Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Indra kembali bekerja larut malam, dan Nadia duduk di ruang tamu, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikan acara yang ditayangkan. Suara Reza yang tertidur nyenyak di kamar hanya membuat kesepiannya semakin terasa. Pikirannya melayang ke percakapan singkat dengan Indra kemarin malam, ketika suaminya berjanji untuk mencoba lebih baik. Tapi apakah itu janji yang bisa ia pegang, atau hanya angin lalu seperti sebelumnya?
Nadia menghela napas panjang. Setelah bertahun-tahun bersama, ia mulai merasa kelelahan secara emosional, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil selalu diiringi oleh keraguan. Di satu sisi, ia ingin mempercayai Indra, berharap bahwa mereka bisa memperbaiki semuanya. Tapi di sisi lain, rasa sakit yang ia alami selama ini sulit diabaikan. Hatinya selalu terasa teriris setiap kali Indra menunjukkan perhatian yang hanya bersifat sementara, kemudian kembali acuh tak acuh seperti bi
Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan melalui tirai tipis di kamar tidur mereka. Nadia terbangun lebih dulu, menatap wajah Indra yang masih terlelap di sebelahnya. Sejenak, ia teringat percakapan mereka malam sebelumnya—janji samar yang Indra ucapkan tentang mencoba memperbaiki keadaan. Ada rasa lega, namun juga khawatir yang masih bersarang di hatinya. Apakah janji itu akan berarti sesuatu kali ini?Nadia bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan Indra. Ia berjalan ke kamar Reza yang masih tertidur pulas di ranjang kecilnya. Wajah anaknya yang damai membuat Nadia merasa sedikit tenang. Di tengah semua kekacauan yang ia rasakan, Reza selalu menjadi pengingat bahwa masih ada hal yang berharga dalam hidupnya. Reza adalah pusat dunianya, alasan mengapa ia berusaha begitu keras untuk mempertahankan rumah tangganya.“Reza sayang, kamu akan baik-baik saja,” gumam Nadia pelan sambil menyelimuti t
Hari itu, Reza tampak murung. Nadia memperhatikan anaknya yang duduk di lantai ruang tamu, memainkan mobil-mobilan dengan gerakan pelan dan tanpa semangat. Tidak seperti biasanya, Reza yang ceria tampak lebih banyak diam. Nadia tahu, ada sesuatu yang mengganggu pikiran putranya."Kenapa, Sayang?" Nadia bertanya dengan lembut sambil mendekat, duduk di samping Reza yang terus menatap mainannya tanpa banyak bicara.Reza mengangkat bahunya pelan, masih enggan untuk bicara. Nadia tidak ingin memaksa, tetapi hatinya gelisah. Ia bisa merasakan bahwa Reza mulai merindukan sosok ayah dalam hidupnya—sesuatu yang sulit dipenuhi dengan kehadiran Indra yang sering absen."Reza... Kamu ingin main sama Ayah?" tanya Nadia, mencoba meraba isi hati anaknya.Reza akhirnya mengangguk pelan, lalu menatap Nadia dengan matanya yang besar dan polos. "Iya, Ma. Tapi Ayah sibuk terus... Ayah nggak pernah main sama Reza," ucap Reza dengan suara pelan, namun pe
Beberapa minggu telah berlalu sejak Indra berusaha lebih dekat dengan Reza. Ada perubahan dalam rutinitas keluarga kecil mereka. Meskipun hubungan antara Nadia dan Indra masih penuh jarak, kehadiran Reza sedikit menghangatkan suasana di rumah. Namun, Indra masih sering membawa beban pekerjaannya ke rumah, dan masalah-masalah di tempat kerja kerap kali membuat emosinya tak terkendali.Malam itu, Nadia duduk di ruang tamu sambil mengawasi Reza yang bermain di karpet. Indra baru saja pulang dari kantor, wajahnya tampak tegang. Nadia bisa melihat dari raut wajahnya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Biasanya, jika sedang dalam suasana hati yang buruk, Indra hanya akan menghindar dan duduk diam di ruang kerja. Namun kali ini, berbeda."Mas, kamu nggak apa-apa?" tanya Nadia hati-hati, mencoba mendekat sambil tetap menjaga nadanya agar tidak terdengar menghakimi.Indra menghela napas panjang, lalu membanting tas kerjanya ke sofa dengan kasar. Suara itu membuat Reza ya
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih tenang. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya dan menyiapkan sarapan sederhana untuk keluarganya. Ia berdiri di dapur sambil melamun, mengingat percakapan dengan Indra beberapa hari yang lalu. Ada sedikit perubahan dalam sikap suaminya, meskipun belum sepenuhnya jelas apakah itu akan bertahan. Namun, momen itu cukup untuk memberi Nadia sedikit harapan.Indra berjalan perlahan menuju ruang makan, wajahnya tampak lebih segar. Ia mengenakan pakaian kerja yang rapi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya ketika ia tampak kusut dan terbebani. Nadia memperhatikannya dari kejauhan, mencoba membaca perasaan suaminya. Apakah ada yang berubah? Ataukah ini hanya sementara?“Mas, sudah siap sarapan?” tanya Nadia dengan lembut saat ia meletakkan piring-piring di meja.Indra mengangguk, duduk di kursi tanpa banyak berkata-kata. Ia tampak sedikit lebih tenang pagi itu, meskipun tidak sepenuhnya terbuka seperti dulu. Nadia dud
Hari-hari berlalu dengan tenang di rumah Indra dan Nadia, namun di balik keheningan itu, ada banyak hal yang mulai mengusik hati Nadia. Indra memang terlihat lebih peduli akhir-akhir ini, terutama kepada Reza. Namun, di beberapa kesempatan, sikap acuh Indra kembali muncul, membuat Nadia bingung harus bagaimana menyikapi perasaan yang campur aduk itu.Suatu pagi, Nadia sedang duduk di teras rumah sambil mengawasi Reza bermain. Pikirannya melayang jauh, memikirkan apa yang sebenarnya dirasakan Indra. Apakah kehangatan yang ia tunjukkan kepada Reza benar-benar tulus, ataukah itu hanya usaha untuk menutupi kegelisahan dalam dirinya? Nadia merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan dalam rumah tangga mereka, tetapi ia tidak bisa menebak apa itu.Saat Nadia masih tenggelam dalam pikirannya, suara pintu rumah terbuka. Indra keluar dengan wajah yang tampak sedikit letih, meskipun jam masih menunjukkan pagi hari. Ia baru saja menyelesaikan beberapa panggilan k
Nadia duduk termenung di kamar, memandangi Reza yang tidur dengan tenang di ranjang kecilnya. Bayi mungil itu terlihat begitu damai, seolah tak ada kekhawatiran yang mengusik dunia kecilnya. Tatapan Nadia perlahan melembut. Hatinya seolah dipenuhi rasa cinta yang mendalam setiap kali melihat anaknya. Reza adalah alasan terbesar baginya untuk tetap bertahan, untuk tetap berjuang mempertahankan rumah tangganya, meski hati dan pikirannya sering kali digoncang oleh ketidakpastian.Nadia menggigit bibir bawahnya, teringat percakapan terakhirnya dengan Indra. Setiap kali ia mencoba mendekat, Indra tampak semakin jauh. Ada rasa frustasi yang menggelayuti benaknya, tetapi dia selalu menenangkan diri dengan satu pemikiran: Demi Reza. Ia tak ingin anaknya tumbuh dalam keluarga yang tercerai-berai. Bagaimanapun caranya, Nadia bertekad untuk membuat keluarga ini tetap utuh.Pagi itu, suasana rumah terasa begitu sunyi. Indra sudah pergi lebih awal ke kanto
Keesokan harinya, suasana rumah terasa lebih tegang dari biasanya. Nadia sejak pagi sudah sibuk memastikan semuanya tampak rapi dan bersih. Seperti biasa, ia tak ingin memberikan alasan bagi Bu Yuni untuk mengkritiknya. Walau setiap kali ibu mertuanya datang, ada rasa cemas yang tak dapat dijelaskan, hari ini terasa lebih berat. Nadia tahu, kunjungan Bu Yuni yang mendadak ini bukanlah kunjungan biasa untuk melihat cucunya. Ada sesuatu di baliknya, dan dia hanya bisa menunggu dengan hati yang berdebar.Reza yang masih bayi tampak bermain di dalam boksnya, sesekali menggumam riang sambil memainkan mainan gantung di atasnya. Kehadirannya memberi Nadia kekuatan untuk menghadapi hari ini. Setidaknya, dengan Reza di sisinya, Nadia merasa tidak sendiri.Pukul sebelas siang, bel rumah berbunyi. Nadia segera melangkah cepat menuju pintu dan membuka, mendapati Bu Yuni berdiri di sana dengan raut wajah yang dingin. Di sampingnya ada sopir keluarga yang membawa beberapa kantong be
Setelah beberapa hari berlalu sejak momen manis ketika Indra menyuapi Reza, Nadia mulai merasakan ada sedikit perubahan dalam rutinitas harian mereka. Walaupun Indra masih kerap pulang larut malam dan tenggelam dalam urusan pekerjaannya, ada beberapa kali di mana ia menyempatkan diri untuk duduk bersama Nadia dan Reza, bahkan sekadar menghabiskan waktu menonton televisi di ruang keluarga. Bagi Nadia, momen-momen kecil ini memberi secercah harapan bahwa rumah tangga mereka mungkin masih bisa diperbaiki.Suatu malam, ketika Reza sudah tertidur lelap di kamarnya, Nadia duduk sendirian di ruang tamu sambil menunggu Indra pulang. Pikirannya melayang-layang, mengingat masa-masa awal pernikahannya dengan Indra. Saat itu, walaupun tidak dilandasi cinta, Nadia tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk pernikahan mereka. Namun, semakin lama, ia merasakan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Indra yang dulunya begitu bertanggung jawab, semakin jauh dari dirinya&md
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be