Junar tidak bisa berhenti tertawa melihat ekspresi Galih yang menahan malu. Bagaimana tidak? Tampang Bening tidak bisa berbohong mengenai hubungan mereka. Kalau Junar percaya ucapan Bening, itu sama saja dia yang bodoh.
Galih mendesis, "Sialan! Puas menertawakanku?"Junar menghapus setitik air mata karena tawanya yang tidak berujung itu dengan ujung jari, lalu dia mengatupkan dua telapak tangannya dalam satu tangkupan. "Puas sekali. Bagaimana kamu bisa menikahi wanita yang tujuh tahun di bawah kamu? Atau jangan-jangan kamu main dukun? Kelihatan sekali kalau dia nggak suka sama kamu."Galih mendaratkan punggungnya pada sofa, "Ya, kamu benar. Bening memang nggak suka padaku karena usiaku ini. Selain itu, kami juga nggak punya ikatan sebelumnya. Wajar kalau dia memanggilku Om."Junar menyesal kopinya setelah sebelumnya menghirup aromanya yang menenangkan. Di meletakkan kembali cangkir tehnya, lalu berkata, "Kamu memaksanya?""Bukan begitu. Aku hanya memberikan pilihan dan dia menerima. Seperti yang kamu tahu, usia wanita yang sudah menginjak dua puluh lima tahun menjadi usia yang terlalu matang. Dia selalu ditekan keluarganya untuk menikah sementara kekasihnya nggak kunjung memberikan kejelasan. Jadi ... aku yang mengambil alih.""Mengambil alih? Seperti bisnis saja," gurau Junar. Dia mulai memahami situasi, "lalu, apa yang kamu inginkan dariku? Kamu datang ke sini bukan karena kamu merindukanku kan? Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan? Apa itu? Apa ini mengenai Bening?" tebak Junar. Dilihat dari manik mata Galih yang bergerak, dia sudah tahu tujuan sebenarnya Galih."Jangan memberikan dia kesulitan! Atau kalau kamu berminat, bagaimana kalau kita saling mentransfer pegawai? Semacam barter?" tawar Galih.Junar menaikkan satu alisnya, "Maksudnya? Bening mau kamu tempatkan di perusahaan kamu?""Begitulah.""Kenapa kamu nggak minta dia langsung?""Kalau dia mau, sudah kulakukan dari kemarin.""Em, jadi dia menolak?" goda Junar. Dia menyeringai lebar, "boleh. Asal kirimkan pegawai yang paling kompeten yang kamu punya. Seperti ... Michelle?"Mata Galih melebar. "Michelle?""Hm. Michelle. Sekretaris pribadi kamu. Gimana?""Oh, God. Kamu menipuku!"Junar kembali menyesap kopinya, "Menipu? Tidak, ini barter yang adil. Kamu dapatkan istrimu dan aku dapatkan sekretaris pribadi kamu. Ya, itung-itung aku tahu apa yang akan kamu lakukan untuk proyek besar yang mungkin saja bisa aku dapatkan.""Sialan!""Deal?"Galih berpikir sejenak. Dia merasa buruk kalau harus memberikan Michelle. Sejujurnya dia ingin menawarkan gaji tinggi pada Rudi, sekretaris manager keuangan jika mau beralih ke perusahaan Junar. Tapi yang diminta Junar justru Michelle, sekretaris yang sudah lama bekerja untuknya. Tidak masalah. Dia bisa memberikan penawaran yang sama dan hanya kontrak kerja satu tahun.Galih bisa membuat Bening jatuh cinta sebelum pertukaran itu selesai. Ya, ide Junar tidak buruk. Dia bertekad untuk mendapatkan hati Bening."Deal. Tapi jangan ambil keuntungan yang lebih. Ingat, perusahaan kita memahami betul arti sportivitas. Jangan ada main belakang! Satu lagi syarat, aku akan mengambil kembali Michelle karena pertukaran ini hanya sementara," jelas Galih.Meskipun Galih seenak jidatnya melakukan penawaran, tapi Junar tidak peduli. Dia bisa membuat Michelle tetap berada di pihaknya karena sekretaris yang dia miliki sekarang tidak sekompeten Michelle. "Oke, nggak masalah. Jadi kita deal?""Deal."°°°"Saya dipecat, Pak? Kenapa? Karena saya istri teman lama bapak? Saya justru tidak mau ada nepotisme, Pak. Suami saya juga memaksa saya untuk mau naik jabatan tapi saya tidak mau. Tolong pikirkan lagi, Pak!" pinta Bening. Dia susah payah bertahun-tahun bertahan di bawah tekanan pekerjaan yang tidak main-main, tapi kalau tiba-tiba dia dipaksa untuk pergi, hatinya akan sakit sekali.'Semua ini salah Om Galih' batin Bening geram.Junar mencopot kacamatanya, sedikit menekan area hidungnya yang gatal, "Siapa yang memecat kamu? Kami sudah merencanakan pertukaran pegawai sejak lama dan kebetulan kandidat yang terpilih itu kamu. Bukannya saya sudah bilang tadi kalau kamu cukup kompeten? Jadi, apa salahnya?"Apa salahnya? Tentu saja salah. Bening harus memulai adaptasi lagi di tempat baru, harus menjajaki orang-orang yang entah akan menerimanya dengan baik atau tidak. Benar-benar menyebalkan. Rasanya wanita itu ingin mencubit lengan Junar karena kesal dengan keputusan sepihak."Tapi, Pak, bapak harusnya bicara dulu sama saya kan? Lagi pula memang ada pertukaran pegawai? Setahu saya yang bisa ditukar itu mahasiswa, misal ke luar negeri. Kenapa saya baru dengar?""Itu masalah kamu baru dengar atau tidak. Yang jelas, keputusan sudah bulat. Kamu jangan khawatir, perusahaan tempat kamu pindah bukan perusahaan sembarangan. Posisi kamu juga lumayan tinggi. Kamu tidak perlu minder atau apa. Lakukan saja yang terbaik," kata Junar dengan santainya.Bening menghela napas berat. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia keluar dari ruangan itu untuk bersiap merapikan barang-barangnya.°°°Pulangnya, Bening tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Bik Sani menyapanya tapi respon Bening tidak sesantai biasanya.Bening langsung masuk kamar dan terduduk lesu di sisi ranjang. Semua barang-barangnya masih berada di dalam mobil, dia enggan untuk membawanya masuk. Lagi pula besok barang-barang itu juga harus dia bawa lagi."Kalau sampai tempatnya kurang memuaskan, lebih baik resign saja," gumam Bening.Tok tok tok!"Resign?" Sapaan Galih terdengar dari balik pintu. Pria itu bisa melihat wajah kusut Bening dari sana. Dia mengetuk lagi karena Bening tidak juga menjawab. "Boleh masuk?""Masuk saja, Om," tukas Bening.Galih membuka pintu lebar lebar, lalu dia masuk. Melihat Bening yang menatap kosong ke arah meja riasnya, pasti Junar sudah memberitahukan masalah perpindahan pegawai itu. "Kenapa? Mau resign?"Galih berdiri lumayan jauh dari Bening, mengedarkan pandangannya ke segala arah. Tapi seringkali dia melirik Bening untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya."Bukan, Om. Ceritanya panjang. Aku malas menjelaskan," gumam Bening."Aku mau bicara sesuatu kalau..,""Maaf ya, Om. Lain kali saja kalau mau bicara. Aku benar-benar malas bicara."Galih mengangkat bahu, "Baiklah. Kita bicara besok saja. Mau makan malam apa? Oke, nggak usah dijawab. Muka kamu menyeramkan. Aku ke kamar dulu." Pria itu takut kalau melihat tampang Bening yang mendelik padanya. Dia keluar dan melanjutkan apa yang dia lakukan sebelum Bening datang tadi.°°°"Lapar lagi," gumam Bening. Dia keluar kamar setelah pukul sembilan malam karena perutnya berbunyi. Dia menolak makan malam tadi karena malas beranjak dari kamarnya yang nyaman.Wanita itu turun ke bawah, membuka kulkas dan menghangatkan sisa makan malam tadi. Setelah siap, dia membawanya naik ke kamarnya. Bening hampir melompat dari tempatnya ketika melihat Galih ada di depan pintu kamarnya. "Astaga, Om, bicara dong kalau berdiri di sana.""Kan kamu belum sampai di atas. Nanti malah kamu jatuh," ucap Galih. Dia melihat nampan dengan menu lengkap itu, "lapar?""Iya.""Makan malam bersama ya? Aku juga belum makan tadi menunggu kamu."Oh, Tuhan! Bening mengerjap dengan bodohnya.°°°'Om Galih berusaha menggodaku? Apa tadi katanya? Dia belum makan malam hanya karena menungguku? Menakjubkan. Jantungku bahkan melompat dari sarangnya karena ucapan itu' batin Bening.Galih mengibaskan telapak tangannya di depan Bening, "Melamun? Ayo, bergeraklah! Aku sudah lapar."Bening tergagap, "Em, kita makan di bawah saja, Om." Wanita itu mana mungkin memasukkan Galih ke dalam kamarnya. Yang ada dia tidak bisa fokus makan. "Di dalam saja. Kejauhan kalau harus turun lagi." Galih membuka pintu kamar Bening lebih dulu, memastikan bahwa Bening bisa masuk dengan aman. Lalu dia menutup pintu tersebut. Pria itu lebih dulu melangkah ke arah balkon setelah membawa nampan tersebut, meskipun Bening bisa membawanya dengan mudah. Galih menaruh nampan tersebut ke atas meja, lalu memperbaiki kursi agar posisinya nyaman. "Duduklah!"Bening menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia duduk dengan kikuk. Melihat Galih yang tergoda dengan penampakan makanan di depannya membuat pria itu menelan luda
Pergi? Oh, tidak. Itu sama saja dengan penghinaan baginya. Bening memasang muka datar, namun sarat akan janji bahwa dia bisa bekerja dimanapun dia berada."Pak Galih tenang saja. Saya bukan tipe orang yang suka berdalih. Saya akan bekerja dengan sangat baik tapi saya tidak akan pernah mau menolerir kalau seandainya bapak melakukan nepotisme pada karir saya lagi. Saya permisi dulu, Pak Galih," tandas Bening. Dia membalikkan tubuhnya seiring dengan senyum dikulum Galih. Akhirnya Galih bisa membuat Bening tidak lagi protes. Wanita itu pasti akan menunjukkan seberapa besar bakatnya dalam dunia perkantoran. Junar pernah mengatakan padanya bahwa Bening termasuk pegawai yang teladan hanya saja dia sering memberontak jika pekerjaan yang seharusnya sudah selesai malah diminta untuk merevisi. Meskipun begitu dalam hitungan jam, tugas-tugas itupun selesai."Aku yakin kamu akan terbiasa dengan kedekatan kita, Bening. Saat itulah aku yakin berhasil membuat kamu lepas dari Genta sepenuhnya," gumam
"Ini nggak seperti yang bapak, eh, maksudnya Om pikirkan," ucap Bening salah tingkah. Dahi Genta mengerut, dia berpikir bahwa hubungan Bening dan Galih tidak semulus yang dia bayangkan. Pria itu tidak ingin minta maaf pada Galih karena apa yang dia lakukan bukan suatu kejahatan. "Senang bertemu kalian lagi di tempat ini.""Gimana kabar kamu, Genta?" tanya Galih. Basa-basi kah?Genta menyeringai, "Baik. Sangat baik. Makanya aku datang ke tempat ini untuk mengenang masa lalu, Om Galih.""Masa lalu?"Genta melirik Bening, "Ternyata kamu masih suka datang ke tempat ini? Kupikir kamu akan menghindari tempat favorit kita, Bening."Bening bungkam. Ada rasa asing yang menyelusup dalam hatinya. Rasa tidak ingin mengatakan sesuatu. Dia takut jika Galih berpikir yang bukan-bukan. Alasannya datang ke sana bukan karena dia ingin mengenang masa lalu, tapi dia memang ingin batagor. Apakah alasannya akan tepat?Galih berdehem selagi melihat kediaman Bening. Dia kemudian mengapit lengan Bening, memba
Galih mengerjakan berulangkali untuk mencerna apa yang dia dengar. Apakah Bening sedang berusaha membuat dirinya bersikap lebih baik?"Terkadang bukan anak kecil saja yang butuh dibujuk," ucap Galih santai. Kemarahannya menguap begitu saja. Dia lega karena Bening memikirkannya sampai menangis dan tidak bisa tidur.Bening merengut, "Belum diobati juga?""Belum.""Ikut aku kalau begitu!"Bening membalikkan tubuhnya lebih dulu. Ketika dia tidak mendengar langkah kaki mengikutinya, dia kembali berbalik, "Kenapa masih di sana? Kalau Om nggak mau, aku balik ke kamar lagi nih!"Galih bergerak cepat untuk menyusul langkah Bening. Dalam hatinya dia ingin mencubit bibir manyun yang sudah membuat hatinya berbunga-bunga malam ini.Mereka duduk di ruang televisi, saling berhadapan dengan Bening yang sibuk mengutak-atik kotak obat di pangkuannya. Dia mencari salep yang bisa dia gunakan untuk memudarkan warna lebam di wajah Galih. "Tolong tutup mata, Om!" pinta Bening."Kenapa?""Karena aku malu ka
"Kenapa?" tanya Galih dengan suara parau.Dua pria yang dikenal sebagai manager keuangan dan wakil manager produksi terlihat kikuk ketika masuk ke dalam lift. Belum lagi seorang wanita yang Galih tidak ingat siapa namanya. Bening mendengus samar. Posisinya menyempil ke bagian kanan, kepalanya menunduk malu. Apakah mereka semua melihat apa yang sedang dia lakukan bersama atasannya? Yang menjadi pertanyaan apakah semua orang di kantor itu mengenalnya sebagai istri Galih? Tidak mungkin. Kalau iya, pasti dia disapa dengan sangat ramah. Diam-diam Galih mencengkeram jari-jari Bening tanpa mengalihkan pandangannya. "Kalian tadi melihat apa?" tanya Galih pada bawahannya.Tiga orang itu saling pandang, lalu adu bisikan. Mereka harus mencocokkan jawaban agar Galih tidak curiga. "Em, nggak melihat apa-apa, Pak," jawab sang manager keuangan. "Iya, saya juga tidak melihat apapun," sahut sang wakil manager produksi. Sang wanita juga sama. Dia tidak melihat apapun. Itu hanya sebuah kiasan kare
Bening uring-uringan setelah mendengar ucapan yang tidak masuk akal dari Galih. Malam pertama? Bagaimana dia bisa menghadapi Galih kalau hatinya saja masih bersama Genta. Harusnya dia tidak bermain api tadi. Tinggal bilang iya apa susahnya?"Semua salah kamu, Bening," gumam Bening seorang diri. Dia menepuk kepalanya yang kerasnya bagai batu."Ibu Bening salah apa?" tanya seseorang yang tidak asing. Josua duduk di depan Bening senyum cerahnya. Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia tahu Bening ada dimana? Padahal lobby itu masih sepi mengingat semua orang sedang makan siang. Galih mengajaknya makan siang, tapi Bening beralasan pusing dan tidak mau pergi ke luar kantor. "Kalau begitu biar saya saja yang membelikan kamu makan siang. Kamu mau apa? Nasi padang, mie goreng, atau apa?" Begitulah pria itu menyebutkan semua jenis makanan dari yang paling murah sampai ke harga jutaan rupiah untuk sekali makan. "Bu Bening?" panggil Josua bingung. "Em, kamu tanya apa? Eh, maksud saya Pak Josua ta
"Ini sudah kelewatan, Om," tukas Bening. Tangannya memegang bahu Genta, memastikan bahwa mantan kekasihnya itu baik-baik saja. Wanita itu menjadi penengah ketika suaminya mencoba menghajar Genta habis-habisan. Di ujung sana, Galih berusaha meredam amarahnya dengan mencoba mengulangi proses pernapasan normal. Menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya dengan teratur. Tapi melihat kedekatan Bening dan Genta, mustahil emosinya akan mudah surut."Om sengaja menjebakku untuk datang bukan?" tanya Genta sengit. Apa yang dia coba lakukan? Sikapnya tidak terlalu menggebu-gebu bahkan ketika dia dipukul, dia tidak mencoba melawan. Bening terpaku mendengar alasan Genta. Dia menoleh pada Galih, "Apa maksudnya ini?""Om Galih sengaja menyuruhku datang hanya untuk memukuliku," aku Genta. Kini, Bening sepenuhnya menghadap Galih. Dia tidak pernah menyangka jika orang sedewasa Galih bisa berbuat kecurangan. "Aku nggak suka cara Om.""Aku hanya ingin tahu apa kalian masih punya ikatan itu? Aku mel
Suasana macam apa ini? Bening benar-benar tidak bisa tidur saat di sampingnya terisi oleh seseorang yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Dia terbiasa sendiri, tiba-tiba tidak ada ruang kosong rasanya kikuk.Bening memiringkan tubuhnya membelakangi Galih. Dia tidak berani menimbulkan suara berisik meskipun hanya sekedar gesekan pakaiannya dan selimut berwarna cerah itu. Hembusan napasnya bahkan tidak terdengar sama sekali. Jangan-jangan wanita itu justru menahan napasnya. Galih menoleh, memastikan bahwa Bening baik-baik saja. "Kamu kenapa?"Bening mengerjap, apa Galih bicaranya padanya?"Sudah tidur?"Bening berdehem, "Bel, eh, sudah, Om. Kenapa? Om butuh sesuatu?""Nggak. Hanya saja kamu terlihat gusar. Kamu nggak suka aku ada di sini?" Galih membalikkan tubuhnya persis menghadap punggung Bening. Bening mengumpat dalam hati. Hembusan napas Galih terasa sampai ke punggungnya. Kegugupannya semakin besar dan dia tidak bisa meminta Galih untuk menyingkir. "Suka, Om," jawab Bening s
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu