Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih tenang. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya dan menyiapkan sarapan sederhana untuk keluarganya. Ia berdiri di dapur sambil melamun, mengingat percakapan dengan Indra beberapa hari yang lalu. Ada sedikit perubahan dalam sikap suaminya, meskipun belum sepenuhnya jelas apakah itu akan bertahan. Namun, momen itu cukup untuk memberi Nadia sedikit harapan.
Indra berjalan perlahan menuju ruang makan, wajahnya tampak lebih segar. Ia mengenakan pakaian kerja yang rapi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya ketika ia tampak kusut dan terbebani. Nadia memperhatikannya dari kejauhan, mencoba membaca perasaan suaminya. Apakah ada yang berubah? Ataukah ini hanya sementara?
“Mas, sudah siap sarapan?” tanya Nadia dengan lembut saat ia meletakkan piring-piring di meja.
Indra mengangguk, duduk di kursi tanpa banyak berkata-kata. Ia tampak sedikit lebih tenang pagi itu, meskipun tidak sepenuhnya terbuka seperti dulu. Nadia dud
Hari-hari berlalu dengan tenang di rumah Indra dan Nadia, namun di balik keheningan itu, ada banyak hal yang mulai mengusik hati Nadia. Indra memang terlihat lebih peduli akhir-akhir ini, terutama kepada Reza. Namun, di beberapa kesempatan, sikap acuh Indra kembali muncul, membuat Nadia bingung harus bagaimana menyikapi perasaan yang campur aduk itu.Suatu pagi, Nadia sedang duduk di teras rumah sambil mengawasi Reza bermain. Pikirannya melayang jauh, memikirkan apa yang sebenarnya dirasakan Indra. Apakah kehangatan yang ia tunjukkan kepada Reza benar-benar tulus, ataukah itu hanya usaha untuk menutupi kegelisahan dalam dirinya? Nadia merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan dalam rumah tangga mereka, tetapi ia tidak bisa menebak apa itu.Saat Nadia masih tenggelam dalam pikirannya, suara pintu rumah terbuka. Indra keluar dengan wajah yang tampak sedikit letih, meskipun jam masih menunjukkan pagi hari. Ia baru saja menyelesaikan beberapa panggilan k
Nadia duduk termenung di kamar, memandangi Reza yang tidur dengan tenang di ranjang kecilnya. Bayi mungil itu terlihat begitu damai, seolah tak ada kekhawatiran yang mengusik dunia kecilnya. Tatapan Nadia perlahan melembut. Hatinya seolah dipenuhi rasa cinta yang mendalam setiap kali melihat anaknya. Reza adalah alasan terbesar baginya untuk tetap bertahan, untuk tetap berjuang mempertahankan rumah tangganya, meski hati dan pikirannya sering kali digoncang oleh ketidakpastian.Nadia menggigit bibir bawahnya, teringat percakapan terakhirnya dengan Indra. Setiap kali ia mencoba mendekat, Indra tampak semakin jauh. Ada rasa frustasi yang menggelayuti benaknya, tetapi dia selalu menenangkan diri dengan satu pemikiran: Demi Reza. Ia tak ingin anaknya tumbuh dalam keluarga yang tercerai-berai. Bagaimanapun caranya, Nadia bertekad untuk membuat keluarga ini tetap utuh.Pagi itu, suasana rumah terasa begitu sunyi. Indra sudah pergi lebih awal ke kanto
Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Nadia sejak pagi sudah sibuk memastikan semuanya tampak rapi dan bersih. Seperti biasa, ia tak ingin memberikan alasan bagi Bu Yuni untuk mengkritiknya. Walau setiap kali ibu mertuanya datang, ada rasa cemas yang tak dapat dijelaskan, hari ini terasa lebih berat. Nadia tahu, kunjungan Bu Yuni yang mendadak ini bukanlah kunjungan biasa untuk melihat cucunya. Ada sesuatu di baliknya, dan dia hanya bisa menunggu dengan hati yang berdebar.Reza yang masih bayi tampak bermain di dalam boksnya, sesekali menggumam riang sambil memainkan mainan gantung di atasnya. Kehadirannya memberi Nadia kekuatan untuk menghadapi hari ini. Setidaknya, dengan Reza di sisinya, Nadia merasa tidak sendiri.Pukul sebelas siang, bel rumah berbunyi. Nadia segera melangkah cepat menuju pintu dan membuka, mendapati Bu Yuni berdiri di sana dengan raut wajah yang dingin. Di sampingnya ada sopir keluarga yang membawa beberapa kantong be
Setelah beberapa hari berlalu sejak momen manis ketika Indra menyuapi Reza, Nadia mulai merasakan ada sedikit perubahan dalam rutinitas harian mereka. Walaupun Indra masih kerap pulang larut malam dan tenggelam dalam urusan pekerjaannya, ada beberapa kali di mana ia menyempatkan diri untuk duduk bersama Nadia dan Reza, bahkan sekadar menghabiskan waktu menonton televisi di ruang keluarga. Bagi Nadia, momen-momen kecil ini memberi secercah harapan bahwa rumah tangga mereka mungkin masih bisa diperbaiki.Suatu malam, ketika Reza sudah tertidur lelap di kamarnya, Nadia duduk sendirian di ruang tamu sambil menunggu Indra pulang. Pikirannya melayang-layang, mengingat masa-masa awal pernikahannya dengan Indra. Saat itu, walaupun tidak dilandasi cinta, Nadia tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk pernikahan mereka. Namun, semakin lama, ia merasakan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Indra yang dulunya begitu bertanggung jawab, semakin jauh dari dirinya&md
Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menandai awal hari yang baru. Nadia terbangun lebih dulu, seperti biasa, untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Namun, hari ini perasaannya lebih berat daripada biasanya. Sikap Indra yang sering berubah membuatnya semakin sulit membaca apa yang sebenarnya dirasakan oleh suaminya. Kadang Indra tampak peduli, terutama saat bermain dengan Reza, tapi di saat lain, ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri, jauh dari Nadia dan Reza.Setelah menyelesaikan sarapan sederhana—nasi goreng dan telur—Nadia melirik jam dinding. Masih cukup pagi, tetapi langkah-langkah kecil terdengar dari arah kamar Reza. Tersenyum, Nadia melangkah ke kamar anaknya untuk menemani Reza yang baru bangun. Dengan wajah yang masih mengantuk, Reza berdiri di pinggir tempat tidurnya, tangannya terulur ke arah Nadia."Reza sudah bangun ya?" Nadia menggendong putranya dan mengecup keningnya. "Ayo kita cuci muka, ya, b
Malam itu, setelah percakapan mereka yang menggantung, Nadia tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Indra yang sudah tertidur pulas, tapi pikirannya masih berkecamuk. Kata-kata Indra tadi, meski terdengar seperti sebuah janji, tetap menyisakan keraguan. Apakah Indra benar-benar serius memperbaiki hubungan mereka atau hanya mencoba mengulur waktu?Nadia menarik napas panjang, memalingkan pandangannya ke arah jendela. Di luar, bulan purnama bersinar terang, seolah-olah menyoroti kesepian yang kini dirasakannya. Nadia ingin rumah tangga yang harmonis, keluarga yang utuh untuk Reza. Tetapi apakah itu cukup jika cinta dan perhatian dari suaminya tak sepenuhnya ada?Keesokan harinya, suasana rumah kembali normal, seperti hari-hari biasa. Nadia bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Indra dan Reza. Suara burung berkicau dari luar jendela dapur, memberi sedikit ketenangan pada hati Nadia yang gundah. Dia terus berharap bahwa rutinitas yang ia bangun in
Hari-hari terus berlalu, namun keadaan tidak banyak berubah. Nadia tetap berusaha menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh ketabahan. Ia berusaha mengabaikan setiap kekecewaan kecil yang ia rasakan dari sikap Indra. Setiap pagi, seperti biasa, Nadia akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus Reza, dan menjalani rutinitas harian sebagai istri dan ibu. Namun, di balik semua itu, ada rasa sepi yang perlahan mulai menyelimuti hatinya.Pagi itu, saat sedang menyiapkan sarapan, Nadia menatap jendela dapur. Langit tampak cerah, tapi di dalam dirinya, awan mendung terus menggantung. Nadia teringat masa-masa awal pernikahan mereka, ketika masih ada sedikit harapan bahwa semuanya akan membaik seiring waktu. Saat itu, Nadia masih percaya bahwa cinta bisa tumbuh di antara mereka meskipun pernikahan mereka bermula dari sebuah keterpaksaan. Namun sekarang, setelah beberapa tahun berlalu, ia mulai meragukan keyakinan itu.Indra turun ke ruang makan, wajahnya se
Pagi kembali tiba, dengan matahari yang menyapa lembut melalui tirai jendela kamar. Di luar, kicauan burung terdengar, memberikan kehangatan alami. Tapi di dalam rumah, suasana tetap terasa dingin. Nadia sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Meski dia terus berharap, entah sejak kapan harapan itu perlahan mulai menghilang, tenggelam dalam kenyataan yang tak seindah bayangannya.Di meja makan, Nadia duduk sambil menunggu Indra turun. Reza sudah selesai sarapan dan bermain di ruang tamu. Ada secangkir teh hangat di depannya, tapi ia tidak menyentuhnya. Pikirannya melayang pada percakapan malam sebelumnya. Indra seperti tembok, sulit untuk ditembus. Meski Nadia sudah berusaha membuka diri, mencoba berbicara, hasilnya selalu sama—jawaban yang singkat dan tanpa rasa.Langkah kaki Indra terdengar menuruni tangga. Nadia berusaha menguatkan dirinya, mencoba untuk tetap ramah seperti biasa."Mas, sarapannya sudah siap," ujar Nadia dengan nada lembut.Indra ha