Lora sudah kembali ke Barcelona sore tadi. Damien bersama Dalena dan si kembar mengantarkannya ke bandara. Dalam perjalanan pulang, si kembar tertidur pulas. Mungkin anak itu sangat lelah bermain ke sana dan kemari.Sesampainya di rumah Damien menggendong keduanya masuk ke dalam rumah, sementara Dalena membawa banyak sekali belanjaan, terutama milik anak-anaknya. "Mereka kelelahan," ujar Damien menatap Dalena. "Heem. Lihat pipinya Cassel sampai memerah begini, Raccel menggigitnya," ucap Dalena mengusap pipi Cassel dengan lembut. "Huffttt... Anak kita yang satu ini memang sangat nakal, Sayang." Damien berbaring di samping Cassel. "Tidak seperti si tampan ini, dia pintar dan anak kalem!" Damien tersenyum, ia memeluk Cassel dan Raccel dengan lengannya. Dalena mengusap pundak sang suami. "Istirahatlah dengan anak-anak, aku akan menyiapkan makan malam." "Iya Sayang." Kembali Dalena berjalan keluar dari dalam kamar si kembar. Wanita itu turun ke lantai satu, dan Dalena bergegas me
"Nicho, ayo ikut pulang ke rumah Raccel. Nanti Raccel ajak main boneka!" Anak perempuan itu memeluk lengan Nicho erat-erat saat semuanya bersiap-siap pulang. Hanya Raccel yang paling rewel di sana. Dalena langsung mendekati putrinya. "Sayang, besok lagi main sama Kak Nicho, ya?" "Tidak mau, Mom! Ini pacarnya Raccel, mau dibawa pulang saja!" teriak anak itu menangis keras-keras. Heboh dengan tangisan dan teriakan Raccel di dalam tempat itu. Damien pun langsung menggendong si kecil dan membawanya keluar lebih dulu. Raccel menangis keras-keras seperti biasa, dan Cassel hanya mengerjapkan kedua matanya melihat sang kembaran yang tantrum. Memang situasi ini tidak mengagetkan untuknya. "Mom, Adik Raccel tambah nakal ya," ujar Cassel mendongak menatap Dalena yang menggandengnya berjalan keluar dari dalam rumah makan. "Iya Sayang. Tapi semua anak kecil seperti itu. Kan Kakak Cassel katanya sudah dewasa," ujar Dalena mengelus pipi gembil Cassel. "Iya dong, Cassel sudah dewasa. Nanti k
Dalena tidak kunjung tidur semalaman, wanita itu menatap ke arah Damien yang tertidur. Sejak siang suaminya membicarakan tentang anak, Dalena merasa takut dan cemas. Sejujurnya ia takut mengatakan hal yang sebenarnya pada Damien kalau Dalena tidak akan pernah bisa memiliki anak lagi. "Hufffttt..." Dalena mengusap wajahnya pelan. Wanita itu duduk di atas ranjang menatap ke arah jendela. Dari pantulan dinding kaca, ia dapat melihat gambar dirinya. "Maaf bila mengecewakan," ucap Dalena tertunduk. "Aku tahu kau sangat mengharapkannya, tapi aku tidak bisa. Tidak ada kesempatan kedua kalinya untukku bisa hamil, kerusakan rahimku setelah operasi melahirkan si kembar, dan sekarang aku mandul. Tidak bisa memiliki anak lagi. Tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan lagi, Damien. Aku sedih, aku sangat takut mengatakan ini semua padamu." Dalena menundukkan kepalanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia menangis sedih, bagaimana dia terus ribut perkara anak, namun Dalena t
Raccel dan Cassel pagi ini datang ke sekolah baru mereka. Damien lah yang mengantarkan kedua anaknya bersama Dalena juga di sana. Namun ternyata, si kecil Raccel malah marah saat tiba di depan kelas. "Aahhh pokoknya Raccel mau pulang! Apa sekolah itu tidak enak, Mommy! Raccel pusing! Sakit kepala, tahu!" teriak anak perempuan itu menangis menolak sekolah. "Tidak boleh begini Sayang, tadi kan sudah janji sama Mommy dan Daddy kalau Raccel tidak nakal!" seru Dalena memeluk putrinya yang langsung tantrum menolak sekolah. Damien berada di dalam kelas mengantarkan Cassel. Anak laki-laki Damien dan Dalena itu tidak rewel sama sekali. Dia malah bersemangat dan sangat antusias ingin bersekolah. Barulah Damien keluar dari ruang belajar, laki-laki itu menatap si kecil putrinya yang marah-marah di depan sana. "Pulang! Ayo pulang, Mommy!" teriak Raccel menangis keras-keras. "Ya ampun, Raccel..." Damien menghela napasnya panjang mendekati putrinya dan mengambilnya dari gendongan sang istri.
Damien mengajak Dalena ke kantornya setelah mengantarkan di kembar. Dalena sama sekali tidak tahu kalau keluarga Escalante memiliki perusahaan di hampir beberapa negara di Eropa. Mereka yang baru datang, langsung ditatap oleh semua karyawan di sana. Dalena menjadi sangat kikuk saat semua mata tertuju padanya. "Aku tidak tahu kalau perusahaan ini milik keluargamu. Padahal aku dulu sering lewat di jalan sebelah untuk pergi bekerja," ujar Dalena sembari berjalan masuk ke dalam lift bersama Damien. "Heem, tapi bukan aku yang mengurusnya. Papa yang menanganinya secara langsung," jawab Damien menjelaskan. Hanya anggukan yang Dalena berikan kini. Wanita itu menatap pemandangan di luar yang menunjukkan keindahan kota London yang sangat indah. "Apa kau akan sampai nanti siang?" tanya Dalena tiba-tiba. "Aku sangat khawatir dengan si kembar di sekolah, apalagi Raccel." "Tidak. Hanya satu jam saja, masih ada meeting yang harus aku bereskan sebentar." Damien tersenyum manis mengusak pucuk k
Kepala Dalena menjadi sangat pusing setelah kejadian kemarin. Hingga Damien memintanya untuk banyak beristirahat. Laki-laki itu bahkan tidak mengizinkan Dalena untuk mengawasi si kembar karena anak-anaknya yang nakal. Si kembar kini berada di dalam kamar Dalena sebelum mereka berangkat ke sekolah. Setelah mendengar kabar Dalena sakit, mereka menjadi begitu sedih. "Mami pokoknya harus sembuh, jangan sakit-sakit lagi. Cassel janji tidak akan nakal, kalau Raccel yang nakal, nanti biar Cassel jewer," ujar Cassel memeluk Dalena dari sebelah kanan. "Tidak kok, Raccel tidak nakal. Raccel itu pintar!" sahut anak perempuan yang kini berdiri di hadapan Dalena. "Iya, iya, kalian harus sekolah sekarang juga. Jangan ada yang nakal, tidak boleh ada yang aneh-aneh di sekolah, jangan membuat masalah lagi ya, Raccel... Tidak boleh menarik pipi temanmu dengan kencang, tidak boleh gigit siapapun, okay?!" Dalena memberinya penegasan. Raccel cemberut dengan wajah putihnya yang kini sedikit memerah.
Nicholas menggendong Raccel di punggungnya. Anak perempuan itu merengkuh erat leher Nicholas dengan sangat erat dan banyak bicara seperti biasa. Nicholas menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan. Dia sungguh sangat kerepotan dengan Raccel, andai saja bukan anak Damien Escalante, mungkin dia akan meninggalkannya di atas gedung. "Hati-hati Nicho, Raccel takut jatuh tahu!" pekik Raccel melingkarkan kedua kakinya erat-erat di tubuh Nicho. "Ini sudah hati-hati, Bar-bar! Kau saja yang merepotkan! Sudah berat, minta gendong lagi!" omel Nicholas pada Raccel yang menempel di punggungnya seperti cicak. Anak perempuan itu hanya terkikik geli mendengarnya. Sampai akhirnya mereka berada di lantai dasar. "Ayo, aku antarkan ke kelasmu!" seru Nicholas menurunkan Raccel dari gendongannya. Mereka berdua berjalan bersama ke sekolah Raccel di seberang taman. Raccel menggenggam jari tangan Nicholas yang lebih besar dari jari-jarinya yang mungil. Sesampainya di depan kelas, Raccel menatap Nicholas
Keesokan harinya, Damien dan Dalena mendatangi sekolah di kembar atas undangan yang diberikan pada mereka. Guru memberitahu mereka kalau Cassel memiliki kemampuan di atas anak-anak di usianya, hingga pihak sekolah memberikan tawaran yang luar biasa untuk Cassel. "Jadi besok Cassel tidak datang lagi ke sekolah sini ya, Mi? Besok Cassel sekolah di sana?" Cassel mendongak menatap Dalena seraya menunjuk ke arah sekolah dasar di seberang sana. "Iya Sayang, besok Cassel sudah jelas satu," jawab Dalena mengusap pucuk kepala si kecil. Damien yang baru saja keluar dari dalam ruangan guru, laki-laki tersenyum senang dengan dengan kepintaran putranya. "Kerja bagus Sayang, belajar yang pintar supaya nanti bisa menjadi penerus Papi!" seru Damien mengusap pucuk kepala Cassel. "Cassel mau jadi dokter, Pi!" sahut anak itu antusias. "Tidak papa, apapun cita-citamu Sayang!" Damien menggendong putranya. "Karena sekarang Cassel sudah mau kelas satu, Cassel mau apa? Mau hadiah apa dari Papi?" "Emm