“Tempat apa ini?” Desy terus menatap rumah megah milik Deon. Dia merasa takjub. “Tunggu di sini. Aku akan kembali secepatnya.” Aldo bergegas melepaskan sabuk pengaman dan turun dari mobil. Dia berlari kecil masuk ke dalam rumah besar itu. “Apa ini rumah Deon Alvarendra? Rumah ini sangat bagus. Pantas saja Melani betah bekerja di sini,” gumam Desy. Netranya berbinar menatap rumah di depannya. Tiba-tiba binar matanya meredup. “Tidak mungkin. Mereka pasti hanya menyisakan kamar yang sangat kecil untuk pembantu,” gumamnya lagi. “Oh, malangnya sahabatku, Melani. Dia pasti sangat lelah membersihkan rumah sebesar itu sendirian,” lanjutnya seraya melengkungkan bibirnya ke bawah. Tiba-tiba Nafisa keluar dari rumah besar itu, disusul Aldo di belakangnya. Wajah muram Desy tiba-tiba berubah sumringah saat melihat Nafisa tampak begitu cantik dan imut dengan mengenakan dress tutu. “Nafisa?” Desy bergegas menuruni mobil dan berlari menemui Nafisa. “Kamukah itu, Cantik? Tante Desy sampai pangling,
Darah segar mengalir di bibir bawah Melani hingga membuat dia sedikit meringis karena merasakan perih. Namun, rasa perih itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa perih di hatinya karena tuduhan Desy barusan. Melani meraih tangan Nafisa dan menariknya mendekat, lalu dia berbalik dan melangkah pergi, membawa Nafisa meninggalkan Desy yang masih berdiri terpaku di ambang pintu butik. Deon yang merasa marah berjalan mendekati Desy dengan tatapan bagaikan serigala yang sedang menatap musuhnya. Dia berjalan pelan, hingga sampai tepat di hadapan Desy. Gerakan tubuhnya dan tatapan matanya hampir membuat tubuh Desy merasa lemas dan ingin segera kabur dari tempat itu. “Kamu seharusnya menjaga prasangka di dalam pikiranmu itu, Nona. Jika tidak bisa menjaga prasangkamu, setidaknya tahanlah mulutmu dari perkataan yang tajam,” ujar Deon seraya menatap tajam Desy. “Apa kamu tidak sadar, jika kata-katamu itu telah melukai perasaan istriku? Bukankah kamu sahabatnya? Mengapa kamu melukai
“Apa yang dikatakan Tante Desy tadi, Ma? Kenapa dia marah kepadamu?” tanya Nafisa polos. Dia mendengar semua ucapan Desy pada Melani, tetapi tidak memahami maksudnya. Melani menghembuskan napas berat. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Nafisa. Bagaimana dia menjelaskan masalah orang dewasa pada bocah sekecil itu? “Tante Desy tidak marah, Nafisa. Tadi hanyalah perdebatan kecil antara dua orang sahabat. Kamu akan mengerti saat dewasa nanti,” jawab Melani pada akhirnya. Dia tersenyum lembut pada Nafisa, lalu mengajak bocah kecil itu duduk di kursi. “Tapi tadi Nafisa melihat Tante Desy marah,” gumam Nafisa yang tidak menerima penjelasan dari mamanya. “Tante Desy hanya salah paham, Nafisa. Dia mengira Mama Melani sedang menyakiti Om Deon¸ padahal sebenarnya Mama Melani hanya tidak sengaja terjatuh dan mengenai Om Deon.” Tiba-tiba Deon datang dan membantu Melani untuk menjelaskan semuanya. Dia duduk menghadap Nafisa dan menatapnya lekat. “Itu benar, Nafisa,” sahut Mel
“Aku gak mau tau! Kak Johan harus menemaniku ke Queenafisa. Kabarnya, butik itu akan melelang pakaian milik Titi Kamal. Kamu tau Titi Kamal, ‘kan? Dia artis terkenal yang sering membintangi beberapa film di televisi. Aku sangat mengaguminya.” Bonita berteriak girang. Dia sedang berbicara dengan Johan lewat telepon. “Tidak tahu! Aku taunya Titi Kumel," jawab Johan ketus. "Aku serius, Kak Johan!" Bonita mendelik kesal. "Kamu mau menemaniku atau tidak?" tanyanya menegaskan. "Lagian, apa bagusnya pakaian bekas, sih? Meski bekas artis, tetap saja yang namanya bekas itu tidak akan sebagus yang baru,” oceh Johan di telepon. Dia menjawab dengan ogah-ogahan. "Kak Johan menyindir diri Kakak sendiri?" Malas menanggapi rengekan Bonita di telepon, Johan segera menutup telepon dan meletakkan ponselnya ke dalam saku. Saat Johan baru saja ke luar rumah untuk berangkat kerja, tiba-tiba Bonita sudah berada di depan rumahnya. Dia sudah berdandan cantik dengan pakaian kerjanya dan tersenyum menatap J
“Kamu benar-benar tidak peduli? Apa kamu tidak peduli saat orang-orang menganggap buruk tentangmu?” tanya Johan kepada Bonita. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa ada wanita yang bermuka tembok seperti Bonita? “Aku tidak peduli. Lagian, aku tidak pernah minta makan kepada mereka. Terserah orang mau berkata apa, mungkin mereka hanya iri kepadaku,” jawab Bonita pasti. Dia benar-benar sudah tidak punya rasa malu. “Apa kamu juga tidak peduli kepadaku? Kamu tidak peduli jika reputasiku buruk dan itu akan berdampak pada karirku di perusahaan?” tanya Johan lagi. “Kenapa Kak Johan bertanya seperti itu? Tentu saja aku peduli,” jawab Bonita dengan pasti. “Lalu apa Kakak juga peduli kepadaku? Aku hanya mau ditemani ke butik,” ucapnya memelas. “Pokoknya aku tidak akan turun sebelum Kakak janji mau menemaniku ke butik,” lanjutnya. Johan melihat jam tangannya, lalu buru-buru menyalakan mesin mobilnya. Dia merasa lega ketika sebuah taksi berhenti di depan mobilnya. “Kita akan segera terlambat B
Bonita kembali mencoba menghubungi Johan, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dia mematikan ponsel dengan kesal dan memasukkannya ke dalam tas. Wajahnya semakin ditekuk saat melihat Deon dan Nafisa menghampiri Melani. Acara pelelangan dimulai. Semua pengunjung yang ikut acara pelelangan dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan. Dengan ragu-ragu, Bonita mengambil tempat duduk di kursi paling belakang, berseberangan dengan tempat duduk Melani dan keluarga yang juga duduk di kursi paling belakang. “Ini adalah piyama favorit yang sering dipakai Titi Kamal saat bersantai di rumah. Kami akan melelang piyama ini dengan harga awal satu juta rupiah. Apakah ada di antara kalian yang mau memberikan penawaran harga yang lebih tinggi?” ujar juru lelang seraya menunjuk pada piyama lengan panjang berwarna merah. “Siapa yang memberikan penawaran paling tinggi, itulah yang akan mendapatkan piyama ini,” lanjutnya menjelaskan. “Satu juta lima ratus ribu rupiah!” Seorang wanita bertubuh mungil yan
Nenek tua merasa puas setelah menunjukkan tas berisi penuh dengan uang di hadapan Bonita. Dia menutup tas itu, lalu menyerahkannya pada juri lelang. Bonita masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Sungguh di luar dugaan, ternyata nenek tua itu benar-benar kaya. Saat nenek tua itu kembali, dia tersenyum dengan sangat manis. "Seandainya cucu nenek ada di sini, dia pasti merasa sangat beruntung. Dia mempunyai nenek yang sangat menyayanginya," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat. "Nenek! Aku minta maaf dengan ucapanku tadi yang sudah meragukanmu. Sebenarnya aku merasa terkejut saat melihatmu. Aku jadi teringat dengan nenekku yang meninggal beberapa tahun yang lalu." Bonita berkata dengan memelas untuk menarik simpati nenek tua yang kaya raya itu. "Oh, begitukah? Untunglah nenekmu tidak melihat sikapmu yang tidak sopan memperlakukan orang yang lebih tua." Nenek tua berkata seraya tersenyum miring. "Apa Nenek mau memaafkan aku? Kita mempunyai nasib yang sama, Nenek. Aku
"Menyebalkan sekali!" Bonita melempar tas berisi piyama bekas yang dia beli saat acara lelang di butik milik Melani tadi. "Jika tau butik itu milik Kak Melani, aku tidak akan pernah datang ke sana," ocehnya saat baru saja masuk ke dalam mobil Johan. "Benarkah? Bukankah kamu sangat menginginkan pakaian bekas artis favoritmu itu?" Johan bertanya seraya mengambil tas berisi piyama bekas yang tergeletak di kursi mobil. "Bagaimanapun, hanya butik itu yang menjual pakaian bekas artis favoritmu." Dia memberikan tas itu kepada Bonita, lalu duduk di kursi mobil. Dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, meninggalkan butik yang masih ramai pengunjung. "Apa kamu tidak menyesal? Pulang dengan hanya membawa piyama bekas itu? Biasanya kamu tidak akan pulang sebelum memborong banyak pakaian," oceh Johan sembari menyetir mobil. Bonita menatap Johan dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. "Kenapa Kak Johan sangat menyebalkan? Jika tau kebiasaanku saat berbelanja, kenapa tadi buru-buru mengaja
“Kamu ada waktu dalam minggu-minggu ini, Sayang? Aku ingin pergi berdua denganmu. Sejak pernikahan kita, aku belum sempat mengajakmu berbulan madu.” Deon menyempatkan menelepon Melani di sela-sela kesibukannya bekerja.Di seberang telepon, Melani sibuk mempelajari berkas-berkas perusahaan. “Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku harus mengurus butik dan juga mengurus perusahaan Ayah.” Melani berkata dengan penuh penyesalan.“Tapi kamu mempunyai banyak karyawan. Kamu bisa mendelegasikan semua pekerjaanmu pada mereka,” bujuk Deon. Dia sangat berharap bisa menikmati waktu berdua dengan istrinya.“Lain kali saja ya? Kamu tahu, aku baru saja membuat kebijakan baru untuk perusahaan ayahku. Aku membuat mereka menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol. Karena kebijakanku itu, perusahaan mengalami penurunan laba yang signifikan. Aku harus memperbaiki semua ini, Sayang.”“Apa? Apa yang kamu lakukan, Melani?” Tiba-tiba Nenek Karmila masuk ke ruang
Melani tampak sangat cantik mengenakan pakaian pengantin warna putih. Pesta pernikahan kali ini diadakan di Ballroom Hotel Alvarendra. Jika biasanya para pengantin akan menyewa gedung pernikahan selama dua atau empat jam saja, rencananya mereka akan memakai ballroom itu seharian penuh, dari pagi hingga malam hari.Banyak sekali tamu undangan yang menghadiri acara pesta pernikahan itu, mulai dari rakyat biasa hingga para pejabat dan rekan kerja Deon. Bahkan, para tamu undangan yang datang dari luar kota bisa menginap di hotel setempat dengan gratis.Tiba saat acara lempar bunga, para pasangan maupun para jomlo berebut buket bunga yang dilempar pengantin.Buket bunga yang dilempar Melani jatuh ke tangan Aldo dan Desy secara serempak. Mereka berdua berebut buket bunga itu dan tidak ada yang mau mengalah.“Kenapa kalian harus berebutan seperti anak kecil? Bukankah kalian akan menikah pada hari yang sama?” sindir Vina yang tia-tiba datang dengan gaun merahnya yang indah. Dia berhasil mereb
“Syarat lagi? Apa itu?” Deon bertanya pada mamanya. Dia akan melakukan apa pun, asalkan kedua orangtuanya mau merestui hubungan pernikahan dia dan Melani.“Papa dan Mama tidak hadir di pesta pernikahan kalian dulu. Jadi, Mama mau kalian mengadakan pesta pernikahan lagi. Kali ini harus meriah. Aku mau seluruh teman Mama dan rekan bisnismu diundang di pesta itu.” Mama Deon berkata panjang lebar.Deon dan Melani saling berpandangan. Mereka mengangguk pasti. Keduanya tersenyum bahagia setelah mendapatkan restu dari kedua orangtua Deon. Rasanya, satu beban yang mengganjal di hati mereka telah terbebas dan lepas.“Sekarang, kita tinggal meminta restu pada ayahmu, Melani,” gumam Deon. Melani mengangguk setuju.“Deon, Mela, bolehkah kami meminta bantuan kalian?” ujar Papa Deon memohon. “Aku ingin bertemu dengan Brian Atmajaya, ayah Melani. Bisakah kalian membawaku ke sana?” lanjutnya.Deon dan kedua orangtuanya pergi untuk menjenguk Brian Atmajaya di Lapas. Sementara, Melani akan menyusul set
“Apa kamu tidak bercanda, Deon? Mela, istrimu?” Mama dan Pap Deon bertanya serempak. Mereka saling berpandangan untuk sejenak. Tidak percaya dengan pengakuan Deon barusan.“Kamu pasti berbohong, Deon! Kamu berbohong agar kami merestui hubungan kalian. Sejak kapan kamu mulai berani berbohong?” Papa Deon menatap tajam anaknya.“Aku setuju! Aku juga menyangsikan ucapanmu, Deon. Mana mungkin Mela adalah istrimu? Jelas-jelas mereka adalah orang yang berbeda. Istrimu berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan Mela hanya gadis sederhana yang berasal dari kelas menengah. Mereka sangat berbeda, Deon.” Mama Melani menyangkal.“Pa, Ma, tapi Mela benar-benar telah menjadi istriku istriku. Mela dan Melani adalah orang yang sama. Nama lengkapnya Melani Atmajaya, saat di sekolah dulu, teman-teman kami memanggilnya Mela.” Deon menjelaskan panjang lebar. Dia menghentikan kalimatnya sejenak untuk mengambil napas, kemudian kembali me
“Bagaimana Anda akan mengeluarkan Brian Atmajaya dari penjara?” Aldo bertanya pada Deon. “Apa itu tidak menyalahi aturan hukum yang berlaku?” lanjutnya.“Itu bukan hal yang sulit.” Deon tersenyum miring. “Kamu tahu, hukum di negara kita bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Sebenarnya aku tidak ingin membeli hukum, tapi jika itu demi kebaikan, kenapa tidak? Lagi pula aku bukan membela orang yang salah. Bukankah Brian Atmajaya tidak bersalah? Dia hanya dijebak,” ujarnya panjang lebar.“Lalu, apakah menurut Anda Brian Atmajaya akan menepati janjinya? Apa dia berani mengambil tindakan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaannya, sementara tindakan itu mendapatkan pertentangan dari banyak pihak?” Aldo bertanya penasaran. Dia khawatir Brian Atmajaya akan mengingkari janjinya.“Jangan khawatir, Aldo. Aku tidak peduli dengan langkah apa yang akan diambil ayah mertuaku s
Maaf semuanya, dua bab terakhir yang berjudul Direktur Baru dan Ayah Mertua terbalik karena kesalahan teknis saat posting. Seharusnya baca bab Ayah Mertua lebih dulu baru kemudian baca bab Direktur Baru. Sekali lagi mohon maaf ya. Akan segera diperbaiki.Oh ya, kalian juga bisa membaca karya aku lainnya di Good Novel yang berjudul "Dicerai Setelah Malam Pertama" (Nama pena Norasetyana), hanya 40 bab yaFollow juga sosmed-ku juga yaF* Norasetya (Mommykhaa)I* NuurahmaaSelamat malam. Selamat berakhir pekan. Semoga cerita-ceritaku ini bisa menghibur bagi kalian. Semoga kita semua dilancarkan rejekinya dan diberi kesehatan, aamiin.Menjadi Janda Tajir Melintir akan segera tamat di bab 130-an. Selamat membaca. Ikuti terus ceritaku ya.
“Ayah tenang saja. Aku akan mengusahakan Ayah agar segera keluar dari penjara ini,” ujar Deon pasti. “Ayah tidak akan mengingkari janji, ‘kan? Ayah akan menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol?” Dia bertanya memastikan. Brian hendak mengangguk pasti, tapi Nenek Karmila memelototinya. “Itu tidak akan terjadi. Apa kamu pikir aku tidak tahu, mengapa kamu meminta kami menutup Jay Bar dan menghentikan produksi minuman beralkohol di perusahaan kami?” Nenek Karmila menghentikan kalimatnya sejenak. “Itu karena perusahaan kalian sedang merencanakan untuk membangun bidang usaha yang sama. Kalian ingin menyingkirkan pesaing berat yang akan mengganggu penjualan perusahaan kalian,” lanjutnya. Deon hendak membela diri, tetapi tiba-tiba dua orang sipir datang menghampiri mereka. “Waktu jenguk sudah habis. Sekarang, sebaiknya kalian pulang. Kami akan mengantar narapidana kembali ke tahanan.” Mereka menangkap kedua tangan Brian dan membawanya masuk ke sel tahanan. Sementara itu
“Siapa kalian?” Brian Atmajaya bicara dengan terbata-bata. Dia terus menatap dua orang laki-laki di depannya. Laki-laki yang berusia jauh lebih muda darinya. “Apakah kalian datang ke sini untuk membahas pekerjaan? Pasti orang perusahaan yang menyuruh kalian menemuiku. Pulanglah! Aku tidak ingin membahas pekerjaan selama di sini,” ujarnya seraya memalingkan muka. “Kami tidak ingin membahas pekerjaan, Pak. Kami ke sini karena ingin membantu Anda keluar dari tempat ini,” ujar Deon meyakinkan. Dia tidak mengungkapkan identitas dia yang sebenarnya kepada laki-laki yang mengenakan baju tahanan. “Sungguh?” Brian melebarkan mata tidak percaya. Dia tertawa keras. “Bagaimana kamu bisa membebaskan aku dari sini? Sementara keluargaku yang kaya saja tidak bisa melakukannya?” Dia turus tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, Anda masih harus menjalani masa tahanan selama tiga tahun. Aku mau membantu Anda untuk mengurangi masa tahanan Anda. Bukankah lebih baik jika Anda lebih cepat
“Papa janji akan menjemput Mama dan Nafisa secepatnya, ‘kan?” Nafisa memelas. “Jangan sampai Papa Johan yang menjemput kami lebih dulu,” ujarnya dengan melengkungkan bibir ke bawah.“Papa Johan?” Deon mengerutkan keningnya. “Kenapa Papa Johan menjemput kalian? Itu tidak mungkin terjadi.” Dia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia pikir, Nafisa hanya bercanda.“Papa Johan menginap di sini kemarin malam,” ujar Nafisa polos.“Apa? Papa Johan menginap di sini? Kamu, Mama, dan Papa Johan tidur di kamar ini bertiga?” Deon melebarkan mata. Tiba-tiba terasa panas di dadanya.Nafisa menggelengkan kepala. “Hanya Nafisa dan Papa Johan. Mama tidur di kamar Nenek.” Nafisa menjelaskan. Dia sama sekali tidak menyadari jika papa sambungnya itu mulai cemburu.“Kenapa nenekmu dan mamamu mengizinkan Papa Johan menginap di sini?” Deon meminta penjelasan. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika mantan suami Melani bisa tinggal d rumah ini dan bertemu Melani, sementara dia tidak bisa. Bagaim