6 - Tolong, Lepaskan Istri Saya!

Pergi? Oh, tidak. Itu sama saja dengan penghinaan baginya. Bening memasang muka datar, namun sarat akan janji bahwa dia bisa bekerja dimanapun dia berada.

"Pak Galih tenang saja. Saya bukan tipe orang yang suka berdalih. Saya akan bekerja dengan sangat baik tapi saya tidak akan pernah mau menolerir kalau seandainya bapak melakukan nepotisme pada karir saya lagi. Saya permisi dulu, Pak Galih," tandas Bening. Dia membalikkan tubuhnya seiring dengan senyum dikulum Galih. Akhirnya Galih bisa membuat Bening tidak lagi protes. Wanita itu pasti akan menunjukkan seberapa besar bakatnya dalam dunia perkantoran.

Junar pernah mengatakan padanya bahwa Bening termasuk pegawai yang teladan hanya saja dia sering memberontak jika pekerjaan yang seharusnya sudah selesai malah diminta untuk merevisi. Meskipun begitu dalam hitungan jam, tugas-tugas itupun selesai.

"Aku yakin kamu akan terbiasa dengan kedekatan kita, Bening. Saat itulah aku yakin berhasil membuat kamu lepas dari Genta sepenuhnya," gumam Galih.

°°°

Sepanjang setengah hari, Bening fokus pada lembaran peraturan kantor dan juga tugas-tugas yang perlu dia lakukan sebagai sekretaris. Sembari sibuk membaca, dia sesekali melirik ke arah pintu direktur yang tidak menunjukkan pergerakan apapun. Apa hari ini sang direktur tidak punya pekerjaan di luar kantor? Kenapa tidak ada telepon yang masuk ke mejanya?

"Pasti tidur dengan alibi mengerjakan tugas," gumam Bening licik.

Ceklek!

Baru juga satu detik berlalu Bening mengomeli kediaman atasannya, pintu itu terbuka pelan. Bunyi hak sepatu yang berirama membuat Bening terkesiap. Dia menebalkan telinganya agar dia bisa mendengar dengan jelas apa perintah yang datang padanya.

Tuk!

Galih mengetuk meja kerja Bening, "Makan siang dimana?"

Bening mendongak, "Siapa yang bapak maksudkan?"

"Saya dan kamu. Kita mau makan siang dimana? Bukannya ini sudah waktunya makan siang? Kamu tidak lapar?"

"Katanya tidak boleh ada interaksi lebih antara bos dan karyawannya?" Bening mengacuhkan Galih dan kembali pada bacaannya yang masih menggunung.

"Memangnya makan siang antara bos dan karyawannya dilarang?"

"Ya bukan begitu, Pak Galih. Kalau membicarakan masalah pekerjaan sih tidak apa-apa, tapi kalau hanya sekedar makan siang pribadi rasanya tidak etis," tukas Bening. Dia mulai meragukan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Apa yang dia inginkan sebenarnya? Entahlah.

"Saya lupa kalau kamu terkadang menyebalkan kalau sedang banyak protes. Mau makan siang atau saya tinggal? Ada..,"

Bening segera menutup berkas-berkas itu dan segera menenteng tasnya sebelum Galih selesai bicara. Dia lapar, sangat lapar. Membaca ternyata lebih banyak mengeluarkan energi dari pada menulis laporan. "Mari, Pak Galih. Saya tidak tahu bapak suka tempat makan yang bagaimana tapi saya ingin makan batagor siang ini. Batagor bandung lengkap dengan jeruk nipis, sambal kacang yang penuh cabai rawit. Menggoda sekali bukan? Tentu saja. Mari silakan!"

Bening mendahului Galih untuk melangkah. Wanita itu menekan tombol lift, lalu mempersilahkan Galih selayaknya atasan yang sangat dia hormati. Senyumnya mengembang, lebih lebar dari kekesalan yang dia perlihatkan tadi pagi. Sepertinya wanita itu sudah menerima perpindahan pegawai dengan tangan terbuka.

Galih diam-diam tersenyum geli melihat kekonyolan Bening. Dia tidak menolak rekomendasi makanan Bening dan meminta Bening menunjukkan lokasinya.

Tempat yang diinginkan Bening hanyalah penjual gerobak pinggir jalan yang mempunyai banyak pelanggan. Sudah hampir dua puluh menit Galih mengantri untuk mendapatkan makanan itu dan dia masih harus menunggu lima menit lagi untuk sampai di nomor antriannya. Sementara Bening dipaksa untuk duduk di bawah pohon rindang, dimana deretan bangku-bangku ditata sedemikian rupa.

Ketika Galih membawa dua piring penuh batagor, Bening bangkit untuk meminta bagiannya. Namun Galih menggeleng tegas, "Saya yang akan memberikannya. Duduklah!"

"Sama saja kan," gerutu Bening.

Galih memberikan piring milik Bening, lalu menyangga piringnya sendiri. Di antara puluhan orang yang mengantri, dengan suara kendaraan yang tidak henti-hentinya memekakkan telinga, Galih merekam baik-baik moment dimana Bening bersikap selayaknya wanita normal di depannya. Bukan wanita yang menjaga image terhadap lawan jenis yang bukan orang penting dalam hidupnya.

"Bapak tahu bedanya makan di pinggir jalan dengan makan di restoran?" tanya Bening tiba-tiba.

Galih menoleh dan mendapati setengah piring yang sudah kosong melompong. Ada bulir keringat yang mengalir perlahan dari dahi Bening, refleks dia mengambil sapu tangan miliknya dan mengusapnya. Dia sadar akan keterkejutan Bening namun dia pura-pura tidak tahu. "Apa?"

"Ya beda lah. Tendanya aja beda. Gerobaknya aja beda. Masa begitu saja nggak tahu sih, Pak?"

Galih melongo, "Saya pikir kamu mau memberikan alasan yang lebih lucu dari ini. Jawaban macam apa itu? Orang bodoh saja tahu perbedaannya."

"Siapa bilang? Buktinya bapak saja nggak tahu kan?"

"Oh, kamu menghina saya?"

"Nggak mungkin. Saya hanya mengutarakan pendapat."

"Oke, oke, saya menyerah," ucap Galih mengakhiri perdebatan. Dia kembali menyantap batagor yang rasanya jauh lebih nikmat dibandingkan batagor di restoran mewah. Mungkin pemandangan memang menambah kenikmatan tersendiri.

"Habis ini kita kembali ke kantor, Pak?" tanya Bening sambil meletakkan piring kotornya di bawah. Di depannya tidak ada meja yang bisa dia gunakan karena keterbatasan tempat.

"Tentu. Saya ada rapat dengan bagian pemasaran."

Galih juga sudah selesai dengan makanannya. Dia sibuk menyeruput secangkir es teh manis dengan kadar gula rendah.

"Saya ikut?"

"Kamu siapa saya?"

"Sekretaris bapak."

"Nah, itu udah tahu kenapa masih tanya? Bos mana yang pergi rapat sendiri tanpa sekretaris? Lalu siapa yang menulis laporan rapat nanti? Saya?"

Bening kesal dengan ucapan Galih? Menggunakan bahasa yang lebih halus bukannya akan mudah diterima? "Tentu saja saya. Saya pikir bapak menolak kehadiran saya?"

"Kalau saya menolak kamu, untuk apa saya merengek pada Junar? Kamu segalanya untuk saya dan tidak akan pernah saya tolak baik di kantor ataupun di rumah. Paham kamu, Bening?"

'Kenapa aku lebih mirip anak SD yang dimarahi orangtuaku sih?' Batin Bening.

Satu hal yang dia ketahui sekarang bahwa Galih memang meminta Junar untuk memindahkannya. Apa Bening perlu berterima kasih?

"Paham, Pak. Terimakasih."

"Kita kembali ke kantor."

Bening mengangguk pasrah.

°°°

Bugh!

"Oh, maaf, saya nggak sengaja," ucap Bening. Wanita itu tidak sengaja menubruk seseorang ketika akan keluar dari tempat makan. Galih masih membayar di sana sementara Bening memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan.

"Bening." Suara khas itu terdengar gemetar di telinga Bening. Bening mendongak dan mendapati wajah Genta yang memandangnya intens.

"Em, kamu? Ma-maaf, aku nggak sengaja. Permisi." Bening terlalu kalut untuk bicara pada Genta. Tidak ada yang bisa membuat dia lupa begitu saja pada mantan kekasihnya itu. Langkahnya yang tidak tentu arah malah membuat dia limbung. Kerikil di bawah sana berusaha menghalangi jalannya hingga sebuah tarikan lembut menyentuh lengannya.

"Hati-hati."

Oh Tuhan, senyuman itu!

"Tolong lepaskan istri saya!"

°°°