“Apa yang dikatakan Tante Desy tadi, Ma? Kenapa dia marah kepadamu?” tanya Nafisa polos. Dia mendengar semua ucapan Desy pada Melani, tetapi tidak memahami maksudnya. Melani menghembuskan napas berat. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Nafisa. Bagaimana dia menjelaskan masalah orang dewasa pada bocah sekecil itu? “Tante Desy tidak marah, Nafisa. Tadi hanyalah perdebatan kecil antara dua orang sahabat. Kamu akan mengerti saat dewasa nanti,” jawab Melani pada akhirnya. Dia tersenyum lembut pada Nafisa, lalu mengajak bocah kecil itu duduk di kursi. “Tapi tadi Nafisa melihat Tante Desy marah,” gumam Nafisa yang tidak menerima penjelasan dari mamanya. “Tante Desy hanya salah paham, Nafisa. Dia mengira Mama Melani sedang menyakiti Om Deon¸ padahal sebenarnya Mama Melani hanya tidak sengaja terjatuh dan mengenai Om Deon.” Tiba-tiba Deon datang dan membantu Melani untuk menjelaskan semuanya. Dia duduk menghadap Nafisa dan menatapnya lekat. “Itu benar, Nafisa,” sahut Mel
“Aku gak mau tau! Kak Johan harus menemaniku ke Queenafisa. Kabarnya, butik itu akan melelang pakaian milik Titi Kamal. Kamu tau Titi Kamal, ‘kan? Dia artis terkenal yang sering membintangi beberapa film di televisi. Aku sangat mengaguminya.” Bonita berteriak girang. Dia sedang berbicara dengan Johan lewat telepon. “Tidak tahu! Aku taunya Titi Kumel," jawab Johan ketus. "Aku serius, Kak Johan!" Bonita mendelik kesal. "Kamu mau menemaniku atau tidak?" tanyanya menegaskan. "Lagian, apa bagusnya pakaian bekas, sih? Meski bekas artis, tetap saja yang namanya bekas itu tidak akan sebagus yang baru,” oceh Johan di telepon. Dia menjawab dengan ogah-ogahan. "Kak Johan menyindir diri Kakak sendiri?" Malas menanggapi rengekan Bonita di telepon, Johan segera menutup telepon dan meletakkan ponselnya ke dalam saku. Saat Johan baru saja ke luar rumah untuk berangkat kerja, tiba-tiba Bonita sudah berada di depan rumahnya. Dia sudah berdandan cantik dengan pakaian kerjanya dan tersenyum menatap J
“Kamu benar-benar tidak peduli? Apa kamu tidak peduli saat orang-orang menganggap buruk tentangmu?” tanya Johan kepada Bonita. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa ada wanita yang bermuka tembok seperti Bonita? “Aku tidak peduli. Lagian, aku tidak pernah minta makan kepada mereka. Terserah orang mau berkata apa, mungkin mereka hanya iri kepadaku,” jawab Bonita pasti. Dia benar-benar sudah tidak punya rasa malu. “Apa kamu juga tidak peduli kepadaku? Kamu tidak peduli jika reputasiku buruk dan itu akan berdampak pada karirku di perusahaan?” tanya Johan lagi. “Kenapa Kak Johan bertanya seperti itu? Tentu saja aku peduli,” jawab Bonita dengan pasti. “Lalu apa Kakak juga peduli kepadaku? Aku hanya mau ditemani ke butik,” ucapnya memelas. “Pokoknya aku tidak akan turun sebelum Kakak janji mau menemaniku ke butik,” lanjutnya. Johan melihat jam tangannya, lalu buru-buru menyalakan mesin mobilnya. Dia merasa lega ketika sebuah taksi berhenti di depan mobilnya. “Kita akan segera terlambat B
Bonita kembali mencoba menghubungi Johan, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dia mematikan ponsel dengan kesal dan memasukkannya ke dalam tas. Wajahnya semakin ditekuk saat melihat Deon dan Nafisa menghampiri Melani. Acara pelelangan dimulai. Semua pengunjung yang ikut acara pelelangan dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan. Dengan ragu-ragu, Bonita mengambil tempat duduk di kursi paling belakang, berseberangan dengan tempat duduk Melani dan keluarga yang juga duduk di kursi paling belakang. “Ini adalah piyama favorit yang sering dipakai Titi Kamal saat bersantai di rumah. Kami akan melelang piyama ini dengan harga awal satu juta rupiah. Apakah ada di antara kalian yang mau memberikan penawaran harga yang lebih tinggi?” ujar juru lelang seraya menunjuk pada piyama lengan panjang berwarna merah. “Siapa yang memberikan penawaran paling tinggi, itulah yang akan mendapatkan piyama ini,” lanjutnya menjelaskan. “Satu juta lima ratus ribu rupiah!” Seorang wanita bertubuh mungil yan
Nenek tua merasa puas setelah menunjukkan tas berisi penuh dengan uang di hadapan Bonita. Dia menutup tas itu, lalu menyerahkannya pada juri lelang. Bonita masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Sungguh di luar dugaan, ternyata nenek tua itu benar-benar kaya. Saat nenek tua itu kembali, dia tersenyum dengan sangat manis. "Seandainya cucu nenek ada di sini, dia pasti merasa sangat beruntung. Dia mempunyai nenek yang sangat menyayanginya," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat. "Nenek! Aku minta maaf dengan ucapanku tadi yang sudah meragukanmu. Sebenarnya aku merasa terkejut saat melihatmu. Aku jadi teringat dengan nenekku yang meninggal beberapa tahun yang lalu." Bonita berkata dengan memelas untuk menarik simpati nenek tua yang kaya raya itu. "Oh, begitukah? Untunglah nenekmu tidak melihat sikapmu yang tidak sopan memperlakukan orang yang lebih tua." Nenek tua berkata seraya tersenyum miring. "Apa Nenek mau memaafkan aku? Kita mempunyai nasib yang sama, Nenek. Aku
"Menyebalkan sekali!" Bonita melempar tas berisi piyama bekas yang dia beli saat acara lelang di butik milik Melani tadi. "Jika tau butik itu milik Kak Melani, aku tidak akan pernah datang ke sana," ocehnya saat baru saja masuk ke dalam mobil Johan. "Benarkah? Bukankah kamu sangat menginginkan pakaian bekas artis favoritmu itu?" Johan bertanya seraya mengambil tas berisi piyama bekas yang tergeletak di kursi mobil. "Bagaimanapun, hanya butik itu yang menjual pakaian bekas artis favoritmu." Dia memberikan tas itu kepada Bonita, lalu duduk di kursi mobil. Dia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, meninggalkan butik yang masih ramai pengunjung. "Apa kamu tidak menyesal? Pulang dengan hanya membawa piyama bekas itu? Biasanya kamu tidak akan pulang sebelum memborong banyak pakaian," oceh Johan sembari menyetir mobil. Bonita menatap Johan dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan. "Kenapa Kak Johan sangat menyebalkan? Jika tau kebiasaanku saat berbelanja, kenapa tadi buru-buru mengaja
"Mama!" Nafisa berteriak kencang memanggil Melani, tetapi seorang laki-laki bertubuh kekar membungkam mulut Nafisa dengan telapak tangannya. "Diam kamu anak kecil! Jika terus berteriak, aku akan membunuh orangtuamu," ancam laki-laki kekar itu pada Nafisa. Nafisa terus memberontak hendak melepaskan diri dari cengkeraman lelaki berpenampilan preman itu, tetapi tubuhnya terlalu kecil untuk bisa melakukan perlawanan. Akhirnya dia hanya bisa diam dan menangis. Deon berlari ke luar butik saat mendengar teriakan Melani. "Ada apa, Melani? Di mana Nafisa?" tanyanya panik. Dia melihat ke sekeliling dan tidak mendapati Nafisa ada di mana-mana. "Kenapa kamu memanggil-manggil Nafisa, Melani? Apa yang terjadi pada Nafisa?" Deon memegangi kedua bahu Melani. "Nafisa! Nafisa diculik! Preman itu membawa Nafisa!" ujar Melani sambil menunjuk ke arah Land Cruiser yang melaju dengan kencang. Wajahnya tampak cemas dan khawatir. "Mereka membawa Nafisa menggunakan mobil itu!" tunjuk Melani. Mobil Land C
Nafisa berada di ruangan yang gelap dan pengap seorang diri. Tanpa sadar, netranya telah penuh oleh air mata. Dia begitu ketakutan. "Siapapun, tolong selamatkan aku!" gumamnya dengan suara bergetar. Suaranya tidak dapat terdengar dengan jelas karena mulutnya tertutup oleh lakban. Anak buah Deon telah berpencar mengelilingi kota, tetapi tidak satu pun menemukan mobil yang membawa Nafisa. Deon dan Melani melajukan mobil seraya menyapukan pandangan ke sekitar jalanan. Tiba-tiba mobil berhenti saat berada di depan sebuah gang sempit. "Sial! Kenapa mobilnya harus mogok di sini? Tidak biasanya mobil ini mogok." Deon mendengkus kesal. Dia melihat Melani yang terlihat cemas. "Tenanglah, aku akan menyuruh orang untuk mengantar mobil yang lain ke sini," ucapnya. Dia memegang tangan Melani untuk menenangkan istrinya itu. Deon dan Melani menunggu beberapa saat di dalam mobil. Tiba-tiba Melani berdiri dan keluar dari mobil. "Aku tidak bisa menunggu lagi. Aku akan mencari Nafisa sekarang," ucapn