Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Delana baru terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa amat sangat lelah, berlipat-lipat lelahnya dibandingkan dia bekerja. Wanita itu membuka kedua matanya dan menatap seisi kamar yang sepi. Terlintas ingatan semalam Damien begitu lembut memperlakukannya meskipun dia mendapatkan apa yang dia inginkan dari Dalena. Dua kali, dua kali mereka melakukan percintaan itu dan Dalena apakah boleh menyesalinya sekarang?"Emhhh," lirihnya mencengkeram sprai dengan mata terpejam. Ragu-ragu ia membuka selimut, tubuhnya ternyata sudah dibalut dengan piyama milik Damien. "Kenapa aku bodoh sekali," lirih Dalena, pikirannya terasa kosong. "Bukankah aku semakin sulit pergi darinya bila hal ini terjadi lagi denganku? Bagaimana kalau aku hamil lagi?" Dalena menggigit bibir bawahnya dan ia memejamkan kedua matanya erat mencengkeram kuat sprai putih alasnya. Pintu kamar terbuka, sosok Damien berjalan masuk ke dalam sana dan berjalan mendekati Dalena begitu mengetahu
Raccel dan Cassel duduk manis menatap dua mangkuk kecil berisi es krim stroberi vanila yang mereka pesan. Di hadapannya, ada Thom yang sejak tadi menundukkan topi hitamnya. Laki-laki itu malu luar biasa saat ini. "Paman ayo dimakan es krimnya, sayang tahu kalau leleh!" perintah Raccel. "Tidak usah Raccel, Paman tidak suka es krim." Thom menggelengkan kepalanya. "Paman jangan pakai topi, maskernya dibuka dong! Paman seperti penculik tahu!" pekik Cassel keras-keras.Semua orang di dalam cafe serba merah muda itu langsung menoleh ke arah Thom dan si kembar. Lantas Thom melepas topi dan maskernya. Di tempat itu hanya dirinya lah yang laki-laki. Semuanya anak kecil perempuan dan Ibunya, bahkan mereka yang sempat curi-curi pandang. Memalukan memang. Pakaiannya sudah gagah berani seperti bodyguard yang galak, namun kini ia malah mendarat di sebuah kedai es krim serba merah muda, dikelilingi boneka Barbie milik Raccel. "Paman, mereka semua melihat Paman. Sepertinya kagum ya, Raccel," u
Hari sudah malam, Dalena berada di kamar Damien. Semua pakaiannya ada di sana, ia baru saja mengganti bajunya dengan piyama hangat. Dalena membuka sebuah laci hendak menaruh anting mutiara yang ia pakai, namun ia menemukan kalung liontin miliknya yang sempat ia kembalikan pada Damien saat mereka bertengkar kapan hari.'Kalung ini... Putus.' Delana menunduk menatapnya. Tubuhnya tersentak pelan saat sepasang lengan kekar melilit pinggangnya yang ramping dan kecupan mendarat di bahu juda lehernya. "Kenapa belum tidur?" tanya Damien. Tidak ada jawaban dari wanitanya. Perhatian Damien teralihkan pada kalung yang Dalena pegang. Kalung itu putus, Damien tahu wanitanya ini sangat menyukai kalung pemberikannya. "Besok kita beli lagi, Sayang..." Damien meraih kalung itu dan kembali memasukkan ke laci. "Tidak usah," jawab Dalena pelan. "Aku tidak ingin membeli perhiasan apapun." "Tapi aku yang ingin kau memakai perhiasan. Aku ingin kau terlihat lebih cantik sebagai Nyonya Escalante," bi
"Kembar hari ini ke sekolah dengan Paman Thom ya, Mami mau ikut Papi." Seruan itu Delana ucapkan bersamaan dirinya memasukkan bekal ke dalam tas kedua anaknya. Si kembar nampak cemberut, mereka berdua baru saja berhenti menangis. Keduanya marah tidak mau sekolah, ingin di rumah saja menonton kartun. "Kita tidak mau sekolah, Mami! Besok kan libur, jadi tanggung kalau kita sekolah hari ini," seru Cassel, ada saja alasannya. "Raccel setuju sama Kakak Cassel! Di luar kan sedang dingin, Mom... Nanti kalau kita kedinginan, terus kita beku, sakit, nanti Mommy yang susah." Raccel pun ikut beralasan. Dalena menghela napasnya panjang. Memang hari ini mereka hanya sekolah selama dua jam saja, mulai besok pun mereka akan libur. "Mommy... Please, kita mau bolos." Raccel cemberut."Tapi hari ini Mommy mau pergi sama Papi, Sayang." Dalena mendekati mereka. "Mami tidak usah khawatir, kan ada Paman Thom yang selalu setia menjaga kita. Iya kan, Paman!" Cassel menoleh pada Thom yang langsung meng
Dalena tak percaya Damien membawanya ke rumah di mana dulu Dalena menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa di sana, rumah yang masa kecilnya menjadi surga, sebelum berubah menjadi neraka saat kedua orang tuanya tiada. Wanita itu hanya diam saja menunduk menatap salju dan meremas mantelnya dengan perasaan teramat sedih. "Sayang, ayo masuk ke dalam," akak Damien merangkul pundak Damien. Dalena melepaskan tangan Damien dan ia tetep tertunduk dengan ekspresi sedih. "Apa mereka ada di sini? Aku tidak siap bertemu mereka," ujar Dalena masih di posisi semula. Dalena pasti takut, Damien memahami isi hati wanitanya tersebut. "Dalena, mereka tidak akan berani menyakitimu bila ada aku yang datang bersamamu." Damien tersenyum mengecup punggung tangan Dalena. Mau tidak mau mereka berdua kini berjalan menuju teras luas rumah tersebut. Ingatan-ingatan mengerikan berteriak di kepala Delana sebagaimana dia diperlakukan seperti anjing hina di rumahnya sendiri. Dapat Damien rasakan gemetar tang
Beberapa hari berjalan dengan damai. Damien menjaga Delena dan si kembar lebih ketat agar terhindar dari setiap hal yang berbau keluarga Escalante. "Sayang, hari ini apa kau sibuk?" tanya Dalena menatap Damien. Laki-laki itu menatapnya sekilas. "Tidak, semua meeting sudah aku serahkan pada Thom dan Felix. Kenapa?" Dalena duduk di samping Damien dan tersenyum tipis. "Eummm itu, temanku dari London hari ini akan datang ke sini. Dia memintaku untuk kembali bekerja dengannya di sini," ujar wanita itu. "Bekerja?" Damien menaikkan satua alisnya. "Pekerjaan apa memangnya?" Dari nada suaranya, Dalena tahu kalau laki-laki ini tidak setuju. "Aku sudah lama mendalami dunia desain busana, jadi aku ingin melanjutkan karirku di sana. Kebetulan tadi dia menghubungiku dan-""Tidak usah," sela Damien masih dengan laptop yang dia pangku.Bibir Dalena mencebik, meskipun ia sebenarnya sudah tahu kalau laki-laki ini melarangnya. "Heemmm... Kau ini," cicit Dalena duduk bersandar dengan wajah muram.
'Damien pasti malu. Kenapa aku kembali ragu setelah kejadian ini? Aku benci situasi ini.' Dalena diam duduk di tepi ranjang kedinginan setelah ia membersihkan tubuhnya sepulang dari makan malamnya yang kacau. Wanita muda itu terpukul berat mengingat makian kejam yang dilayangkan oleh Sevia untuknya. Pintu kamar terbuka, Damien baru saja meminta si kembar untuk beristirahat dan kini ia masuk ke dalam kamarnya. "Dalena..." Laki-laki itu berucap tanpa suara saat melihat Dalena duduk termenung, dia pasti sangat sedih. Damien berjalan mendekat, laki-laki itu meraih handuk kecil kering yang lembut. Ia mengusap rambut Delana yang basah dengan perlahan-lahan. Wanita itu mendongak menatapnya dengan tatapan dingin, namun mata indahnya yang sipit berkaca-kaca. "Aku harus bagaimana?" lirih Dalena mencengkeram kemeja putih yang Damien pakai. "Kau pasti malu karena kejadian tadi, kan?""Tidak Sayang. Jangan menangis," bisik Damien meraih sisir dan menyisir rambut panjang Delana. Tak tahan d
Dalena pergi ke sebuah super market seorang diri di siang ini. Setelah pagi tadi Delana tidak bisa pergi ke mana-mana karena kedatangan Kelvan, calon Papa mertuanya. Kini Delana baru saja keluar dari tempat perbelanjaan tersebut. Dalena menuju halte untuk menjegat taksi. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti didepannya. "Hem, siapa?" gumam Dalena menyipitkan kedua matanya. Jendela kaca mobil itu turun, dan nampak seorang laki-laki yang amat Dalena kenali kini melambaikan tangannya. "Ya ampun, Zarch!" pekik Dalena langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. Laki-laki tampan berambut blonde itu langsung turun dari mobilnya. Dia tertawa seneng bertemu kembali dengan Dalena. "Zarch! Ya ampun... Kita bertemu lagi!" pekik Dalena memeluk laki-laki itu. "Wah wah... Kau betah ternyata di sini sampai tidak mau kembali ke London, hah?! Kau pergi katanya hanya tiga bulan! Pekerjaan menumpuk sampai aku kesulitan mencari penggantimu di perusahaanku, Dalena!" Laki-laki itu