Ditikung sahabat sendiri, lalu ditinggalkan oleh mantan beserta hutangnya, sungguh sempurna hidupku ini.
"Selamat untuk kalian, semoga kalian bahagia," jawabku."Kami memang pasangan yang selalu bahagia, Rania." Fany terkesan mengejekku. Apa dia tahu Arham adalah mantanku dulu. "Permisi, ojek sudah menungguku di belakang.""Makanya beli motor, zaman sudah berubah masih saja naik ojek." Cuih, benar-benar sombong sekali si Fany. Ingin kukatakan separoh gajiku habis sama hutang suaminya yang ternyata benalu ketika muda. Bahkan beli pulsa pun dia tidak mampu. Dia mungkin belum tahu siapa suaminya sebenarnya."Terima kasih, Fany. Oh, iya, pastikan suamimu yang kayak patung ini kamu jaga karena dia seperti kuda yang akan berlari kalau talinya lepas," jawabku sinis lalu naik ojek yang sudah menungguku."Hei, Rania. Akan kubuat perhitungan denganmu!" teriak Fany. Heran saja disini yang terluka aku, mengapa dia yang seperti menjadi korban. Apa, iya, si Arham yang akan menjadi bos di kantorku. Benar-benar sulit hidupku. Apalagi istrinya dulu ternyata memanfaatkanku, menjadikan aku sahabat agar nilai akademiknya naik. Aku kasihan karena dia selalu curhat dimarahi ayahnya jika nilainya turun. Dan baru aku tahu setelah lulus dia sangat tidak menyukaiku, begitu indahnya hidup ini. Ojek sampai ke restoran tempatku bekerja. Aku hanya mengambil tiga bulan sebagai kasir disini. Mengambil shif sore sepulang dari kantor. Sejak dibangku sekolah aku memang selalu dibilang anak cerdas karena nilai akademisku selalu terbaik. Namun, aku juga terkadang polos gampang kasihan dan dimanfaatkan. "Alhamdulillah akhirnya kamu datang, Ran." Cindi yang biasa mengganti perputaran denganku. Dia juga selalu ikhlas jika aku datangnya kesorean. "Maaf, ya, aku selalu datang sore.""Semangat, ya, pasti capek sepulang kerja di kantor.""Yang penting hutang lunas, Cindi," jawabku tersenyum. Cindi bahkan rela pulang lebih magrib menungguku karena dia tahu gajiku di kantor sudah terpotong banyak.Seratus juta bukan uang yang sedikit bagi pekerja kantor sepertiku. Si Arham benar-benar memanfaatkanku dengan janji akan melunasi ketika menikah nanti. Ternyata dia kabur dan mencari wanita yang lebih mapan untuk dimanfaatkan.Cara Tuhan begitu indah memberiku teguran. Mencintai harusnya sewajarnya bukan berlebihan apalagi masih tahap pacaran. Mudhoratnya lebih banyak. Kutarik nafas lalu menghembuskannya pelan. Bahkan aku setiap malam salat taubat memohon ampun atas kelakuanku yang merugikan dan membuat malu keluarga.Restoran di tempatku bekerja sangat ramai ketika menjelang isya karena saat itu waktunya makan malam. Setelah kejadian itu, aku bahkan menggunakan hijab, beberapa pelanggan restoran bahkan ada yang ingin mempersuntingku menjadi istri. Namun, aku seperti tak ada rasa untuk mencintai kembali. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana melunasi hutang mantan yang tak ada guna. Ting, ponselku berdenting.[Rania, apa aku jemput malam ini?] Dini yang mengirim pesan. [Tidak perlu Din, nanti aku pesan ojek atau taksi saja.][Oke.]Restoran ini tutup jam dua belas malam. Namun, aku mengambil sampai jam sepuluh malam. Sebenarnya ayah menolak keras, tapi setelah aku jelaskan beliau paham. Aku hanya mengambil lima jam menjadi kasir disini, lumayan sekedar makan dan transport sehari-hari. Selain itu, ada si bungsu yang harus kubantu biaya kuliahnya, mengingat gaji pensiunnya ayah hanya untuk makan sehari-hari. Bulan depan aku pasti bisa hirup udara segar lagi. Tidak dikejar hutang rentenir lagi. Iya, si Arham meminjam uang untuk persiapan pernikahan ternyata dia membawa kabur setengah dari uang yang kami pinjam. Entah mengapa aku merutuk diriku yang begitu polos. Ketika sibuk dengan pembayaran kasir, datanglah grup sosialita makan di restoran ini. Ternyata grup Fany dan kawan-kawannya. Aku langsung menghela nafas, hari ini pasti akan ada sesuatu yang terjadi. Kukira setelah tahun berganti ujian ini reda, ternyata masih ada yang mengintai. Tidak terlihat Arham ikut dengan istrinya. Aku fokus dengan pelayanan yang semakin ramai. Hingga waktuny si Fany membayar di kasir."Oh, kamu kerja disini juga, Rania? Sungguh malang sekali nasibmu, aku prihatin." Sekarang dia mulai menyerangku. "Terima kasih, Fan atas perhatiannya. Total yang perlu kamu bayar lima juta lima ratus ribu." Maklum orang kaya yang traktir, kutaksir yang ditraktir sekitar sepuluh orang lebih. Dia menyodorkan kartu kredit padaku."Kalau nominal seperti itu sedikit, Rania. Aku bahkan biasanya membayar lebih dari itu." Tidak ada yang bertanya. Eh, dia jawab sendiri. Memang si Fany ini berubah seratus delapan puluh derajat.Beberapa kali kugesek kartu kreditnya si Fany selalu gagal. Apa kartu ini diblokir."Mohon maaf Fan, kartu ini sepertinya diblokir." Dia mengerutkan alisnya."Ah, bilang saja kamu ingin memalukanku, Rania.""Tidak ada hubungannya, Rania. Kartu ini memang tidak bisa dipakai," jawabku dengan santun. Meski sakit hati, tapi ini tempat kerja. Si Fany mulai keringat dingin."Coba cek sekali lagi," ucapnya dengan ketus.Berkali-kali selalu gagal. "Rahman coba cek kartu ini, aku mencobanya berkali-kali tidak bisa." Sengaja aku panggil Rahman yang biasa menangani IT jika bermasalah dengan pembayaran.Rahman pun mencoba berkali-kali. Namun, tetap gagal juga."Kartu mbak memang diblokir, silahkan menggunakan uang cash untuk pembayaran jika tidak bisa," ucap Rahman membuat Fany terlihat tak tenang. Aku mulai senyum-senyum. Tidak perlu adu jotos untuk menghajarnya, karena hukum alam tetap berlaku."Restoran macam apa, sih ini. Kartu ini tidak pernah punya masalah sebelumnya. Kenapa disini tidak bisa dipakai.""Lain kali dicek dulu, mbak. Jangan asal pakai saja dan perlu mbak tahu restoran ini tidak pernah bermasalah dengan kartu seperti mbak ini," sambung Rahman tak kalah ketus. Aku hanya senyum-senyum melihat Fany kebingungan. Emang enak!"Kenapa, Fan?" tanya temannya ke kasir."Ini lho, kartuku dibilang diblokir makanya belum bisa bayar.""Pakai kartuku saja, Fan," ucap temannya enteng."Kamu memang terbaik, Clara.""Ini tidak gratis, Fan. Kamu harus bisa membuatku pacaran dengan Om-mu yang ganteng itu." Cara orang kaya melunasi hutang memang beda, tidak sepertiku yang kere ini."Gampang mah kalau yang itu," jawab Fany tersenyum lebar karena tidak jadi malu. Gaya selangit, saldo tak cukup. Ckck ... meresahkan memang istrinya si Arham ini.Sedang asyik melakukan pembayaran, kami dikejutkan dengan laki-laki yang misterius itu lagi."Aku capek mencarimu kemana-mana ternyata kamu ada disini," ucapnya membuat mata kami tertuju padanya."Om ...." Si Fany sangat terkejut melihat laki-laki itu tiba-tiba ada didekat kami. Om? Maksudnya? Apa mereka ada hubungan?"Mahendra ...." Si Clara tak kalah terkejutnya lagi."Rania Fitriana kamu ditunggu oleh kakek, apa kamu lupa?!" laki-laki tak jelas itu mengeraskan suaranya."Apa?!" yang teriak justru si Fany dan Clara itu.Aku seperti orang bingung dia memanggil namaku lalu berteriak. Benar-benar meresahkan! Darimana coba dia tahu namaku!Aku gugup laki-laki misterius itu berteriak memintaku untuk ke rumah kakeknya."Rania, siapa laki-laki yang berteriak itu? Nanti si bos marah kalau ada yang menganggu kenyamanan restoran kita," ucap Rahman menyenggolku.Aku hanya diam, Rahman benar bisa-bisa si bos marah jika ada yang membuat keributan."Mohon maaf aku sedang kerja dan tidak ada urusan dengan anda." Aku menjawab di depan yang bernama Mahendra itu. Tentunya dengan sopan. Fany dan Clara memandangku dengan tatapan tidak biasa. "Astaga berani sekali wanita ini," ucap Fany."Wah dia memang wanita tidak jelas sampai mengacuhkan yang namanya Sultan Mahendra. Mungkin di rumahnya tidak ada tivi," bisik Clara. Namun, bisa kudengar.Manager restoran berlari dan langsung menuju ke arah laki-laki tidak jelas itu. Aku dan Rahman kembali fokus melayani pengunjung restoran yang membayar."Rania, biar Rahman yang mengerjakan. Kamu ikut bersama tuan Mahendra." Terlihat manager kami yang bernama pak Rudi itu nampak sangat berhati-hati
"Maaf aku tidak ada hubungan dengan anda, biar abang Noval yang mengantar saya pulang." Kulepas tangannya yang menahanku. Dia tidak bergeming masih tetap berdiri di depan kami."Apa kamu lupa dengan ucapanmu, Rania?" tanyanya balik."Aku tidak melupakannya, buktikan jika anda sungguh-sungguh, datang ke rumahku baik-baik." aku tak kalah cepat membalasnya.Abang Noval nampaknya tidak senang melihat Mahendra memaksa. Terlihat dari wajahnya yang cemburu. Apa abang Noval cemburu? Ah, tidak mungkin juga dia cemburu dan suka denganku yang kere ini."Jangan menjadi orang pemaksa, bro. Aku bahkan sudah izin sama orang tuanya Rania untuk menjemputnya." Abang Noval tak mau kalah. Sekarang Mahendra yang mengalah. Dia mundur satu langkah.Semua nampak hening melihat perseteruan dua laki-laki di sampingku. Si Arham bahkan seperti patung melihat wanita yang sudah dibuang sedang diperebutkan. Ingin kuludahi si Arham yang tak ada guna ini. Laki-laki pencundang tak tahu diri."Oh, iya jangan lupa Arham
Aku kembali berkutat dengan pekerjaanku, Dini ternyata hari ini izin karena di rumahnya ada acara yang tidak bisa ditinggalkan. Sepertinya menyambut kedatangan kakaknya yang baru pulang dari Singapura. Kantor terasa sepi jika tidak ada Dini. Dia biasanya yang paling heboh jika ada berita terbaru. Apa Dini tahu jika si Arham hanya kepala HRD. Ckck ... untung saja bukan dia bosnya.Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Setelah semua selesai aku kembali merapikan pekerjaanku. Jam menunjukkan pukul lima sore saatnya pindah tempat kerja. Ternyata kantor ini benar-benar terasa sepi jika tak ada Dini. Aku begitu kesepian. Kusiapkan diri untuk berangkat ke restoran, ojek sudah siap menunggu di depan. Beberapa hari lagi masa kontrakku habis. Aku harus semangat agar terbebas dari semua rasa yang membelenggu ini. Setahun berganti aku pasti bisa merubah keadaanku ini.Sesampai di restoran Cindi bersiap pergantian denganku. Aku juga ikut bersiap untuk pergantian. Jujur jiwa dan ragaku ini sudah
Mereka berdua terlihat serius sekarang aku mulai gugup. Bagaimana caranya sekarang aku lari dari dua laki-laki di depanku."Eh, pak Dokter kenapa anda selalu mengacaukan kami berdua." Mahendra tidak terima Noval berada disampingnya."Maaf mas yang tidak jelas, dari dulu Rania dan aku itu sudah saling kenal. Orang tuanya pasti tidak akan ragu memilihku," ucap dokter Noval tak mau kalah. Maksudnya? Apa abang Noval ada rasa denganku?"Sebelum janur kuning melengkung, semua orang berhak pak dokter!""Terus kenapa tuan takut, ayo kita berjuang bersama-sama." "Siapa takut pak Dokter!" teriaknya.Mereka berdua terus berdebat. Hingga ada ojek yang mangkal di depanku."Bang, berangkat, antar saya sampai rumah, bila perlu ngebut.""Asiyap, mbak. Cepat naik." Sepertinya abang ojek ini tahu jika aku sedang direbutkan.Benar saja aku dibawa sangat cepat, untuk aku sudah ganti jilbab segi empatku pakai jilbab instan, kalau tidak pasti sudah terbang melayang. Mana banyak uang yang kubawa menambah k
"Kak total uang yang dikasih si Arham lima puluh juta. Kakak benar-benar jadi jutawan setelah setahun lamanya." si Rini dengan teliti menghitung uang. Dia kalau bagian hitung uang jangan diragukan."Alhamdulillah Dek ...." Walau jujur aku dibuat sakit hati dengan uang yang dilemparkan ke wajahku tadi."Pesan ayah, jangan bertemu lagi dengan si Arham itu. Dia bukan laki-laki baik untukmu, Ran." Kulihat air mata ayah akan turun, dia terharu melihatku yang menerima uang sebanyak ini."Maafkan Rania ayah, aku tahu selama ini hati ayah terguncang. Rania berjanji akan menjadi anak yang lebih baik dan mendapatkan jodoh terbaik."Aku bersimpuh di kaki ayah. Beliau mengelusku jilbabku dengan pelan."Kadang Allah menguji karena begitu sayang kepada hamba-Nya, meski terasa sakit, tapi begitulah cara Tuhan memberi teguran agar kita kembali kepada-Nya." Setelah setahun lamanya nasihat ini kembali kudengar, aku terisak di bawa
"Kami panggil Mahendra Purnomo Hadinata."Wajah itu terus tersenyum disambut dengan riuh tepuk tangan karyawan. Wajah tampan nan misterius itu ternyata yang menjadi bos kami. Berkali-kali aku menahan nafas tidak percaya."Ran, bukannya dia laki-laki yang di bus kemarin." Dini tak berhenti berkedip, tak menyangka Mahendra Purnomo adalah bos baru kami. "Perkenalkan nama lengkap saya Sultan Mahendra Purnomo Hadinata. Nama yang panjang, untungnya zaman sekarang kalau ujian pakai digital kalau pakai tangan seperti kami dulu pasti harus teliti," ucapnya senyum.Semua karyawan semakin riuh, suaranya begitu tegas ketika di atas podium. Sekarang aku yang pangling, tidak mungkin dia menyukaiku apalagi berniat melamarku, rekam jejak digital yang kumiliki bahkan sangat kelam. Entah mengapa aku malu dan langsung menunduk."Ada pertanyaan? saya tipe orang yang to the point tidak senang basa basi. Kalau suka bilang suka, kalau tidak bilang tidak ...." Dia menjeda ucapannya. Entah mengapa aku semaki
Ucapan Mahendra benar-benar membuatku tidak fokus. Meski jujur aku suka dengan ceplas ceplosnya. Beberapa kali dia selalu ada disaat kubutuh. Namun, tetap saja semua orang bisa berucap belum tentu bisa menepati.Aku terus berkutat pada pekerjaanku kali ini. Hatiku sedikit berbunga karena sudah tidak perlu untuk kerja di restoran lagi. Saatnya mengistirahatkan badan agar wajah ini tidak cepat tua."Hai, Rania ...." Siapa lagi kalau bukan Fany istrinya Arham. Hidupnya ternyata sangat rumit hingga menganggu orang kerja."Kasihan sekali, ya kamu Ran. Tak menyangka anak jenius dulu kerja di kantoran sebagai karyawan biasa." Tarik nafas jangan terpancing dengan si Fany."Makanya jangan terlalu sok dan pelit dulu waktu di sekolah. Sekarang hanya bisa bekerja sebagai karyawan biasa 'kan," ucapnya lagi. Benar-benar menguji iman si Fany ini."Lebih baik jadi karyawan biasa, Fan. Daripada menganggu hidup orang lain." Wajahnya langsung berubah."Aku bahagia dengan posisiku saat ini, jika pun dulu
"Memang Sultan Mahendra itu anugerah Tuhan yang luar biasa, Rania. Bahkan hanya dilewati olehnya hati ini berdesir tak menentu.""Sudahlah, Din. Hanya di kisah Cinderella saja seorang bos mau dengan wanita kalangan bawah seperti kita.""Tak ada yang tidak mungkin Rania, jodoh itu tak ada yang tahu."Dini terus ceramah hingga abangnya menjemput kami."Dini, Rania ... Abang cari kemana-kemana ternyata mangkal disini!" Teriaknya."Iya, bang. Rania mau cari motor, tapi itu dia sama kayak aku, lebih suka gratisan.""Hahaha ... ada-ada saja. Ayo pilih, Ran. Abang belikan.""Diiih, demen banget punya pacar kayak Abang. Tapi hati-hati, bang! saingan Abang berat.""Oh,
Entahlah, ini dinner macam apa. Sepertinya mereka sengaja membuatku frustasi di sini. Kakeknya terlihat lebih mendukung setiap ucapan Mahendra karena ada relasi bersama kami.“Rania, kan hanya pekerja kantoran jadi tidak paham mega proyek seperti apa.” Kakeknya mulai menunjukkan taring sebenarnya.“Iya, istri saya memang hanya pekerja kantoran, tapi dari segi kelimuwan dia pasti paham. Dia dulu lulusan terbaik ketika di kampus.” Aku terenyuh mendengar Mahendra membelaku.Ini ternyata alasan ada relasi yang ikut dinner bersama kami. Tujuannya agar Mahendra tidak perlu persetujuan untuk kedua kali. Selain itu, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa selangkah lebih maju dari kakek palsu.“Aku membatalkan proyek dengan Sisca dan meminta untuk bersama istriku.”Semua diam, bahkan tanganku gemetar, berada di sini benar-benar panas. Kakek Hadinata alias kakek palsunya Mahendra nampak terkejut, tapi masih tetap menjaga sikapnya.“Gimana, Kek? Aku mau bersama Rania-istriku pada kerjasama ini,” s
Dia berjalan lebih cepat, lebih mengejutkan dia membukakan aku pintu.“Masuklah, istriku.” Eh, ini tidak salah kan? Dia pasti hanya akting belaka.Setelah aku masuk, dia juga ikut masuk.“Jangan tegang, santai saja. Ingat ada aku di sampingmu,” ucapnya menyakinkanku.Andika berada di depan di samping supir. Mahendra terus menatapku membuatku salah tingkah. Selain, itu aku hanya menunduk bingung mau bicara apa.“Apa kamu tidak bisa bicara, Nona?” tanyanya.“Aku bingung mau bicara apa denganmu.” Mahendra justru tertawa. Duuh, mau ditaruh dimana ini muka!“Aku suamimu, harusnya bersikap wajar, layaknya seperti istri.” Dia benar, tapi jujur aku sendiri tegang hanya berada di sampingnya.“Kita tidak terlalu akrab, aku juga harus pintar memposisikan diri,” balasku spontan. Darimana juga aku bisa mengeluarkan kata-kata itu.“Justru karena aku suamimu, jangan ada yang disembunyikan.”“Aku mau seperti itu, tapi kenapa begitu sulit,” balasku lagi. Dia terus menatapku, bahhkan tanganku turut dig
Benar saja asisten Mahendra memanggil MUA. Mereka begitu sigap melayaniku, menanyakan riasan seperti apa.“Aku mau yang minimalis saja, sederhana, tapi berkesan.” Mereka paham tanpa perlu aku jelaskan lebih detail lagi.“Jangan gugup gitu, Nyonya.” Asisten Mahendra memang sama jahilnya dengan tuannya.“Apa tuanmu tahu aku akan dirias?”“Aman, tenang saja.” Aman. aman, paling juga dia sudah bocorin.“Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu, apa kamu asisten baru?” tanyaku penasaran.“Sudah lama aku kerja di keluarga tuan, tapi aku baru saja menyelesaikan kuliahku makanya aktif kembali.” Aku hanya ber oh ria mendengarnya.Bahkan memilih asisten pun Mahendra begitu teliti, mirip paspampres yang aku lihat di televisi. Tinggi dan tampan tentunya.“Namaku Andika,” sambungnya lagi. Aku hanya mendengar, tanpa membalas perkenalannya.“Beneran aman, kan? tuanmu tidak tahu.” Aku harus memastikan, takutnya Mahendra menertawaiku. Eh, si Andika justru tertawa, dengan entengnya dia berlalu begitu saja
"Terus Siska bagaimana?" tanyaku penasaran."Aku dekat dengannya karena Siska bisa membantuku.""Keluarga yang aneh!""Dia bagian dari kakek, makanya aku memilihmu karena aku tahu kakek belum memberi konsekuensi padamu."Semakin pusing aku dibuat, penuh misteri. Lalu Aku menikah dengannya untuk apa?"Harusnya jika kamu tidak mencintaiku, kita tak berhubungan suami istri. Bagaimana jika aku hamil dan ternyata kamu memilih kakek palsumu itu.""Justru aku ingin kamu hamil.""Aku merasa dipermainkan," balasku."Karena jika kamu hamil, anak kita yang akan memiliki semuanya." Mendengarnya kenapa terasa sakit. "Aku merasa tertipu dengan kalian.""Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik," jawabnya serius."Kalian sungguh membuat kepala ini semakin pusing," balasku yang langsung bangkit. "Mau kemana, Aku ingin bersamamu," ucapnya lagi. Dia memaksaku duduk dan kembalii lagi dia tidur dipangkuanku.Cukup lama kami berdiam diri, tak ada pembicaraan di
"Kakek pulang saja," usir Mahendra yang Masih bisa kudengar.Aku masih menempel di tembok takut ketahuan. Keluarga yang aneh menurutku."Sudah berani ngusir kakek, ya, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta dengan Rania.""Yang jelas Aku tidak menjadikan pernikahan itu mainan," balas Mahendra yang terlihat sebal. Walau jujur aku menyukai sifatnya yang tidak berubah mempertahankan pernikahan ini.Aku segera mundur, kembalii ke kamar agar tidak terlihat oleh mereka mengintip. Dengan mengendap aku kembali ke kamar. "Kakek tunggu keputusanmu, Mahendra!" tegas kakeknya. Ternyata kakeknya sangat menyeramkan, benar-benar jauh dari ekspetasiku. Kakek yang penyanyang yang kuanggap seperti ayah.Sesampai kamar, aku langsung pura-pura merebahkan diri. Berpikir keras apa yang akan terjadi pada nasib pernikahanku. Sudah pernah dibuang mantan, dan sekarang dipermainkan oleh orang yang lebih berkuasa. Seharusnya dari awal aku sadar diri, bahwa Mahendra denganku bagai langit dan bumi."Sudah bangun?
Rasanya begitu perih, tapi Mahendra tersenyum puas di dekatku. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku pun tak menyangka bisa merasakan ini lebih cepat bersamanya."Terima kasih, tidak salah aku memilihmu." Tingkahnya semakin aneh, sempat-sempatnya dia memelukku seperti bayi. Baru aku bangkit, aw, rasanya begitu perih. Ternyata benar kata orang kalau malam pertama itu, jika baru pertama kali terasa nyeri. "Kenapa sayang?" tanyanya. Sayang? Apa dia tidak salah ini orang memanggilku sayang?"Katanya kalau pertama kali sakit," sambungnya lagi. Tak lupa senyumannya begitu lebar. Diih ..."Kamu seperti paham dengan gadis perawan atau tidak!" ketusku. "Aku tidak bodoh, Sayang. Aku juga belajar sebelum kita melangsungkan akad nikah," katanya. Berarti dia memang berpikir sampai sejauh ini.Aku hanya diam, segera bangun untuk membersihkan diri. Namun, Mahendra mengamit tanganku."Jika sakit aku tuntun," ucapnya lagi. "Gak perlu, aku bisa sendiri." Sikapnya benar-benar aneh, tapi lagi-lagi
Abang Noval mundur, aku pun tak ingin memperpanjang masalah dengan Sultan Mahendra tidak jelas ini."Aku akan memberimu peringatan jika berani mendekati istriku," katanya menunjuk abang Noval."Aku juga akam memberi tuan peringatan jika membuat Rania menangis," balas abang Noval tak mau kalah.Mahendra tidak terima dia langsung menarikku paksa dalam rangkulannya. Situasi macam apa ini, benar-benar aneh."Dia istri sah-ku dimata hukum dan agama, jadi kuperingatkan kamu dokter Noval!" teriaknya tak kalah sengit.Ini tidak salah mereka memperebutkanku? Giliran istrinya dilirik, baru dia sadar. Sisca sampai mengeluarkan air mata karena tidak percaya mereka memperebutkanku. Tanpa pamit, dia terus merangkulku keluar."Biasa saja, Tuan Mahendra. Jika anda ingin dihargai, Maka belajarlah menghargai orang lain," jawabku yang langsung melepas diri dari rangkulannya.Bukan berarti kita orang lemah, kita seenaknya ditindas oleh mereka yang merasa kuat. Harusnya sejak awal, aku harus siap menerima
"Mengapa lama sekali?" tanya Mahendra yang masih memelukku. Apakah ini mimpi? Rasanya aneh dia memelukku dengan erat.“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Mahendra sambil memelukku.Tak ingin kepede-an aku langsung melepas pelukan Mahendra. Apa ini yang dinamakan trauma, takut kedua kalinya terluka lagi.“Maafkan aku, tadi cari udara segar,” jawabku datar.kembali hening lagi, pikiranku sudah tak percaya lagi dengan sikap Mahendra. Kadang baik, kadang juga bikin hati kesal dibuat olehnya.Rasanya raga ini mulai lelah, kukira menikah dengannya bisa mengubah semua jalan hidupku, jalan hidupku yang setahun ini kurasa begitu rumit. Namun, ternyata aku keliru."Mau kemana?" tanyanya sambil menarik tanganku lagi. Dia sangat aneh."Tetaplah di sampingku," sambungnya lagi.Sikapnya yang seperti ini, jujur membuat siapa saja berpikir jika dia menyukaiku, tapi sepertinya itu hanyalah khayalan semata.Aku hanya mengiyakan, sudah kepalang basah mau bagaimana lagi, aku sudah sah menjadi istri Sulta
Mahendra terlihat lebih sehat, meski kami tak sehangat kemarin, iya, itu karena pertengkaran kemarin. Aku pun mulai memposisikan diriku untuk tidak berekspetasi tinggi."Aku lapar," katanya merajuk. Kadang, aku bingung melihatnya yang seperti membutuhkanku, aku dibuat dilema dengan perasaanku sendiri, tapi yang jelas melihatnya sehat ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan.Aku membuka nampan yang diberikan rumah sakit."Apa kamu malas bicara? Bukannya kamu sudah memaafkanku?" Dia memang pintar menyerang.Dia membuka mulut, lalu aku menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang disuapi ibunya."Aku mau masakan istriku," ucapnya lagi, tapi aku hanya diam."Kamu bisa masak?" tanyanya basa basi."Bisa sedikit," jawabku. Aku yang enggan menjawab akhirnya menjawab."Apa kamu sudah makan?" tanyanya lembut. Jangankan makan, yang kupikirkan hanya dia."Belum."Mahendra diam. Dia langsung mengambil ponsel di sampingnya. "Bawakan makanan yang paling enak," ucapnya tegas lalu memutus telponny