Nadia duduk termenung di kamar, memandangi Reza yang tidur dengan tenang di ranjang kecilnya. Bayi mungil itu terlihat begitu damai, seolah tak ada kekhawatiran yang mengusik dunia kecilnya. Tatapan Nadia perlahan melembut. Hatinya seolah dipenuhi rasa cinta yang mendalam setiap kali melihat anaknya. Reza adalah alasan terbesar baginya untuk tetap bertahan, untuk tetap berjuang mempertahankan rumah tangganya, meski hati dan pikirannya sering kali digoncang oleh ketidakpastian.
Nadia menggigit bibir bawahnya, teringat percakapan terakhirnya dengan Indra. Setiap kali ia mencoba mendekat, Indra tampak semakin jauh. Ada rasa frustasi yang menggelayuti benaknya, tetapi dia selalu menenangkan diri dengan satu pemikiran: Demi Reza. Ia tak ingin anaknya tumbuh dalam keluarga yang tercerai-berai. Bagaimanapun caranya, Nadia bertekad untuk membuat keluarga ini tetap utuh.
Pagi itu, suasana rumah terasa begitu sunyi. Indra sudah pergi lebih awal ke kanto
Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Nadia sejak pagi sudah sibuk memastikan semuanya tampak rapi dan bersih. Seperti biasa, ia tak ingin memberikan alasan bagi Bu Yuni untuk mengkritiknya. Walau setiap kali ibu mertuanya datang, ada rasa cemas yang tak dapat dijelaskan, hari ini terasa lebih berat. Nadia tahu, kunjungan Bu Yuni yang mendadak ini bukanlah kunjungan biasa untuk melihat cucunya. Ada sesuatu di baliknya, dan dia hanya bisa menunggu dengan hati yang berdebar.Reza yang masih bayi tampak bermain di dalam boksnya, sesekali menggumam riang sambil memainkan mainan gantung di atasnya. Kehadirannya memberi Nadia kekuatan untuk menghadapi hari ini. Setidaknya, dengan Reza di sisinya, Nadia merasa tidak sendiri.Pukul sebelas siang, bel rumah berbunyi. Nadia segera melangkah cepat menuju pintu dan membuka, mendapati Bu Yuni berdiri di sana dengan raut wajah yang dingin. Di sampingnya ada sopir keluarga yang membawa beberapa kantong be
Setelah beberapa hari berlalu sejak momen manis ketika Indra menyuapi Reza, Nadia mulai merasakan ada sedikit perubahan dalam rutinitas harian mereka. Walaupun Indra masih kerap pulang larut malam dan tenggelam dalam urusan pekerjaannya, ada beberapa kali di mana ia menyempatkan diri untuk duduk bersama Nadia dan Reza, bahkan sekadar menghabiskan waktu menonton televisi di ruang keluarga. Bagi Nadia, momen-momen kecil ini memberi secercah harapan bahwa rumah tangga mereka mungkin masih bisa diperbaiki.Suatu malam, ketika Reza sudah tertidur lelap di kamarnya, Nadia duduk sendirian di ruang tamu sambil menunggu Indra pulang. Pikirannya melayang-layang, mengingat masa-masa awal pernikahannya dengan Indra. Saat itu, walaupun tidak dilandasi cinta, Nadia tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk pernikahan mereka. Namun, semakin lama, ia merasakan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Indra yang dulunya begitu bertanggung jawab, semakin jauh dari dirinya&md
Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menandai awal hari yang baru. Nadia terbangun lebih dulu, seperti biasa, untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Namun, hari ini perasaannya lebih berat daripada biasanya. Sikap Indra yang sering berubah membuatnya semakin sulit membaca apa yang sebenarnya dirasakan oleh suaminya. Kadang Indra tampak peduli, terutama saat bermain dengan Reza, tapi di saat lain, ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri, jauh dari Nadia dan Reza.Setelah menyelesaikan sarapan sederhana—nasi goreng dan telur—Nadia melirik jam dinding. Masih cukup pagi, tetapi langkah-langkah kecil terdengar dari arah kamar Reza. Tersenyum, Nadia melangkah ke kamar anaknya untuk menemani Reza yang baru bangun. Dengan wajah yang masih mengantuk, Reza berdiri di pinggir tempat tidurnya, tangannya terulur ke arah Nadia."Reza sudah bangun ya?" Nadia menggendong putranya dan mengecup keningnya. "Ayo kita cuci muka, ya, b
Malam itu, setelah percakapan mereka yang menggantung, Nadia tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Indra yang sudah tertidur pulas, tapi pikirannya masih berkecamuk. Kata-kata Indra tadi, meski terdengar seperti sebuah janji, tetap menyisakan keraguan. Apakah Indra benar-benar serius memperbaiki hubungan mereka atau hanya mencoba mengulur waktu?Nadia menarik napas panjang, memalingkan pandangannya ke arah jendela. Di luar, bulan purnama bersinar terang, seolah-olah menyoroti kesepian yang kini dirasakannya. Nadia ingin rumah tangga yang harmonis, keluarga yang utuh untuk Reza. Tetapi apakah itu cukup jika cinta dan perhatian dari suaminya tak sepenuhnya ada?Keesokan harinya, suasana rumah kembali normal, seperti hari-hari biasa. Nadia bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Indra dan Reza. Suara burung berkicau dari luar jendela dapur, memberi sedikit ketenangan pada hati Nadia yang gundah. Dia terus berharap bahwa rutinitas yang ia bangun in
Hari-hari terus berlalu, namun keadaan tidak banyak berubah. Nadia tetap berusaha menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh ketabahan. Ia berusaha mengabaikan setiap kekecewaan kecil yang ia rasakan dari sikap Indra. Setiap pagi, seperti biasa, Nadia akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus Reza, dan menjalani rutinitas harian sebagai istri dan ibu. Namun, di balik semua itu, ada rasa sepi yang perlahan mulai menyelimuti hatinya.Pagi itu, saat sedang menyiapkan sarapan, Nadia menatap jendela dapur. Langit tampak cerah, tapi di dalam dirinya, awan mendung terus menggantung. Nadia teringat masa-masa awal pernikahan mereka, ketika masih ada sedikit harapan bahwa semuanya akan membaik seiring waktu. Saat itu, Nadia masih percaya bahwa cinta bisa tumbuh di antara mereka meskipun pernikahan mereka bermula dari sebuah keterpaksaan. Namun sekarang, setelah beberapa tahun berlalu, ia mulai meragukan keyakinan itu.Indra turun ke ruang makan, wajahnya se
Pagi kembali tiba, dengan matahari yang menyapa lembut melalui tirai jendela kamar. Di luar, kicauan burung terdengar, memberikan kehangatan alami. Tapi di dalam rumah, suasana tetap terasa dingin. Nadia sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Meski dia terus berharap, entah sejak kapan harapan itu perlahan mulai menghilang, tenggelam dalam kenyataan yang tak seindah bayangannya.Di meja makan, Nadia duduk sambil menunggu Indra turun. Reza sudah selesai sarapan dan bermain di ruang tamu. Ada secangkir teh hangat di depannya, tapi ia tidak menyentuhnya. Pikirannya melayang pada percakapan malam sebelumnya. Indra seperti tembok, sulit untuk ditembus. Meski Nadia sudah berusaha membuka diri, mencoba berbicara, hasilnya selalu sama—jawaban yang singkat dan tanpa rasa.Langkah kaki Indra terdengar menuruni tangga. Nadia berusaha menguatkan dirinya, mencoba untuk tetap ramah seperti biasa."Mas, sarapannya sudah siap," ujar Nadia dengan nada lembut.Indra ha
Hari-hari berlalu, dan rutinitas dalam rumah tangga Nadia dan Indra tetap berjalan seperti biasanya, meski di dalam hatinya, Nadia mulai merasa ada sesuatu yang salah. Indra semakin sering tenggelam dalam pekerjaannya, dan meskipun sesekali ia menunjukkan perhatian terhadap Reza, hubungan mereka tetap terasa hampa dan jauh dari kehangatan yang Nadia dambakan. Nadia terus mencoba untuk mempertahankan rumah tangganya, berharap kehadiran Reza bisa mengubah semuanya.Pagi itu, Reza tampak lebih ceria dari biasanya. Nadia sedang menyiapkan sarapan ketika Reza berlari menghampirinya dengan tawa yang riang. "Bu, lihat! Aku udah bisa gambar mobil!" serunya dengan bangga sambil memperlihatkan gambar coretan mobil yang baru saja ia buat di buku gambarnya.Nadia tersenyum hangat. "Wah, bagus banget gambarnya, Nak. Nanti kasih lihat ke Ayah, ya," ucapnya sambil membelai lembut kepala anaknya. Di dalam hatinya, Nadia merasa bahagia melihat betapa cerdas dan cepat tumbuhnya Reza. Se
Waktu terus berjalan, namun hubungan antara Nadia dan Indra tidak membaik. Nadia semakin berusaha mempertahankan keluarganya demi Reza, tapi Indra kerap kali kehilangan kontrol atas emosinya. Hal ini mulai menjadi masalah besar dalam rumah tangga mereka. Jika sebelumnya Indra hanya menunjukkan sikap dingin dan acuh, kini amarahnya sering meledak tanpa alasan yang jelas. Ketegangan ini bahkan terjadi di depan Reza, membuat Nadia semakin tertekan.Pagi itu, suasana rumah kembali memanas. Indra pulang terlambat lagi semalam karena urusan kerja yang tak kunjung selesai. Nadia yang sudah lelah dengan rutinitas ini berusaha tetap tenang, tapi Indra sudah terlihat gelisah sejak bangun pagi. Ketika Nadia mencoba menanyakan apakah Indra ingin sarapan, ia langsung mengeluh.“Kenapa kamu selalu nanya hal-hal yang nggak penting kayak gitu? Aku lagi buru-buru, nggak sempat makan!” kata Indra dengan nada tinggi.Nadia menghela napas panjang, mencoba menahan emosin
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be