Keesokan harinya, Elsa kembali bekerja. Gadis itu memaksa tubuhnya yang sakit untuk melanjutkan pekerjaannya. Karena kondisinya yang buruk, Elsa hanya mengantarkan beberapa bunga saja di tempat-tempat yang memesan padanya. Salah satunya di kantor milik Damien. Elsa baru saja meletakkan bouquet bunga berukuran besar di meja depan, dan berbincang sebentar dengan karyawan perusahaan itu. Sebelum dia melihat Damien masuk ke dalam kantornya tersebut. "Loh, Elsa ... sedang apa kau di sini, Nak?" tanya Damien menatapnya lekat-lekat. "Itu Om, saya mengantarkan pesanan bunga," jawab Elsa dengan wajahnya yang benar pucat dan matanya yang sayu. Kening Damien mengerut saat melihat ekspresi Elsa yang nampak sangat kelelahan. "Elsa, kau tidak papa, Nak?" tanya laki-laki itu sekali lagi. "Kenapa kau pucat sekali?" "Tidak papa kok, Om. Hanya tidak enak badan saja," jawab gadis itu. Damien mendekatinya. "Biar pulang diantar oleh ajudan Om saja, ya? Kau sangat pucat, kalau pulang berjalan kaki,
Setelah tadi Cassel dan Luna ribut di depan Elsa, kini Cassel justru merasa kepikiran dengan Elsa. Entah kenapa wajah dan senyumannya tidak selaras dengan perasaan yang sejujurnya dia rasakan. Hal ini membuat Cassel merasa bersalah pada Elsa, bagaimanapun juga Elsa adalah gadis yang akan dia nikahi beberapa hari lagi. "Padahal aku dan Luna tidak ada hubungan istimewa apapun ... tapi kenapa Luna sampai seperti itu? Apa karena aku selalu perhatian padanya? Aku sempat sejatuh cinta itu padanya..." Cassel mengusap wajahnya dan mendengus kesal. Laki-laki itu duduk bersandar dan mendongakkan kepalanya dengan kedua mata terpejam di dalam ruangan tunggu operasi. Sampai ia mendengar pintu ruangannya terketuk. Di sana, muncul Jonas yang berdiri di ambang pintu. Cassel menatapnya dengan kedua alis terangkat. "Kekasihmu memarahi adiknya," ujar Jonas dengan wajah lelah. Cassel langsung memasang wajah serius. "Apa maksudmu?" "Di depan ruanganmu, ramai sekali. Luna ternyata tidak sebaik yang
Kondisi Elsa sudah lebih baik hari ini. Gadis itu juga sudah boleh pulang, ditemani oleh Jonas yang baru saja melepaskan infusnya, Elsa berjalan keluar dari dalam kamar rawat inapnya seorang diri. Jonas memperhatikan gadis cantik itu. "Kepalamu masih pusing? Kenapa langkahmu terlihat berat begitu?" tanya Jonas memegangi pundak Elsa. "Sedikit, seperti berputar-putar," ujar Elsa. "Astaga ... kau ini kenapa ngotot meminta pulang?" Jonas merangkulnya dan meminta Elsa duduk. Setelah Elsa duduk, Jonas menatapnya lekat-lekat. Tensi darah Elsa sangat rendah, pantaslah dia seperti ini. Namun Jonas sudah memberikan obat yang bisa Elsa minum setiap harinya. "El, aku antarkan kau pulang ya ... jangan pulang dalam keadaan seperti ini," bujuk Jonas. "Aku bisa pulang naik taksi, dok." Elsa memegang tasnya. "Tapi kepalamu masih pusing, kan? Ayo ... aku antarkan saja," bujuk Jonas, dia merasa kasihan pada Elsa. Mau tidak mau, Elsa beranjak dari duduknya saat itu juga. Mereka berjalan berdua
Hari ini Cassel dan Elsa pergi bersama untuk memilih baju pengantin. Sepanjang perjalanan, Elsa hanya diam dan mereka tidak membuka percakapan apapun.Cassel sendiri merasa canggung, entah apa yang terjadi pada dirinya hingga mati gaya saat bersama Elsa. Namun tiba-tiba Elsa menatap Cassel. "Emm ... Cassel, setelah acara memilih baju nanti, apa kau ada waktu sebentar?" tanya Elsa menatap calon suaminya itu. "Ada, kenapa?" tanya Cassel."Itu, aku ingin berbincang berdua saja denganmu, apa boleh?" wajah Elsa terlihat ragu-ragu. Cassel pun mengangguk. "Boleh. Tentukan saja tempat yang kau sukai," ujar Cassel."Heem, iya..." Elsa tersenyum manis, gadis itu menatap ke arah luar sebelum dia kembali menatap Cassel. "Pasti kau sengaja meluangkan waktu untuk cuti satu hari ini, ya?" tanya gadis itu tiba-tiba. "Apa kau punya acara lain, selain pergi denganku saat ini?" Cassel menoleh dan dia ikut tersenyum begitu Elsa menanyakan hal yang bersifat pribadi untuk Cassel."Tidak ada. Rencana
Setelah kembali dari membeli beberapa bahan kue. Cassel dan Elsa kembali ke toko bunga, untuk sementara Elsa menutup tokonya hari ini. Mereka berdua pun langsung ke belakang membawa beberapa belanjaannya. Untuk kali pertama Cassel melihat seisi rumah Elsa yang didominasi warna putih dan merah muda. "Ditaruh di sini saja, Cassel. Biar aku siapkan bahan-bahan lainnya dulu ya," ujar gadis itu membuka sebuah lemari. "Kau bisa duduk dan beristirahat saja, sambil menunggu aku membuat kuenya." "Oh, tidak. Aku ingin membantumu," jawab Cassel. Elsa mengerjapkan kedua matanya ragu-ragu, namun pada akhirnya gadis itu tersenyum dan mengangguk setuju. "Baiklah." Setelah itu, Elsa langsung bersiap membuat kue dan Cassel berdiri di sampingnya. Sesekali Elsa bertanya ini dan itu pada Cassel. Meskipun nanti mereka menikah tanpa ada cinta dan kasih sayang di dalamnya, namun Elsa sangat ingin dekat dengan Cassel, setidaknya sebagai teman atau seseorang yang bisa dia lihat dan dia ajak bicara sepe
"Tidak boleh pulang, Gissele mau ikut Ayah..! Tidak boleh pergi, huwaa ... Gissele mau ikut Ayah!" Teriakan penuh tangisan dari anak perempuan berusia tiga setengah tahun itu terdengar sangat keras. Sekeras apapun, Gissele tidak mau memanggil Cassel dengan panggilan Kakak, dia memanggilnya Ayah, karena laki-laki yang pertama kali menggendongnya adalah Cassel, hingga anak itu menganggap Cassel sebagai Ayahnya. Gissele menangis saat Cassel dan Elsa berpamitan pulang, semua anak-anak di sana memasang wajah sedih. Terutama Gissele, entah kenapa Cassel menjadi tidak tega dengan tangisan anak itu. "Ayahhh...!" teriak anak itu. Gissele melorot dari gendongan pengasuhnya, anak itu berlari ke arah Cassel yang hendak masuk ke dalam mobil. Dia memeluk kaki Cassel dengan sangat erat masih dengan tangisannya yang meraung-raung. "Huwaa ... Ayah jangan pulang, tidak boleh! Gissele mau ikut!" seru anak itu mengulurkan tangannya tangannya. "Gissele, Kakak mau pulang, Nak. Besok Kakak ke sini la
Cassel dan Elsa sampai di panti asuhan lebih dulu. Mereka berdua ditunggu di teras depan oleh Gissele yang masih menangis, anak kecil itu berdiri memegangi pagar teras dengan wajahnya yang sembab. Begitu Elsa dan Cassel keluar dari dalam mobil, Gissele langsung mengeraskan suara tangisannya. Dia berlari mendekati Cassel dan mengulurkan tangannya. "Aaaa ... kenapa Gissele ditinggal, Ayah?!" pekik anak itu menangis. "Ya ampun, Gissele..." Elsa mengusap punggung kecil anak itu. Hingga tak lama kemudian mobil berwarna hitam milik Damien dan Dalena tiba di sana. Madame Felicia dan Lilia menatap ke arah mereka berdua. Untuk kali pertama mereka melihat secara langsung sosok Tuan Damien Escalante, seorang dermawan yang memberikan bantuan pembangunan panti asuhan ini. "Selamat malam, Tuan dan Nyonya," sapa mereka menundukkan kepalanya memberi hormat. "Selamat malam juga," balas Dalena tersenyum, begitu pun Damien. Dalena menoleh pada Cassel dan Elsa bersama dengan anak kecil perempuan
Cassel membawa Elsa pulang ke rumahnya. Mereka juga datang bersama Gissele yang kini nampak takut. Saat Elsa mengajaknya masuk, anak perempuan bertubuh mungil dan kecil itu mendongak menatap seisi rumah Damien yang megah seperti istana. "Gissele suka rumahnya?" tanya Cassel menatap putri kecilnya. "Suka. Seperti rumahnya Princess di TV, Papa..." Anak itu langsung meminta turun. Di sana, Gissele melihat Dalena dan Damien menyambutnya. "Oma ... Opa!" pekik anak itu berlari ke arahnya. Damien menatap lekat pada Cassel yang tertawa pelan. Tentu saja Cassel yang mengajarinya memanggil dengan sebutan itu. Namun kenyataannya, Damien tidak marah. Dia malah menggendong Gissele dan mengecupi pipi anak kecil yang kini menjadi cucunya. "Sepertinya kita perlu pamer pada Raccel, biar besok pagi dia kehebohan!" seru Cassel. Laki-laki itu duduk di sofa mengambil ponselnya. "Sayang, sini..." Cassel melambaikan tangannya pada Gissele. Anak itu mendekatinya, sementara Elsa masih ke belakang m