Damien mengajak Dalena ke kantornya setelah mengantarkan di kembar. Dalena sama sekali tidak tahu kalau keluarga Escalante memiliki perusahaan di hampir beberapa negara di Eropa. Mereka yang baru datang, langsung ditatap oleh semua karyawan di sana. Dalena menjadi sangat kikuk saat semua mata tertuju padanya. "Aku tidak tahu kalau perusahaan ini milik keluargamu. Padahal aku dulu sering lewat di jalan sebelah untuk pergi bekerja," ujar Dalena sembari berjalan masuk ke dalam lift bersama Damien. "Heem, tapi bukan aku yang mengurusnya. Papa yang menanganinya secara langsung," jawab Damien menjelaskan. Hanya anggukan yang Dalena berikan kini. Wanita itu menatap pemandangan di luar yang menunjukkan keindahan kota London yang sangat indah. "Apa kau akan sampai nanti siang?" tanya Dalena tiba-tiba. "Aku sangat khawatir dengan si kembar di sekolah, apalagi Raccel." "Tidak. Hanya satu jam saja, masih ada meeting yang harus aku bereskan sebentar." Damien tersenyum manis mengusak pucuk k
Kepala Dalena menjadi sangat pusing setelah kejadian kemarin. Hingga Damien memintanya untuk banyak beristirahat. Laki-laki itu bahkan tidak mengizinkan Dalena untuk mengawasi si kembar karena anak-anaknya yang nakal. Si kembar kini berada di dalam kamar Dalena sebelum mereka berangkat ke sekolah. Setelah mendengar kabar Dalena sakit, mereka menjadi begitu sedih. "Mami pokoknya harus sembuh, jangan sakit-sakit lagi. Cassel janji tidak akan nakal, kalau Raccel yang nakal, nanti biar Cassel jewer," ujar Cassel memeluk Dalena dari sebelah kanan. "Tidak kok, Raccel tidak nakal. Raccel itu pintar!" sahut anak perempuan yang kini berdiri di hadapan Dalena. "Iya, iya, kalian harus sekolah sekarang juga. Jangan ada yang nakal, tidak boleh ada yang aneh-aneh di sekolah, jangan membuat masalah lagi ya, Raccel... Tidak boleh menarik pipi temanmu dengan kencang, tidak boleh gigit siapapun, okay?!" Dalena memberinya penegasan. Raccel cemberut dengan wajah putihnya yang kini sedikit memerah.
Nicholas menggendong Raccel di punggungnya. Anak perempuan itu merengkuh erat leher Nicholas dengan sangat erat dan banyak bicara seperti biasa. Nicholas menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan. Dia sungguh sangat kerepotan dengan Raccel, andai saja bukan anak Damien Escalante, mungkin dia akan meninggalkannya di atas gedung. "Hati-hati Nicho, Raccel takut jatuh tahu!" pekik Raccel melingkarkan kedua kakinya erat-erat di tubuh Nicho. "Ini sudah hati-hati, Bar-bar! Kau saja yang merepotkan! Sudah berat, minta gendong lagi!" omel Nicholas pada Raccel yang menempel di punggungnya seperti cicak. Anak perempuan itu hanya terkikik geli mendengarnya. Sampai akhirnya mereka berada di lantai dasar. "Ayo, aku antarkan ke kelasmu!" seru Nicholas menurunkan Raccel dari gendongannya. Mereka berdua berjalan bersama ke sekolah Raccel di seberang taman. Raccel menggenggam jari tangan Nicholas yang lebih besar dari jari-jarinya yang mungil. Sesampainya di depan kelas, Raccel menatap Nicholas
Keesokan harinya, Damien dan Dalena mendatangi sekolah di kembar atas undangan yang diberikan pada mereka. Guru memberitahu mereka kalau Cassel memiliki kemampuan di atas anak-anak di usianya, hingga pihak sekolah memberikan tawaran yang luar biasa untuk Cassel. "Jadi besok Cassel tidak datang lagi ke sekolah sini ya, Mi? Besok Cassel sekolah di sana?" Cassel mendongak menatap Dalena seraya menunjuk ke arah sekolah dasar di seberang sana. "Iya Sayang, besok Cassel sudah jelas satu," jawab Dalena mengusap pucuk kepala si kecil. Damien yang baru saja keluar dari dalam ruangan guru, laki-laki tersenyum senang dengan dengan kepintaran putranya. "Kerja bagus Sayang, belajar yang pintar supaya nanti bisa menjadi penerus Papi!" seru Damien mengusap pucuk kepala Cassel. "Cassel mau jadi dokter, Pi!" sahut anak itu antusias. "Tidak papa, apapun cita-citamu Sayang!" Damien menggendong putranya. "Karena sekarang Cassel sudah mau kelas satu, Cassel mau apa? Mau hadiah apa dari Papi?" "Emm
"Hari ini Raccel demam, dia tidak bisa ke sekolah dulu. Dia marah pada kalian." Suara Dalena membawa Damien dan Cassel menoleh ke arahnya. Terutama Cassel yang kini sedang sarapan, anak itu merasa sedih saat adik kembarnya tidak mau berbicara dengannya. "Hemm, Adik Raccel masih marah sama Cassel ya, Mam?" tanya Cassel dengan bibir cemberut sedih. Dalena mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya Sayang, tapi jangan khawatir. Tidak papa kok!" "Namanya juga anak kecil..." Sahutan itu berasal dari Damien, dan Dalena yang mendengar itu pun langsung menatapnya dengan tatapan tak biasa. "Apa katamu barusan?!" sahut Dalena dengan nada dingin. Laki-laki itu menoleh. "Namanya juga anak kecil, Sayang. Sudah biasa dia marah seperti ini, kan?" "Ya tapi kalau orang tuanya tidak peka, sampai kapanpun anak juga akan merasa dirinya tidak disayangi!" pekik Dalena kesal. "Dari kemarin, kau juga tidak peka pada anakmu!" Dalena dengan marah, wanita itu langsung berjalan naik ke lantai dua meninggalkan
Hari sudah sore, setelah menjemput Cassel laki mengantarkan ke rumah sakit di mana Dalena berada dan menjaga Raccel yang tengah sakit. Damien kembali lagi ke kantor untuk urusannya yang belum selesai. Ia meninggalkan anak dan istrinya hingga sore hari. Laki-laki itu kini masih berkutat dengan tumpukan berkas dan laptopnya yang terus ia tatap. "Pak, apa malam ini jadi lembur mengerjakan beberapa berkas dari Barcelona?" tanya Kara sembari meletakkan secangkir kopi di atas meja Damien. "Ya. Thom yang akan menemanimu," jawab Damien. "Thom? Kenapa dia? Bapak memangnya mau ke mana?" tanya gadis itu duduk di kursi yang berada di hadapan Damien. Dan laki-laki itu hanya menatapnya sekilas, bagi Damien sendiri, Kara adalah gadis muda yang menjadi asistennya, tidak lebih. "Anakku sakit, Kara, jadi aku harus menemani istriku di rumah sakit," jawab Damien. Gadis itu mengangguk dengan bibir sedikit cemberut. Dia meraih berkas di depannya dan memasang beberapa stempel penting. "Tapi besok
"Mom, Raccel sudah sembuh. Raccel mau pulang!" Anak perempuan itu merengek memeluk Dalena saat dokter masuk ke dalam ruangannya. "Iya Sayang, ini Raccel boleh pulang sama dokter. Infusnya dilepas dulu, setelah itu kita pulang," jawab Dalena. "Aaa... Takut, Mom!" teriak Raccel saat dokter melepaskan jarum infus di punggung tangannya. "Tidak sakit, anak pintar," ujar dokter itu terkekeh. Namun tetap saja Raccel menangis meraung-raung seperti biasanya. Dalena langsung menggendongnya dan memeluk putrinya dengan erat. Setelah itu barulah dokter berpamitan keluar. Di sana, Dalena mengambil tas besar berisi pakaiannya dan milik Raccel selama di rumah sakit, juga barang-barang milik Raccel. "Kita tunggu Daddy di luar ya, Sayang," bisik Dalena mengecup pucuk kepala Raccel. Anak itu mengangguk patuh, di dalam gendongan Dalena, Raccel begitu manja. Mereka berdua keluar dari dalam ruangan itu, dan berjalan ke depan menunggu Damien. Satu jam yang lalu, Dalena menghubungi suaminya dan Da
Saat anak-anak dan istrinya tertidur, Damien yang masih terjaga di sana, ia mendekati Dalena yang tidur memeluk Raccel dan Cassel. Mengingat ucapan Cassel yang begitu tajam, Damien sangat tersinggung dan merasa amat bersalah. "Maafkan Daddy ya, Sayang," ucap Damien saat ia menyentuh kening Raccel. "Hehhh..!" Anak itu tersentak dan membuka kedua matanya seketika. Damien menatapnya lekat-lekat dan tersenyum saat putrinya terbangun. "Kenapa bangun, tidur lagi, Sayang. Mommy sama Kakak masih tidur," ujar Damien menarik selimut Raccel. "Emmmm, Mommy..." Raccel kembali merengek dan menangis sembari menggaruk telinga kirinya. "Mommy, Raccel haus!" "Ayo dengan Daddy," bujuk Damien.Laki-laki itu tidak mau mengganggu tidur Dalena, ia langsung mengangkat tubuh Raccel dan menggendongnya. Namun anak perempuannya itu merengek dan lanjut menangis. Hingga Dalena langsung terbangun. "Mommy... Raccel mau sama Mommy," Isak Raccel menunjuk ke arah Dalena. Wanita itu berjalan mendekati Damien