Sesampainya di rumah sakit, Elsa menangis memeluk Mamanya. Sedangkan Papanya dibawa masuk ke dalam ruang perawatan oleh dokter. Gadis itu tidak berhenti meminta Mamanya untuk tenang, meskipun Elsa sendiri juga sangat takut dan cemas akan kondisi Papanya. "Mama jangan menangis lagi, Ma ... kita berdoa supaya Papa cepat sembuh ya, Ma," ujar gadis itu. "Iya Sayang." Vania memeluk putrinya dengan erat.Hingga tak berselang lama, seorang dokter suster muncul di sana. "Apa ada anggota keluarga? Boleh minta tanda tangannya sebentar untuk mengurus berkas rumah sakit," ujar seorang suster. "Saya dok, saya anaknya!" seru Elsa. "Baiklah, mari silakan..." Elsa berjalan ke depan mengikuti suster, sementara Mamanya sendiri dan membiarkan Elsa yang mengurus semuanya. Gadis itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang berisik para dokter di dalam sana. "Silakan mengisi beberapa biodata pasien, dan juga Nona tanda tangan di sini," ujar suster itu sebelum meninggalkan Elsa yang tengah mengisi lampir
Elsa tertidur di ruang tunggu dan menyandarkan kepalanya di pundak sang Mama. Bahkan Vania juga terlihat sangat kelelahan menunggu berjam-jam. Hingga akhirnya Cassel muncul dari dalam ruang operasi dan berjalan mendekati Elsa. Laki-laki itu menatap Elsa yang tertidur memeluk Mamanya, hal ini membuat Cassel kembali mengingat adik kembarannya, Raccel. Perlahan Cassel mendekati Elsa, dokter muda itu menyentuh pundak Elsa dengan lembut."El—""Hah..!" Elsa memekik kaget, gadis itu mendongak menatap Cassel yang kini berdiri di hadapannya. "Cassel, bagaimana dengan Papa?" Cassel mengembuskan napasnya pelan. Dia memperhatikan wajah lelah Elsa dengan tatapan lekat. Sedangkan Vania hanya diam dan menunggu jawaban Cassel, setelah wanita itu juga ikut ketiduran. "Operasinya berjalan dengan lancar, sekarang tinggal menunggu Papamu sadar dan pemulihannya," jelas Cassel pada Elsa. Gadis itu menatap sang Mama dan mereka langsung berpelukan. "Syukurlah ... terima kasih banyak, Cassel. Tante sa
Cassel masih bersama dengan Luna pagi ini, laki-laki itu diminta untuk mengobati luka memar di sudut bibir Luna akibat tamparan keras yang Teddy berikan pada putrinya tersebut. Karena ini masih terlalu pagi untuk jadwal bekerja mereka, hingga mereka menyempatkan waktu untuk mengobrol. "Kenapa?" tanya Luna tiba-tiba, dia terdiam menatap Cassel. "Hei..." Cassel menatap wajah cantik Luna lekat-lekat, tidak berbohong Cassel sangat menyukai dan mencintai wanita ini, namun kesalnya kenapa Luna justru memiliki sifat seperti itu?Kenapa dia berbohong? Kenapa dia mabuk? Kenapa dia membuat Papanya sampai masuk rumah sakit dan hampir meregang nyawa? Kenapa dia juga menyalahkan Elsa atas semua kesalahannya?!Cassel meletakkan bola-bola kapas di dalam sebuah wajah, dia menghela napasnya pelan. "Semalam kau dari mana? Kenapa telfonku tidak kau jawab?" tanya Cassel. "Aku ... aku ada di tempat Jessy," dusta Luna. "Kau mabuk-mabukan di sana?" tanya Cassel merapikan beberapa botol obat. "Atau kei
Cassel mengajak Elsa ke suatu tempat, di sebuah taman yang sepi sore ini. Mereka duduk berdua di bangku taman dan saling diam untuk beberapa detik lamanya. Elsa menoleh pada Cassel yang kini masih terdiam. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku, Cassel?" tanya gadis itu. Lantas, Cassel balik menatapnya. "Tentang Papamu." Wajah Elsa menjadi tegang seketika. "Papa? A-apa yang terjadi dengan Papaku?" "Tidak ... aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu. Saat Papamu nanti sudah pulih, kemungkinan besar dia akan meminta kita untuk menikah," ujar Cassel dengan serius. Mendengar apa yang dikatakan oleh Cassel barusan, Elsa pun seketika merasa sedih. "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana mungkin aku merebut dan menikah dengan kekasih Kakakku sendiri? Aku juga tidak sebanding denganmu ... bagaimana aku menolak permintaan Papa?" Elsa mengungkapkan kejujuran yang membuatnya galau dan gelisah tak kunjung henti. Cassel menghela napasnya pelan. "Jangan menolaknya," jawab laki-laki i
Beberapa hari kemudian..Elsa sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya di toko bunga, gadis itu baru saja kembali mengantarkan beberapa pesanan bunga yang dipesan oleh beberapa orang. Dan toko pun kembali dibuka oleh Elsa, dia membersihkan meja dan beberapa pot bunga yang sedikit kotor. Hingga perhatian gadis itu teralihkan saat mendengar lonceng pintu berbunyi saat pintu kaca toko terbuka. Elsa terkesiap saat yang muncul di balik pintu itu adalah Dalena. "Tante Dalena..." Elsa gegas membukakan pintu. Gadis itu tersenyum manis menyambutnya. "Silakan masuk, Tante ... maaf tempatnya masih berantakan," ujar Elsa. "Tidak papa, Sayang. Memangnya Elsa baru membuka toko, ya?" tanya Dalena sembari duduk di sebuah sofa berwarna merah muda di dalam ruangan itu. "Sebenarnya sudah buka dari tadi, Tan. Cuma banyak sekali pesanan bunga hari ini, jadi Elsa memilih mengantarkannya lebih dulu, Tante..." Wajah Dalena menjadi semakin melembut, wanita itu meraih tangan Elsa dan menggenggamnya denga
Cassel merasa tidak enak hati dan kepikiran setelah panggilannya dimatikan begitu saja oleh Elsa. Laki-laki itu menyahut kunci mobilnya di atas meja cafe, hal itu membuat Luna dan satu teman laki-lakinya langsung menatap ke arah Cassel."Loh, mau ke mana?" tanya Jonas menaikkan kedua alisnya."Ada urusan penting," jawab Cassel."Urusan apa? Tadi kan kau bilang sudah tidak ada urusan lagi," ujar Luna menahan lengan Cassel.Cassel mengabaikannya. "Tidak Lun, kau nanti pulang dengan Jonas, okay?" "Tapi Cassel—"Upaya Luna menahan Cassel pun terhenti, laki-laki itu tetap kuekeh pergi dari sana dan meninggalkan Luna bersama dengan Jonas. Sementara Cassel langsung berlari ke arah mobilnya di parkiran. Rasa tidak tenang menyerang hatinya, dia melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. "Apa dia sudah pergi?" gumam Cassel bertanya-tanya entah pada siapa. "Sial! Kenapa jadi begini, sih?!" Laki-laki dengan balutan kemeja biru langit itu mengumpat berkali-kali menyesali apa yang telah dia la
Keesokan harinya, Elsa kembali bekerja. Gadis itu memaksa tubuhnya yang sakit untuk melanjutkan pekerjaannya. Karena kondisinya yang buruk, Elsa hanya mengantarkan beberapa bunga saja di tempat-tempat yang memesan padanya. Salah satunya di kantor milik Damien. Elsa baru saja meletakkan bouquet bunga berukuran besar di meja depan, dan berbincang sebentar dengan karyawan perusahaan itu. Sebelum dia melihat Damien masuk ke dalam kantornya tersebut. "Loh, Elsa ... sedang apa kau di sini, Nak?" tanya Damien menatapnya lekat-lekat. "Itu Om, saya mengantarkan pesanan bunga," jawab Elsa dengan wajahnya yang benar pucat dan matanya yang sayu. Kening Damien mengerut saat melihat ekspresi Elsa yang nampak sangat kelelahan. "Elsa, kau tidak papa, Nak?" tanya laki-laki itu sekali lagi. "Kenapa kau pucat sekali?" "Tidak papa kok, Om. Hanya tidak enak badan saja," jawab gadis itu. Damien mendekatinya. "Biar pulang diantar oleh ajudan Om saja, ya? Kau sangat pucat, kalau pulang berjalan kaki,
Setelah tadi Cassel dan Luna ribut di depan Elsa, kini Cassel justru merasa kepikiran dengan Elsa. Entah kenapa wajah dan senyumannya tidak selaras dengan perasaan yang sejujurnya dia rasakan. Hal ini membuat Cassel merasa bersalah pada Elsa, bagaimanapun juga Elsa adalah gadis yang akan dia nikahi beberapa hari lagi. "Padahal aku dan Luna tidak ada hubungan istimewa apapun ... tapi kenapa Luna sampai seperti itu? Apa karena aku selalu perhatian padanya? Aku sempat sejatuh cinta itu padanya..." Cassel mengusap wajahnya dan mendengus kesal. Laki-laki itu duduk bersandar dan mendongakkan kepalanya dengan kedua mata terpejam di dalam ruangan tunggu operasi. Sampai ia mendengar pintu ruangannya terketuk. Di sana, muncul Jonas yang berdiri di ambang pintu. Cassel menatapnya dengan kedua alis terangkat. "Kekasihmu memarahi adiknya," ujar Jonas dengan wajah lelah. Cassel langsung memasang wajah serius. "Apa maksudmu?" "Di depan ruanganmu, ramai sekali. Luna ternyata tidak sebaik yang