Dini langsung merangkulku, kakiku gemetar melihat Arham dengan pasangannya. Rasanya sakit tak berdarah. Aku manusia biasa yang merasakan dendam karena ulahnya yang begitu perih.
"Tegakkan dirimu, Ran." Dini menyemangatiku. Sementara laki-laki yang di depan kami tadi hilang bak misterius. Entah siapa dia kami pun tak tahu."Din, apa si Arham pencundang itu yang akan menjadi bos kita?" tanyaku pada Dini."Aku tak tahu Rania, semoga tidak.""Mengapa rasanya sakit, Din. Jujur aku gak kuat." Mataku memanas melihat kemesraan Arham dengan wanita yang bersamanyaDini secepat kilat membawaku lari ke tempat ini. Dia tahu aku sangat terluka. Aku manusia biasa yang punya rasa sakit hati dengan yang telah dilakukan."Rania, jika kamu seperti ini dia akan merasa menang. Cukup sekali dalam hidupmu mengenal yang namanya si Arham itu. Dia tak layak diperjuangkan."Dini benar. Namun, mengapa sesakit ini Tuhan. Kami berpisah karena ruang kami berbeda. Aku terus berjalan tanpa tahu arah mana yang kulewati. Hingga aku berada di depan lift. Kutekn tombol lift tanpa tahu gedung mana yang kulewati hingga satpam mendekatiku."Mbak, ini lift VIP," ucap satpam mengingatkanku. Astagfirullah aku bahkan tidak membaca tulisan yang ada di depan mataku."Oh, maaf, pak, saya tidak melihat tulisan yang di depan."Hingga lift terbuka ada laki-laki misterius yang tadi sendiri di dalamnya. Dia memandangku sekilas."Masuk saja," ucapnya. Aku justru yang malu."Maaf aku salah lift, aku akan ke lift sebelah," jawabku."Tak masalah, masuklah ...." Dia langsung menarik tanganku. Satpam itu juga terlihat terkejut melihat aku ditarik masuk lift. Aku haya menunduk, dia pun tak ada berucap satu kata pun. Hari ini hari yang sungguh berat, aku manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Rasa yang menusuk dihatiku ini bahkan sudah setahun lamanya, tanpa ada kata maaf yang terucap pada bibirnya. Lift terbuka, sekarang aku bingung karena aku tidak pernah melewati ruangan ini."Maaf aku sudah menganggumu," ucapku izin. Dia pun hanya membalasku dengan deheman saja.Aku terus berjalan meski bingung mau kemana menuju ruang kerjaku. Ingin bertanya juga sungkan. Padahal laki-laki ini dari tadi selalu muncul didepanku dan Dini. "Mahendra, kamu berada satu lift dengan siapa?" tanya orang tua yang tiba-tiba muncul dihadapan kami, terlihat senja. Rambut putih nampak di kepalanya.Seketika laki-laki misterius itu menarikku, aku pun bingung."Dia calonku kek," jawabnya. Apa? calon? Enak saja bilang calon-calon. Aku ingin menjawab itu bohong. Namun, langsung ditahan."Oh ...." Kakeknya memandangku dari atas sampai bawah. Astagfirullah nasib apalagi ini."Mahendra Purnomo apa seleramu sudah berubah? Tidak sia-sia kakek ceramah tiap hari padamu. Bawa dia malam ini ke pertemuan keluarga kita,," ucap kakeknya lagi. Maksudnya? Aku yang lagi nge blank atau bagaimana ucapan kakeknya menambah keresahan dihatiku."Siap kek. Iya, kan sayang kita akan pertemuan malam ini." Dia mengedipkan mata. Eh, ini orang seenaknya saja. Bilang sayang-sayang lagi, mana tanganku di genggam olehnya."Ma ...." Mau kulanjutkan langsung dipotong oleh si resek."Makasih ya, kek. Kami akan ke kediaman kakek malam ini," sambungnya lagi. Padahal aku mau jujur bahwa aku tidak ada hubungan dengan cucunya.Si kakek terus tersenyum hingga pamit untuk pulang. Nafasku yang sedari tadi tak terbendung lagi. "Hei laki-laki tidak jelas, apa begini caramu seenak jidat, ha?!" Rasanya ingin menampar laki-laki ini. Entahlah apa aku yang sedang labil atau tidak. Baru saja orang yang paling kubenci di dunia ini sedang bemesraan dengan wanita lain, sekarang ditambah dengan laki-laki yang misterius tidak jelas ini."Santai saja, nona. Ini kesalahanmu karena melewati gedung ini. Mau kamu diusir satpam, ha?""Lebih baik aku diusir satpam daripada bertemu denganmu laki-laki yang tidak jelas." Hidupku sudah begitu berat ditambah dengan laki-laki misterius ini. Dari tadi perasaan dia selalu muncul dihadapan kami.Dia menaikkan tangannya dan langsung ada penjaga yang datang menghampiri."Bawa mbak ini ke ruang kerjanya, dia sudah telat hampir dua puluh lima menit," ucapnya."Siap, pak.""Terima kasih telah membantuku, kamu bisa kembali bekerja," ucapnya berlalu. Astagfirullah manusia dari mana sih ini. Gayanya sok sekali. Bukannya minta maaf, dia justru tersenyum sambil berlalu tak lupa mengedipkan mata. Aku tak ingin berfikir panjang. Aku mengikuti penjaga yang mengantarku ke ruang kerja. Hari ini yang yang benar-benar tidak membuatku fokus, bahkan sudah setahun berganti aku masih merasakan hal yang tak menentu seperti ini.Dunia belum baik padaku.****Waktu menunjukkan pukul lima sore, saatnya pulang. Kurapikan kembali semua pekerjaanku meski pikiranku tak menentu. Apakah Arham yang akan menjadi pengganti bos di perusahaan ini atau tidak. "Ran, udah beres?" tanya Dini yang menjemputku."Sudah, Din.""Jangan lesu gitu, dong. Aku yakin kamu pasti kuat. Buktikan bahwa dia tidak layak untuk kamu, Ran.""Iya, sahabat terbaikku."Kami berjalan menyusuri gedung ini untuk segera pulang. Rasa penasaran dan berbagai pikiran bersarang di kepalaku. Hal manusiawi melihat orang yang hampir menjadi pendamping. Namun, ternyata gagal begitu saja. Arham terlihat berjalan dengan relasi yang ada di kantor ini. Dia melihatku sekilas, tapi langsung membuang muka. Cuih, dikira aku akan memohon atau meminta pertanggung jawaban dariku. Justru kehadirannya menambah deretan sakit hati yang bersemayam dihatiku."Apa dia yang menjadi bos kita, Din?" tanyaku lagi kepada Dini. Sungguh rasa penasaran ini membuatku penasaran."Gak tau juga, Ran. Tapi melihat lagaknya sepertinya posisi dia di kantor ini cukup baik."Hening, kami terus menatap dia yang semakin sok sibuk. "Ran, tegakkan kepalamu. Jangan takut, selama kita benar.""Siap, Din. Hal yang kusyukuri di dunia ini adalah tidak jadi menikah dengannya," balasku yang membuat Dini mengamit tanganku.Dia melewati kami, tapi dia tidak sedikit pun melihat kami di depannya. Kami pun cuek merasa tidak mengenalnya. Ternyata ada perempuan cantik yang sudah menunggu di depan lobi. Wajahnya tidak asing, dimana aku melihatnya. "Sayang bagaimana perusahaan ini? Cocok kan untukmu," ucap wanita itu sembari berhamburan memeluk Arham pas di depan kami. Mungkin niatnya pamer. Apa aku kenal dengan wanita bersama Arham itu, suaranya benar-benar tidak asing."Sangat baik istriku sayang, terima kasih telah memberi jabatan penting di perusahaan ini." Suaranya dikeraskan. Benar-benar mantan tidak ada ahlak pokoknya. Ternyata mereka sudah menikah."Cuih, gak sudi banget lihat lakonnya si Arham. Niatnya pamer kali sama kita. Ingat Rania tegakkan kepalamu, pandangan lurus ke depan." Rasanya ingin tertawa melihat Dini yang begitu semangat mengajakku perang dengan mantan tak ada guna.Kami berjalan lurus sambil tertawa-tawa. Si Arham sekilas melihat kami dan mencuri pandang. Hahaha ... puas rasanya melihat dia yang justru salah tingkah melepas rangkulan istrinya. Entah dia bosnya atau tidak yang jelas hidup tetap berjalan."Puas syekale lihat mantan kepanasan!" Dini justru yang bersorak. Astaga anak ini memang bar-bar."Din, aku ke restoran seperti biasa, ya, bulan ini kontrakku habis. Kan bulan depan hutangku sudah lunas.""Jaga kesehatan Rania. Bulan depan kebaikan pasti akan menyertai kita.""Aamiin ...." Kami mengaminkan bersama lalu berpisah untuk ke jalur masing-masing. Ketika menunggu ojek seperti biasa, ada yang datang menghampiriku bersama seorang wanita yang ternyata adalah Arham dan istrinya."Hai Rania Fitriana apa kamu lupa denganku sahabatmu waktu SMA." Lagi, nafasku tercekat dia adalah Fany Nugroho anak kaya raya waktu SMA dulu. Pantas wajahnya tidak asing, apa dia sudah operasi di bagian wajahnya, lebih glowing dari sebelumnya. Jadi, dia adalah istrinya Arham, laki-laki pencundang ini."Kamu Fany ...?""Iya, aku Fany yang selalu ranking dua dibawahmu dulu."Si Arham hanya tersenyum melihatku. Benar-benar mantan tak ada ahlak!Semakin seru!Ditikung sahabat sendiri, lalu ditinggalkan oleh mantan beserta hutangnya, sungguh sempurna hidupku ini."Selamat untuk kalian, semoga kalian bahagia," jawabku."Kami memang pasangan yang selalu bahagia, Rania." Fany terkesan mengejekku. Apa dia tahu Arham adalah mantanku dulu. "Permisi, ojek sudah menungguku di belakang.""Makanya beli motor, zaman sudah berubah masih saja naik ojek." Cuih, benar-benar sombong sekali si Fany. Ingin kukatakan separoh gajiku habis sama hutang suaminya yang ternyata benalu ketika muda. Bahkan beli pulsa pun dia tidak mampu. Dia mungkin belum tahu siapa suaminya sebenarnya."Terima kasih, Fany. Oh, iya, pastikan suamimu yang kayak patung ini kamu jaga karena dia seperti kuda yang akan berlari kalau talinya lepas," jawabku sinis lalu naik ojek yang sudah menungguku."Hei, Rania. Akan kubuat perhitungan denganmu!" teriak Fany. Heran saja disini yang terluka aku, mengapa dia yang seperti menjadi korban. Apa, iya, si Arham yang akan menjadi bos di kantorku.
Aku gugup laki-laki misterius itu berteriak memintaku untuk ke rumah kakeknya."Rania, siapa laki-laki yang berteriak itu? Nanti si bos marah kalau ada yang menganggu kenyamanan restoran kita," ucap Rahman menyenggolku.Aku hanya diam, Rahman benar bisa-bisa si bos marah jika ada yang membuat keributan."Mohon maaf aku sedang kerja dan tidak ada urusan dengan anda." Aku menjawab di depan yang bernama Mahendra itu. Tentunya dengan sopan. Fany dan Clara memandangku dengan tatapan tidak biasa. "Astaga berani sekali wanita ini," ucap Fany."Wah dia memang wanita tidak jelas sampai mengacuhkan yang namanya Sultan Mahendra. Mungkin di rumahnya tidak ada tivi," bisik Clara. Namun, bisa kudengar.Manager restoran berlari dan langsung menuju ke arah laki-laki tidak jelas itu. Aku dan Rahman kembali fokus melayani pengunjung restoran yang membayar."Rania, biar Rahman yang mengerjakan. Kamu ikut bersama tuan Mahendra." Terlihat manager kami yang bernama pak Rudi itu nampak sangat berhati-hati
"Maaf aku tidak ada hubungan dengan anda, biar abang Noval yang mengantar saya pulang." Kulepas tangannya yang menahanku. Dia tidak bergeming masih tetap berdiri di depan kami."Apa kamu lupa dengan ucapanmu, Rania?" tanyanya balik."Aku tidak melupakannya, buktikan jika anda sungguh-sungguh, datang ke rumahku baik-baik." aku tak kalah cepat membalasnya.Abang Noval nampaknya tidak senang melihat Mahendra memaksa. Terlihat dari wajahnya yang cemburu. Apa abang Noval cemburu? Ah, tidak mungkin juga dia cemburu dan suka denganku yang kere ini."Jangan menjadi orang pemaksa, bro. Aku bahkan sudah izin sama orang tuanya Rania untuk menjemputnya." Abang Noval tak mau kalah. Sekarang Mahendra yang mengalah. Dia mundur satu langkah.Semua nampak hening melihat perseteruan dua laki-laki di sampingku. Si Arham bahkan seperti patung melihat wanita yang sudah dibuang sedang diperebutkan. Ingin kuludahi si Arham yang tak ada guna ini. Laki-laki pencundang tak tahu diri."Oh, iya jangan lupa Arham
Aku kembali berkutat dengan pekerjaanku, Dini ternyata hari ini izin karena di rumahnya ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Sepertinya menyambut kedatangan kakaknya yang baru pulang dari Singapura. Kantor terasa sepi jika tidak ada Dini. Dia biasanya yang paling heboh jika ada berita terbaru. Apa Dini tahu jika si Arham hanya kepala HRD. Ckck ... untung saja bukan dia bosnya.Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Setelah semua selesai aku kembali merapikan pekerjaanku. Jam menunjukkan pukul lima sore saatnya pindah tempat kerja. Ternyata kantor ini benar-benar terasa sepi jika tak ada Dini. Aku begitu kesepian. Kusiapkan diri untuk berangkat ke restoran, ojek sudah siap menunggu di depan. Beberapa hari lagi masa kontrakku habis. Aku harus semangat agar terbebas dari semua rasa yang membelenggu ini. Setahun berganti aku pasti bisa merubah keadaanku ini.Sesampai di restoran Cindi bersiap pergantian denganku. Aku juga ikut bersiap untuk pergantian. Jujur jiwa dan ragaku ini sudah
Mereka berdua terlihat serius sekarang aku mulai gugup. Bagaimana caranya sekarang aku lari dari dua laki-laki di depanku."Eh, pak Dokter kenapa anda selalu mengacaukan kami berdua." Mahendra tidak terima Noval berada disampingnya."Maaf mas yang tidak jelas, dari dulu Rania dan aku itu sudah saling kenal. Orang tuanya pasti tidak akan ragu memilihku," ucap dokter Noval tak mau kalah. Maksudnya? Apa abang Noval ada rasa denganku?"Sebelum janur kuning melengkung, semua orang berhak pak dokter!""Terus kenapa tuan takut, ayo kita berjuang bersama-sama." "Siapa takut pak Dokter!" teriaknya.Mereka berdua terus berdebat. Hingga ada ojek yang mangkal di depanku."Bang, berangkat, antar saya sampai rumah, bila perlu ngebut.""Asiyap, mbak. Cepat naik." Sepertinya abang ojek ini tahu jika aku sedang direbutkan.Benar saja aku dibawa sangat cepat, untuk aku sudah ganti jilbab segi empatku pakai jilbab instan, kalau tidak pasti sudah terbang melayang. Mana banyak uang yang kubawa menambah k
"Kak total uang yang dikasih si Arham lima puluh juta. Kakak benar-benar jadi jutawan setelah setahun lamanya." si Rini dengan teliti menghitung uang. Dia kalau bagian hitung uang jangan diragukan."Alhamdulillah Dek ...." Walau jujur aku dibuat sakit hati dengan uang yang dilemparkan ke wajahku tadi."Pesan ayah, jangan bertemu lagi dengan si Arham itu. Dia bukan laki-laki baik untukmu, Ran." Kulihat air mata ayah akan turun, dia terharu melihatku yang menerima uang sebanyak ini."Maafkan Rania ayah, aku tahu selama ini hati ayah terguncang. Rania berjanji akan menjadi anak yang lebih baik dan mendapatkan jodoh terbaik."Aku bersimpuh di kaki ayah. Beliau mengelusku jilbabku dengan pelan."Kadang Allah menguji karena begitu sayang kepada hamba-Nya, meski terasa sakit, tapi begitulah cara Tuhan memberi teguran agar kita kembali kepada-Nya." Setelah setahun lamanya nasihat ini kembali kudengar, aku terisak di bawa
"Kami panggil Mahendra Purnomo Hadinata."Wajah itu terus tersenyum disambut dengan riuh tepuk tangan karyawan. Wajah tampan nan misterius itu ternyata yang menjadi bos kami. Berkali-kali aku menahan nafas tidak percaya."Ran, bukannya dia laki-laki yang di bus kemarin." Dini tak berhenti berkedip, tak menyangka Mahendra Purnomo adalah bos baru kami. "Perkenalkan nama lengkap saya Sultan Mahendra Purnomo Hadinata. Nama yang panjang, untungnya zaman sekarang kalau ujian pakai digital kalau pakai tangan seperti kami dulu pasti harus teliti," ucapnya senyum.Semua karyawan semakin riuh, suaranya begitu tegas ketika di atas podium. Sekarang aku yang pangling, tidak mungkin dia menyukaiku apalagi berniat melamarku, rekam jejak digital yang kumiliki bahkan sangat kelam. Entah mengapa aku malu dan langsung menunduk."Ada pertanyaan? saya tipe orang yang to the point tidak senang basa basi. Kalau suka bilang suka, kalau tidak bilang tidak ...." Dia menjeda ucapannya. Entah mengapa aku semaki
Ucapan Mahendra benar-benar membuatku tidak fokus. Meski jujur aku suka dengan ceplas ceplosnya. Beberapa kali dia selalu ada disaat kubutuh. Namun, tetap saja semua orang bisa berucap belum tentu bisa menepati.Aku terus berkutat pada pekerjaanku kali ini. Hatiku sedikit berbunga karena sudah tidak perlu untuk kerja di restoran lagi. Saatnya mengistirahatkan badan agar wajah ini tidak cepat tua."Hai, Rania ...." Siapa lagi kalau bukan Fany istrinya Arham. Hidupnya ternyata sangat rumit hingga menganggu orang kerja."Kasihan sekali, ya kamu Ran. Tak menyangka anak jenius dulu kerja di kantoran sebagai karyawan biasa." Tarik nafas jangan terpancing dengan si Fany."Makanya jangan terlalu sok dan pelit dulu waktu di sekolah. Sekarang hanya bisa bekerja sebagai karyawan biasa 'kan," ucapnya lagi. Benar-benar menguji iman si Fany ini."Lebih baik jadi karyawan biasa, Fan. Daripada menganggu hidup orang lain." Wajahnya langsung berubah."Aku bahagia dengan posisiku saat ini, jika pun dulu
Entahlah, ini dinner macam apa. Sepertinya mereka sengaja membuatku frustasi di sini. Kakeknya terlihat lebih mendukung setiap ucapan Mahendra karena ada relasi bersama kami.“Rania, kan hanya pekerja kantoran jadi tidak paham mega proyek seperti apa.” Kakeknya mulai menunjukkan taring sebenarnya.“Iya, istri saya memang hanya pekerja kantoran, tapi dari segi kelimuwan dia pasti paham. Dia dulu lulusan terbaik ketika di kampus.” Aku terenyuh mendengar Mahendra membelaku.Ini ternyata alasan ada relasi yang ikut dinner bersama kami. Tujuannya agar Mahendra tidak perlu persetujuan untuk kedua kali. Selain itu, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa selangkah lebih maju dari kakek palsu.“Aku membatalkan proyek dengan Sisca dan meminta untuk bersama istriku.”Semua diam, bahkan tanganku gemetar, berada di sini benar-benar panas. Kakek Hadinata alias kakek palsunya Mahendra nampak terkejut, tapi masih tetap menjaga sikapnya.“Gimana, Kek? Aku mau bersama Rania-istriku pada kerjasama ini,” s
Dia berjalan lebih cepat, lebih mengejutkan dia membukakan aku pintu.“Masuklah, istriku.” Eh, ini tidak salah kan? Dia pasti hanya akting belaka.Setelah aku masuk, dia juga ikut masuk.“Jangan tegang, santai saja. Ingat ada aku di sampingmu,” ucapnya menyakinkanku.Andika berada di depan di samping supir. Mahendra terus menatapku membuatku salah tingkah. Selain, itu aku hanya menunduk bingung mau bicara apa.“Apa kamu tidak bisa bicara, Nona?” tanyanya.“Aku bingung mau bicara apa denganmu.” Mahendra justru tertawa. Duuh, mau ditaruh dimana ini muka!“Aku suamimu, harusnya bersikap wajar, layaknya seperti istri.” Dia benar, tapi jujur aku sendiri tegang hanya berada di sampingnya.“Kita tidak terlalu akrab, aku juga harus pintar memposisikan diri,” balasku spontan. Darimana juga aku bisa mengeluarkan kata-kata itu.“Justru karena aku suamimu, jangan ada yang disembunyikan.”“Aku mau seperti itu, tapi kenapa begitu sulit,” balasku lagi. Dia terus menatapku, bahhkan tanganku turut dig
Benar saja asisten Mahendra memanggil MUA. Mereka begitu sigap melayaniku, menanyakan riasan seperti apa.“Aku mau yang minimalis saja, sederhana, tapi berkesan.” Mereka paham tanpa perlu aku jelaskan lebih detail lagi.“Jangan gugup gitu, Nyonya.” Asisten Mahendra memang sama jahilnya dengan tuannya.“Apa tuanmu tahu aku akan dirias?”“Aman, tenang saja.” Aman. aman, paling juga dia sudah bocorin.“Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu, apa kamu asisten baru?” tanyaku penasaran.“Sudah lama aku kerja di keluarga tuan, tapi aku baru saja menyelesaikan kuliahku makanya aktif kembali.” Aku hanya ber oh ria mendengarnya.Bahkan memilih asisten pun Mahendra begitu teliti, mirip paspampres yang aku lihat di televisi. Tinggi dan tampan tentunya.“Namaku Andika,” sambungnya lagi. Aku hanya mendengar, tanpa membalas perkenalannya.“Beneran aman, kan? tuanmu tidak tahu.” Aku harus memastikan, takutnya Mahendra menertawaiku. Eh, si Andika justru tertawa, dengan entengnya dia berlalu begitu saja
"Terus Siska bagaimana?" tanyaku penasaran."Aku dekat dengannya karena Siska bisa membantuku.""Keluarga yang aneh!""Dia bagian dari kakek, makanya aku memilihmu karena aku tahu kakek belum memberi konsekuensi padamu."Semakin pusing aku dibuat, penuh misteri. Lalu Aku menikah dengannya untuk apa?"Harusnya jika kamu tidak mencintaiku, kita tak berhubungan suami istri. Bagaimana jika aku hamil dan ternyata kamu memilih kakek palsumu itu.""Justru aku ingin kamu hamil.""Aku merasa dipermainkan," balasku."Karena jika kamu hamil, anak kita yang akan memiliki semuanya." Mendengarnya kenapa terasa sakit. "Aku merasa tertipu dengan kalian.""Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik," jawabnya serius."Kalian sungguh membuat kepala ini semakin pusing," balasku yang langsung bangkit. "Mau kemana, Aku ingin bersamamu," ucapnya lagi. Dia memaksaku duduk dan kembalii lagi dia tidur dipangkuanku.Cukup lama kami berdiam diri, tak ada pembicaraan di
"Kakek pulang saja," usir Mahendra yang Masih bisa kudengar.Aku masih menempel di tembok takut ketahuan. Keluarga yang aneh menurutku."Sudah berani ngusir kakek, ya, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta dengan Rania.""Yang jelas Aku tidak menjadikan pernikahan itu mainan," balas Mahendra yang terlihat sebal. Walau jujur aku menyukai sifatnya yang tidak berubah mempertahankan pernikahan ini.Aku segera mundur, kembalii ke kamar agar tidak terlihat oleh mereka mengintip. Dengan mengendap aku kembali ke kamar. "Kakek tunggu keputusanmu, Mahendra!" tegas kakeknya. Ternyata kakeknya sangat menyeramkan, benar-benar jauh dari ekspetasiku. Kakek yang penyanyang yang kuanggap seperti ayah.Sesampai kamar, aku langsung pura-pura merebahkan diri. Berpikir keras apa yang akan terjadi pada nasib pernikahanku. Sudah pernah dibuang mantan, dan sekarang dipermainkan oleh orang yang lebih berkuasa. Seharusnya dari awal aku sadar diri, bahwa Mahendra denganku bagai langit dan bumi."Sudah bangun?
Rasanya begitu perih, tapi Mahendra tersenyum puas di dekatku. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku pun tak menyangka bisa merasakan ini lebih cepat bersamanya."Terima kasih, tidak salah aku memilihmu." Tingkahnya semakin aneh, sempat-sempatnya dia memelukku seperti bayi. Baru aku bangkit, aw, rasanya begitu perih. Ternyata benar kata orang kalau malam pertama itu, jika baru pertama kali terasa nyeri. "Kenapa sayang?" tanyanya. Sayang? Apa dia tidak salah ini orang memanggilku sayang?"Katanya kalau pertama kali sakit," sambungnya lagi. Tak lupa senyumannya begitu lebar. Diih ..."Kamu seperti paham dengan gadis perawan atau tidak!" ketusku. "Aku tidak bodoh, Sayang. Aku juga belajar sebelum kita melangsungkan akad nikah," katanya. Berarti dia memang berpikir sampai sejauh ini.Aku hanya diam, segera bangun untuk membersihkan diri. Namun, Mahendra mengamit tanganku."Jika sakit aku tuntun," ucapnya lagi. "Gak perlu, aku bisa sendiri." Sikapnya benar-benar aneh, tapi lagi-lagi
Abang Noval mundur, aku pun tak ingin memperpanjang masalah dengan Sultan Mahendra tidak jelas ini."Aku akan memberimu peringatan jika berani mendekati istriku," katanya menunjuk abang Noval."Aku juga akam memberi tuan peringatan jika membuat Rania menangis," balas abang Noval tak mau kalah.Mahendra tidak terima dia langsung menarikku paksa dalam rangkulannya. Situasi macam apa ini, benar-benar aneh."Dia istri sah-ku dimata hukum dan agama, jadi kuperingatkan kamu dokter Noval!" teriaknya tak kalah sengit.Ini tidak salah mereka memperebutkanku? Giliran istrinya dilirik, baru dia sadar. Sisca sampai mengeluarkan air mata karena tidak percaya mereka memperebutkanku. Tanpa pamit, dia terus merangkulku keluar."Biasa saja, Tuan Mahendra. Jika anda ingin dihargai, Maka belajarlah menghargai orang lain," jawabku yang langsung melepas diri dari rangkulannya.Bukan berarti kita orang lemah, kita seenaknya ditindas oleh mereka yang merasa kuat. Harusnya sejak awal, aku harus siap menerima
"Mengapa lama sekali?" tanya Mahendra yang masih memelukku. Apakah ini mimpi? Rasanya aneh dia memelukku dengan erat.“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Mahendra sambil memelukku.Tak ingin kepede-an aku langsung melepas pelukan Mahendra. Apa ini yang dinamakan trauma, takut kedua kalinya terluka lagi.“Maafkan aku, tadi cari udara segar,” jawabku datar.kembali hening lagi, pikiranku sudah tak percaya lagi dengan sikap Mahendra. Kadang baik, kadang juga bikin hati kesal dibuat olehnya.Rasanya raga ini mulai lelah, kukira menikah dengannya bisa mengubah semua jalan hidupku, jalan hidupku yang setahun ini kurasa begitu rumit. Namun, ternyata aku keliru."Mau kemana?" tanyanya sambil menarik tanganku lagi. Dia sangat aneh."Tetaplah di sampingku," sambungnya lagi.Sikapnya yang seperti ini, jujur membuat siapa saja berpikir jika dia menyukaiku, tapi sepertinya itu hanyalah khayalan semata.Aku hanya mengiyakan, sudah kepalang basah mau bagaimana lagi, aku sudah sah menjadi istri Sulta
Mahendra terlihat lebih sehat, meski kami tak sehangat kemarin, iya, itu karena pertengkaran kemarin. Aku pun mulai memposisikan diriku untuk tidak berekspetasi tinggi."Aku lapar," katanya merajuk. Kadang, aku bingung melihatnya yang seperti membutuhkanku, aku dibuat dilema dengan perasaanku sendiri, tapi yang jelas melihatnya sehat ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan.Aku membuka nampan yang diberikan rumah sakit."Apa kamu malas bicara? Bukannya kamu sudah memaafkanku?" Dia memang pintar menyerang.Dia membuka mulut, lalu aku menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang disuapi ibunya."Aku mau masakan istriku," ucapnya lagi, tapi aku hanya diam."Kamu bisa masak?" tanyanya basa basi."Bisa sedikit," jawabku. Aku yang enggan menjawab akhirnya menjawab."Apa kamu sudah makan?" tanyanya lembut. Jangankan makan, yang kupikirkan hanya dia."Belum."Mahendra diam. Dia langsung mengambil ponsel di sampingnya. "Bawakan makanan yang paling enak," ucapnya tegas lalu memutus telponny