"Kamu pasti kenal dengan Galih kan?" tanya Tiara --Mama Bening-- tiba-tiba.
Bening yang sedang mengerjakan pekerjaannya menoleh, "Galih? Om Galih? Bukannya Om Galih pamannya Genta, Ma?""Benar. Dia datang untuk melamar kamu," ucap Tiara.Bening mendelik, "Melamar? Tapi aku sudah punya Genta, Ma. Mama ini gimana?""Genta lagi, Genta lagi. Dia nggak bisa diharapkan, Bening. Lihat saja sampai sekarang dia belum muncul kan? Bukannya kamu sudah meminta dia untuk datang melamar? Sesulit itukah untuk melamar kamu?" cerca Tiara.Bukan hanya Tiara yang kebingungan dengan sikap Genta, tapi Bening juga sama. Padahal dia sudah siap untuk menikah. Usianya sudah dua puluh lima tahun dan selalu mendapat gunjingan orang karena belum menikah. Apalagi Genta sering datang ke rumahnya tapi tidak punya niatan untuk melamar. Mau dibawa hubungan mereka?"Aku akan bicara lagi pada Genta, Ma," putus Bening."Nggak! Mama nggak sabar menunggu pria yang nggak jelas begitu. Dia pasti nggak cinta sama kamu. Pokoknya, mama mau kamu menikah dengan Galih. Galih sudah mapan dan siap menikah. Kalau kamu melihatnya langsung pasti kamu akan setuju dengan mama," tukas Tiara.Bening tidak menjawab. Dia tidak suka dijodohkan dan tidak mau menikah tanpa cinta. Tapi ... apa mungkin Bening bisa bertahan lebih lama?°°°Ketika Bening keluar dari kantor, seseorang menghampiri. Wanita itu menengadah melihat sosok yang begitu tinggi di hadapannya. "Om Galih?"Pria bernama Galih itu tersenyum kikuk pada Bening, "Aku nggak sengaja lewat dan melihat kamu, Bening. Mau pulang bersama?""Terimakasih, Om, tapi aku bawa mobil.""Kalau begitu, biar aku saja yang ikut mobil kamu. Boleh?"Rasanya tidak sopan jika bilang tidak. Bening akhirnya mengangguk. "Aku ambil mobil dulu, Om.""Oke."Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Bening berpikir keras. Apakah Galih berniat untuk mendekatinya? Tiba-tiba bertemu sepertinya tidak mungkin jika kebetulan. Apalagi pria itu datang untuk melamar Bening.Mobil Bening berhenti di depan Galih, wanita itu menekan klakson mobil sekali dan Galih langsung masuk. Galih memasang sabuk pengaman, lalu menoleh pada Bening, "Makan malam dulu mau?""Aku belum lapar, Om.""Tapi aku lapar, Bening. Mau menemaniku makan nggak?"Bening enggan untuk mengiyakan tapi sekali lagi dia tidak berani menolak. Dia mengetahui jika Galih bukan orang sembarangan apalagi mengenai bisnis. Dia pernah melihat Galih menjadi narasumber di sebuah acara kampus. Bening terpesona dengan kejelian Galih dalam melihat pasar bisnis. Tutur bicaranya juga sampai di kepala. Wajar jika Galih sukses dalam dunia bisnis."Ba-baiklah," gumam Bening akhirnya. Dia menanyakan kemana tujuan mereka dan Galih menyebutkan restoran bintang lima yang tentu saja pasti harga menu makanannya di atas satu juta rupiah.Bening tidak banyak bicara, dia hanya menjawab dengan singkat jika Galih bertanya. Hingga mereka sampai di restoran. Galih memberikan kesempatan pada Bening untuk memilih menu yang ringan seperti salad atau camilan lainnya.Bening bohong kalau dia bilang tidak lapar. Seharian dia sibuk, tuntutan pekerjaan yang tidak main-main seringkali membuat dia kelaparan. Apalagi dia harus makan buru-buru jika atasannya memintanya untuk menemani bertemu klien.Melihat menu yang menggoda, Bening ingin memesan. Tapi apa dia akan terlihat seperti pembohong kalau tiba-tiba makan?"Steaknya enak di sini, Bening. Apalagi kalau nggak terlalu matang. Saladnya juga enak. Saus saladnya beda dari tempat lain. Udangnya fresh semua apalagi udang saus Padang. Kalau makanan penutupnya paling banyak dipesan itu es krim waffle. Apalagi yang rasa coklat. Coklatnya premium. Eh, kenapa aku jadi mirip waiters ya?" jelas Galih mengomentari ucapannya sendiri. Dia tertawa renyah, lalu melirik Bening. Bening tidak bisa menyembunyikan keinginannya jadi dia berusaha menarik perhatian wanita itu."Malah lebih cocok Om dari pada waitersnya," komentar Bening. Dia akhirnya menunjuk beberapa makanan ketika waiters datang."Kamu sudah dengar soal kedatanganku?" tanya Galih mencairkan suasana.Bening mengangguk, "Soal lamaran?""Benar. Gimana? Kamu terima?""Om tahu aku punya kekasih kan?""Tentu. Kamu dan Genta sudah lima tahun pacaran tapi masih stag begitu saja. Aku juga tahu kalau Genta menolak melamar kamu. Aku bukannya ingin menyalahkan Genta, tapi Genta lebih mementingkan perasaan mamanya. Tante Fitri mendesak Genta untuk menggeluti bisnis lebih dulu dari pada menikah dengan kamu, Bening. Untuk apa kamu masih menunggunya? Bukannya kamu akan terlihat seperti mengemis cinta? Kalau kamu tanya padaku, apa aku menyukaimu hingga berani melamar? Jawabannya sudah pasti iya. Aku ... menyukaimu sejak Genta memperkenalkan kamu padaku waktu itu. Hanya saja aku nggak punya peluang tapi sekarang aku berani maju karena Genta nggak ada pergerakan sama sekali. Wanita butuh kepastian bukannya kesabaran. Kalau lima tahun saja Genta belum punya inisiatif untuk menikahi kamu, lalu kamu harus menunggu berapa tahun lagi? Sepuluh tahun?" jelas Galih. Ucapannya masuk akal.Bening benci mengakuinya. Tapi dia tidak bisa mengelak. Ditatapnya dalam pria yang tujuh tahun lebih tua darinya itu. Ucapannya sangat dewasa, cara memandang dunia juga berbeda. Kalau Genta? Entahlah, pria itu sepertinya hanya ingin bersenang-senang sendiri. Jadi? Bening sudah berani memutuskan.°°°Perencanaan pernikahan yang singkat, telah sepenuhnya selesai. Bening juga sudah melakukan fitting gaun pengantin bersama Galih di sebuah butik yang menjadi langganan orangtua Galih.Bening hanya mengangguk ketika Galih memilih gaun pengantinnya. Wanita itu pasrah pada keadaan. Lalu apa yang terjadi pada Genta? Pria itu masih sibuk menghubungi Bening tapi Bening menolak bicara.Hingga hari pernikahan, mereka dipertemukan dalam keadaan yang jauh berbeda. Genta mengetahui pernikahan Galih dari orangtuanya. Orangtuanya berusaha menyembunyikan kenyataan itu karena Genta sedang berusaha menjalankan perannya sebagai bos bisnis kecil. Mereka sebenarnya juga tidak setuju kalau Genta menikah cepat sebelum sukses."Aku nggak percaya kamu tega menikah dengan pamanku sendiri, Bening," gumam Genta.Bening berusaha mengacuhkan mata berkaca-kaca Genta. "Karena kamu yang nggak punya kepastian.""Jadi ini alasan kamu menghindariku?""Benar. Asal kamu tahu, Genta. Wanita butuh kepastian. Mau sampai kapan kamu menggantungkan hubungan kita? Kamu menyematkan cincin aja nggak, memberi kepastian melamar aja nggak. Lalu aku harus gimana? Menunggu kamu? Mau sampai umur berapa? Tiga puluh tahun? Aku nggak sanggup, Genta."Genta terhenyak. Bergantian menatap Galih, pria itu akhirnya pergi. Bening tidak bisa menahan air matanya yang luruh. Dia tidak tega melihat Genta tersakiti tapi dia sudah memiliki ikatan pernikahan dengan Galih.'Maafkan aku' batin Bening.°°°Acara resepsi selesai, Bening diboyong ke rumah Galih yang lokasinya lumayan jauh dari rumah orangtuanya. Galih membantu Bening untuk turun dari mobil karena gaun pengantin wanita itu terlalu lebar dan berat.Asisten rumah tangga yang hanya satu-satunya di rumah itu, menyapa Bening. "Saya Bik Sani, Nona. Saya yang akan menyiapkan segala keperluan anda."Bening terlalu lelah untuk membalas sapaan Bik Sani. Dia hanya tersenyum. Galih membawanya masuk lebih jauh lagi dan menaiki tangga menuju lantai dua. Galih menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Pada saat itulah Bening berpikir yang bukan-bukan. Bagaimana malam pertama mereka? Apakah mereka akan melakukannya sekarang?"Tenanglah, Bening. Saya tidak akan menyentuh kamu kecuali kamu siap," ucap Galih.°°°Bening menguap berulangkali. Dia tidak bisa tidur. Entah kenapa di ruangan yang bukan tempat biasanya dia tidur membuat dia terjaga hingga pukul dua dini hari. Dia mengeluh, berkali-kali mengatur napas. Penyesalan mungkin ada, tapi dia yakin jika takdirnya memang begini. Bening memutuskan untuk keluar dari kamar yang baru beberapa jam menjadi miliknya. Dia berniat mencari minuman dingin yang mungkin saja bisa membuatnya mengantuk. Bodohnya dia. Harusnya dia minum yang hangat supaya bisa cepat terlelap.Kulkas di dapur bersih rumah itu, lebih tampak supermarket berjalan. Bening mengambil minuman kaleng dengan rasa jeruk peras asli, lalu membawanya naik. Di tengah perjalanan menuju lantai dua, dia penasaran dengan sesuatu. Wanita itu akhirnya merubah haluan kakinya menuju ke halaman belakang. Halaman luas yang tampak kosong itu hanya berisi pepohonan, kolam renang dan ayunan. Bening tidak melihat adanya gazebo atau semacamnya. "Sejuk," gumam Bening sembari berjalan. Dia duduk di tepi
Dugh! Bening menendang ban mobilnya yang kempes. Mendadak sekali mobilnya bermasalah padahal semalam baik-baik saja. Sudah pukul tujuh lebih tapi dia masih ada di rumah. Kalau di jalan macet, bisa-bisa dia terlambat. Lalu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti? Atasannya, Junar, pasti akan mengamuk kalau pekerjaan yang harus dia selesaikan tiba-tiba terlambat diserahkan."Kenapa?" tanya Galih, pria itu sudah mengantongi kunci mobil dan siap berangkat ketika melihat Bening menendang ban tidak bersalah itu. "Kempes, Om."Galih menunduk, memperhatikan benda bulat penopang kelancaran jalan, lalu menggeleng ragu, "Bocor sepertinya.""Yah, menyebalkan sekali." Bening menenteng tasnya ke bahu kanan. Dia berniat mencari taksi melalui aplikasi supaya lebih cepat. Tapi Galih tiba-tiba meraih tas ke dalam pelukan lengannya, "loh kok diambil, Om?""Ikut saya saja. Lagi pula perjalanan kita searah." ucap Galih sambil beralih pada mobilnya, lalu membuka pintu untuk Bening, "masuklah!"Bening ra
Junar tidak bisa berhenti tertawa melihat ekspresi Galih yang menahan malu. Bagaimana tidak? Tampang Bening tidak bisa berbohong mengenai hubungan mereka. Kalau Junar percaya ucapan Bening, itu sama saja dia yang bodoh.Galih mendesis, "Sialan! Puas menertawakanku?"Junar menghapus setitik air mata karena tawanya yang tidak berujung itu dengan ujung jari, lalu dia mengatupkan dua telapak tangannya dalam satu tangkupan. "Puas sekali. Bagaimana kamu bisa menikahi wanita yang tujuh tahun di bawah kamu? Atau jangan-jangan kamu main dukun? Kelihatan sekali kalau dia nggak suka sama kamu."Galih mendaratkan punggungnya pada sofa, "Ya, kamu benar. Bening memang nggak suka padaku karena usiaku ini. Selain itu, kami juga nggak punya ikatan sebelumnya. Wajar kalau dia memanggilku Om."Junar menyesal kopinya setelah sebelumnya menghirup aromanya yang menenangkan. Di meletakkan kembali cangkir tehnya, lalu berkata, "Kamu memaksanya?""Bukan begitu. Aku hanya memberikan pilihan dan dia menerima. S
'Om Galih berusaha menggodaku? Apa tadi katanya? Dia belum makan malam hanya karena menungguku? Menakjubkan. Jantungku bahkan melompat dari sarangnya karena ucapan itu' batin Bening.Galih mengibaskan telapak tangannya di depan Bening, "Melamun? Ayo, bergeraklah! Aku sudah lapar."Bening tergagap, "Em, kita makan di bawah saja, Om." Wanita itu mana mungkin memasukkan Galih ke dalam kamarnya. Yang ada dia tidak bisa fokus makan. "Di dalam saja. Kejauhan kalau harus turun lagi." Galih membuka pintu kamar Bening lebih dulu, memastikan bahwa Bening bisa masuk dengan aman. Lalu dia menutup pintu tersebut. Pria itu lebih dulu melangkah ke arah balkon setelah membawa nampan tersebut, meskipun Bening bisa membawanya dengan mudah. Galih menaruh nampan tersebut ke atas meja, lalu memperbaiki kursi agar posisinya nyaman. "Duduklah!"Bening menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia duduk dengan kikuk. Melihat Galih yang tergoda dengan penampakan makanan di depannya membuat pria itu menelan luda
Pergi? Oh, tidak. Itu sama saja dengan penghinaan baginya. Bening memasang muka datar, namun sarat akan janji bahwa dia bisa bekerja dimanapun dia berada."Pak Galih tenang saja. Saya bukan tipe orang yang suka berdalih. Saya akan bekerja dengan sangat baik tapi saya tidak akan pernah mau menolerir kalau seandainya bapak melakukan nepotisme pada karir saya lagi. Saya permisi dulu, Pak Galih," tandas Bening. Dia membalikkan tubuhnya seiring dengan senyum dikulum Galih. Akhirnya Galih bisa membuat Bening tidak lagi protes. Wanita itu pasti akan menunjukkan seberapa besar bakatnya dalam dunia perkantoran. Junar pernah mengatakan padanya bahwa Bening termasuk pegawai yang teladan hanya saja dia sering memberontak jika pekerjaan yang seharusnya sudah selesai malah diminta untuk merevisi. Meskipun begitu dalam hitungan jam, tugas-tugas itupun selesai."Aku yakin kamu akan terbiasa dengan kedekatan kita, Bening. Saat itulah aku yakin berhasil membuat kamu lepas dari Genta sepenuhnya," gumam
"Ini nggak seperti yang bapak, eh, maksudnya Om pikirkan," ucap Bening salah tingkah. Dahi Genta mengerut, dia berpikir bahwa hubungan Bening dan Galih tidak semulus yang dia bayangkan. Pria itu tidak ingin minta maaf pada Galih karena apa yang dia lakukan bukan suatu kejahatan. "Senang bertemu kalian lagi di tempat ini.""Gimana kabar kamu, Genta?" tanya Galih. Basa-basi kah?Genta menyeringai, "Baik. Sangat baik. Makanya aku datang ke tempat ini untuk mengenang masa lalu, Om Galih.""Masa lalu?"Genta melirik Bening, "Ternyata kamu masih suka datang ke tempat ini? Kupikir kamu akan menghindari tempat favorit kita, Bening."Bening bungkam. Ada rasa asing yang menyelusup dalam hatinya. Rasa tidak ingin mengatakan sesuatu. Dia takut jika Galih berpikir yang bukan-bukan. Alasannya datang ke sana bukan karena dia ingin mengenang masa lalu, tapi dia memang ingin batagor. Apakah alasannya akan tepat?Galih berdehem selagi melihat kediaman Bening. Dia kemudian mengapit lengan Bening, memba
Galih mengerjakan berulangkali untuk mencerna apa yang dia dengar. Apakah Bening sedang berusaha membuat dirinya bersikap lebih baik?"Terkadang bukan anak kecil saja yang butuh dibujuk," ucap Galih santai. Kemarahannya menguap begitu saja. Dia lega karena Bening memikirkannya sampai menangis dan tidak bisa tidur.Bening merengut, "Belum diobati juga?""Belum.""Ikut aku kalau begitu!"Bening membalikkan tubuhnya lebih dulu. Ketika dia tidak mendengar langkah kaki mengikutinya, dia kembali berbalik, "Kenapa masih di sana? Kalau Om nggak mau, aku balik ke kamar lagi nih!"Galih bergerak cepat untuk menyusul langkah Bening. Dalam hatinya dia ingin mencubit bibir manyun yang sudah membuat hatinya berbunga-bunga malam ini.Mereka duduk di ruang televisi, saling berhadapan dengan Bening yang sibuk mengutak-atik kotak obat di pangkuannya. Dia mencari salep yang bisa dia gunakan untuk memudarkan warna lebam di wajah Galih. "Tolong tutup mata, Om!" pinta Bening."Kenapa?""Karena aku malu ka
"Kenapa?" tanya Galih dengan suara parau.Dua pria yang dikenal sebagai manager keuangan dan wakil manager produksi terlihat kikuk ketika masuk ke dalam lift. Belum lagi seorang wanita yang Galih tidak ingat siapa namanya. Bening mendengus samar. Posisinya menyempil ke bagian kanan, kepalanya menunduk malu. Apakah mereka semua melihat apa yang sedang dia lakukan bersama atasannya? Yang menjadi pertanyaan apakah semua orang di kantor itu mengenalnya sebagai istri Galih? Tidak mungkin. Kalau iya, pasti dia disapa dengan sangat ramah. Diam-diam Galih mencengkeram jari-jari Bening tanpa mengalihkan pandangannya. "Kalian tadi melihat apa?" tanya Galih pada bawahannya.Tiga orang itu saling pandang, lalu adu bisikan. Mereka harus mencocokkan jawaban agar Galih tidak curiga. "Em, nggak melihat apa-apa, Pak," jawab sang manager keuangan. "Iya, saya juga tidak melihat apapun," sahut sang wakil manager produksi. Sang wanita juga sama. Dia tidak melihat apapun. Itu hanya sebuah kiasan kare
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu