Beberapa hari kemudian..Elsa sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya di toko bunga, gadis itu baru saja kembali mengantarkan beberapa pesanan bunga yang dipesan oleh beberapa orang. Dan toko pun kembali dibuka oleh Elsa, dia membersihkan meja dan beberapa pot bunga yang sedikit kotor. Hingga perhatian gadis itu teralihkan saat mendengar lonceng pintu berbunyi saat pintu kaca toko terbuka. Elsa terkesiap saat yang muncul di balik pintu itu adalah Dalena. "Tante Dalena..." Elsa gegas membukakan pintu. Gadis itu tersenyum manis menyambutnya. "Silakan masuk, Tante ... maaf tempatnya masih berantakan," ujar Elsa. "Tidak papa, Sayang. Memangnya Elsa baru membuka toko, ya?" tanya Dalena sembari duduk di sebuah sofa berwarna merah muda di dalam ruangan itu. "Sebenarnya sudah buka dari tadi, Tan. Cuma banyak sekali pesanan bunga hari ini, jadi Elsa memilih mengantarkannya lebih dulu, Tante..." Wajah Dalena menjadi semakin melembut, wanita itu meraih tangan Elsa dan menggenggamnya denga
Cassel merasa tidak enak hati dan kepikiran setelah panggilannya dimatikan begitu saja oleh Elsa. Laki-laki itu menyahut kunci mobilnya di atas meja cafe, hal itu membuat Luna dan satu teman laki-lakinya langsung menatap ke arah Cassel."Loh, mau ke mana?" tanya Jonas menaikkan kedua alisnya."Ada urusan penting," jawab Cassel."Urusan apa? Tadi kan kau bilang sudah tidak ada urusan lagi," ujar Luna menahan lengan Cassel.Cassel mengabaikannya. "Tidak Lun, kau nanti pulang dengan Jonas, okay?" "Tapi Cassel—"Upaya Luna menahan Cassel pun terhenti, laki-laki itu tetap kuekeh pergi dari sana dan meninggalkan Luna bersama dengan Jonas. Sementara Cassel langsung berlari ke arah mobilnya di parkiran. Rasa tidak tenang menyerang hatinya, dia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. "Apa dia sudah pergi?" gumam Cassel bertanya-tanya entah pada siapa. "Sial! Kenapa jadi begini, sih?!" Laki-laki dengan balutan kemeja biru langit itu mengumpat berkali-kali menyesali apa yang telah dia la
Keesokan harinya, Elsa kembali bekerja. Gadis itu memaksa tubuhnya yang sakit untuk melanjutkan pekerjaannya. Karena kondisinya yang buruk, Elsa hanya mengantarkan beberapa bunga saja di tempat-tempat yang memesan padanya. Salah satunya di kantor milik Damien. Elsa baru saja meletakkan bouquet bunga berukuran besar di meja depan, dan berbincang sebentar dengan karyawan perusahaan itu. Sebelum dia melihat Damien masuk ke dalam kantornya tersebut. "Loh, Elsa ... sedang apa kau di sini, Nak?" tanya Damien menatapnya lekat-lekat. "Itu Om, saya mengantarkan pesanan bunga," jawab Elsa dengan wajahnya yang benar pucat dan matanya yang sayu. Kening Damien mengerut saat melihat ekspresi Elsa yang nampak sangat kelelahan. "Elsa, kau tidak papa, Nak?" tanya laki-laki itu sekali lagi. "Kenapa kau pucat sekali?" "Tidak papa kok, Om. Hanya tidak enak badan saja," jawab gadis itu. Damien mendekatinya. "Biar pulang diantar oleh ajudan Om saja, ya? Kau sangat pucat, kalau pulang berjalan kaki,
Setelah tadi Cassel dan Luna ribut di depan Elsa, kini Cassel justru merasa kepikiran dengan Elsa. Entah kenapa wajah dan senyumannya tidak selaras dengan perasaan yang sejujurnya dia rasakan. Hal ini membuat Cassel merasa bersalah pada Elsa, bagaimanapun juga Elsa adalah gadis yang akan dia nikahi beberapa hari lagi. "Padahal aku dan Luna tidak ada hubungan istimewa apapun ... tapi kenapa Luna sampai seperti itu? Apa karena aku selalu perhatian padanya? Aku sempat sejatuh cinta itu padanya..." Cassel mengusap wajahnya dan mendengus kesal. Laki-laki itu duduk bersandar dan mendongakkan kepalanya dengan kedua mata terpejam di dalam ruangan tunggu operasi. Sampai ia mendengar pintu ruangannya terketuk. Di sana, muncul Jonas yang berdiri di ambang pintu. Cassel menatapnya dengan kedua alis terangkat. "Kekasihmu memarahi adiknya," ujar Jonas dengan wajah lelah. Cassel langsung memasang wajah serius. "Apa maksudmu?" "Di depan ruanganmu, ramai sekali. Luna ternyata tidak sebaik yang
Kondisi Elsa sudah lebih baik hari ini. Gadis itu juga sudah boleh pulang, ditemani oleh Jonas yang baru saja melepaskan infusnya, Elsa berjalan keluar dari dalam kamar rawat inapnya seorang diri. Jonas memperhatikan gadis cantik itu. "Kepalamu masih pusing? Kenapa langkahmu terlihat berat begitu?" tanya Jonas memegangi pundak Elsa. "Sedikit, seperti berputar-putar," ujar Elsa. "Astaga ... kau ini kenapa ngotot meminta pulang?" Jonas merangkulnya dan meminta Elsa duduk. Setelah Elsa duduk, Jonas menatapnya lekat-lekat. Tensi darah Elsa sangat rendah, pantaslah dia seperti ini. Namun Jonas sudah memberikan obat yang bisa Elsa minum setiap harinya. "El, aku antarkan kau pulang ya ... jangan pulang dalam keadaan seperti ini," bujuk Jonas. "Aku bisa pulang naik taksi, dok." Elsa memegang tasnya. "Tapi kepalamu masih pusing, kan? Ayo ... aku antarkan saja," bujuk Jonas, dia merasa kasihan pada Elsa. Mau tidak mau, Elsa beranjak dari duduknya saat itu juga. Mereka berjalan berdua
Hari ini Cassel dan Elsa pergi bersama untuk memilih baju pengantin. Sepanjang perjalanan, Elsa hanya diam dan mereka tidak membuka percakapan apapun.Cassel sendiri merasa canggung, entah apa yang terjadi pada dirinya hingga mati gaya saat bersama Elsa. Namun tiba-tiba Elsa menatap Cassel. "Emm ... Cassel, setelah acara memilih baju nanti, apa kau ada waktu sebentar?" tanya Elsa menatap calon suaminya itu. "Ada, kenapa?" tanya Cassel."Itu, aku ingin berbincang berdua saja denganmu, apa boleh?" wajah Elsa terlihat ragu-ragu. Cassel pun mengangguk. "Boleh. Tentukan saja tempat yang kau sukai," ujar Cassel."Heem, iya..." Elsa tersenyum manis, gadis itu menatap ke arah luar sebelum dia kembali menatap Cassel. "Pasti kau sengaja meluangkan waktu untuk cuti satu hari ini, ya?" tanya gadis itu tiba-tiba. "Apa kau punya acara lain, selain pergi denganku saat ini?" Cassel menoleh dan dia ikut tersenyum begitu Elsa menanyakan hal yang bersifat pribadi untuk Cassel."Tidak ada. Rencana
Setelah kembali dari membeli beberapa bahan kue. Cassel dan Elsa kembali ke toko bunga, untuk sementara Elsa menutup tokonya hari ini. Mereka berdua pun langsung ke belakang membawa beberapa belanjaannya. Untuk kali pertama Cassel melihat seisi rumah Elsa yang didominasi warna putih dan merah muda. "Ditaruh di sini saja, Cassel. Biar aku siapkan bahan-bahan lainnya dulu ya," ujar gadis itu membuka sebuah lemari. "Kau bisa duduk dan beristirahat saja, sambil menunggu aku membuat kuenya." "Oh, tidak. Aku ingin membantumu," jawab Cassel. Elsa mengerjapkan kedua matanya ragu-ragu, namun pada akhirnya gadis itu tersenyum dan mengangguk setuju. "Baiklah." Setelah itu, Elsa langsung bersiap membuat kue dan Cassel berdiri di sampingnya. Sesekali Elsa bertanya ini dan itu pada Cassel. Meskipun nanti mereka menikah tanpa ada cinta dan kasih sayang di dalamnya, namun Elsa sangat ingin dekat dengan Cassel, setidaknya sebagai teman atau seseorang yang bisa dia lihat dan dia ajak bicara sepe
"Tidak boleh pulang, Gissele mau ikut Ayah..! Tidak boleh pergi, huwaa ... Gissele mau ikut Ayah!" Teriakan penuh tangisan dari anak perempuan berusia tiga setengah tahun itu terdengar sangat keras. Sekeras apapun, Gissele tidak mau memanggil Cassel dengan panggilan Kakak, dia memanggilnya Ayah, karena laki-laki yang pertama kali menggendongnya adalah Cassel, hingga anak itu menganggap Cassel sebagai Ayahnya. Gissele menangis saat Cassel dan Elsa berpamitan pulang, semua anak-anak di sana memasang wajah sedih. Terutama Gissele, entah kenapa Cassel menjadi tidak tega dengan tangisan anak itu. "Ayahhh...!" teriak anak itu. Gissele melorot dari gendongan pengasuhnya, anak itu berlari ke arah Cassel yang hendak masuk ke dalam mobil. Dia memeluk kaki Cassel dengan sangat erat masih dengan tangisannya yang meraung-raung. "Huwaa ... Ayah jangan pulang, tidak boleh! Gissele mau ikut!" seru anak itu mengulurkan tangannya tangannya. "Gissele, Kakak mau pulang, Nak. Besok Kakak ke sini la