"Mom, Raccel sudah sembuh. Raccel mau pulang!" Anak perempuan itu merengek memeluk Dalena saat dokter masuk ke dalam ruangannya. "Iya Sayang, ini Raccel boleh pulang sama dokter. Infusnya dilepas dulu, setelah itu kita pulang," jawab Dalena. "Aaa... Takut, Mom!" teriak Raccel saat dokter melepaskan jarum infus di punggung tangannya. "Tidak sakit, anak pintar," ujar dokter itu terkekeh. Namun tetap saja Raccel menangis meraung-raung seperti biasanya. Dalena langsung menggendongnya dan memeluk putrinya dengan erat. Setelah itu barulah dokter berpamitan keluar. Di sana, Dalena mengambil tas besar berisi pakaiannya dan milik Raccel selama di rumah sakit, juga barang-barang milik Raccel. "Kita tunggu Daddy di luar ya, Sayang," bisik Dalena mengecup pucuk kepala Raccel. Anak itu mengangguk patuh, di dalam gendongan Dalena, Raccel begitu manja. Mereka berdua keluar dari dalam ruangan itu, dan berjalan ke depan menunggu Damien. Satu jam yang lalu, Dalena menghubungi suaminya dan Da
Saat anak-anak dan istrinya tertidur, Damien yang masih terjaga di sana, ia mendekati Dalena yang tidur memeluk Raccel dan Cassel. Mengingat ucapan Cassel yang begitu tajam, Damien sangat tersinggung dan merasa amat bersalah. "Maafkan Daddy ya, Sayang," ucap Damien saat ia menyentuh kening Raccel. "Hehhh..!" Anak itu tersentak dan membuka kedua matanya seketika. Damien menatapnya lekat-lekat dan tersenyum saat putrinya terbangun. "Kenapa bangun, tidur lagi, Sayang. Mommy sama Kakak masih tidur," ujar Damien menarik selimut Raccel. "Emmmm, Mommy..." Raccel kembali merengek dan menangis sembari menggaruk telinga kirinya. "Mommy, Raccel haus!" "Ayo dengan Daddy," bujuk Damien.Laki-laki itu tidak mau mengganggu tidur Dalena, ia langsung mengangkat tubuh Raccel dan menggendongnya. Namun anak perempuannya itu merengek dan lanjut menangis. Hingga Dalena langsung terbangun. "Mommy... Raccel mau sama Mommy," Isak Raccel menunjuk ke arah Dalena. Wanita itu berjalan mendekati Damien
Hari libur Dalena diisi dengan menjaga kedua anaknya. Syukurlah Cassel memiliki sifat yang lebih dewasa, hingga dia mampu mengimbangi nakalnya Raccel yang selalu ingin ini dan itu. Dalena duduk depan sofa, ia sampai tertidur karena kelelahan. "Mommy..." Raccel hendak mendekatinya, sebelum Cassel menarik lebih dulu lengan adik kembarannya. "Jangan Raccel, Mami capek. Biar Mami tidur dulu, sekarang main sama Cassel saja," ujar Cassel. Raccel mengangguk, anak perempuan itu melemparkan bola mainannya ke luar sebelum di berlari mengejarnya. Di belakang Raccel, ada Cassel yang ikut berlari ke depan. Kedua anak itu bermain di teras, bercanda tawa rebutan bola di depan sana. Sampai sebuah mobil berwarna merah memasuki pekarangan rumah mereka. Si kembar berdiri bergeming di sana menatap siapa yang datang. "Oma..." Raccel melebarkan kedua matanya. "OMA, OPA...!" teriak Raccel dan Cassel bersamaan saat melihat Lora turun dari dalam mobil bersama dengan Kelvan. Kedua orang itu langsung t
"Aku pulang dulu, pembahasannya bisa dilanjutkan besok!" Damien meringkas beberapa berkasnya di atas meja. Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan menyahut mentel hangatnya yang ia letakkan di sandaran kursi. Empat orang sisanya mengangguk, namun tidak dengan asisten Damien yang kini ikut berdiri. "Bapak mau ke mana? Mau pulang setelah dapat telfon tadi ya, Pak?" tanya Kara meraih berkas di tangan Damien. "Ya, sepertinya orang tuaku datang ke sini. Aku bisa mengajak mereka makan malam nanti dengan istriku," jawab Damien sembari berjalan keluar dari dalam ruangan itu. "Untuk beberapa berkas meeting besok, siapkan besok pagi-pagi sekali, Kara." Kara mengangguk kecil, gadis itu masih berjalan di samping Damien. "Pak, boleh saya minta tolong, bisa Bapak antarkan saya pulang?" pinta gadis itu dengan nada manja. Langkah Damien langsung terhenti. Laki-laki itu membalikkan badannya menatap gadis cantik di sampingnya kini. Tatapan Damien membuat Kara diam tak berkutik. "Aku tahu kala
"Mama dan Papa kenapa tidak menginap saja?" Dalena berdiri menatap Mama dan Papa mertuanya yang malam ini akan pergi. Sedangkan Damien hanya duduk diam memperhatikan kedua orang tuanya. "Mama kan ke sini ikut Papa, katanya Papamu ini ada pertemuan dengan temannya di London, jadi Mama ikut," jawab Lora menjelaskan. "Heemm, begitu ya..." Dalena menunjukkan wajah berat untuk ditinggal. Lora menatap Dalena dan tersenyum. "Nanti, kalau sudah libur akhir tahun, Mama akan ke sini dan menginap beberapa hari." "Iya Ma, aku tunggu ya," balas Dalena. Wanita tua cantik itu mengangguk dan tersenyum. Kelvan dan Lora pun berpamitan pulang saat itu juga. Damien dan Dalena mengantarkan hingga ke depan. Sampai akhirnya gerbang depan ditutup oleh penjaga. Dalena kembali merasakan perasaan resah, dua menoleh pada Damien yang masih berdiri di belakangnya. "Apa, kenapa melihatku begitu?" tanya laki-laki itu mengelus gemas pucuk kepala Dalena. "Kau tidak akan ke mana-mana kan, malam ini?" tanya w
Damien baru saja keluar dari dalam renungan meeting bersama Thom asistennya, dan juga Evander Collin–sahabatnya dari Prancis.Mereka baru saja membahas hal penting yang berkaitan dengan perkembangan bisnis mereka. "Aku akan kembali ke sini minggu depan," ucap Evan menepuk pundak Damien. "Ya, terima kasih untuk kerja sama dan junjunganmu, kawan!" Damien tersenyum menjabat tangan Evander. Keduanya berbincang sembari berjalan ke depan, sampai tiba-tiba ponsel milik Damien berdering. Laki-laki itu menghentikan langkahnya seketika setelah melihat panggilan dari istrinya. "Van, kau duluan saja dengan Thom dan Dante di depan, aku akan menyusul!" ujar Damien. Evander mengangguk, laki-laki tampan itu langsung meninggalkan Damien dan pergi dengan Thom. Di sana, Damien menjawab panggilan dari Dalena seketika. "Halo Sayang, ada apa?" tanya Damien, dia terdengar sangat panik. "Sayang, bisa kau jemput aku? Aku... Aku di rumah sakit sekarang," ujar Dalena. "Di rumah sakit?! Apa yang terjad
"Raccel, kenapa manyun saja? Ayo belajar, cepat ini dibaca!" Cassel menunjukkan sebuah buku dan menatap kembarannya dengan ekspresi manyun seperti biasa. Tiba-tiba saja Raccel menghempaskan tubuhnya di atas kasur di kamar Cassel. Anak perempuan itu memeluk bantal dan diam tidak menanggapi Kakak kembarannya. "Emm, kau marah karena kita mau punya adik, ya?" tanya Cassel menebak. "Heem. Raccel tidak suka punya adik! Mommy nanti tidak sayang sama Raccel," jawab anak perempuan itu mencebikkan bibirnya. Mendengar jawaban Raccel, lantas Cassel menoleh ke belakang. Ia menatap wajah kesal Raccel, namun tetap saja dia tidak bisa melakukan apapun. "Mami dan Papi nanti tetap sayang kok sama kita," bujuk Cassel dengan sabarnya. "Raccel tidak percaya. Daddy itu sayang dan bangga sama Cassel, terus kalau nanti adik lahir, pasti Mommy akan terus sama Adik, terus Raccel Sendirian." "Kan ada Cassel!" "Cassel belajar terus, supaya nanti jadi dokter." Raccel masih menatap jendela kamar Cassel d
"Mommy... Mommy di mana?!" Suara Raccel menggema di dalam rumah pukul dua dini hari. Anak perempuan itu terbangun dari tidurnya membawa botol minum di pelukannya. "Mommy," lirih Raccel berjalan mendekati kamar Dalena. "Mom buka! Raccel mau dibuatin susu cokelat!" teriak anak itu menggebraki pintu kamar Dalena. Sampai akhirnya pintu kamar itu terbuka, Dalena berdiri di depannya dan juga Damien berdiri di belakang sang istri. "Kenapa Sayang?" Dalena membungkukkan badannya mengusap pucuk kepala Raccel. "Raccel mau minum susu cokelat," jawabnya menyerahkan botol yang ia bawa pada Dalena. "Ya sudah, biar Mommy buatkan." "Raccel mau gendong, Mom..." "Tidak boleh!" sahut Damien dengan cepat. Saat itu juga Raccel menoleh pada Papanya. Damien menyahut botol minum di tangan Dalena dan berjalan cepat. "Duduk dan istirahatlah, biar aku yang buatkan susu cokelatnya. Jangan menggendongi anak-anak, Sayang. Ingat anak kita yang masih di dalam perutmu," ujar Damien mengecup pelipis Dalena.