"Kembar hari ini ke sekolah dengan Paman Thom ya, Mami mau ikut Papi." Seruan itu Delana ucapkan bersamaan dirinya memasukkan bekal ke dalam tas kedua anaknya. Si kembar nampak cemberut, mereka berdua baru saja berhenti menangis. Keduanya marah tidak mau sekolah, ingin di rumah saja menonton kartun. "Kita tidak mau sekolah, Mami! Besok kan libur, jadi tanggung kalau kita sekolah hari ini," seru Cassel, ada saja alasannya. "Raccel setuju sama Kakak Cassel! Di luar kan sedang dingin, Mom... Nanti kalau kita kedinginan, terus kita beku, sakit, nanti Mommy yang susah." Raccel pun ikut beralasan. Dalena menghela napasnya panjang. Memang hari ini mereka hanya sekolah selama dua jam saja, mulai besok pun mereka akan libur. "Mommy... Please, kita mau bolos." Raccel cemberut."Tapi hari ini Mommy mau pergi sama Papi, Sayang." Dalena mendekati mereka. "Mami tidak usah khawatir, kan ada Paman Thom yang selalu setia menjaga kita. Iya kan, Paman!" Cassel menoleh pada Thom yang langsung meng
Dalena tak percaya Damien membawanya ke rumah di mana dulu Dalena menghabiskan masa kecilnya hingga dewasa di sana, rumah yang masa kecilnya menjadi surga, sebelum berubah menjadi neraka saat kedua orang tuanya tiada. Wanita itu hanya diam saja menunduk menatap salju dan meremas mantelnya dengan perasaan teramat sedih. "Sayang, ayo masuk ke dalam," akak Damien merangkul pundak Damien. Dalena melepaskan tangan Damien dan ia tetep tertunduk dengan ekspresi sedih. "Apa mereka ada di sini? Aku tidak siap bertemu mereka," ujar Dalena masih di posisi semula. Dalena pasti takut, Damien memahami isi hati wanitanya tersebut. "Dalena, mereka tidak akan berani menyakitimu bila ada aku yang datang bersamamu." Damien tersenyum mengecup punggung tangan Dalena. Mau tidak mau mereka berdua kini berjalan menuju teras luas rumah tersebut. Ingatan-ingatan mengerikan berteriak di kepala Delana sebagaimana dia diperlakukan seperti anjing hina di rumahnya sendiri. Dapat Damien rasakan gemetar tang
Beberapa hari berjalan dengan damai. Damien menjaga Delena dan si kembar lebih ketat agar terhindar dari setiap hal yang berbau keluarga Escalante. "Sayang, hari ini apa kau sibuk?" tanya Dalena menatap Damien. Laki-laki itu menatapnya sekilas. "Tidak, semua meeting sudah aku serahkan pada Thom dan Felix. Kenapa?" Dalena duduk di samping Damien dan tersenyum tipis. "Eummm itu, temanku dari London hari ini akan datang ke sini. Dia memintaku untuk kembali bekerja dengannya di sini," ujar wanita itu. "Bekerja?" Damien menaikkan satua alisnya. "Pekerjaan apa memangnya?" Dari nada suaranya, Dalena tahu kalau laki-laki ini tidak setuju. "Aku sudah lama mendalami dunia desain busana, jadi aku ingin melanjutkan karirku di sana. Kebetulan tadi dia menghubungiku dan-""Tidak usah," sela Damien masih dengan laptop yang dia pangku.Bibir Dalena mencebik, meskipun ia sebenarnya sudah tahu kalau laki-laki ini melarangnya. "Heemmm... Kau ini," cicit Dalena duduk bersandar dengan wajah muram.
'Damien pasti malu. Kenapa aku kembali ragu setelah kejadian ini? Aku benci situasi ini.' Dalena diam duduk di tepi ranjang kedinginan setelah ia membersihkan tubuhnya sepulang dari makan malamnya yang kacau. Wanita muda itu terpukul berat mengingat makian kejam yang dilayangkan oleh Sevia untuknya. Pintu kamar terbuka, Damien baru saja meminta si kembar untuk beristirahat dan kini ia masuk ke dalam kamarnya. "Dalena..." Laki-laki itu berucap tanpa suara saat melihat Dalena duduk termenung, dia pasti sangat sedih. Damien berjalan mendekat, laki-laki itu meraih handuk kecil kering yang lembut. Ia mengusap rambut Delana yang basah dengan perlahan-lahan. Wanita itu mendongak menatapnya dengan tatapan dingin, namun mata indahnya yang sipit berkaca-kaca. "Aku harus bagaimana?" lirih Dalena mencengkeram kemeja putih yang Damien pakai. "Kau pasti malu karena kejadian tadi, kan?""Tidak Sayang. Jangan menangis," bisik Damien meraih sisir dan menyisir rambut panjang Delana. Tak tahan d
Dalena pergi ke sebuah super market seorang diri di siang ini. Setelah pagi tadi Delana tidak bisa pergi ke mana-mana karena kedatangan Kelvan, calon Papa mertuanya. Kini Delana baru saja keluar dari tempat perbelanjaan tersebut. Dalena menuju halte untuk menjegat taksi. Sampai tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti didepannya. "Hem, siapa?" gumam Dalena menyipitkan kedua matanya. Jendela kaca mobil itu turun, dan nampak seorang laki-laki yang amat Dalena kenali kini melambaikan tangannya. "Ya ampun, Zarch!" pekik Dalena langsung berdiri dari duduknya saat itu juga. Laki-laki tampan berambut blonde itu langsung turun dari mobilnya. Dia tertawa seneng bertemu kembali dengan Dalena. "Zarch! Ya ampun... Kita bertemu lagi!" pekik Dalena memeluk laki-laki itu. "Wah wah... Kau betah ternyata di sini sampai tidak mau kembali ke London, hah?! Kau pergi katanya hanya tiga bulan! Pekerjaan menumpuk sampai aku kesulitan mencari penggantimu di perusahaanku, Dalena!" Laki-laki itu
Damien malam ini tidak bisa tidur dengan tenang, ingatannya terus memburu tentang laki-laki bernama Zarch yang ternyata dekat dengan Dalena selama di London. Ia duduk di ruang keluarga di lantai dua, ditemani oleh cerutunya yang menyala. Pikiran Damien menjadi cemas, bagaimana kalau laki-laki itu datang mengambil Dalena darinya!"Ck! Apa yang aku pikirkan!" umpat laki-laki itu kesal. Damien tidak tahu kalau Dalena kini berdiri di belakangnya. Wanita itu terbangun saat tidak mendapati Damien di sampingnya. "Kenapa di sini? Aku mencarimu, tahu..." Suara Dalena membuat Damien mendongakkan kepalanya menatap wanita cantik yang kini tersenyum padanya. "Aku tidak bisa tidur," jawab Damien menarik lengan Dalena untuk mendekat. Wanita itu duduk di sampingnya dengan kedua tangan memeluk Damien. Sesekali Damien memberikan kecupan di pucuk kepala Dalena. "Sayang, apa Zarch menyukaimu?" tanya Damien tiba-tiba. "Zarch?" Dalena mendongak menatap kekasihnya tersebut. "Ya. Laki-laki yang menj
"Dad... Raccel cantik tidak? Gaunnya bagus sekali!" Suara Raccel membuat Damien menoleh, putri kecilnya mencoba dress berwarna putih dengan rok membentuk seperti kelopak bunga. Anak itu berputar-putar kesenangan, dibelakangnya ada Cassel yang berdiri membawakan baju milik Raccel. Cassel sendiri sudah mencoba tuxedo hitam ukuran kecil miliknya. "Cantik sekali, Princess," sanjung Damien pada putri kecilnya. "Coba tanya Kakakmu..." Dengan wajah berseri-seri, Raccel menatap Cassel. "Raccel cantik tidak, Cassel?" "Tidak," jawab Cassel dengan wajah datar. Bibir Raccel langsung cemberut seketika. "Daddy! Cassel bilang princess tidak cantik!" teriak Raccel heboh. Damien menoleh pada mereka berdua yang saling bermusuhan. Sampai tiba-tiba Dalena muncul, wanita itu menatap Damien yang sejak tadi menunggunya. Ekspresi laki-laki itu sedikit terkejut, Dalena memilih gaun pengantin yang sangat sederhana. Hanya gaun berwarna putih tanpa hiasan apapun, berlengan panjang tertutup dengan rok p
"Kabar yang beredar, kau akan menikah dengan putraku dalam waktu-waktu dekat ini, Dalena?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Lora sembari duduk menyilangkan kakinya menatap Dalena. Wanita licik ini datang setelah Damien berangkat ke kantor. Namun nada bicara yang Lora lontarkan, tidak menunjukkan kemarahan sama sekali, santai, tenang, dan tetap dengan ekspresi dingin."Iya Nyonya," jawab Dalena singkat dan gugup. Lora menyergah napasnya kasar. Ia tidak menduga kalau Damien sungguh-sungguh menentangnya demi wanita ini. "Aku akui kau hebat bisa mendapatkan Damien. Putraku sampai mengkhianati keluarganya sendiri hanya karena dirimu. Bahkan aku dan suamiku tidak punya pilihan lain selain merestui pernikahan konyol kalian nanti." Dalena semakin tertunduk, ia begitu takut saat menghadapi Lora. Berapa rendahnya dia dipandang oleh Nyonya besar Escalante. "Kapan pernikahan kalian diadakan?" tanya Lora lagi. "Saya tidak tahu. Damien yang mengatur semuanya, saya... Saya sudah sempat per