"Anak-anak Mami sangat hebat! Sekarang kalian ingin hadiah apa dari Mami?" Dalena membungkukkan badannya mengusap pipi gembil si kembar. Kedua anaknya nampak berpikir, seketika Raccel menunjuk ke arah toko boneka yang berada di seberang jalan. "Ayo beli mainan, Mam!" pekik Raccel menarik lengan Dalena. "Okay. Jangan lari Sayang..." Sedangkan Cassel, anak laki-laki itu nampak muram karena ia tidak ingin membeli mainan, Cassel ingin pergi ke toko buku. Melihat ekspresi malas dari Cassel, lantas Damien lah yang mendekati putranya tersebut. "Kenapa murung begini? Tadi padahal yang paling semangat," ujar Damien menggendong Cassel. "Cassel tidak mau ke toko boneka. Cassel kan anak cowok yang sudah dewasa, Papi!" pekiknya seraya meletakkan dagunya di pundak Damien. "Sudah dewasa?" Damien menatap wajah tampan mungil itu sembari terkekeh. "Wahh, benar juga! Rupanya anak Papi sudah dewasa, harus punya adik segera!" Cassel dengan cepat mengangguk. "Ya! Ya! Kasih adik
Damien tidak bisa tidur malam ini meskipun ia memeluk Dalena erat-erat. Pikirannya ke mana-mana saat ia sibuk menatapi wajah cantik Dalena. Laki-laki itu kembali mengecup pipi Dalena sembari mengusap punggung kecilnya. "Emmm... Kenapa tidak tidur?" tanya Dalena membuka kedua matanya pelan. "Aku tidak bisa tidur," jawab Damien. "Oh, tidak bisa tidur ya... Mau aku temani?" Wanita itu mengucek kedua matanya dan beranjak bangun. Damien ikut duduk dan kamar yang gelap membuat Dalena begitu dekat dengannya. "Jam berapa ini?" cicitnya bertanya. "Setengah dua dini hari," jawab Damien. "Ya ampun, kau tidak mengantuk? Padahal di udara sangat dingin. Harusnya kau istirahat..." Dalena menarik selimutnya tinggi-tinggi. Jemari lentiknya mencengkeram pinggiran selimut dengan erat. Damien menarik Dalena untuk bersandar padanya. Wanita itu tersenyum menatapnya dengan tatapan lembut. "Kenapa tersenyum begitu, hem?" Damien menjentikkan lembut ujung hidung Dalena. "Tidak papa... Rasa mengantu
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Delana baru terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa amat sangat lelah, berlipat-lipat lelahnya dibandingkan dia bekerja. Wanita itu membuka kedua matanya dan menatap seisi kamar yang sepi. Terlintas ingatan semalam Damien begitu lembut memperlakukannya meskipun dia mendapatkan apa yang dia inginkan dari Dalena. Dua kali, dua kali mereka melakukan percintaan itu dan Dalena apakah boleh menyesalinya sekarang?"Emhhh," lirihnya mencengkeram sprai dengan mata terpejam. Ragu-ragu ia membuka selimut, tubuhnya ternyata sudah dibalut dengan piyama milik Damien. "Kenapa aku bodoh sekali," lirih Dalena, pikirannya terasa kosong. "Bukankah aku semakin sulit pergi darinya bila hal ini terjadi lagi denganku? Bagaimana kalau aku hamil lagi?" Dalena menggigit bibir bawahnya dan ia memejamkan kedua matanya erat mencengkeram kuat sprai putih alasnya. Pintu kamar terbuka, sosok Damien berjalan masuk ke dalam sana dan berjalan mendekati Dalena begitu mengetahu
Raccel dan Cassel duduk manis menatap dua mangkuk kecil berisi es krim stroberi vanila yang mereka pesan. Di hadapannya, ada Thom yang sejak tadi menundukkan topi hitamnya. Laki-laki itu malu luar biasa saat ini. "Paman ayo dimakan es krimnya, sayang tahu kalau leleh!" perintah Raccel. "Tidak usah Raccel, Paman tidak suka es krim." Thom menggelengkan kepalanya. "Paman jangan pakai topi, maskernya dibuka dong! Paman seperti penculik tahu!" pekik Cassel keras-keras.Semua orang di dalam cafe serba merah muda itu langsung menoleh ke arah Thom dan si kembar. Lantas Thom melepas topi dan maskernya. Di tempat itu hanya dirinya lah yang laki-laki. Semuanya anak kecil perempuan dan Ibunya, bahkan mereka yang sempat curi-curi pandang. Memalukan memang. Pakaiannya sudah gagah berani seperti bodyguard yang galak, namun kini ia malah mendarat di sebuah kedai es krim serba merah muda, dikelilingi boneka Barbie milik Raccel. "Paman, mereka semua melihat Paman. Sepertinya kagum ya, Raccel," u
Hari sudah malam, Dalena berada di kamar Damien. Semua pakaiannya ada di sana, ia baru saja mengganti bajunya dengan piyama hangat. Dalena membuka sebuah laci hendak menaruh anting mutiara yang ia pakai, namun ia menemukan kalung liontin miliknya yang sempat ia kembalikan pada Damien saat mereka bertengkar kapan hari.'Kalung ini... Putus.' Delana menunduk menatapnya. Tubuhnya tersentak pelan saat sepasang lengan kekar melilit pinggangnya yang ramping dan kecupan mendarat di bahu juda lehernya. "Kenapa belum tidur?" tanya Damien. Tidak ada jawaban dari wanitanya. Perhatian Damien teralihkan pada kalung yang Dalena pegang. Kalung itu putus, Damien tahu wanitanya ini sangat menyukai kalung pemberikannya. "Besok kita beli lagi, Sayang..." Damien meraih kalung itu dan kembali memasukkan ke laci. "Tidak usah," jawab Dalena pelan. "Aku tidak ingin membeli perhiasan apapun." "Tapi aku yang ingin kau memakai perhiasan. Aku ingin kau terlihat lebih cantik sebagai Nyonya Escalante," bi
"Kembar hari ini ke sekolah dengan Paman Thom ya, Mami mau ikut Papi." Seruan itu Delana ucapkan bersamaan dirinya memasukkan bekal ke dalam tas kedua anaknya. Si kembar nampak cemberut, mereka berdua baru saja berhenti menangis. Keduanya marah tidak mau sekolah, ingin di rumah saja menonton kartun. "Kita tidak mau sekolah, Mami! Besok kan libur, jadi tanggung kalau kita sekolah hari ini," seru Cassel, ada saja alasannya. "Raccel setuju sama Kakak Cassel! Di luar kan sedang dingin, Mom... Nanti kalau kita kedinginan, terus kita beku, sakit, nanti Mommy yang susah." Raccel pun ikut beralasan. Dalena menghela napasnya panjang. Memang hari ini mereka hanya sekolah selama dua jam saja, mulai besok pun mereka akan libur. "Mommy... Please, kita mau bolos." Raccel cemberut."Tapi hari ini Mommy mau pergi sama Papi, Sayang." Dalena mendekati mereka. "Mami tidak usah khawatir, kan ada Paman Thom yang selalu setia menjaga kita. Iya kan, Paman!" Cassel menoleh pada Thom yang langsung meng
Dalena tak percaya Damien membawanya ke rumah di mana dulu Dalena menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa di sana, rumah yang masa kecilnya menjadi surga, sebelum berubah menjadi neraka saat kedua orang tuanya tiada. Wanita itu hanya diam saja menunduk menatap salju dan meremas mantelnya dengan perasaan teramat sedih. "Sayang, ayo masuk ke dalam," akak Damien merangkul pundak Damien. Dalena melepaskan tangan Damien dan ia tetep tertunduk dengan ekspresi sedih. "Apa mereka ada di sini? Aku tidak siap bertemu mereka," ujar Dalena masih di posisi semula. Dalena pasti takut, Damien memahami isi hati wanitanya tersebut. "Dalena, mereka tidak akan berani menyakitimu bila ada aku yang datang bersamamu." Damien tersenyum mengecup punggung tangan Dalena. Mau tidak mau mereka berdua kini berjalan menuju teras luas rumah tersebut. Ingatan-ingatan mengerikan berteriak di kepala Delana sebagaimana dia diperlakukan seperti anjing hina di rumahnya sendiri. Dapat Damien rasakan gemetar tang
Beberapa hari berjalan dengan damai. Damien menjaga Delena dan si kembar lebih ketat agar terhindar dari setiap hal yang berbau keluarga Escalante. "Sayang, hari ini apa kau sibuk?" tanya Dalena menatap Damien. Laki-laki itu menatapnya sekilas. "Tidak, semua meeting sudah aku serahkan pada Thom dan Felix. Kenapa?" Dalena duduk di samping Damien dan tersenyum tipis. "Eummm itu, temanku dari London hari ini akan datang ke sini. Dia memintaku untuk kembali bekerja dengannya di sini," ujar wanita itu. "Bekerja?" Damien menaikkan satua alisnya. "Pekerjaan apa memangnya?" Dari nada suaranya, Dalena tahu kalau laki-laki ini tidak setuju. "Aku sudah lama mendalami dunia desain busana, jadi aku ingin melanjutkan karirku di sana. Kebetulan tadi dia menghubungiku dan-""Tidak usah," sela Damien masih dengan laptop yang dia pangku.Bibir Dalena mencebik, meskipun ia sebenarnya sudah tahu kalau laki-laki ini melarangnya. "Heemmm... Kau ini," cicit Dalena duduk bersandar dengan wajah muram.