Pagi itu, suasana di rumah mereka terasa berbeda. Nadia terbangun dengan perasaan campur aduk, antara berharap dan ragu. Janji Indra beberapa malam lalu masih segar di benaknya, tapi ia berusaha untuk tidak terlalu berharap. Pengalaman telah mengajarinya bahwa janji Indra sering kali hanya tinggal janji. Namun, kali ini, Nadia ingin mempercayai bahwa suaminya benar-benar ingin berubah, demi mereka, demi keluarga kecil ini.
Saat ia memasuki dapur, harapan kecil itu mulai muncul kembali ketika ia mendapati Indra sedang duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangan, bukan seperti biasanya ketika Indra langsung tenggelam dalam pekerjaannya begitu bangun tidur.
"Mas, kamu nggak buru-buru hari ini?" tanya Nadia sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Indra menggeleng. "Nggak. Hari ini aku putuskan untuk kerja dari rumah. Aku mau luangkan waktu lebih banyak buat kalian," jawabnya dengan nada yang tenang, namun wajahnya tetap tampak se
Waktu berlalu begitu lambat setelah percakapan panjang itu. Nadia dan Indra tetap hidup dalam rutinitas yang sama, meski ada sedikit perubahan dari Indra. Ia lebih sering pulang lebih awal dari kantor, dan kadang meluangkan waktu bersama Reza. Namun, di hati kecil Nadia, ia merasakan ada sesuatu yang masih kurang. Perubahan ini terasa seperti setengah hati, tidak sepenuhnya tulus. Indra masih tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, bahkan saat mereka seharusnya menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga.Suatu sore, ketika Nadia sedang duduk di teras rumah sambil mengamati Reza bermain, pikirannya berkelana. Ia mulai membayangkan seperti apa masa depan mereka. Kehadiran Reza, anak yang selalu ia sayangi dengan sepenuh hati, telah memberinya kekuatan untuk bertahan dalam pernikahan ini. Nadia sering berkata pada dirinya sendiri bahwa Reza adalah alasan ia tetap bertahan. Anak itu pantas memiliki keluarga yang utuh, dan Nadia ingin memberik
Pagi hari di rumah Nadia dan Indra berjalan seperti biasa. Nadia mulai bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk Reza, sementara Indra masih terlelap di kamar. Setiap pagi, Nadia memandang putranya dengan penuh kasih, melihat wajah polosnya yang tengah tertidur lelap membuat hatinya bergetar. Reza adalah segalanya bagi Nadia, dan dia tahu bahwa apapun yang terjadi, dia harus melindungi anak itu dari segala ketidakpastian di dalam pernikahan mereka.Setiap kali melihat senyum ceria Reza saat bermain atau mendengarnya bercanda, hati Nadia terasa lebih kuat. "Aku harus melakukan ini untuknya," gumamnya pelan sambil mengaduk kopi di dapur. Cinta Nadia kepada anaknya adalah alasan terbesarnya untuk terus bertahan. Bagaimanapun juga, dia ingin Reza tumbuh di dalam keluarga yang utuh, di mana ayah dan ibunya masih bersama, setidaknya di mata anak itu. Tidak ada yang ingin Reza tumbuh dalam keluarga yang retak.Namun, kenyataan berkata lain.
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Semalam masih teringat jelas di benaknya—Indra pulang larut tanpa peduli dengan makan malam yang sudah ia siapkan dengan penuh harapan. Setiap kali menghadapi kekecewaan seperti itu, Nadia selalu menguatkan hatinya. Ada Reza yang membuatnya merasa bahwa hidup ini masih memiliki tujuan, ada rumah tangga yang harus ia pertahankan.Nadia mendesah pelan sambil menatap langit-langit kamar. Di sampingnya, Indra masih terlelap, wajahnya terlihat damai dalam tidur. Saat-saat seperti ini, Nadia sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah Indra pernah benar-benar mencintainya? Pernikahan mereka yang dimulai dari kewajiban kini terasa seperti beban yang harus ia pikul sendirian.Ia perlahan bangkit dari tempat tidur, berhati-hati agar tidak membangunkan suaminya. Nadia selalu memulai harinya dengan berusaha menjaga semuanya tetap berjalan baik. Meski perasaannya kacau, dia tahu ba
Malam semakin larut. Reza sudah tertidur pulas di kamarnya, dan rumah terasa sunyi. Nadia duduk di pinggir tempat tidur sambil melipat baju-baju kecil Reza yang baru selesai ia cuci. Kedamaian sesaat ini terasa rapuh, seolah-olah bisa pecah kapan saja. Ia menoleh ke arah Indra yang masih sibuk dengan laptopnya di meja kerja kecil di sudut kamar. Sejak pulang tadi, Indra belum menoleh sekali pun ke arahnya, tenggelam dalam urusan pekerjaan yang tampaknya tiada habisnya.“Mas, sudah malam. Mungkin istirahat dulu?” Nadia mencoba membuka percakapan, suaranya lembut, penuh harap.Indra menengok sekilas, lalu kembali mengetik tanpa menghentikan pekerjaannya. “Sebentar lagi, Nad. Ada yang harus diselesaikan malam ini.”Jawaban yang sama, untuk kesekian kalinya. Nadia menunduk, menahan perasaan kecewa yang perlahan mulai menyesakkan dadanya. Meski ia sudah terbiasa dengan ketidakpedulian Indra, ada bagian dalam d
Pagi itu, Nadia bangun lebih awal dari biasanya. Ia menatap wajah Reza yang masih terlelap di sampingnya, menghela napas pelan. Beberapa minggu terakhir telah melelahkan secara emosional, dan setiap hari terasa seperti pertarungan untuk mempertahankan pernikahannya. Ia tahu hubungan dengan Indra belum sepenuhnya membaik, meskipun ada sedikit perubahan sejak kelahiran Reza. Tapi entah mengapa, setiap perubahan kecil yang Indra tunjukkan selalu diiringi oleh rasa tidak menentu yang membuat Nadia bingung.Setelah mengantar Reza ke sekolah, Nadia duduk di ruang tamu, merenung. Apakah semua ini akan cukup untuk menyelamatkan rumah tangganya? Dalam hatinya, Nadia terus bergumul dengan berbagai perasaan. Ia masih mencintai Indra, namun cinta itu sudah tidak sekuat dulu. Yang tersisa sekarang adalah keinginan untuk memberi Reza keluarga yang utuh, untuk menciptakan stabilitas yang tidak pernah ia rasakan saat tumbuh dewasa.Tiba-tiba, telepon
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Indra kembali bekerja larut malam, dan Nadia duduk di ruang tamu, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikan acara yang ditayangkan. Suara Reza yang tertidur nyenyak di kamar hanya membuat kesepiannya semakin terasa. Pikirannya melayang ke percakapan singkat dengan Indra kemarin malam, ketika suaminya berjanji untuk mencoba lebih baik. Tapi apakah itu janji yang bisa ia pegang, atau hanya angin lalu seperti sebelumnya?Nadia menghela napas panjang. Setelah bertahun-tahun bersama, ia mulai merasa kelelahan secara emosional, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil selalu diiringi oleh keraguan. Di satu sisi, ia ingin mempercayai Indra, berharap bahwa mereka bisa memperbaiki semuanya. Tapi di sisi lain, rasa sakit yang ia alami selama ini sulit diabaikan. Hatinya selalu terasa teriris setiap kali Indra menunjukkan perhatian yang hanya bersifat sementara, kemudian kembali acuh tak acuh seperti bi
Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan melalui tirai tipis di kamar tidur mereka. Nadia terbangun lebih dulu, menatap wajah Indra yang masih terlelap di sebelahnya. Sejenak, ia teringat percakapan mereka malam sebelumnya—janji samar yang Indra ucapkan tentang mencoba memperbaiki keadaan. Ada rasa lega, namun juga khawatir yang masih bersarang di hatinya. Apakah janji itu akan berarti sesuatu kali ini?Nadia bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Indra. Ia berjalan ke kamar Reza yang masih tertidur pulas di ranjang kecilnya. Wajah anaknya yang damai membuat Nadia merasa sedikit tenang. Di tengah semua kekacauan yang ia rasakan, Reza selalu menjadi pengingat bahwa masih ada hal yang berharga dalam hidupnya. Reza adalah pusat dunianya, alasan mengapa ia berusaha begitu keras untuk mempertahankan rumah tangganya.“Reza sayang, kamu akan baik-baik saja,” gumam Nadia pelan sambil menyelimuti t
Hari itu, Reza tampak murung. Nadia memperhatikan anaknya yang duduk di lantai ruang tamu, memainkan mobil-mobilan dengan gerakan pelan dan tanpa semangat. Tidak seperti biasanya, Reza yang ceria tampak lebih banyak diam. Nadia tahu, ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya."Kenapa, Sayang?" Nadia bertanya dengan lembut sambil mendekat, duduk di samping Reza yang terus menatap mainannya tanpa banyak bicara.Reza mengangkat bahunya pelan, masih enggan untuk bicara. Nadia tidak ingin memaksa, tetapi hatinya gelisah. Ia bisa merasakan bahwa Reza mulai merindukan sosok ayah dalam hidupnya—sesuatu yang sulit dipenuhi dengan kehadiran Indra yang sering absen."Reza... Kamu ingin main sama Ayah?" tanya Nadia, mencoba meraba isi hati anaknya.Reza akhirnya mengangguk pelan, lalu menatap Nadia dengan matanya yang besar dan polos. "Iya, Ma. Tapi Ayah sibuk terus... Ayah nggak pernah main sama Reza," ucap Reza dengan suara pelan, namun pe