Damien tidak bisa tidur malam ini meskipun ia memeluk Dalena erat-erat. Pikirannya ke mana-mana saat ia sibuk menatapi wajah cantik Dalena. Laki-laki itu kembali mengecup pipi Dalena sembari mengusap punggung kecilnya. "Emmm... Kenapa tidak tidur?" tanya Dalena membuka kedua matanya pelan. "Aku tidak bisa tidur," jawab Damien. "Oh, tidak bisa tidur ya... Mau aku temani?" Wanita itu mengucek kedua matanya dan beranjak bangun. Damien ikut duduk dan kamar yang gelap membuat Dalena begitu dekat dengannya. "Jam berapa ini?" cicitnya bertanya. "Setengah dua dini hari," jawab Damien. "Ya ampun, kau tidak mengantuk? Padahal di udara sangat dingin. Harusnya kau istirahat..." Dalena menarik selimutnya tinggi-tinggi. Jemari lentiknya mencengkeram pinggiran selimut dengan erat. Damien menarik Dalena untuk bersandar padanya. Wanita itu tersenyum menatapnya dengan tatapan lembut. "Kenapa tersenyum begitu, hem?" Damien menjentikkan lembut ujung hidung Dalena. "Tidak papa... Rasa mengantu
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Delana baru terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa amat sangat lelah, berlipat-lipat lelahnya dibandingkan dia bekerja. Wanita itu membuka kedua matanya dan menatap seisi kamar yang sepi. Terlintas ingatan semalam Damien begitu lembut memperlakukannya meskipun dia mendapatkan apa yang dia inginkan dari Dalena. Dua kali, dua kali mereka melakukan percintaan itu dan Dalena apakah boleh menyesalinya sekarang?"Emhhh," lirihnya mencengkeram sprai dengan mata terpejam. Ragu-ragu ia membuka selimut, tubuhnya ternyata sudah dibalut dengan piyama milik Damien. "Kenapa aku bodoh sekali," lirih Dalena, pikirannya terasa kosong. "Bukankah aku semakin sulit pergi darinya bila hal ini terjadi lagi denganku? Bagaimana kalau aku hamil lagi?" Dalena menggigit bibir bawahnya dan ia memejamkan kedua matanya erat mencengkeram kuat sprai putih alasnya. Pintu kamar terbuka, sosok Damien berjalan masuk ke dalam sana dan berjalan mendekati Dalena begitu mengetahu
Raccel dan Cassel duduk manis menatap dua mangkuk kecil berisi es krim stroberi vanila yang mereka pesan. Di hadapannya, ada Thom yang sejak tadi menundukkan topi hitamnya. Laki-laki itu malu luar biasa saat ini. "Paman ayo dimakan es krimnya, sayang tahu kalau leleh!" perintah Raccel. "Tidak usah Raccel, Paman tidak suka es krim." Thom menggelengkan kepalanya. "Paman jangan pakai topi, maskernya dibuka dong! Paman seperti penculik tahu!" pekik Cassel keras-keras.Semua orang di dalam cafe serba merah muda itu langsung menoleh ke arah Thom dan si kembar. Lantas Thom melepas topi dan maskernya. Di tempat itu hanya dirinya lah yang laki-laki. Semuanya anak kecil perempuan dan Ibunya, bahkan mereka yang sempat curi-curi pandang. Memalukan memang. Pakaiannya sudah gagah berani seperti bodyguard yang galak, namun kini ia malah mendarat di sebuah kedai es krim serba merah muda, dikelilingi boneka Barbie milik Raccel. "Paman, mereka semua melihat Paman. Sepertinya kagum ya, Raccel," u
Hari sudah malam, Dalena berada di kamar Damien. Semua pakaiannya ada di sana, ia baru saja mengganti bajunya dengan piyama hangat. Dalena membuka sebuah laci hendak menaruh anting mutiara yang ia pakai, namun ia menemukan kalung liontin miliknya yang sempat ia kembalikan pada Damien saat mereka bertengkar kapan hari.'Kalung ini... Putus.' Delana menunduk menatapnya. Tubuhnya tersentak pelan saat sepasang lengan kekar melilit pinggangnya yang ramping dan kecupan mendarat di bahu juda lehernya. "Kenapa belum tidur?" tanya Damien. Tidak ada jawaban dari wanitanya. Perhatian Damien teralihkan pada kalung yang Dalena pegang. Kalung itu putus, Damien tahu wanitanya ini sangat menyukai kalung pemberikannya. "Besok kita beli lagi, Sayang..." Damien meraih kalung itu dan kembali memasukkan ke laci. "Tidak usah," jawab Dalena pelan. "Aku tidak ingin membeli perhiasan apapun." "Tapi aku yang ingin kau memakai perhiasan. Aku ingin kau terlihat lebih cantik sebagai Nyonya Escalante," bi
"Kembar hari ini ke sekolah dengan Paman Thom ya, Mami mau ikut Papi." Seruan itu Delana ucapkan bersamaan dirinya memasukkan bekal ke dalam tas kedua anaknya. Si kembar nampak cemberut, mereka berdua baru saja berhenti menangis. Keduanya marah tidak mau sekolah, ingin di rumah saja menonton kartun. "Kita tidak mau sekolah, Mami! Besok kan libur, jadi tanggung kalau kita sekolah hari ini," seru Cassel, ada saja alasannya. "Raccel setuju sama Kakak Cassel! Di luar kan sedang dingin, Mom... Nanti kalau kita kedinginan, terus kita beku, sakit, nanti Mommy yang susah." Raccel pun ikut beralasan. Dalena menghela napasnya panjang. Memang hari ini mereka hanya sekolah selama dua jam saja, mulai besok pun mereka akan libur. "Mommy... Please, kita mau bolos." Raccel cemberut."Tapi hari ini Mommy mau pergi sama Papi, Sayang." Dalena mendekati mereka. "Mami tidak usah khawatir, kan ada Paman Thom yang selalu setia menjaga kita. Iya kan, Paman!" Cassel menoleh pada Thom yang langsung meng
Dalena tak percaya Damien membawanya ke rumah di mana dulu Dalena menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa di sana, rumah yang masa kecilnya menjadi surga, sebelum berubah menjadi neraka saat kedua orang tuanya tiada. Wanita itu hanya diam saja menunduk menatap salju dan meremas mantelnya dengan perasaan teramat sedih. "Sayang, ayo masuk ke dalam," akak Damien merangkul pundak Damien. Dalena melepaskan tangan Damien dan ia tetep tertunduk dengan ekspresi sedih. "Apa mereka ada di sini? Aku tidak siap bertemu mereka," ujar Dalena masih di posisi semula. Dalena pasti takut, Damien memahami isi hati wanitanya tersebut. "Dalena, mereka tidak akan berani menyakitimu bila ada aku yang datang bersamamu." Damien tersenyum mengecup punggung tangan Dalena. Mau tidak mau mereka berdua kini berjalan menuju teras luas rumah tersebut. Ingatan-ingatan mengerikan berteriak di kepala Delana sebagaimana dia diperlakukan seperti anjing hina di rumahnya sendiri. Dapat Damien rasakan gemetar tang
Beberapa hari berjalan dengan damai. Damien menjaga Delena dan si kembar lebih ketat agar terhindar dari setiap hal yang berbau keluarga Escalante. "Sayang, hari ini apa kau sibuk?" tanya Dalena menatap Damien. Laki-laki itu menatapnya sekilas. "Tidak, semua meeting sudah aku serahkan pada Thom dan Felix. Kenapa?" Dalena duduk di samping Damien dan tersenyum tipis. "Eummm itu, temanku dari London hari ini akan datang ke sini. Dia memintaku untuk kembali bekerja dengannya di sini," ujar wanita itu. "Bekerja?" Damien menaikkan satua alisnya. "Pekerjaan apa memangnya?" Dari nada suaranya, Dalena tahu kalau laki-laki ini tidak setuju. "Aku sudah lama mendalami dunia desain busana, jadi aku ingin melanjutkan karirku di sana. Kebetulan tadi dia menghubungiku dan-""Tidak usah," sela Damien masih dengan laptop yang dia pangku.Bibir Dalena mencebik, meskipun ia sebenarnya sudah tahu kalau laki-laki ini melarangnya. "Heemmm... Kau ini," cicit Dalena duduk bersandar dengan wajah muram.
'Damien pasti malu. Kenapa aku kembali ragu setelah kejadian ini? Aku benci situasi ini.' Dalena diam duduk di tepi ranjang kedinginan setelah ia membersihkan tubuhnya sepulang dari makan malamnya yang kacau. Wanita muda itu terpukul berat mengingat makian kejam yang dilayangkan oleh Sevia untuknya. Pintu kamar terbuka, Damien baru saja meminta si kembar untuk beristirahat dan kini ia masuk ke dalam kamarnya. "Dalena..." Laki-laki itu berucap tanpa suara saat melihat Dalena duduk termenung, dia pasti sangat sedih. Damien berjalan mendekat, laki-laki itu meraih handuk kecil kering yang lembut. Ia mengusap rambut Delana yang basah dengan perlahan-lahan. Wanita itu mendongak menatapnya dengan tatapan dingin, namun mata indahnya yang sipit berkaca-kaca. "Aku harus bagaimana?" lirih Dalena mencengkeram kemeja putih yang Damien pakai. "Kau pasti malu karena kejadian tadi, kan?""Tidak Sayang. Jangan menangis," bisik Damien meraih sisir dan menyisir rambut panjang Delana. Tak tahan d
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris