Selama perjalanan menuju bandara, baik Rere maupun Ares tidak ada yang membuka suara. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Rere, gadis itu sedikit merasa terbebani dengan perkataan Tania, ibu Ares. Mertuanya itu sangat berharap jika kembalinya mereka dari Singapura membawa kabar baik. Di mana kali ini harus berhasil yang artinya Rere harus hamil.
Rere menarik napas, lalu menghembusnya perlahan. Ares yang mendengar, sontak menoleh ke arah Rere. “Kenapa, Re?”“Aku tidak apa-apa, kak.”“Jika merasa tidak enak badan, kamu bisa kembali ke rumah, Re. Tidak perlu dipaksa, kan.”“Aku sungguh tidak apa, serius.” Rere menoleh ke arah Ares, meyakinkan pada pria itu jika dirinya memang baik-baik saja. Ia hanya memikirkan perkataan Tania. Selebihnya tidak ada. Lagipula Ares tidak berada di sana, saat Tania mengatakan hal itu padanya. Hanya ada mereka berdua saja. “Tapi jika memang kak Ares merasa keberatan dengan keberadaanku, aku akan kembali. Itu tidak masalah.”“Tidak, bukan begitu, Re,” ujar Ares menjelaskan. “Jika sesuatu terjadi padamu, maka Mama akan menjadi orang pertama yang akan mengomeliku.”Rere tersenyum hingga matanya menyipit. “Tidak perlu memikirkanku. Pikirkan saja dirimu sendiri, kak.”Setelah itu, mereka kembali terdiam. Keheningan mulai melanda. Hingga akhirnya mereka sampai di bandara untuk penerbangan ke Singapura. Mereka berjalan beriringan dengan Ares yang sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Rere fokus pada jalannya. “Awas, kak!” Rere dengan cepat meraih lengan Ares untuk menghentikan langkah pria itu yang akan menabrak seorang gadis kecil. Karena perawakan Ares yang besar, lalu gadis kecil itu yang mini membuat pria itu tidak menyadarinya. Apalagi pria itu juga sibuk dengan ponselnya, sehingga hilang fokus.“Kamu baik-baik saja, sayang?” Rere langsung berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang hampir tertabrak Ares. Meskipun tidak kena, tetapi es krim gadis kecil itu terjatuh.“Anne tidak apa, Tante. Tapi es krim Anne jatuh,” ujarnya menatap sedih ke arah lantai di mana es krimnya berada.Ares yang menyadari itu langsung berjongkok, memperlihatkan raut penyesalannya. “Maafkan Om, sweety. Om akan membelikanmu lagi.”“Tidak perlu, Om. Terima kasih,” ujar Anne dengan sopan.Lalu tidak berselang lama, orang tua Anne menghampiri. Baik Ares maupun Rere meminta maaf kepada orang tua gadis kecil itu. “Tidak apa, Om akan membelikanmu lagi.” Ares langsung menggendong gadis kecil itu. Tidak lupa izin terlebih dulu kepada orang tua Anne. Sedangkan Rere tetap menunggu bersama dengan orang tua gadis kecil itu.“Dia suamimu?” tanya Laura, ibu Anne.Rere menganggukkan kepalanya, tersenyum hangat. “Iya, dia suamiku. Namanya Ares.”“Aku seperti pernah melihatnya. Wajahnya tidak asing bagiku,” ujar Yuta dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dengan logatnya yang terdengar lucu. Melihat dari wajahnya, sepertinya ayah Anne itu berasal dari Jepang.“Ah, benarkah?” tanya Rere. “Mungkin saja dia rekan bisnismu?” Lanjutnya menebak.“Ah, kamu benar. Aku bertemu dengannya saat di Bali. Dia ditemani dengan sekretarisnya ... namanya jika tidak salah itu Raisa.” Yuta menjelaskan.Rere terdiam, saat mendengar nama Raisa disebut. Ia tau betul siapa nama sekretaris Ares dan tentu saja bukan Raisa, melainkan Kavita.“Hanya saja aku bertemu dengannya sekali, karena rapat selanjutnya dia diwakilkan seseorang yang diutusnya, Kavita?”Rere hanya mengangguk, menanggapinya karena tidak tau harus bereaksi bagaimana karena mendengar penjelasan Yuta sudah membuatnya terdiam. Itu berarti bisa saja, pada saat Ares memiliki pekerjaan yang harus membuatnya pergi ke luar kota atau ke luar negeri dalam jangka yang sebentar, suaminya itu tidak mengajak dirinya tetapi mengajak Raisa. Karena Ares hanya akan mengajaknya jika memiliki jangka waktu yang sedikit lebih lama, seperti lebih dari lima hari. Jika hanya 2 atau 3 hari, Ares akan pergi dengan Kavita selaku sekretaris dan pak Gio, asisten pribadinya. Tapi ternyata, suaminya itu juga mengajak Raisa.Rere semakin yakin, membuat Ares untuk melepaskan Raisa dan membuat suaminya itu menatap ke arahnya tidaklah mudah. “Lalu ini kalian akan ke mana?” tanya Laura yang seakan paham dengan posisi Rere.“Kita akan ke Singapura, kak Ares memiliki urusan di sana.” Rere menjelaskan. “Lalu kalian?” Lanjutnya balik bertanya.“Kita akan ke Hongkong, Anne meminta untuk liburan ke sana.”Rere mengangguk, tersenyum menanggapinya. Lalu tidak berselang lama, Ares datang bersama Anne yang berada di gendongan pria itu dengan membawa es krim dan beberapa snack di pelukannya. “Om Ares membelikan Anne banyak snack, Ma, Pa!” serunya dengan senang saat turun dari gendongan Ares.“Sudah mengucapkan terima kasih pada Om Ares?” tanya Laura pada Anne. Gadis kecil itu mengangguk, masih dengan senyum lebarnya merasa senang.“Sudah, Ma.”“Anne sangat lucu, berapa umurnya?” tanya Rere pada Laura.“Lima tahun,” balas Laura. “Semoga kamu dan Ares segera menyusul, ya. Memiliki anak yang hadir untuk dianugerahkan di antara kalian itu akan membuat rumah tangga kalian semakin berkah.”ᥫ᭡Daripada merasa bosan dan suntuk menunggu di hotel, Rere memutuskan untuk pergi ke pantai yang jaraknya lumayan dekat dengan hotel. Hanya berjalan kaki selama lima menit saja, sudah sampai. Rere menggelar kain yang dibawanya, lalu melepaskan dress tipis yang menutupi tubuhnya sehingga membuat tubuhnya terekspos dan hanya ditutupi bikini saja. Ia lalu membaringkan tubuhnya di atas kain yang tadi digelarnya, tidak lupa memakai kaca mata agar matanya terhindar dari teriknya sinar matahari yang menyilaukan.Dua puluh menit berlalu, saat Rere melepas kaca matanya dan berniat untuk mengambil bajunya, ia merasa dikejutkan dengan kehadiran Ares yang ternyata sudah ikut bergabung di sampingnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, sejak kapan Ares datang?“Sejak kapan kak Ares datang?” tanya Rere.“Lima menit yang lalu,” balas Ares tanpa berniat membuka matanya.Rere lalu kembali ikut membaringkan tubuhnya di samping Ares. Lalu memakai kaca matanya. “Tumben rapatnya sebentar?”“Pak Stuart ada urusan mendadak. Istrinya melahirkan,” ujar Ares. “Sepertinya juga kita akan lebih dari seminggu di sini.”“Toko tidak masalah, kan, ditinggal lama?” Lanjut Ares bertanya.“Tidak masalah,” balas Rere singkat.“Atau jika tidak, kamu bisa kembali lebih awal.”“Mengusirku?” tanya Rere dengan sarkas.Ares langsung membuka mata dan mengubah posisinya, menatap Rere yang masih terlihat santai pada posisinya. Tubuh Rere yang terlihat kecil dan langsing, kulitnya yang seputih salju, lalu bibirnya yang merah dan lembab membuat Ares memalingkan mukanya. Entah kenapa seketika ia merasa panas dingin. Padahal biasanya Ares sudah terbiasa melihat tubuh Rere yang hanya terbalut bikini seperti ini saat mereka berpergian.Ares mendekatkan wajahnya ke arah Rere, lalu menyatukan bibir mereka dan melumat bibir istrinya itu dengan lembut. Rere yang mendapat serangan tiba-tiba, merilekskan tubuhnya. Lalu membalas lumatan Ares. Meskipun bukan pertama kalinya, tapi rasanya tetap saja mendebarkan baik bagi Ares maupun Rere. Hal paling intim yang mereka lakukan adalah ciuman. Tidak ada yang lebih dari itu. Mungkin, hanya sentuhan-sentuhan kecil dengan Ares yang memberikan tanda kemerahan di tubuh Rere. Jadi, Ares akan meralatnya jika sebenarnya ia bisa menyentuh Rere dalam hal keintiman, meskipun hanya sebatas ciuman dan sentuhan-sentuhan ringan pada tubuh istrinya. Hanya seperti itu, tidak lebih. Lalu, setiap kali jika Raisa menyinggung apakah Ares pernah menyentuh Rere dalam hal keintiman, ia tidak mengatakan tidak pernah menyentuh Rere melainkan hanya mengatakan jika dirinya belum siap menyentuh Rere. Ares memang berbohong karena ia tidak ingin melukai hati kekasihnya itu.Jika saja Ares mengatakan, sudah terlalu sering menyentuh Rere. Meskipun tidak sampai keluar batas, padahal sebenarnya sah saja mengingat status mereka adalah suami istri yang diakui secara agama dan negara. Mungkin Raisa akan mengakhiri hubungan mereka dan meninggalkannya. Maka, daripada itu terjadi lebih baik Ares berbohong. Karena ia tidak bisa membayangkan jika hidupnya tanpa Raisa. Ia terlalu mencintai wanitanya.Setelah merasa puas dengan memberikan sentuhan dan kecupan kecil hingga memberikan tanda kemerahan di beberapa tubuh Rere, Ares menyudahinya. Sedangkan Rere langsung bangun dari posisi dan memakai dressnya. Mereka membereskan semua barang yang telah dibawa dan berniat kembali ke hotel, seakan tidak ada hal istimewa yang baru saja terjadi.“Tadi aku membelinya saat perjalanan kemari,” ujar Ares saat mereka berjalan beriringan. “Untukmu.” Lanjutnya memberikan sebuah kalung. Talinya berwarna hitam polos dengan liontin berbentuk bunga aster. Lalu ada pengait di ujungnya.Tanpa menjawab kalimat dan menerima kalung itu dari Ares, Rere berdiri di depan suaminya itu dengan posisi membelakangi. Lalu menaikkan seluruh rambutnya hingga memperlihatkan leher jenjangnya yang dihiasi beberapa tanda kemerahan. Ares yang paham, memasangkan kalung yang dibelinya pada leher istrinya itu.“Terima kasih,” ujar Rere membalikkan tubuhnya dengan menatap Ares tulus.Ares balas tersenyum, mengangguk. “Sangat cocok untukmu, Re.”Rere hanya menanggapi dengan senyuman, lalu segera membalikkan tubuhnya lagi sekaligus menutupi kegugupannya.“Bagaimana hubunganmu dengan Ares, Re?” tanya Serena, sahabat Rere sejak kecil. Selain itu, Serena juga sudah mengenal Ares sejak dulu, karena papanya merupakan rekan sekaligus sahabat papa pria itu. “Ya, begitulah, Na. Sama seperti sebelum-sebelumnya, dengan dia yang masih bersama Raisa.”“Kamu tidak berniat ingin merebutnya? Membuat Ares menjadi milikmu seutuhnya.” Entah sudah yang ke berapa kali sejak pernikahan Rere dan Ares, Serena selalu menanyakan hal yang sama. Selain Rere, Serena juga mengetahui hubungan gelap Ares dengan kekasih dari masa lalunya. “Sebenarnya aku memiliki keinginan. Kamu juga sudah tau, aku menyukai kak Ares sejak dulu, Na.” Rere menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya. “Tapi aku merasa, ikatan mereka semakin lama seperti sulit untuk dihancurkan. Hubungan mereka sudah sembilan tahun. Kita tau itu.” “Membuat kak Ares mencintaiku, itu tentu tidak mudah. Bahkan terasa sangat mustahil menghancurkan hubungan mereka.” Lanjut Rere dengan su
“Masih berhubungan dengan Raisa?” tanya Steven yang duduk di seberang Ares. Saat ini mereka sedang berada di bar. Tentu saja private room. Ares menjawab dengan menganggukkan kepalanya, kembali menikmati minuman yang memabukkan itu. Steven terkekeh, menggelengkan kepala merasa heran ada manusia seperti Ares di muka bumi ini. “Tidak berniat memutuskannya? Setidaknya pilih salah satu, Res. Rere atau Raisa.”“Itu pilihan yang sulit, bro.” Ares menjawab disertai kekehan kecil.“Benar-benar definisi pria brengsek,” ujar Steven menanggapi. “Sudah mulai jatuh cinta pada Rere, eh?”Ares menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, ke kanan dan ke kiri seperti memberi isyarat no. “Tentu tidak. Kamu tau, pernikahan kita hanyalah sebatas untuk memenuhi permintaan terakhir kakek.”“Tidak sedikitpun ada perasaan padanya? Pernikahan kalian sudah berjalan tujuh tahun. Mustahil rasanya tidak memiliki rasa pada Rere.” Terkadang, Steven merasa sedikit mustahil salah satu di antara Ares, sahabatnya itu atau R
Untuk pertama kalinya, Ares dan Rere benar-benar tidur bersama di rumah mereka sendiri. Meskipun Ares tidak melebihi batasnya, tapi kejadian semalam benar-benar membuatnya seperti mabuk kepayang. Semua yang ada pada diri Rere, entah kenapa selalu saja membuatnya candu. Hanya dengan sentuhan dan kecupan singkat saja rasanya sudah membuatnya puas. Rere dengan segala keistimewaan dalam dirinya, membuat Ares kadang enggan berpaling. Bahkan ia merasa berat jika harus meninggalkan. Terkadang ia berpikir, bagaimana hidupnya setelah mereka berpisah nanti? Dengan Raisa? Ares tidak yakin, hidupnya akan memiliki warna yang sama ketika saat bersama Rere.Apakah Ares mulai mencintai Rere? Sepertinya tidak. Soal perasaan, untuk siapa yang Ares cintai tentu saja jawabannya adalah Raisa. Namun, Rere adalah persoalan lain. Gadis itu memiliki tempatnya tersendiri dalam diri Ares. Ares tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan pada Rere. Karena yang jelas, Ares belum siap untuk berpisah dengan Rere. Mem
Sejak tadi, Rere tidak beranjak dari tempatnya. Sudah 5 jam lebih, ia duduk di samping batu nisan sembari meletakkan kepalanya di sana. Langit yang tadinya cerah, kini berubah menjadi gelap. Awan hitam mulai menutupi matahari. Semilir angin mulai berhembus dengan tenang. Menandakan jika sebentar lagi hujan akan turun. Rere bahkan tidak berniat untuk beranjak, meskipun tau jika sebentar lagi hujan akan datang. Entah kenapa, setiap kali ia datang ke sini selalu merasa tenang. Ah, tentu saja. Karena di sinilah sekarang, tempat keluarganya berada. Ingin sekali, Rere ikut bergabung tetapi sepertinya Tuhan masih sangat sayang padanya dan memiliki sesuatu hal yang sepertinya akan membuatnya bahagia. Lagipula Rere juga percaya, selalu ada kebahagiaan yang datang setelah kesedihan. Seperti akan ada pelangi setelah hujan reda. “Rere kangen sekali sama kalian,” gumamnya menatap satu-persatu nisan yang berjajar. “Tolong jaga Rere dari sana ya. Kali ini Rere ingin menjadi sosok yang lebih kuat d
Rere mengusap-usap lengannya. Tubuhnya yang terguyur hujan, tentu saja membuat basah seluruhnya. Lalu masuk ke dalam mobil dengan AC yang menyala membuatnya harus menahan dingin. Sedangkan Ares, ia melirik ke arah Rere. Ia pun sadar jika Rere pasti sedang menahan dingin yang begitu menusuk tulang. Hingga tidak sadar, Ares yang mendengus sedikit keras membuat Rere menghentikan aktivitas mengusap-usap lengannya. Gadis itu melirik takut ke arah Ares yang entah kenapa terlihat menyeramkan. Tanpa banyak bicara, Ares menghentikan mobilnya di salah satu toko baju terdekat. Ia turun tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Rere. Tidak berselang lama, Ares datang kembali dengan membawa satu totebag berisikan sepasang baju, beserta bra dan celana dalam. “Pakai.” Ares memberikan totebag pada Rere dan langsung diterima oleh gadis itu. “Di sini?” tanya Rere menatap Ares dengan polos.“Ya, cepat pakai dan jangan banyak bertanya.” Tidak masalah jika Rere harus berganti di dalam mobil, lagipula kaca
“Aku akan mengganti bajuku sebentar, kita akan pergi ke dokter,” ujar Ares. Pria itu akan beranjak dari duduknya, tapi ditahan oleh Rere.“Tidak perlu, kak. Aku hanya merasa sedikit pusing. Nanti juga sembuh sendiri.”“Aku sedang tidak menawarimu, Re. Kita akan ke dokter dan tidak ada penolakan.” Ares menatap Rere dengan tegas. “Badanmu pun juga panas. Jangan menyepelekan.”Bahkan meskipun merasa pusing dan badannya yang panas, Rere tetap melakukan aktivitas seperti biasanya, menyiapkan makan malam untuk Ares. Lalu saat semua sudah siap, tiba-tiba saja Rere kehilangan keseimbangannya membuat ia hampir saja jatuh, untung saja Ares datang tepat waktu dan dengan cepat menahan tubuhnya. “Duduklah di sini dan jangan ke mana-mana.” “Kak, kamu baru saja pulang dari kantor. Istirahatlah. Aku berjanji besok akan pergi ke dokter diantar oleh Pras.”“Aku tidak merasa lelah,” balas Ares tidak mau dibantah. “Jadi, jangan membantah lagi.”“Oke, baiklah,” balas Rere pelan dengan suara lemasnya. Me
Sejak tadi, Rere terus saja melamun. Saat Ares menyentuhnya, gadis itu dengan cepat menangkis tangannya. Sepertinya, kejadian yang dialaminya malam itu sangat berdampak besar pada psikis Rere. Tentu saja gadis itu trauma. Mengalami pelecehan seksual adalah hal yang tidak diinginkan oleh semua wanita di dunia. “Makanlah sedikit saja, Re. Kamu bahkan belum makan sejak kemarin dan hanya meminum susu saja.” Entah sudah berapa kali Ares membujuk Rere, tapi tetap diabaikan gadis itu. Sampai detik ini pun, tidak ada yang mengetahui kejadian yang menimpa Rere. Tapi, Ares sudah membereskan semuanya. Pria-pria brengsek itu sudah diurus oleh pihak berwajib, lagipula mudah baginya untuk membereskan hal ini dan tidak memberi ampun pada mereka. Bahkan kemarin, Serena sempat kemari. Tapi untung saja, Ares sudah berpesan pada pak Prapto dan juga orang-orang yang bekerja di rumahnya. Jika ada yang bertanya soal Rere atau ingin menemui istrinya itu, untuk mengatakan pada mereka jika Rere sedang pergi
Sesuai dengan rencana awal jika mereka akan pergi ke toko bunga milik Rere. “Bisakah kamu menambah kecepatannya, kak? Aku tidak sabar ingin segera sampai di toko bunga.” Sejak tadi, Rere tidak berhenti bertingkah menggemaskan dan tentu saja itu sangat menghibur Ares. Pria itu bahkan tidak berhenti tertawa kecil saat Rere terus merajuk dan bertingkah lucu.Sampai akhirnya, mereka sampai di tempat tujuan. Rere dengan bersemangat membuka pintu mobil dan berlari ke arah toko yang masih tertutup. Ia lalu berdiri di depan pintu toko, mencari kunci di tasnya. Hembusan napas kecewa terdengar, membuat Ares yang baru saja datang menghampiri tersenyum kecil. “Kenapa?” tanyanya dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding.Rere beralih menatap Ares dengan bibirnya yang masam. “Aku lupa tidak membawa kunci toko,” balasnya. “Kamu terlalu bersemangat hingga membuatmu lupa, Re.” Saat Rere akan berjalan menuju mobil, suara Ares menghentikan pergerakannya. “Mau ke mana?”“Tentu saja pulang. Karena aku t