersamanya bagaimana pun keadaannya. Dan kau telah menemaninya menua. Dia tidak begitu, tidak, dia masih muda. Tapi aku tak diberikan kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Aku hanya mengenalnya dalam dirimu,” isak Selena. Axel seketika terdiam, menatapi Selena yang mengusap air matanya sambil terisak pelan. Axel bisa merasakan kekecewaan Selena pada dirinya sendiri dan penyesalan yang tak bisa dia perbaiki. Dengan berat hati, Axel mengambil nafasnya dalam-dalam dan tersenyum simpul padanya. “Maaf, seharusnya aku mengatakan semuanya lebih awal,” ucap Axel dengan suara pelan. “Jangan meminta maaf! Aku tidak ingin mendengarkan apa pun untuk
“Kau tahu, semua yang kau lihat dari kami tidak bisa didapatkan dengan mudah. Apa kau menyadari hal tersebut?” Kakek menatap Selena dengan penuh perhatian, tutur katanya terdengar lembut. “Aku tahu, semua yang kita miliki tidak bisa didapatkan dengan cara yang mudah.” Selena menatap Kakek dengan sedikit ragu. Entah kenapa tutur kata yang lembut dan halus justru masuk ke hatinya lebih baik dari pada sentakan dan hinaan. Dia menyetujui ucapan kakeknya. “Maka dari itu, aku berharap kau meningkatkan dirimu sendiri. Sabrina sudah tidak ada sekarang. Kau harus bisa menafkahi dirimu sendiri. Kuharap kau tidak begitu bergantung pada Damian sebelum dia resmi menjadi suamimu. Itu akan mempermalukan keluarga Gallent.” Erick menatap ke arah Selena dengan dingin. Pria itu kelihatannya hanya berusaha untuk membuat Selena mengerti maksudnya. Walau, dia tak bisa mengutarakan apa yang dia maksud. “Kak, tidak bisakah Kakak tidak terlalu menekannya? Di
“Jika itu menjadi galeri, kau harus menuruti apa pun keinginanku, dan jika itu bukan, aku akan menuruti semua yang kau inginkan,“ taruh Axel. Selena menatap Axel dengan tatapan ragu. Dia tahu, Axel lebih mengetahui dari pada dirinya. Ada banyak yang masih belum dia ketahui tentang dunia ini, tentang Damian utamanya. “Katakan saja apa keinginanmu dulu, aku akan mengatakan aku akan bertaruh jika aku tahu apa itu,” ucap Selena, dia tidak mau menjadikan taruhan ini sebagai celah bagi Axel. “Aku ingin kau tidak bertemu dengan Damian selama tiga bulan penuh, dengan alasan apa pun yang bisa kau katakan padanya. Aku ingin tahu apa dia akan berpikir berlebihan atau tidak.” Axel menjawab setelah berpikir sejenak, dia melipat lengannya sambil menatap Selena menantang.“Kau gila? Bisa-bisa dia akan menyusulku ke sini,” umpat Selena. “Aku senang melihatnya menggila.” Axel kemudian tertawa karena leluconnya sendiri. Selena mendengus dan m