MENJADI RATU SETELAH DIBUANG
“Jadi selama ini kamu bohongin aku mas?” tandas Aruna dengan air mata yang berlinang.
“Aku nggak bohong, aku cuma belum punya waktu untuk jelasin ke kamu Aruna.”
Jantung Aruna terpompa tak terkontrol dengan nuansa hatinya yang berantakan. Sungguh ia benar – benar tidak menyangka, selama ini dirinya banting tulang merangkap dua pekerjaan dalam sehari setiap hari, ternyata mendapat balasan yang memuakkan.
Suaminya mengambil celah dengan beradu kasih bersama wanita lain.
“Tetep aja mas, ini salah! Kamu selingkuh sama wanita lain. Nggak nyangka aku, ternyata kamu sejahat ini!” jerit Aruna dengan menghentakkan kaki kesal. Aruna sudah tak mampu mengungkapkan rasa kecewa yang menjalar ke ubun ubun dengan banyak kata. Selain tangis yang pecah tak terkontrol.
Seolah tidak percaya, pria yang selalu menghangatkan malamnya kini justru berdiri tanpa jarak dengan wanita lain.
“Bodoh aku mas! Bodoh! Selama ini aku terlalu bodoh mempercayaimu!”
Dafa masih menggenggam wanita itu tanpa rasa malu, dan tidak ada pantulan wajah menyesal sedikit pun di wajahnya. Pria itu benar – benar mengira apa yang ia jalani tidak salah. Bermain api dengan wanita lain, di saat istrinya banting tulang kerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Terserah Aruna, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku ingin menceritakan niatku untuk menikah lagi. Tapi, kamu malah sibuk kerja.”
“Mas kamu kok gitu sih.”
Mendengar penuturan Dafa, bagaikan sebilah sembilu mengiris palung hati Aruna. Sakit, tapi tak berdarah.
“Aku kerja buat kebutuhan rumah kita, buat nyekolahin Franda! “ sentak Aruna kontan, sembari menghembuskan nafas kesal wanita itu tersenyum miring menatap Dafa, “Mau nikah lagi? Nafkahin satu istri saja nggak mampu, kamu mau nikah lagi?”
“Iya”
“Kamu harus mengizinkan aku menikah lagi Aruna, karena aku nggak mungkin bisa meninggalkan dia.”
****
Suatu pagi di salah satu kafe langganan seorang wanita yang akrab disapa Aruna.
“Astaga naga! Kamu serius nikah sama Dafa? Si anak kos sebelah itu bukan sih,” teriak Kei menjerit memecah keheningan kafe yang kebetulan lagi sepi pengunjung dan hanya ada mereka berdua.
Mulut Kei komat kamit nyaris tidak percaya, lantaran berita yang bertengger di indera pendengarnya.
“Iya, benar,” ulas seorang wanita yang duduk di hadapannya usai menegak segelas es matca sampai tandas. Sama sekali dirinya tidak peduli dengan respon ‘kurang setuju’ sahabat lamanya terhadap pilihan hidupnya.
“Aduh, apa yang kamu fikirkan Aruna? Sampai belok haluan kayak gini”
“Kena pellet kamu?” omel Kei menggelengkan kepala dengan wajah kagetnya. Sementara, lawan bicaranya hanya diam tidak menimpali dengan respon berlebihan.
“Enggak - enggak, bukan gitu. Abis, kamu balik duluan sih ke Jakarta makannya ketinggalan cerita.”
“Ya maaf, abis waku itu keadaan bener – bener kepepet. Ayahku jatuh sakit dan aku harus kerja buat biaya perobatan. Makannya ..”
“Ah, banyak alasan,!” sahut Aruna memenggal ucapan rekannya.
Kei dan Aruna bersahabat sejak duduk di bangku SMA, sayangngnya mereka terpisah jarak lantaran Kei harus kembali ke Medan untuk merawat orangtuanya. Padahal, kepergian Kei bertepatan pada masa – masa genting yang Aruna lalui kala menentukan pilihan hidup.
Jadilah, Kei kudet dengan siapa ternyata sahabatnya memilih pendamping hidup sampai sudah beranak satu hingga sekarang.
Setelah lebih dari dua tahun tidak bertemu, hari ini mereka janjian melepas rindu di salah satu café dekat tempat kerja mereka. Yang kebetulan, ternyata Kei sekantor dengan Aruna.
“Terus? Mas Dirga gimana? Ke mana dia? Bukannya kalian mau tunangan?.” Satu hal membuat Kei mengerutkan kening, ia teringat pada sesosok pria yang amat dicintai Aruna kala itu. Mengapa sahabatnya justru menikah dengan pria lain?
Mendengar nama Dirga disebut – sebut, membuat Aruna menghela nafas berat.“Dia dicolong sama nenek lampir?”
“Apa kamu bilang? Serius? nenek lampir siapa?”
***
“Franda sayang, Bunda mau kerja dulu. Franda harus menurut yah sama ayah,” pesan Aruna kepada putri semata wayangnya. Ini adalAah kebiasaan yang Aruna lakukan sebelum berangkat bekerja, membujuk putri semata wayang yang selalu rewel enggan ditinggal ibunya berangkat kerja.
“Ah, nggak mau! Franda mau ditemenin bunda ke kebun binatang.”Bocah kecil itu merajuk dengan suaranya yang beralun manja.
Mendengar itu, membuat Aruna menghela nafas berat, “Kan ada ayah sayang. Franda sama ayah saja ya! Bunda harus kerja buat apa coba ..”
“Buat beli susu sama mainan Franda,” tukas Franda memajang wajah imut. Gadis kecil itu, selalu berhasil membuat Aruna selalu kangen saat mereka berjauhan.
“Anak pinter,” ujar Aruna mengusap kepala putrinya, sedetik kemudian mencium kening sang buah hati.
Begitulah kehidupan rumah tangga yang Aruna Gemati Ningsih lalui. Menunggang status sebagai ibu pekerja dengan anak satu sedikit membuatnya naik emosi kadang kala. Apalagi, jika Franda putri kesayangannya sulit diatur seperti pagi ini. Sungguh, Aruna hanya mampu mengusap dadanya jika keadaan sudah begitu.
Aruna menyebut dirinya sebagai istri dua belas jam. Lantaran, bertukar tugas dengan Dafa suaminya yang harus bekerja, Aruna hanya bisa stanby di rumah tidak lebih dari 12 jam. Selain bekerja sebagai tenaga administrasi di salah satu perusahaan ekspedisi di kotanya untuk menambah pundi – pundi rupiah agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi, Aruna juga bekerja sebagai seorang kasir sebuah swalayan. Semua terpaksa Aruna jalankan lantaran Dafa belum mendapatkan pekerjaan, sementara kebutuhan mereka kian membengkak setiap harinya.
Yah, kehidupan Aruna dan Dafa memang sedikit berbeda dari pernikahan orang – orang pada umumnya. Aruna yang bekerja dan Dafa yang jaga anak.
Semua terpaksa mereka lakukan lantaran tempat kerja Dafa melakukan pengurangan pegawai dua tahun lalu, setelahnya Dafa belum mendapat panggilan bekerja setelah menebar puluhan amplop coklat ke beberapa perusahaan incaran.
“Sayang, semua keperluan Franda sudah aku tata di atas meja makan. Tolong jagain anak kita ya,” ujar Aruna setelah ketangkasan tangannya berhasil melakukan semua pekerjaannya dalam sekejap.
“Iya sayang, pasti. Hati – hati di jalan yah,” pungkas Dafa tanpa menoleh ke sisi sang istri, lebih sibuk dengan benda pilih di genggaman.
“Eh, ada yang lupa?” menyadari istrinya melangkahkan kaki hendak pergi, pria itu teringat sesuatu yang membuat Aruna kontan merotasi tubuh menghadapnya.
“Iyakah? Apa sayang?”
“Ini, pipi aku rasanya kasar banget” tukas Dafa sambil mengusap kedua pipinya bergantian, memamerkan ringisnya kepada sang istri.
“Hahahaha. Lupa” melihat itu, membuat Aruna terkekeh. Dan, satu kecupan mendarat di kening Dafa cukup lama. Pun Dafa, pria itu merekatkan pelukannya pada sesosok wanita yang selalu membuat riuh hari – harinya.
“Emmmmuach…lop yu mas bojo.”
“ Lop yu tu ibu ratu.”
Aruna begitu menikmati hari – hari yang ia lalui dengan laki – laki pilihannya. Dafa Rusdianto. Laki – laki sederhana yang selalu membuatnya senang dengan segala sikap kelemah lembutannya. Dafa lah yang membuat hidup Aruna terasa lengkap.
Dafa juga sama, pria itu nyaris tidak pernah mengeluh kepada Aruna lantaran tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri secara utuh lantaran harus bekerja. Karena perasaan saling mengertilah, yang diyakini menyemai bahtera rumah tangga mereka tumbuh subur rukun tanpa kurang satu apapun meski di tengah keterbatasan.
Bagi keduanya, siapa yang bekerja dan siapa yang menjaga anak bukanlah satu masalah yang harus dibesar – besarkan. Toh, semua juga diputuskan dengan pertimbangan yang matang. Buktinya, sudah dua tahun pernikahan berjalan, kehidupan rumah tangga mereka adem ayem, ranjang selalu hangat dan mereka menjalani hari – hari bersama dengan tetap rukun.
“Rumah tangga kami memang berbeda, tapi aku tidak menyesalinya. Selagi kami bisa hidup Bahagia.”
“Hussh, Franda udah tidur,” ujar Dafa usai menyadari kepala istrinya menyembul di balik pintu kamar Franda.Menyadari itu, Aruna berjalan sangat pelan – pelan agar tidak menimbulkan suara yang mengakibatkan anak kesayangannya terbangun. Ia pun menduduki tepi ranjang sambil terus memandangi wajah lelap Franda.Berdesir rasa lega kala menyaksikan anak kesayangannya terlelap.“Ah, sayang. Kamu udah tidur ya. maafin mama nggak bisa nemenin jalan – jalan,” ujar Aruna penuh sesal. Diusapnya kening Franda penuh kasih sayang, kemudian menjatuhkan kecupan lembut tepat di kening Franda.“Gimana seharian? Franda rewel nggak?”“Enggak, nurut dia,” jelas Dafa yang sibuk merapikan peralatan makan Franda yang tercecer di nakas.“Oh, syukurlah.”Aruna mengangkat tubuhnya berdiri, kemudian ia memeluk Dafa dengan sangat erat. Melepas rindu setelah seharian tidak bertemu.“Hari ini aku capek banget jadi aku nggak masak tapi udah beli sayur jadi di perempatan. Makan malam yuk.”Merasa berdosa karena tid
Aruna hanya menerka – nerka, sosok yang berdiri di depannya tidak lain adalah suaminya. Namun, seingatnya Dafa berangkat kerja dengan kaos oblong hitam dan jaket ojek online saja, tidak tampil serapi itu.“Ah, pasti cuma mirip.”Aruna membuyarkan konsentrasi pada sosok yang ia kira menyerupai suaminya. Ia lebih memilih gegas memasuki klinik untuk segera memeriksakan putrinya.“Antrian dua puluh ya bu lagi, mohon ditunggu ya bu,” tukas seorang resepsionis yang disusul anggukan kepala Aruna.Sambil menggendong franda, Aruna menyisir kursi tunggu yang ternyata semua sudah penuh diduduki oleh pasien. Terpaksa wanita itu menduduki kursi tunggu yang tersisa dan tepatnya di teras.“Kita duduk di sini ya sayang,” ujar Aruna kepada franda sambil sesekali mengecup kening sang putrid kesayangan.Sebuah pemandangan yang membuat penasaran kembali tersaji. Usai mendengar suara wanita menyebut nama ‘Dafa’ dengan lantang.“Dafa! Maaf sayang, aku telat ya.” Samar – samar Aruna mendengar percakapan dua
Hujan mengguyur deras dini hari. Suasana malam kian terasa amat sepi. Bahkan, dinginnya hawa malam ini terasa menikam bagi Aruna.Aruna masih duduk bersimpuh di kamar seorang diri, berulang kali diliriknya jam dinding. Sudah pukul dua dini hari. Kenapa suaminya tak kunjung pulang?Biasanya, jika Dafa pulang dini hari Aruna tidak pernah gusar sampai menanti kepulangan sang suami, malahan Aruna sudah tertidur lelap karena esok harus bekerja. Dafa kerap menjelaskan, ia kerap pulang dini hari lantaran orderannya saat tengah malam akan semakin ramai sebab banyak customernya yang notaben anak kosan menggunakan jasa delivery makanan tengah malam.Namun, hari ini konteksnya berbeda.Hati Aruna kian terasa hancur lebam. Membayangkan hal yang tidak – tidak perihal Dafa dengan wanita seksi yang membersamainya semalam. Sedang apa mereka, sejak kapan mereka sedekat itu dan kenapa kebohongan Dafa terkemas apik selama ini, sampai – sampai Aruna merasa kecolongan tidak mengendus bau kebohongan yang
“Eh tumben ngajak Franda ngantor, nggak ada yang jagain di rumah?” sapa Kei yang melintas di depan meja kerja Aruna.“Ehm, iya. Franda beri salam ke tante Kei,” titah Aruna kepada sang putri. Sejurus kemudian, Franda menghampiri Kei dan meraih tangannya kemudian mengecup halus punggung tangan Kei dengan sopan.“Ah, pintarnya,” puji Kei girang.Hari ini, terpaksa Aruna membawa Franda ke kantor. Terpaksa pula Franda tidak masuk sekolah karena tidak ada yang mengantar. Hari ini, Aruna juga izin jaga supermarket sebab tidak mungkin seharian penuh mengajak putrinya bekerja, apalagi kondisi fisik Franda yang belum sepenuhnya pulih pasca demam. Sungguh dunia Aruna terasa terporak – poranda usai kejadian semalam.Sekarang, dirinya dan Dafa sama – sama bersikap seperti orang asing meski tinggal serumah. Dafa yang semalam mengancam akan pergi dari rumah pun juga tidak jadi pergi. Pria itu masih tinggal di rumah kontrakan mereka. Namun, enggan bercengkrama dengan Aruna seperti biasanya.Sebuah d
“Eh tumben ngajak Franda ngantor, nggak ada yang jagain di rumah?” sapa Kei yang melintas di depan meja kerja Aruna.“Ehm, iya. Franda beri salam ke tante Kei,” titah Aruna kepada sang putri. Sejurus kemudian, Franda menghampiri Kei dan meraih tangannya kemudian mengecup halus punggung tangan Kei dengan sopan.“Ah, pintarnya,” puji Kei girang.Hari ini, terpaksa Aruna membawa Franda ke kantor. Terpaksa pula Franda tidak masuk sekolah karena tidak ada yang mengantar. Hari ini, Aruna juga izin jaga supermarket sebab tidak mungkin seharian penuh mengajak putrinya bekerja, apalagi kondisi fisik Franda yang belum sepenuhnya pulih pasca demam. Sungguh dunia Aruna terasa terporak – poranda usai kejadian semalam.Sekarang, dirinya dan Dafa sama – sama bersikap seperti orang asing meski tinggal serumah. Dafa yang semalam mengancam akan pergi dari rumah pun juga tidak jadi pergi. Pria itu masih tinggal di rumah kontrakan mereka. Namun, enggan bercengkrama dengan Aruna seperti biasanya.Sebuah d
Hujan mengguyur deras dini hari. Suasana malam kian terasa amat sepi. Bahkan, dinginnya hawa malam ini terasa menikam bagi Aruna.Aruna masih duduk bersimpuh di kamar seorang diri, berulang kali diliriknya jam dinding. Sudah pukul dua dini hari. Kenapa suaminya tak kunjung pulang?Biasanya, jika Dafa pulang dini hari Aruna tidak pernah gusar sampai menanti kepulangan sang suami, malahan Aruna sudah tertidur lelap karena esok harus bekerja. Dafa kerap menjelaskan, ia kerap pulang dini hari lantaran orderannya saat tengah malam akan semakin ramai sebab banyak customernya yang notaben anak kosan menggunakan jasa delivery makanan tengah malam.Namun, hari ini konteksnya berbeda.Hati Aruna kian terasa hancur lebam. Membayangkan hal yang tidak – tidak perihal Dafa dengan wanita seksi yang membersamainya semalam. Sedang apa mereka, sejak kapan mereka sedekat itu dan kenapa kebohongan Dafa terkemas apik selama ini, sampai – sampai Aruna merasa kecolongan tidak mengendus bau kebohongan yang
Aruna hanya menerka – nerka, sosok yang berdiri di depannya tidak lain adalah suaminya. Namun, seingatnya Dafa berangkat kerja dengan kaos oblong hitam dan jaket ojek online saja, tidak tampil serapi itu.“Ah, pasti cuma mirip.”Aruna membuyarkan konsentrasi pada sosok yang ia kira menyerupai suaminya. Ia lebih memilih gegas memasuki klinik untuk segera memeriksakan putrinya.“Antrian dua puluh ya bu lagi, mohon ditunggu ya bu,” tukas seorang resepsionis yang disusul anggukan kepala Aruna.Sambil menggendong franda, Aruna menyisir kursi tunggu yang ternyata semua sudah penuh diduduki oleh pasien. Terpaksa wanita itu menduduki kursi tunggu yang tersisa dan tepatnya di teras.“Kita duduk di sini ya sayang,” ujar Aruna kepada franda sambil sesekali mengecup kening sang putrid kesayangan.Sebuah pemandangan yang membuat penasaran kembali tersaji. Usai mendengar suara wanita menyebut nama ‘Dafa’ dengan lantang.“Dafa! Maaf sayang, aku telat ya.” Samar – samar Aruna mendengar percakapan dua
“Hussh, Franda udah tidur,” ujar Dafa usai menyadari kepala istrinya menyembul di balik pintu kamar Franda.Menyadari itu, Aruna berjalan sangat pelan – pelan agar tidak menimbulkan suara yang mengakibatkan anak kesayangannya terbangun. Ia pun menduduki tepi ranjang sambil terus memandangi wajah lelap Franda.Berdesir rasa lega kala menyaksikan anak kesayangannya terlelap.“Ah, sayang. Kamu udah tidur ya. maafin mama nggak bisa nemenin jalan – jalan,” ujar Aruna penuh sesal. Diusapnya kening Franda penuh kasih sayang, kemudian menjatuhkan kecupan lembut tepat di kening Franda.“Gimana seharian? Franda rewel nggak?”“Enggak, nurut dia,” jelas Dafa yang sibuk merapikan peralatan makan Franda yang tercecer di nakas.“Oh, syukurlah.”Aruna mengangkat tubuhnya berdiri, kemudian ia memeluk Dafa dengan sangat erat. Melepas rindu setelah seharian tidak bertemu.“Hari ini aku capek banget jadi aku nggak masak tapi udah beli sayur jadi di perempatan. Makan malam yuk.”Merasa berdosa karena tid
MENJADI RATU SETELAH DIBUANG“Jadi selama ini kamu bohongin aku mas?” tandas Aruna dengan air mata yang berlinang.“Aku nggak bohong, aku cuma belum punya waktu untuk jelasin ke kamu Aruna.”Jantung Aruna terpompa tak terkontrol dengan nuansa hatinya yang berantakan. Sungguh ia benar – benar tidak menyangka, selama ini dirinya banting tulang merangkap dua pekerjaan dalam sehari setiap hari, ternyata mendapat balasan yang memuakkan.Suaminya mengambil celah dengan beradu kasih bersama wanita lain.“Tetep aja mas, ini salah! Kamu selingkuh sama wanita lain. Nggak nyangka aku, ternyata kamu sejahat ini!” jerit Aruna dengan menghentakkan kaki kesal. Aruna sudah tak mampu mengungkapkan rasa kecewa yang menjalar ke ubun ubun dengan banyak kata. Selain tangis yang pecah tak terkontrol.Seolah tidak percaya, pria yang selalu menghangatkan malamnya kini justru berdiri tanpa jarak dengan wanita lain.“Bodoh aku mas! Bodoh! Selama ini aku terlalu bodoh mempercayaimu!”Dafa masih menggenggam wan