"Kenapa kamu melakukannya?" Melani bertanya tidak mengerti. "Aku tau uangmu banyak, tapi kamu tidak perlu membuang-buang uang untuk hal seperti itu. Aku akan mengembalikan sisa uangnya," ujarnya tegas. "Tidak perlu mengembalikannya. Aku melakukannya tulus untuk membantumu. Butikmu akan cepat berkembang jika kamu menggunakan uang itu sebagai modal." Deon merapikan kerah kemejanya. Dia melangkah seraya berkata, "Ayo, aku akan mengantarmu ke butik. Kamu tidak melarangku untuk melihat butik milik istriku, 'kan?" Terpaksa Melani mengikuti langkah Deon. Dia berjalan sambil merogoh ponselnya untuk menghubungi Desy. Sampai di dalam mobil, Melani masih terus berusaha menghubungi Desy. Karena Desy tidak juga menjawab, akhirnya dia mengetikkan sebuah pesan, "Desy, aku sudah berangkat ke butik. Kamu tidak usah menjemputku ya. Makasih." Desy sudah sampai di kantor Deon saat pesan dari Melani terkirim. Dia belum sempat membaca pesan dari Melani karena saat menghentikan mobil, perhatiannya langsu
“Tempat apa ini?” Desy terus menatap rumah megah milik Deon. Dia merasa takjub. “Tunggu di sini. Aku akan kembali secepatnya.” Aldo bergegas melepaskan sabuk pengaman dan turun dari mobil. Dia berlari kecil masuk ke dalam rumah besar itu. “Apa ini rumah Deon Alvarendra? Rumah ini sangat bagus. Pantas saja Melani betah bekerja di sini,” gumam Desy. Netranya berbinar menatap rumah di depannya. Tiba-tiba binar matanya meredup. “Tidak mungkin. Mereka pasti hanya menyisakan kamar yang sangat kecil untuk pembantu,” gumamnya lagi. “Oh, malangnya sahabatku, Melani. Dia pasti sangat lelah membersihkan rumah sebesar itu sendirian,” lanjutnya seraya melengkungkan bibirnya ke bawah. Tiba-tiba Nafisa keluar dari rumah besar itu, disusul Aldo di belakangnya. Wajah muram Desy tiba-tiba berubah sumringah saat melihat Nafisa tampak begitu cantik dan imut dengan mengenakan dress tutu. “Nafisa?” Desy bergegas menuruni mobil dan berlari menemui Nafisa. “Kamukah itu, Cantik? Tante Desy sampai pangling,
Darah segar mengalir di bibir bawah Melani hingga membuat dia sedikit meringis karena merasakan perih. Namun, rasa perih itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa perih di hatinya karena tuduhan Desy barusan. Melani meraih tangan Nafisa dan menariknya mendekat, lalu dia berbalik dan melangkah pergi, membawa Nafisa meninggalkan Desy yang masih berdiri terpaku di ambang pintu butik. Deon yang merasa marah berjalan mendekati Desy dengan tatapan bagaikan serigala yang sedang menatap musuhnya. Dia berjalan pelan, hingga sampai tepat di hadapan Desy. Gerakan tubuhnya dan tatapan matanya hampir membuat tubuh Desy merasa lemas dan ingin segera kabur dari tempat itu. “Kamu seharusnya menjaga prasangka di dalam pikiranmu itu, Nona. Jika tidak bisa menjaga prasangkamu, setidaknya tahanlah mulutmu dari perkataan yang tajam,” ujar Deon seraya menatap tajam Desy. “Apa kamu tidak sadar, jika kata-katamu itu telah melukai perasaan istriku? Bukankah kamu sahabatnya? Mengapa kamu melukai
“Apa yang dikatakan Tante Desy tadi, Ma? Kenapa dia marah kepadamu?” tanya Nafisa polos. Dia mendengar semua ucapan Desy pada Melani, tetapi tidak memahami maksudnya. Melani menghembuskan napas berat. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Nafisa. Bagaimana dia menjelaskan masalah orang dewasa pada bocah sekecil itu? “Tante Desy tidak marah, Nafisa. Tadi hanyalah perdebatan kecil antara dua orang sahabat. Kamu akan mengerti saat dewasa nanti,” jawab Melani pada akhirnya. Dia tersenyum lembut pada Nafisa, lalu mengajak bocah kecil itu duduk di kursi. “Tapi tadi Nafisa melihat Tante Desy marah,” gumam Nafisa yang tidak menerima penjelasan dari mamanya. “Tante Desy hanya salah paham, Nafisa. Dia mengira Mama Melani sedang menyakiti Om Deon¸ padahal sebenarnya Mama Melani hanya tidak sengaja terjatuh dan mengenai Om Deon.” Tiba-tiba Deon datang dan membantu Melani untuk menjelaskan semuanya. Dia duduk menghadap Nafisa dan menatapnya lekat. “Itu benar, Nafisa,” sahut Mel
“Aku gak mau tau! Kak Johan harus menemaniku ke Queenafisa. Kabarnya, butik itu akan melelang pakaian milik Titi Kamal. Kamu tau Titi Kamal, ‘kan? Dia artis terkenal yang sering membintangi beberapa film di televisi. Aku sangat mengaguminya.” Bonita berteriak girang. Dia sedang berbicara dengan Johan lewat telepon. “Tidak tahu! Aku taunya Titi Kumel," jawab Johan ketus. "Aku serius, Kak Johan!" Bonita mendelik kesal. "Kamu mau menemaniku atau tidak?" tanyanya menegaskan. "Lagian, apa bagusnya pakaian bekas, sih? Meski bekas artis, tetap saja yang namanya bekas itu tidak akan sebagus yang baru,” oceh Johan di telepon. Dia menjawab dengan ogah-ogahan. "Kak Johan menyindir diri Kakak sendiri?" Malas menanggapi rengekan Bonita di telepon, Johan segera menutup telepon dan meletakkan ponselnya ke dalam saku. Saat Johan baru saja ke luar rumah untuk berangkat kerja, tiba-tiba Bonita sudah berada di depan rumahnya. Dia sudah berdandan cantik dengan pakaian kerjanya dan tersenyum menatap J
“Kamu benar-benar tidak peduli? Apa kamu tidak peduli saat orang-orang menganggap buruk tentangmu?” tanya Johan kepada Bonita. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa ada wanita yang bermuka tembok seperti Bonita? “Aku tidak peduli. Lagian, aku tidak pernah minta makan kepada mereka. Terserah orang mau berkata apa, mungkin mereka hanya iri kepadaku,” jawab Bonita pasti. Dia benar-benar sudah tidak punya rasa malu. “Apa kamu juga tidak peduli kepadaku? Kamu tidak peduli jika reputasiku buruk dan itu akan berdampak pada karirku di perusahaan?” tanya Johan lagi. “Kenapa Kak Johan bertanya seperti itu? Tentu saja aku peduli,” jawab Bonita dengan pasti. “Lalu apa Kakak juga peduli kepadaku? Aku hanya mau ditemani ke butik,” ucapnya memelas. “Pokoknya aku tidak akan turun sebelum Kakak janji mau menemaniku ke butik,” lanjutnya. Johan melihat jam tangannya, lalu buru-buru menyalakan mesin mobilnya. Dia merasa lega ketika sebuah taksi berhenti di depan mobilnya. “Kita akan segera terlambat B
Bonita kembali mencoba menghubungi Johan, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dia mematikan ponsel dengan kesal dan memasukkannya ke dalam tas. Wajahnya semakin ditekuk saat melihat Deon dan Nafisa menghampiri Melani. Acara pelelangan dimulai. Semua pengunjung yang ikut acara pelelangan dipersilakan duduk di kursi yang telah disediakan. Dengan ragu-ragu, Bonita mengambil tempat duduk di kursi paling belakang, berseberangan dengan tempat duduk Melani dan keluarga yang juga duduk di kursi paling belakang. “Ini adalah piyama favorit yang sering dipakai Titi Kamal saat bersantai di rumah. Kami akan melelang piyama ini dengan harga awal satu juta rupiah. Apakah ada di antara kalian yang mau memberikan penawaran harga yang lebih tinggi?” ujar juru lelang seraya menunjuk pada piyama lengan panjang berwarna merah. “Siapa yang memberikan penawaran paling tinggi, itulah yang akan mendapatkan piyama ini,” lanjutnya menjelaskan. “Satu juta lima ratus ribu rupiah!” Seorang wanita bertubuh mungil yan
Nenek tua merasa puas setelah menunjukkan tas berisi penuh dengan uang di hadapan Bonita. Dia menutup tas itu, lalu menyerahkannya pada juri lelang. Bonita masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Sungguh di luar dugaan, ternyata nenek tua itu benar-benar kaya. Saat nenek tua itu kembali, dia tersenyum dengan sangat manis. "Seandainya cucu nenek ada di sini, dia pasti merasa sangat beruntung. Dia mempunyai nenek yang sangat menyayanginya," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat. "Nenek! Aku minta maaf dengan ucapanku tadi yang sudah meragukanmu. Sebenarnya aku merasa terkejut saat melihatmu. Aku jadi teringat dengan nenekku yang meninggal beberapa tahun yang lalu." Bonita berkata dengan memelas untuk menarik simpati nenek tua yang kaya raya itu. "Oh, begitukah? Untunglah nenekmu tidak melihat sikapmu yang tidak sopan memperlakukan orang yang lebih tua." Nenek tua berkata seraya tersenyum miring. "Apa Nenek mau memaafkan aku? Kita mempunyai nasib yang sama, Nenek. Aku