Dalena pergi ke sebuah super market seorang diri di siang ini. Setelah pagi tadi Delana tidak bisa pergi ke mana-mana karena kedatangan Kelvan, calon Papa mertuanya. Kini Delana baru saja keluar dari tempat perbelanjaan tersebut. Dalena menuju halte untuk menjegat taksi. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti didepannya. "Hem, siapa?" gumam Dalena menyipitkan kedua matanya. Jendela kaca mobil itu turun, dan nampak seorang laki-laki yang amat Dalena kenali kini melambaikan tangannya. "Ya ampun, Zarch!" pekik Dalena langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. Laki-laki tampan berambut blonde itu langsung turun dari mobilnya. Dia tertawa seneng bertemu kembali dengan Dalena. "Zarch! Ya ampun... Kita bertemu lagi!" pekik Dalena memeluk laki-laki itu. "Wah wah... Kau betah ternyata di sini sampai tidak mau kembali ke London, hah?! Kau pergi katanya hanya tiga bulan! Pekerjaan menumpuk sampai aku kesulitan mencari penggantimu di perusahaanku, Dalena!" Laki-laki itu
Damien malam ini tidak bisa tidur dengan tenang, ingatannya terus memburu tentang laki-laki bernama Zarch yang ternyata dekat dengan Dalena selama di London. Ia duduk di ruang keluarga di lantai dua, ditemani oleh cerutunya yang menyala. Pikiran Damien menjadi cemas, bagaimana kalau laki-laki itu datang mengambil Dalena darinya!"Ck! Apa yang aku pikirkan!" umpat laki-laki itu kesal. Damien tidak tahu kalau Dalena kini berdiri di belakangnya. Wanita itu terbangun saat tidak mendapati Damien di sampingnya. "Kenapa di sini? Aku mencarimu, tahu..." Suara Dalena membuat Damien mendongakkan kepalanya menatap wanita cantik yang kini tersenyum padanya. "Aku tidak bisa tidur," jawab Damien menarik lengan Dalena untuk mendekat. Wanita itu duduk di sampingnya dengan kedua tangan memeluk Damien. Sesekali Damien memberikan kecupan di pucuk kepala Dalena. "Sayang, apa Zarch menyukaimu?" tanya Damien tiba-tiba. "Zarch?" Dalena mendongak menatap kekasihnya tersebut. "Ya. Laki-laki yang menj
"Dad... Raccel cantik tidak? Gaunnya bagus sekali!" Suara Raccel membuat Damien menoleh, putri kecilnya mencoba dress berwarna putih dengan rok membentuk seperti kelopak bunga. Anak itu berputar-putar kesenangan, dibelakangnya ada Cassel yang berdiri membawakan baju milik Raccel. Cassel sendiri sudah mencoba tuxedo hitam ukuran kecil miliknya. "Cantik sekali, Princess," sanjung Damien pada putri kecilnya. "Coba tanya Kakakmu..." Dengan wajah berseri-seri, Raccel menatap Cassel. "Raccel cantik tidak, Cassel?" "Tidak," jawab Cassel dengan wajah datar. Bibir Raccel langsung cemberut seketika. "Daddy! Cassel bilang princess tidak cantik!" teriak Raccel heboh. Damien menoleh pada mereka berdua yang saling bermusuhan. Sampai tiba-tiba Dalena muncul, wanita itu menatap Damien yang sejak tadi menunggunya. Ekspresi laki-laki itu sedikit terkejut, Dalena memilih gaun pengantin yang sangat sederhana. Hanya gaun berwarna putih tanpa hiasan apapun, berlengan panjang tertutup dengan rok p
"Kabar yang beredar, kau akan menikah dengan putraku dalam waktu-waktu dekat ini, Dalena?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Lora sembari duduk menyilangkan kakinya menatap Dalena. Wanita licik ini datang setelah Damien berangkat ke kantor. Namun nada bicara yang Lora lontarkan, tidak menunjukkan kemarahan sama sekali, santai, tenang, dan tetap dengan ekspresi dingin."Iya Nyonya," jawab Dalena singkat dan gugup. Lora menyergah napasnya kasar. Ia tidak menduga kalau Damien sungguh-sungguh menentangnya demi wanita ini. "Aku akui kau hebat bisa mendapatkan Damien. Putraku sampai mengkhianati keluarganya sendiri hanya karena dirimu. Bahkan aku dan suamiku tidak punya pilihan lain selain merestui pernikahan konyol kalian nanti." Dalena semakin tertunduk, ia begitu takut saat menghadapi Lora. Berapa rendahnya dia dipandang oleh Nyonya besar Escalante. "Kapan pernikahan kalian diadakan?" tanya Lora lagi. "Saya tidak tahu. Damien yang mengatur semuanya, saya... Saya sudah sempat per
Saat Dalena terbangun, wanita itu melihat sosok Damien yang duduk di sebuah kursi tunggal di samping ranjang. "Damien..." Suara Dalena membuat Damien melangkah mendekat. Ia mencekal kedua lengan Dalena dan melarangnya untuk bangun. "Tetaplah berbaring," bisiknya dengan lembut. "Aku tadi pusing, tidak terasa sama sekali kalau aku sampai pingsan seperti ini, pasti aku sangat merepotkanmu, ya?" Dalena bersikukuh untuk duduk, ia berhadapan dengan Damien yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dokter memintamu untuk banyak istirahat dan tidak jangan banyak berpikir yang berat-berat," ujar Damien menggenggam satu tangan Dalena. "Heem," jawab wanita itu mengangguk. Ekspresi yang murung, lelah, dan sedih membuat Damien ikut merasakan beban berat di pundak Dalena. Termasuk, keluarga Escalante yang sangat keji dan licik. "Sayang," panggil Damien lirih. "Hem?" "Siapa yang memberikan cek ini padamu? Dari mana kau dapatkan cek dari bank milik keluarga Escalante?" tany
Hari sudah gelap, Dalena tidak bisa tidur malam ini. Tak biasanya ia insomnia bahkan saat Damien sudah benar-benar terlelap. Dalena beranjak duduk dan berjalan mendekati meja riasnya. Wanita itu membuka laci dan mengambil sebuah botol obat di sana, ekor matanya melirik Damien dan memastikan kalau laki-laki itu tidak terbangun. "Mungkin ini bisa mengurangi sakit kepalaku, semakin hari semakin sering sakit saja. Padahal dulu-dulu tidak sesering ini..." Dalena menggerutu lirih seraya membuka pintu dan berjalan keluar.Setelah ia pergi, Damien membuka kedua matanya. Laki-laki itu ikut beranjak dari duduknya dan berjalan keluar dari dalam kamar mengikuti Dalena di dapur. Dari ujung bawah anak tangga Damien melihat Dalena meminum obat, lagi setelah sore tadi dia juga sembunyi-sembunyi meminum obatnya. 'Apa yang terjadi dengannya?' batin Damien cemas. Dalena membalikkan badannya, wanita itu terkejut saat melihat Damien berdiri di tempatnya. "Sedang apa?" tanya Damien mendekat. "Tidak
Setelah mengantarkan Dalena ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kesehatannya, kini Damien kembali pulang. Pria itu duduk di ruangan kerjanya bersama beberapa orang pentingnya, mereka tengah berkumpul di sana, tak luput juga dengan si kembar yang diasuhnya saat ini karena Dalena harus beristirahat. "Bagaimana dengan proyek yang ada di Madrid? Aku rasa harus selesai dalam tahun ini, semakin cepat semakin baik!" Damien menatap Tuan Lore yang diam mengangguk. "Saya sudah membahas ini Tuan, dan semuanya akan berjalan seperti yang sudah kita semua rencanakan." "Baguslah, aku juga menginginkan hal ini sejak dulu." Damien mengangguk dan kembali membuka berkasnya. Dua rekan Damien lainnya asik mengejek dan berbicang dengan si kembar. Anak-anak yang pintar dan manis. "Ngomong-ngomong kenapa si kembar ada di sini? Di mana Mamanya?" tanya Robert menatap Damien. "Dalena sedang tidak enak badan. Jadi aku yang akan menjaga mereka hari ini, lagipula anak-anakku adalah anak yang pintar, dia t
Damien masuk ke dalam kamarnya yang tumben gelap. Ia memperhatikan Dalena yang berbaring di atas ranjang menatap ke jendela, diam memperhatikan salju yang turun.Seharian ia sibuk, ingin rasanya Damien menghabiskan malamnya dengan Dalena sebentar saja. "Kenapa belum tidur, Sayang?" tanya Damien mengecup pipi Dalena. "Aku tidak mengantuk sama sekali," jawab wanita itu mengeratkan selimutnya. "Oh ya? Mungkinkah kau menunggu aku memelukmu?" Damien mengecupi wajah Dalena. Namun ia merasa sesuatu yang janggal tengah terjadi. Dalena berusaha memalingkan muka saat Damien mengecupnya. Laki-laki itu terdiam sejenak dan memeluk Dalena dengan erat. Mengetahui kalau wanita ini sedang buruk suasana hatinya. "Kenapa? Apa kau marah denganku?" tanya Damien menatap wajah cantik Dalena dari samping. Jemarinya menyilakkan anak rambut panjang Dalena. "Maaf seharian ini aku tidak bisa memperhatikanmu," imbuhnya. Dalena menggeleng kecil dan menarik selimutnya tinggi-tinggi. Perasaan tak nyaman dir
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris