Bening menguap berulangkali. Dia tidak bisa tidur. Entah kenapa di ruangan yang bukan tempat biasanya dia tidur membuat dia terjaga hingga pukul dua dini hari. Dia mengeluh, berkali-kali mengatur napas. Penyesalan mungkin ada, tapi dia yakin jika takdirnya memang begini.
Bening memutuskan untuk keluar dari kamar yang baru beberapa jam menjadi miliknya. Dia berniat mencari minuman dingin yang mungkin saja bisa membuatnya mengantuk. Bodohnya dia. Harusnya dia minum yang hangat supaya bisa cepat terlelap.Kulkas di dapur bersih rumah itu, lebih tampak supermarket berjalan. Bening mengambil minuman kaleng dengan rasa jeruk peras asli, lalu membawanya naik. Di tengah perjalanan menuju lantai dua, dia penasaran dengan sesuatu. Wanita itu akhirnya merubah haluan kakinya menuju ke halaman belakang.Halaman luas yang tampak kosong itu hanya berisi pepohonan, kolam renang dan ayunan. Bening tidak melihat adanya gazebo atau semacamnya."Sejuk," gumam Bening sembari berjalan. Dia duduk di tepi kolam renang dengan kaki menjuntai ke dalam air. Diteguknya minuman dalam genggamannya hingga separuh habis. Meskipun cuaca sudah memasuki musim kemarau, dengan udara dingin yang menusuk tulang, Bening tidak merasakan apapun. Malah tubuhnya terasa memanas. Aneh bukan?Berselang beberapa menit, Bening merasakan seseorang mengalungkan kain pada bahunya. Wanita itu menoleh dengan mata membulat, takut kalau orang jahat berusaha menerjunkannya ke dalam kolam."Om Galih?" panggil Bening dengan suara yang hilang entah kemana.Galih tersenyum. Dia ikut duduk di samping Bening. "Pagi buta begini kenapa di luar? Bukannya dingin?""Cari angin, Om," jawab Bening."Cari angin kalau pagi buta begini nggak baik buat kesehatan. Tidurlah!""Saya masih belum mengantuk, Om," tolak Bening."Kamu menyesal menikah dengan saya?""Sejujurnya saya juga nggak tahu. Saya masih merasa ini mimpi."Galih mengangguk, paham dengan suasana hati Bening, "Saya juga merasa begitu karena saya tiba-tiba bisa menikah kamu, Bening. Mimpi apa semalam sampai saya sudah resmi menjadi suami kamu meskipun kamu belum mengakuinya secara langsung.""Om memang suami saya," aku Bening."Kalau saya memeluk kamu boleh?"Bening terperanjat. Dia ingin menolak karena takut terjadi sesuatu di antara mereka. Dia menganut prinsip harus melakukan sesuatu dengan hati dan cinta agar prosesnya terasa nikmat. Kalau dipaksa, pasti hambar."Ya sudah kalau nggak boleh," lanjut Galih tanpa menunggu Bening memutuskan."Maaf ya, Om," gumam Bening.Galih menepuk dadanya sebagai tanda pujian untuk dirinya sendiri, "Nggak masalah. Menunggu bukan hal yang sulit."Ketika tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, Galih meminta Bening untuk kembali ke kamar begitu juga dengan dirinya.°°°"Kamu mau kemana? Nggak sarapan dulu?" tanya Galih pada Bening yang buru-buru pergi padahal belum sarapan. Makanan di meja makan juga masih utuh, hanya beberapa yang diambil oleh Galih.Bening meminta maaf, "Saya harus ke kantor. Pagi ini ada rapat penting dengan klien, jadi sekalian sarapan bersama. Terimakasih tawarannya, Om."Galih berdiri dan mengejar Bening sampai ke pelataran rumah, "Kamu yakin nggak mau sarapan? Atau karena ada saya?""Bukan begitu, Om. Saya memang benar-benar nggak bisa sarapan di rumah," ucap Bening menyesal."Baiklah. Hati-hati di jalan. Mobil kamu sudah dibawah ke sini semalam.""Terimakasih, Om." Bening mengangguk pada Galih dan berlalu dengan cepat. Dia menghela napas lega setelah dia berhasil kabur dari Galih. "Kenapa aku takut berduaan dengan Om Galih?"°°°Bening memutar kursi kerjanya dengan gusar. Dia sudah berbohong pada Galih dan sekarang termakan omongannya sendiri. Rapat yang melelahkan membuat dia harus ekstra mengeluarkan tenaga. Padahal dia hanya makan bubur ayam semangkuk kecil karena tidak selera makan."Sudah selesai proposalnya?" tanya atasannya yang tidak lain adalah manager produksi. Sementara Bening, sekretaris manager produksi dan selalu siap jika diminta untuk ikut rapat. Dia harus menarikan jemarinya tanpa henti agar uraian dalam rapat tidak terlupakan."Sebentar lagi, Pak," ucap Bening dengan senyum lebar yang harus dia tunjukkan setiap saat."Saya tunggu sepuluh menit lagi. Kita masih ada pekerjaan soalnya. Produksi tas baru kita bakal launching, jadi kita pasti repot. Tolong siapkan segalanya kalau tidak atasan kita akan mengamuk. Kamu tahu sendiri kan gimana marahnya CEO kalau kita sedikit saja terlambat mengerjakan tugas?"Bening mengangguk. Meskipun dia belum pernah melihat secara langsung siapa CEO perusahaan itu, dia yakin semua CEO juga akan memandang sesuatu secara sempurna. Tapi dia tidak suka atasan yang diktator. Kalau dia sampai melihat CEO perusahaan secara langsung, dia akan mengeluarkan uneg-unegnya bahwa para pegawai juga butuh energi lebih untuk beristirahat.Bening tidak menyuarakan kekesalannya dan bersiap untuk menarikan jemarinya dengan lebih cepat. Dia tidak boleh sampai lembur.°°°Bening mendaratkan punggungnya di permukaan sofa dengan helaan napas panjang. Lelahnya luar biasa. Baru beberapa detik dia mengisyaratkan kepalanya, seseorang menempelkan minuman dingin pada keningnya. Bening ingin mengumpat tapi kepala Galih menyeruak dari belakang."Sedang memikirkan apa?" tanya Galih sembari melangkah untuk duduk di depan Bening. Muka kusut Bening membuat Galih yakin jika wanita itu sedan dalam mood yang tidak bagus."Pekerjaan. Lelah rasanya, Om," tukas Bening. Dia membuka penutup kaleng dan meneguknya tanpa permisi."Bos kamu galak?"Bening yang meneguk sepertiga isi kaleng tersebut, menggenggam benda bulat itu dengan gelengan kepala, "Bukan galak, Om, tapi banyak pekerjaan. Apalagi CEO yang selalu minta tepat waktu untuk menyelesaikan tenggat pekerjaan. Ya, aku tahu kalau bekerja nggak boleh setengah-setengah tapi kan lelah rasanya." Tanpa sadar Bening mengeluarkan uneg-unegnya."Nah itu kamu tahu kalau bekerja harus full tenaga dan pikiran. Kenapa masih ribut?""Bukan ribut, Om, tapi menyuarakan isi hati. Kalau nggak, bisa stress aku," keluh Bening."Siapa bos kamu?""Aku hanya tahu namanya. Pak Junar, Om. Junar Setiadi kalau nggak salah. Itu CEO perusahaan tapi aku belum pernah melihatnya secara langsung," tukas Bening. Dia hanya karyawan rendah yang tidak mungkin bertemu CEO kecuali kalau dia diberi kesempatan. Meskipun dia sering ikut rapat tapi tidak pernah dia lihat Junar ikut serta.Galih mengangguk paham. Dia tahu siapa Junar. "Kamu mau dapat jabatan bagus? Aku bisa bicara pada Junar soal kamu. Kalau dia tahu kamu istriku pasti dia akan menaikan jabatan kamu. Gimana?""Hah? Nepotisme? Nggak deh, Om. Aku bekerja senormalnya orang saja. Lebih baik pelan tapi hasil jerih payah sendiri daripada langsung naik tapi malah dihujat," tukas Bening masuk akal.Galih terharu mendengar ucapan Bening. Dia memajukan tubuhnya, lalu mengulurkan lengan untuk meraup rambut depan Bening. "Bagus. Ini baru namanya anak pintar."Deg!Jantung Bening berlompatan merasakan sentuhan Galih. Pasalnya dia kurang belaian dari Genta karena pria itu sibuk berbisnis. Jadi, bukan salah Bening kalau wanita itu sedikit terpengaruh.'Apa aku sudah mulai suka sama Om Galih? Ah, nggak mungkin. Paling aku hanya terpesona dengan ucapan bijaknya itu. Iya, pasti begitu' batin Bening.°°°Dugh! Bening menendang ban mobilnya yang kempes. Mendadak sekali mobilnya bermasalah padahal semalam baik-baik saja. Sudah pukul tujuh lebih tapi dia masih ada di rumah. Kalau di jalan macet, bisa-bisa dia terlambat. Lalu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti? Atasannya, Junar, pasti akan mengamuk kalau pekerjaan yang harus dia selesaikan tiba-tiba terlambat diserahkan."Kenapa?" tanya Galih, pria itu sudah mengantongi kunci mobil dan siap berangkat ketika melihat Bening menendang ban tidak bersalah itu. "Kempes, Om."Galih menunduk, memperhatikan benda bulat penopang kelancaran jalan, lalu menggeleng ragu, "Bocor sepertinya.""Yah, menyebalkan sekali." Bening menenteng tasnya ke bahu kanan. Dia berniat mencari taksi melalui aplikasi supaya lebih cepat. Tapi Galih tiba-tiba meraih tas ke dalam pelukan lengannya, "loh kok diambil, Om?""Ikut saya saja. Lagi pula perjalanan kita searah." ucap Galih sambil beralih pada mobilnya, lalu membuka pintu untuk Bening, "masuklah!"Bening ra
Junar tidak bisa berhenti tertawa melihat ekspresi Galih yang menahan malu. Bagaimana tidak? Tampang Bening tidak bisa berbohong mengenai hubungan mereka. Kalau Junar percaya ucapan Bening, itu sama saja dia yang bodoh.Galih mendesis, "Sialan! Puas menertawakanku?"Junar menghapus setitik air mata karena tawanya yang tidak berujung itu dengan ujung jari, lalu dia mengatupkan dua telapak tangannya dalam satu tangkupan. "Puas sekali. Bagaimana kamu bisa menikahi wanita yang tujuh tahun di bawah kamu? Atau jangan-jangan kamu main dukun? Kelihatan sekali kalau dia nggak suka sama kamu."Galih mendaratkan punggungnya pada sofa, "Ya, kamu benar. Bening memang nggak suka padaku karena usiaku ini. Selain itu, kami juga nggak punya ikatan sebelumnya. Wajar kalau dia memanggilku Om."Junar menyesal kopinya setelah sebelumnya menghirup aromanya yang menenangkan. Di meletakkan kembali cangkir tehnya, lalu berkata, "Kamu memaksanya?""Bukan begitu. Aku hanya memberikan pilihan dan dia menerima. S
'Om Galih berusaha menggodaku? Apa tadi katanya? Dia belum makan malam hanya karena menungguku? Menakjubkan. Jantungku bahkan melompat dari sarangnya karena ucapan itu' batin Bening.Galih mengibaskan telapak tangannya di depan Bening, "Melamun? Ayo, bergeraklah! Aku sudah lapar."Bening tergagap, "Em, kita makan di bawah saja, Om." Wanita itu mana mungkin memasukkan Galih ke dalam kamarnya. Yang ada dia tidak bisa fokus makan. "Di dalam saja. Kejauhan kalau harus turun lagi." Galih membuka pintu kamar Bening lebih dulu, memastikan bahwa Bening bisa masuk dengan aman. Lalu dia menutup pintu tersebut. Pria itu lebih dulu melangkah ke arah balkon setelah membawa nampan tersebut, meskipun Bening bisa membawanya dengan mudah. Galih menaruh nampan tersebut ke atas meja, lalu memperbaiki kursi agar posisinya nyaman. "Duduklah!"Bening menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia duduk dengan kikuk. Melihat Galih yang tergoda dengan penampakan makanan di depannya membuat pria itu menelan luda
Pergi? Oh, tidak. Itu sama saja dengan penghinaan baginya. Bening memasang muka datar, namun sarat akan janji bahwa dia bisa bekerja dimanapun dia berada."Pak Galih tenang saja. Saya bukan tipe orang yang suka berdalih. Saya akan bekerja dengan sangat baik tapi saya tidak akan pernah mau menolerir kalau seandainya bapak melakukan nepotisme pada karir saya lagi. Saya permisi dulu, Pak Galih," tandas Bening. Dia membalikkan tubuhnya seiring dengan senyum dikulum Galih. Akhirnya Galih bisa membuat Bening tidak lagi protes. Wanita itu pasti akan menunjukkan seberapa besar bakatnya dalam dunia perkantoran. Junar pernah mengatakan padanya bahwa Bening termasuk pegawai yang teladan hanya saja dia sering memberontak jika pekerjaan yang seharusnya sudah selesai malah diminta untuk merevisi. Meskipun begitu dalam hitungan jam, tugas-tugas itupun selesai."Aku yakin kamu akan terbiasa dengan kedekatan kita, Bening. Saat itulah aku yakin berhasil membuat kamu lepas dari Genta sepenuhnya," gumam
"Ini nggak seperti yang bapak, eh, maksudnya Om pikirkan," ucap Bening salah tingkah. Dahi Genta mengerut, dia berpikir bahwa hubungan Bening dan Galih tidak semulus yang dia bayangkan. Pria itu tidak ingin minta maaf pada Galih karena apa yang dia lakukan bukan suatu kejahatan. "Senang bertemu kalian lagi di tempat ini.""Gimana kabar kamu, Genta?" tanya Galih. Basa-basi kah?Genta menyeringai, "Baik. Sangat baik. Makanya aku datang ke tempat ini untuk mengenang masa lalu, Om Galih.""Masa lalu?"Genta melirik Bening, "Ternyata kamu masih suka datang ke tempat ini? Kupikir kamu akan menghindari tempat favorit kita, Bening."Bening bungkam. Ada rasa asing yang menyelusup dalam hatinya. Rasa tidak ingin mengatakan sesuatu. Dia takut jika Galih berpikir yang bukan-bukan. Alasannya datang ke sana bukan karena dia ingin mengenang masa lalu, tapi dia memang ingin batagor. Apakah alasannya akan tepat?Galih berdehem selagi melihat kediaman Bening. Dia kemudian mengapit lengan Bening, memba
Galih mengerjakan berulangkali untuk mencerna apa yang dia dengar. Apakah Bening sedang berusaha membuat dirinya bersikap lebih baik?"Terkadang bukan anak kecil saja yang butuh dibujuk," ucap Galih santai. Kemarahannya menguap begitu saja. Dia lega karena Bening memikirkannya sampai menangis dan tidak bisa tidur.Bening merengut, "Belum diobati juga?""Belum.""Ikut aku kalau begitu!"Bening membalikkan tubuhnya lebih dulu. Ketika dia tidak mendengar langkah kaki mengikutinya, dia kembali berbalik, "Kenapa masih di sana? Kalau Om nggak mau, aku balik ke kamar lagi nih!"Galih bergerak cepat untuk menyusul langkah Bening. Dalam hatinya dia ingin mencubit bibir manyun yang sudah membuat hatinya berbunga-bunga malam ini.Mereka duduk di ruang televisi, saling berhadapan dengan Bening yang sibuk mengutak-atik kotak obat di pangkuannya. Dia mencari salep yang bisa dia gunakan untuk memudarkan warna lebam di wajah Galih. "Tolong tutup mata, Om!" pinta Bening."Kenapa?""Karena aku malu ka
"Kenapa?" tanya Galih dengan suara parau.Dua pria yang dikenal sebagai manager keuangan dan wakil manager produksi terlihat kikuk ketika masuk ke dalam lift. Belum lagi seorang wanita yang Galih tidak ingat siapa namanya. Bening mendengus samar. Posisinya menyempil ke bagian kanan, kepalanya menunduk malu. Apakah mereka semua melihat apa yang sedang dia lakukan bersama atasannya? Yang menjadi pertanyaan apakah semua orang di kantor itu mengenalnya sebagai istri Galih? Tidak mungkin. Kalau iya, pasti dia disapa dengan sangat ramah. Diam-diam Galih mencengkeram jari-jari Bening tanpa mengalihkan pandangannya. "Kalian tadi melihat apa?" tanya Galih pada bawahannya.Tiga orang itu saling pandang, lalu adu bisikan. Mereka harus mencocokkan jawaban agar Galih tidak curiga. "Em, nggak melihat apa-apa, Pak," jawab sang manager keuangan. "Iya, saya juga tidak melihat apapun," sahut sang wakil manager produksi. Sang wanita juga sama. Dia tidak melihat apapun. Itu hanya sebuah kiasan kare
Bening uring-uringan setelah mendengar ucapan yang tidak masuk akal dari Galih. Malam pertama? Bagaimana dia bisa menghadapi Galih kalau hatinya saja masih bersama Genta. Harusnya dia tidak bermain api tadi. Tinggal bilang iya apa susahnya?"Semua salah kamu, Bening," gumam Bening seorang diri. Dia menepuk kepalanya yang kerasnya bagai batu."Ibu Bening salah apa?" tanya seseorang yang tidak asing. Josua duduk di depan Bening senyum cerahnya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia tahu Bening ada dimana? Padahal lobby itu masih sepi mengingat semua orang sedang makan siang. Galih mengajaknya makan siang, tapi Bening beralasan pusing dan tidak mau pergi ke luar kantor. "Kalau begitu biar saya saja yang membelikan kamu makan siang. Kamu mau apa? Nasi padang, mie goreng, atau apa?" Begitulah pria itu menyebutkan semua jenis makanan dari yang paling murah sampai ke harga jutaan rupiah untuk sekali makan. "Bu Bening?" panggil Josua bingung. "Em, kamu tanya apa? Eh, maksud saya Pak Josua ta
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu