"Daddy ingin kau segera menikahi Elsa dalam waktu dekat ini, Cassel!" Kata-kata penuh perintah itu terucap dengan tegas dari bibir Damien, pada Cassel yang tengah duduk di hadapannya. Jelas saja, putranya itu langsung berdecak dan menggelengkan kepala. "Dad, aku sama sekali tidak menyukai Elsa, Dad! Yang aku sukai itu Luna, Kakaknya! Bukan Elsa!" pekik Cassel dengan wajah kesal. "Cassel ... dengarkan Daddy-mu bicara dulu," ujar Dalena menatap lekat wajah putra yang sudah bingung membangkang. Barulah Cassel diam menatap sang Daddy, pemuda itu siap mendengarkan apapun, meskipun hatinya tetap kuekeh menolak. Damien mengembuskan napas panjang. "Dengar Cassel, wanita yang kau cintai ... Luna itu berusia lima tahun lebih tua darimu! Dia juga bercerai dengan suaminya dan sampai detik ini belum tuntas!" "Daddy, tapi cinta tidak dipaksakan, Dad!" seru Cassel mengusap wajahnya kasar. "Terserah!" sentak Damien seketika. Laki-laki itu langsung memasang wajah marah dan berdiri dengan tanga
Keesokan harinya, Elsa pergi untuk bertemu dengan Mamanya di sebuah rumah makan. Gadis itu benar-benar dipaksa oleh Vania untuk menemaninya makan siang. Hingga Elsa bisa tidak datang ke tempat di mana mereka membuat janji.Elsa yang sedang tenang berjalan, tiba-tiba gadis itu melihat Mamanya di dalam rumah makan itu bersama dengan seorang wanita dan juga pemuda dengan balutan kemeja biru yang sedang duduk di sana."Sayang! Mama di sini!" pekik Vania melambaikan tangannya pada Elsa. Laki-laki tampan itu pun menoleh. Cassel benar-benar sosok tampan sempurna. Elsa yang menatap mereka, gadis itu meremas tas yang dia pakai dan berjalan mendekati mereka semua di sana. Vania pun tersebar dengan kedatangan Elsa. Wanita itu menatap Dalena dan Cassel di depannya. "Ini Elsa sudah datang," ujar Vania tersenyum. "Wahh, cantik sekali, Elsa ... rambutmu bagus sekali, Nak," ujar Dalena memuji rambut cokelat terang milik Elsa.Gadis itu tersenyum manis sambil menarik kursi dan duduk berhadapan d
Sepulang dari bertemu dengan Mamanya Cassel, saat itu juga Vania mengajak Elsa pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Vania mengajak Elsa duduk bersama Teddy juga di sana. Mereka benar-benar sangat berharap besar pada Elsa untuk mau menerima lamaran dari Keluarga Escalante. "Sayang, apa tadi Cassel benar-benar pergi ke rumah sakit?" tanya Vania menatap putri angkatnya yang hanya diam sejak tadi. "Iya Ma, Cassel sangat sibuk, jadi dia berpamitan untuk pergi." "Kau tidak bohong pada Mama kan, Elsa?" tanya Vania sekali lagi. Elsa menggelengkan kepalanya cepat. Gadis itu selalu menundukkan kepalanya dan dia sangat menghormati kedua orang tua angkatnya ini. "Bagus kalau kalian berdua sudah sangat dekat, Papa akan bicara dengan Om Damien mengenai pernikahan kalian berdua ke depannya," ujar Teddy tersenyum senang. "Pe-pernikahan?" cicit Elsa menatap Papanya. "Iya. Kalian akan menikah, kalau kalian semakin dekat, kemungkinan bulan depan kalian harus menikah, Nak," jelas Teddy.Elsa
Sesampainya di rumah sakit, Elsa menangis memeluk Mamanya. Sedangkan Papanya dibawa masuk ke dalam ruang perawatan oleh dokter. Gadis itu tidak berhenti meminta Mamanya untuk tenang, meskipun Elsa sendiri juga sangat takut dan cemas akan kondisi Papanya. "Mama jangan menangis lagi, Ma ... kita berdoa supaya Papa cepat sembuh ya, Ma," ujar gadis itu. "Iya Sayang." Vania memeluk putrinya dengan erat.Hingga tak berselang lama, seorang dokter suster muncul di sana. "Apa ada anggota keluarga? Boleh minta tanda tangannya sebentar untuk mengurus berkas rumah sakit," ujar seorang suster. "Saya dok, saya anaknya!" seru Elsa. "Baiklah, mari silakan..." Elsa berjalan ke depan mengikuti suster, sementara Mamanya sendiri dan membiarkan Elsa yang mengurus semuanya. Gadis itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang berisik para dokter di dalam sana. "Silakan mengisi beberapa biodata pasien, dan juga Nona tanda tangan di sini," ujar suster itu sebelum meninggalkan Elsa yang tengah mengisi lampir
Elsa tertidur di ruang tunggu dan menyandarkan kepalanya di pundak sang Mama. Bahkan Vania juga terlihat sangat kelelahan menunggu berjam-jam. Hingga akhirnya Cassel muncul dari dalam ruang operasi dan berjalan mendekati Elsa. Laki-laki itu menatap Elsa yang tertidur memeluk Mamanya, hal ini membuat Cassel kembali mengingat adik kembarannya, Raccel. Perlahan Cassel mendekati Elsa, dokter muda itu menyentuh pundak Elsa dengan lembut."El—""Hah..!" Elsa memekik kaget, gadis itu mendongak menatap Cassel yang kini berdiri di hadapannya. "Cassel, bagaimana dengan Papa?" Cassel mengembuskan napasnya pelan. Dia memperhatikan wajah lelah Elsa dengan tatapan lekat. Sedangkan Vania hanya diam dan menunggu jawaban Cassel, setelah wanita itu juga ikut ketiduran. "Operasinya berjalan dengan lancar, sekarang tinggal menunggu Papamu sadar dan pemulihannya," jelas Cassel pada Elsa. Gadis itu menatap sang Mama dan mereka langsung berpelukan. "Syukurlah ... terima kasih banyak, Cassel. Tante sa
Cassel masih bersama dengan Luna pagi ini, laki-laki itu diminta untuk mengobati luka memar di sudut bibir Luna akibat tamparan keras yang Teddy berikan pada putrinya tersebut. Karena ini masih terlalu pagi untuk jadwal bekerja mereka, hingga mereka menyempatkan waktu untuk mengobrol. "Kenapa?" tanya Luna tiba-tiba, dia terdiam menatap Cassel. "Hei..." Cassel menatap wajah cantik Luna lekat-lekat, tidak berbohong Cassel sangat menyukai dan mencintai wanita ini, namun kesalnya kenapa Luna justru memiliki sifat seperti itu?Kenapa dia berbohong? Kenapa dia mabuk? Kenapa dia membuat Papanya sampai masuk rumah sakit dan hampir meregang nyawa? Kenapa dia juga menyalahkan Elsa atas semua kesalahannya?!Cassel meletakkan bola-bola kapas di dalam sebuah wajah, dia menghela napasnya pelan. "Semalam kau dari mana? Kenapa telfonku tidak kau jawab?" tanya Cassel. "Aku ... aku ada di tempat Jessy," dusta Luna. "Kau mabuk-mabukan di sana?" tanya Cassel merapikan beberapa botol obat. "Atau kei
Cassel mengajak Elsa ke suatu tempat, di sebuah taman yang sepi sore ini. Mereka duduk berdua di bangku taman dan saling diam untuk beberapa detik lamanya. Elsa menoleh pada Cassel yang kini masih terdiam. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku, Cassel?" tanya gadis itu. Lantas, Cassel balik menatapnya. "Tentang Papamu." Wajah Elsa menjadi tegang seketika. "Papa? A-apa yang terjadi dengan Papaku?" "Tidak ... aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu. Saat Papamu nanti sudah pulih, kemungkinan besar dia akan meminta kita untuk menikah," ujar Cassel dengan serius. Mendengar apa yang dikatakan oleh Cassel barusan, Elsa pun seketika merasa sedih. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana mungkin aku merebut dan menikah dengan kekasih Kakakku sendiri? Aku juga tidak sebanding denganmu ... bagaimana aku menolak permintaan Papa?" Elsa mengungkapkan kejujuran yang membuatnya galau dan gelisah tak kunjung henti. Cassel menghela napasnya pelan. "Jangan menolaknya," jawab laki-laki i
Beberapa hari kemudian..Elsa sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya di toko bunga, gadis itu baru saja kembali mengantarkan beberapa pesanan bunga yang dipesan oleh beberapa orang. Dan toko pun kembali dibuka oleh Elsa, dia membersihkan meja dan beberapa pot bunga yang sedikit kotor. Hingga perhatian gadis itu teralihkan saat mendengar lonceng pintu berbunyi saat pintu kaca toko terbuka. Elsa terkesiap saat yang muncul di balik pintu itu adalah Dalena. "Tante Dalena..." Elsa gegas membukakan pintu. Gadis itu tersenyum manis menyambutnya. "Silakan masuk, Tante ... maaf tempatnya masih berantakan," ujar Elsa. "Tidak papa, Sayang. Memangnya Elsa baru membuka toko, ya?" tanya Dalena sembari duduk di sebuah sofa berwarna merah muda di dalam ruangan itu. "Sebenarnya sudah buka dari tadi, Tan. Cuma banyak sekali pesanan bunga hari ini, jadi Elsa memilih mengantarkannya lebih dulu, Tante..." Wajah Dalena menjadi semakin melembut, wanita itu meraih tangan Elsa dan menggenggamnya denga